Senin, 21 September 2015

(Seluk Beluk Sastra) - Telusuri Awal Sastra Melayu-Tionghoa Lewat Syair Iklan Abad Ke-19



Ting Sam Sien, pedagang buku di Semarang, barangkali tak pernah menyangka bahwa syair gubahannya berisi harta karun pendahulu kesusastraan modern di Indonesia.

 

Telusuri Awal Sastra Melayu-Tionghoa Lewat Syair Iklan Abad Ke-19 
 
 
Perayaan Cap Go Meh pada 1880-an yang menggambarkan keceriaan dua budaya. Litografi berdasarkan lukisan oleh Josias Cornelis Rappard sekitar 1883-1889. (Tropenmuseum/Wikimedia)

Banjak lah tabe hormat besrenta,
Pada pembatja sekalian rata,
Dari hal segala boekoe tjerita,
Njang ada terdjoewal di toko kita.

Ting Sam Sien, seorang pedagang buku di Semarang, mewartakan dagangannya dengan syair berbahasa Melayu pasar pada 1886. Ketika itu dia menjual sebanyak 41 roman terjemahan dari Tiongkok di tokonya, yang tampaknya sangat disuka oleh warga Tionghoa di Hindia Belanda. Judul syair pariwaranya, “Sair dari adanja Boekoe Tjerita Tjina njang soeda disalin bahasa Melajoe”.
Semuanya dikemas dan dipariwarakan lewat syair 36 bait. Syair merupakan puisi lama yang tiap-tiap baitnya terdiri atas empat larik atau baris dengan akhiran bunyi yang sama. Jadi bisa dibayangkan, Ting Sam memariwarakan dagangannya dalam 144 baris!

Syair gubahan Ting Sam berisikan judul buku, harga yang tak bisa ditawar lagi, isi cerita terjemahan, siapa penulisnya, tokoh dalam roman, hingga penilaian tentang kualitas terjemahan. Cukup menjadi senjata pemasaran yang ampuh pada akhir abad ke-19. Bentuk syair yang digunakan dalam pariwara terus berlanjut hingga awal abad ke-20.

Die bawah ini saja menbrita,
Pada sekalian pembatja kita,
Dari hal segala boekoe tjerita,
Harganja djoega poen ada besrenta.

Claudine Lombard-Salmon mengungkapkan hal tersebut pertama kali dalam jurnal Archipel Volume 8 yang terbit pada 1974, yang bersumber dari buku usang yang tersimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. “Hampir tidak ada karya Melayu-Tionghoa yang diterbitkan sebelum 1883—karya yang disebut dalam syair iklan ini.”

Tulisan tersebut bersama tulisan Salmon lainnya, diterbitkan juga dalam Sastra Indonesia Awal : Kontribusi Orang Tionghoa pada 2010. Salmon, seorang guru besar dan peneliti asal Prancis yang sekaligus anggota Yayasan Archipel, mulai meneliti sejarah dan budaya Tionghoa sejak akhir 1960-an.
Salmon mengungkapkan betapa syair gubahan Ting Sam sungguh penting bagi cikal bakal sastra modern Indonesia. “Teks itu memiliki daya tarik ganda,” ungkapnya. Berkat teks itu kita dapat menelusuri asal-mula kesusastraan Melayu-Tionghoa yang berbentuk cetakan.” Banyaknya terjemahan roman Tiongkok yang diterbitkan di Hindia Belanda, Salmon melihat fenomena itu sebagai “pendahulu kesusastraan modern”.

Kesusastraan modern di Indonesia berawal dari penerjemahan buku-buku roman Tiongkok, demikian hemat Salmon. Fenomena ini telah memberikan energi baru yang menggairahkan penulisan prosa berupa roman Melayu klasik. Kemudian para penulis Tionghoa mengembangkan roman lokal dalam bahasa Melayu. “Hal itu terjadi sekitar tiga puluh tahun sebelum penerbitan roman berbahasa Indonesia karangan Marah Rusli: Sitti Nurbaya (1922),” ungkap Salmon.


Sebuah lukisan dari Dinasti ... 
 
 
Sebuah lukisan dari Dinasti Ming yang menggambarkan adegan dalam kisah Sam Kok, Roman Tiga Kerajaan. (Wikimedia/Palace Museum)

Agni Malagina, seorang pengamat studi Cina dari Universitas Indonesia, menanggapi tentang peran orang-orang Tionghoa dalam lintasan perkembangan sastra Indonesia. Menurutnya, para penulis Tionghoa sama pentingnya dengan penulis lain yang berkontribusi pada perkembangan sastra Indonesia.

Orang Tionghoa menggunakan bahasa Melayu sebagai lingua franca untuk karya mereka, namun dengan susunan gramatikal yang masih terpengaruh tata bahasa Tiongkok. “Mereka memang tampak seperti pionir, soalnya punya akses ke penerbit dan kapital,” ujarnya. “Dan, mereka pandai karena banyak yang mengenyam pendidikan ala Eropa.”

Kemudian Agni melanjutkan, “Mereka juga masih fasih berbahasa Cina karena masih terhitung totok, sehingga bisa menerjemahkan karya-karya Cina ke dalam bahasa Indonesia yang pada akhirnya kisah-kisah itu digemari di Hindia Belanda.”

Menurut syair gubahan Ting Sam, roman yang diterjemahkan dari Tiongkok antara lain: Samkok (Roman Tiga Kerajaan), Hong Kiauw Lie Tan (Ratu Wu Zetian menggulingkan Dinasti Tang), Lek Bo Tan (Bunga Punia Hijau), Tjhit Liap Sing (ketujuh bintang), See Ijoe (perjalanaan ke barat), Tan sha-Go nio (cerita jenaka), Tjerita Khong Hoe Tjoe (buku cerita untuk anak-anak), hingga Sam Pik — Ing Taij (roman percintaan Tiongkok ala Romeo dan Juliet) yang kerap dipentaskan di gedung pertunjukan mutakhir.


Boekoe Sam Pik Ing Taij soedah lah njata,
Tjerita lakie prampoewan menaroeh tjinta,
Tetapi apa maoe die kata,
Menoeroet boekoe Tjina poenja tjerita.



Journalist | Text Editor National Geographic Indonesia

Minggu, 06 September 2015

(Puisi Tamu) - BENING karya Almondia Salem








Damai...
Milikmu yangg tulus hati
Ke sana lagi, mata air menetap

Jernih...
Sebening kaca...
Mengalir apa adanya
Menyaring ampas sandiwara
Disimpan dalam endapan lumpur musiman

Merunduk,
Bersembunyi...
Memberi jalan pada terik matahari

Entah sejauh apa aku tlah berlari
Indah batin-mu...
Elok damai-mu...
Ke dasar hatimu lagi, jiwaku kan kembali.







 








___________________________
 


written by Almondia Salem
16th September 2013









Penulis Almondia Salem, tinggal di Madiun, Jawa Timur, adalah penyuka puisi dan suka menulis puisi di halaman pribadinya (Facebook)

Jumat, 03 Juli 2015

(Puisi) - Pendiam namun Cerewet







Koleksi Pribadi Foto Dewi Kamaratih





ada yang manis keluar dari pohon
ada yang tersenyum membaca buku
ada yang diam merenung
ada yang cerewet seperti cabe rawit

oh itu dia si pemilik andeng-andeng
di atas bibir
aduh hiasan bibir
sebuah titik noktah
dari Pencipta

jika marah dan tersenyum tiada beda
orang sering salah kira
dia sedang membaca puisi
sepenuh hayat

ya, lembut dan cerewet adalah anugerah
dia memang seperti itu
Layla, ia sungguh cantik
setaip kali ia berkata-kata
aku akan menatap wajahnya
sebab aku lebih mengerti wajahnya
ketimbang ucapannya yang cerewet








Jaga Blengko, 03 Juli 2015
Jak Phenomenon















Kamis, 25 Juni 2015

(Kisah Perang) - Kisah TNI AU mau bom pangkalan jet tempur Inggris di Singapura




Kisah TNI AU mau bom pangkalan jet tempur Inggris di Singapura
 

B-26 Invader. ©repro buku Baret Jingga




Merdeka.com - Tahun 1965, Inggris membangun pangkalan utama di Singapura. Pangkalan Udara Militer Tengah Air Force Base menjadi markas jet tempur Inggris.

Saat itu hubungan Indonesia dan Malaysia sedang memburuk. Malaysia meminta bantuan Inggris, Australia dan Selandia Baru. Bantuan langsung datang. Pesawat jet, kapal perang, hingga pasukan elite mereka disiagakan di perbatasan dengan Indonesia.

TNI AU melihat Pangkalan Udara Inggris di Singapura sebagai ancaman. Komando Mandala Siaga (Kolaga) merancang rencana untuk mengebom pangkalan tersebut.

Panglima Komando Operasi Komodor Leo Watimena memimpin briefing di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma.

"Pangkalan Udara Militer Tengah Air Force Base dijaga dengan radar dan misil anti serangan udara. Bukan tugas mudah untuk menyerang dan menghancurkannya," kata Komodor Leo Watimena.

Dia melihat para komandan skadron di depannya. "Siapa di antara kalian yang siap berjibaku menghancurkan tengah ABF?" tanya Leo.

"Saya siap Panglima!" teriak seorang perwira senior.

Tantangan itu dijawab dengan gagah oleh Komandan Skadron I Pembom Taktis Kolonel (Oedara) Pedet Soedarman. Dia merasa perlu mengobarkan semangat anak buahnya dalam konfrontasi melawan Malaysia dan sekutunya.

Pedet Soedarman pilot berpengalaman. Dia kenyang pengalaman menerbangkan pesawat jenis B-25 Mitchel dan B-26 Invander dalam menumpas berbagai penumpasan pemberontakan yang terjadi di tanah air.

Maka saat merencanakan mengebom Tengah ABF, 2 pesawat itu juga yang akan digunakannya. Demikian dikisahkan Pedet Soedarman dalam buku Pengalaman Heroik Penerbang Bomber tahun 2003.

"Direncanakan 50 persen bom yang dijatuhkan dari pesawat itu akan mampu menghancurkan landasan sekaligus mencegah musuh melakukannya," kata Pedet.

Rencana dan persiapan terus dilakukan. Moril para anggota TNI AU tinggi untuk melaksanakan tugas itu.

Namun angin berubah cepat. Peristiwa G30S mengubah peta politik Indonesia. Presiden Soekarno jatuh dan penggantinya, Presiden Soeharto memutuskan untuk mengakhiri konflik dengan Malaysia.

Dalam waktu singkat pula TNI AU menderita akibat pemerintah Orde Baru memutus semua kerja sama dengan Rusia dan China. Pesawat-pesawat paling canggih milik TNI AU tak bisa terbang gara-gara kekurangan suku cadang. Berakhirlah era Macan Terbang Asia.

Misi mengebom pangkalan jet tempur itu tak pernah digelar.





_____________________

Sumber : http://www.merdeka.com/peristiwa/kisah-tni-au-mau-bom-pangkalan-jet-tempur-inggris-di-singapura.html

Senin, 22 Juni 2015

(Puisi) - Jikalau Nanti Kita Bertemu









aku akan mengajakmu ke tempat yang tinggi sekali
biar kita tahu betapa kecilnya kita
supaya kita selalu mengingatNya
pasti hari itu yang paling indah
langit tersenyum
tanah tempat kita berpijak
akan tumbuh bunga mawar

burung-burungpun bernyayi
seperti lovebird yang berkicau berdua
ya, berdua saja
berpuisi dari relung hati yang paling dalam
C.I.N.T.A.





__________________


Jaga Blengko, 22 Juni 2015
Jack Phenomenon