Ting Sam Sien, pedagang buku di Semarang, barangkali tak pernah menyangka bahwa syair gubahannya berisi harta karun pendahulu kesusastraan modern di Indonesia.
Banjak lah tabe hormat besrenta,
Pada pembatja sekalian rata,
Dari hal segala boekoe tjerita,
Njang ada terdjoewal di toko kita.
Pada pembatja sekalian rata,
Dari hal segala boekoe tjerita,
Njang ada terdjoewal di toko kita.
Ting Sam Sien,
seorang pedagang buku di Semarang, mewartakan dagangannya dengan syair
berbahasa Melayu pasar pada 1886. Ketika itu dia menjual sebanyak 41
roman terjemahan dari Tiongkok di tokonya, yang tampaknya sangat disuka
oleh warga Tionghoa di Hindia Belanda. Judul syair pariwaranya, “Sair dari adanja Boekoe Tjerita Tjina njang soeda disalin bahasa Melajoe”.
Semuanya
dikemas dan dipariwarakan lewat syair 36 bait. Syair merupakan puisi
lama yang tiap-tiap baitnya terdiri atas empat larik atau baris dengan
akhiran bunyi yang sama. Jadi bisa dibayangkan, Ting Sam memariwarakan
dagangannya dalam 144 baris!
Syair gubahan Ting Sam berisikan
judul buku, harga yang tak bisa ditawar lagi, isi cerita terjemahan,
siapa penulisnya, tokoh dalam roman, hingga penilaian tentang kualitas
terjemahan. Cukup menjadi senjata pemasaran yang ampuh pada akhir abad
ke-19. Bentuk syair yang digunakan dalam pariwara terus berlanjut hingga
awal abad ke-20.
Die bawah ini saja menbrita,
Pada sekalian pembatja kita,
Dari hal segala boekoe tjerita,
Harganja djoega poen ada besrenta.
Pada sekalian pembatja kita,
Dari hal segala boekoe tjerita,
Harganja djoega poen ada besrenta.
Claudine Lombard-Salmon mengungkapkan hal tersebut pertama kali dalam jurnal Archipel
Volume 8 yang terbit pada 1974, yang bersumber dari buku usang yang
tersimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. “Hampir tidak ada
karya Melayu-Tionghoa yang diterbitkan sebelum 1883—karya yang disebut
dalam syair iklan ini.”
Tulisan tersebut bersama tulisan Salmon lainnya, diterbitkan juga dalam Sastra Indonesia Awal : Kontribusi Orang Tionghoa
pada 2010. Salmon, seorang guru besar dan peneliti asal Prancis yang
sekaligus anggota Yayasan Archipel, mulai meneliti sejarah dan budaya
Tionghoa sejak akhir 1960-an.
Salmon mengungkapkan betapa syair
gubahan Ting Sam sungguh penting bagi cikal bakal sastra modern
Indonesia. “Teks itu memiliki daya tarik ganda,” ungkapnya. Berkat teks
itu kita dapat menelusuri asal-mula kesusastraan Melayu-Tionghoa yang
berbentuk cetakan.” Banyaknya terjemahan roman Tiongkok yang diterbitkan
di Hindia Belanda, Salmon melihat fenomena itu sebagai “pendahulu
kesusastraan modern”.
Kesusastraan modern di Indonesia berawal
dari penerjemahan buku-buku roman Tiongkok, demikian hemat Salmon.
Fenomena ini telah memberikan energi baru yang menggairahkan penulisan
prosa berupa roman Melayu klasik. Kemudian para penulis Tionghoa
mengembangkan roman lokal dalam bahasa Melayu. “Hal itu terjadi sekitar
tiga puluh tahun sebelum penerbitan roman berbahasa Indonesia karangan
Marah Rusli: Sitti Nurbaya (1922),” ungkap Salmon.
Agni Malagina,
seorang pengamat studi Cina dari Universitas Indonesia, menanggapi
tentang peran orang-orang Tionghoa dalam lintasan perkembangan sastra
Indonesia. Menurutnya, para penulis Tionghoa sama pentingnya dengan
penulis lain yang berkontribusi pada perkembangan sastra Indonesia.
Orang Tionghoa menggunakan bahasa Melayu sebagai lingua franca
untuk karya mereka, namun dengan susunan gramatikal yang masih
terpengaruh tata bahasa Tiongkok. “Mereka memang tampak seperti pionir,
soalnya punya akses ke penerbit dan kapital,” ujarnya. “Dan, mereka
pandai karena banyak yang mengenyam pendidikan ala Eropa.”
Kemudian
Agni melanjutkan, “Mereka juga masih fasih berbahasa Cina karena masih
terhitung totok, sehingga bisa menerjemahkan karya-karya Cina ke dalam
bahasa Indonesia yang pada akhirnya kisah-kisah itu digemari di Hindia
Belanda.”
Menurut syair gubahan Ting Sam, roman yang diterjemahkan dari Tiongkok antara lain: Samkok (Roman Tiga Kerajaan), Hong Kiauw Lie Tan (Ratu Wu Zetian menggulingkan Dinasti Tang), Lek Bo Tan (Bunga Punia Hijau), Tjhit Liap Sing (ketujuh bintang), See Ijoe (perjalanaan ke barat), Tan sha-Go nio (cerita jenaka), Tjerita Khong Hoe Tjoe (buku cerita untuk anak-anak), hingga Sam Pik — Ing Taij (roman percintaan Tiongkok ala Romeo dan Juliet) yang kerap dipentaskan di gedung pertunjukan mutakhir.
Boekoe Sam Pik — Ing Taij soedah lah njata,
Tjerita lakie prampoewan menaroeh tjinta,
Tetapi apa maoe die kata,
Menoeroet boekoe Tjina poenja tjerita.