Panggilan Hidup
Jika gong berdegung sepuluh
kali di pagi hari dan aku berjalan menuju sekolah, bertemulah aku setiap hari
dengan penjual kelontong yang berteriak, “Manik! Manik batu!”
Tak ada yang memburu dia, tak ada jalan yang harus ditempuh, tak ada tempat ke mana ia harus pergi.
Aku ingin jadi penjual
kelontong yang menghabiskan hari-harinya di jalanan sambil berteriak, “Manik,
Manik batu!”
Jika sore hari pukul empat aku
pulang dari sekolah, kulihat dari gerbang masuk tukang kebun sedang menyabit
rumput di halaman.
Ia bekerja sesuka hatinya,
mengotori bajunya dengan debu, berjemur di bawah panas matahari, kehujanan
tanpa seorang pun melarangnya.
Aku ingin jadi tukang kebun
yang bekerja sesuka hati, dan tak seorang pun melarangku.
Jika malam tiba dan ibu
menyuruhku tidur, kulihat lewat jendela, peronda malam bolak-balik di gang.
Jalanan gelap, dan sepi, dan
lampu pasar tegak bagai raksasa bermata merah di tengah kepalanya.
Peronda itu berjalan membawa
lampunya bersama banyang-banyangnya, dan ia tak pernah tidur selama hidupnya.
Aku ingin jadi peronda dan
berjalan di jalanan sepanjang malam sambil menghalau bayang-bayang dengan
lampuku.
Tamu
Lama tiada tamu berkunjung ke
rumah, pintu-pintuku tertutup, jendela terpalang: kupikir malam-malamku akan
sepi.
Ketika mataku kubuka kusaksikan
gelap telah lenyap.
Aku bangkit dan lari kemudian
kulihat batu gapura rumah-ku hancur, dan lewat pintu terbuka angin dan cahayamu
mengibarkan bendera-benderanya.
Dulu ketika aku jadi tawanan di
rumahku sendiri, dan pintu-pintu tertutup, hatiku senantiasa ingin melarikan
diri dan pergi mengembara.
Kini aku masih saja duduk di
muka gapuraku yang hancur, menunggu kehadiramu.
Kini kau telah mengikatku
dengan kebebasanku.
Sajak-Sajak Masa Tua
Ketika aku masih muda
Siang hari pukul dua
Kuhadapkan kepalaku ke pintu
Kamarku di atap
Tikarku lebar terhampar
Dan kuhabiskan jam-jam riang.
Jauh di udara burung elang
Memanggil-manggil
Di angin basah
Daun-daun shirish berkilauan
Dengan paruh pecah karena haus,
burung gagak
Terbelalak matanya memandang
tembok batu.
Burung-burung gereja
menggelepar
Di kasau-kasau kamarku.
Menyebrangi gang kudengar suara
penjaja makanan:
Di sebuah atap nun jauh
seseorang bermain layang-layang.
Jauh di balik pelupuk mata,
Yang Tak Dikenal
Meniup seruling membujuk hatiku
Meninggalkan rumah.
Cinta dan duka bercampur entah
kenapa,
Menenun mimpi tanpa awal
Tanpa akhir.
Seakan aku memandang –
Teman seseorang yang tak punya
teman.
Aku melangkah ke umur tujuh
puluh,
Menuju akhir pantai.
Kusingkap jendela kalbuku
Seakan di masa kanak
Merenung. Waktu-waktuku lewat.
Dalam panas membakar ini
Dahan-dahan Shirish bergetar
Dekat perigi di tepi pohon
tamarin.
Anjing tetangga tidur;
Bebas dari gerobak, sapi jantan
Membaringkan dirinya di padang.
Bunga gandharaya berlayuan di
atas kerikil,
Mataku menyentuh semua,
Pikiranku berada di tiap benda.
Seakan bocah bebas
bertelanjang, pikiranku
Menyertai kenaungan hutan
Dan langit,
Kulit kerang-kerangan tak
dikenal
Bergema dalam semua yang
kukenal.
***
Dunia kini buas dengan mata gelap kebencian,
Pertikaian kian ganas dan
ketakutan tak kunjung henti,
Miring jalannya, kacau oleh
timbunan kelobaan.
Segenap makhluk meneriakkan
kelahiran baru darimu.
O Kamu kehidupan yang tak
terbatas,
Selamatkanlah mereka,
bangkitkanlah suara kekal harapanmu.
Biarkan teratai cinta dengan
kekayaan madunya tak habis-habis
Mebukakan kelopak-kelopaknya di
dahan cahayamu.
O Terang, O Kebebasan,
Dalam kasih saying dan
kebaikanmu yang tak terhingga
Spulah semua najis kegelapan
dari hati bumi ini.
Kaulah pemberi karunia abadi
Beri kami kekuatan menyangkal
Dan tuntutlah dari kami
kebanggaan kami.
Dalam pesona fajar baru
kearifan
Biar si buta memperoleh
penglihatan terang
Dan biar hidup mendatangi
jiwa-jiwa mati.
O Terang, O Kebebasan,
Dalam kasih saying dan
kebaikanmu yang tak terhingga
Sapulah semua najis kegelapan
dari hati bumi ini.
Hati manusia cemas oleh bara
kegelisahan,
Oleh racun kepentingan diri,
Oleh dahaga tak kenal akhir.
Negeri-negeri jauh dan luas
menunjukkan kening mereka
Yang memercikkan darah merah
kebencian.
Rabalah mereka dengan tangan
kananmu,
Jadikan mereka satu dalam
semangat,
Bawakan keselamatan dalam hidup
mereka,
Bawakan nada keindahan.
O Terang, O Kebebasan
Dalam kasih saying dan
kebaikanmu yang tak terhingga
Sapulah semua najis kegelapan
dari hati bumi ini.
***
Dari jauh aku memikirkanmu
Kaum zalim, tak tergugat.
Dunia gemetar dalam ketakutan
Mengerikan.
Kobaran api kelobaanmu
Melalap hati yang patah
Di tanganmu trisula
Naik menuju awan bertopan
Menurunkan guntur.
Hatiku gemetaran
Aku berdiri di depanmu.
Dalam pandang matamu yang
mencakar
Terhambur ancaman bagaikan
gelombang
Angin kencang turun.
Seraya menekankan tanganku ke
hati
Aku bertanya,
“masih ada lagikah
Halilintarmu yang terakhir?”
Angin kencang bertiup.
Hanya inikah?
Rasa takutku lenyap.
Jika halilintarmu kau enyahkan,
Kau jadi lebih agung dariku.
Tiupan anginmu membuatmu
tegelincir
Jatuh ke duniaku.
Kau jadi kecil
Dan rasa takutku lenyap.
Betapapun besar
Kau tak lebih agung dari
kemarin.
Bahwa aku lebih agung
Itulah kata-kataku yang
terakhir
Jika aku pergi.
***
Pintu senantiasa terbuka
Hanya mripat si buta yang
tertutup
Ia yang tak berani masuk
Tak kenal jalan ruh.
Pintu, serumu bergema dalam
terang dan gelap
Musik selamat datangmu begitu
khidmat
Palang pintumu dalam matahari
fajar
Dan dalam kegelapan
bintang-bintang.
Pintu, dari benih sampai pucuk
sulur.
Kau berjalan dari kembang ke
buah
Walau waktu-waktu tak terurai
Dari mati menuju hidup.
O Pintu, kehidupan dunia
Perjalanan demi perjalanan dari
mati ke mati
Kau lambaikan isyarat pada
peziarah kebebasan
Suara “Tak Takut” terdengar
dari malam keputusasaan.
***
Bertebaran di ruang ini
Benda-benda bisu tuli berbaur
Ada yang mencucuk mata, ada
yang sukar dipandang:
Jambang bunga di sudut,
Poci the menyembunyikan
wajahnya;
Isi almari, aneka ragam
Berkerumun menuju kekosongan.
Sepasang bingkai jendela pecah
tergeletak di sisi tirai
Sekonyong kulihat tirai memerah
sendiri
Kulihat tapi tak kusaksikan.
Cahaya pagi mengusut liku-liku
desain permadani,
Di situ – taplak meja hijau;
lama telah kukhayalkan
Agar menyala warnanya di
mataku.
Kini kehijauan terkubur, seakan
asap rokok
Dan ia tetap berada di situ
sekaligus lenyap.
Pengambilan barang ada di sini,
penaruh penuh kertas
Aku lupa membuangnya jauh-jauh.
Almanac condong ke arah meja,
Mengingatkan aku bahwa kini
tanggal delapan,
Botol minyak rambut merebut
cahaya;
Jam berdetak: sulit kulihat.
Dekat dinding
Sebuah rak, penuh buku –
Banyak yang tetap tak dikenal.
Gambar-gambar yang kugantung
tampak bagai hantu, terlupakan,
garis-garis babut yang dulu
mengucap jelas
kini hamper membisu.
Hari-hari lenyap, kemarin dan
kini
Terbaring tanpa pertalian.
Di ruang sempit ini
Ada benda yang karib, begitu
banyak yang asing,
Dan meja lintas sejenak
Lewat mata yang biasa terpejam.
Betapa banyak yang hilang dari
apa yang kupandang.
Tapi tanpa acuh kusebrangi dan
kusebrangi lagi
Jembatan antara yang dikenal
dan tak dikenal.
Seseorang menaruh sebuah foto
bocah
Di bawah bingkai kaca; cetakan
memudar
Ramang mendekati bayangan
Dalam pikiran aku adalah
Rabindranath,
Seperti ruang ini
Dalam bahasa kabur, mengharukan
Ada benda yang tampak terang,
ada
Yang jauh tersembunyi di sudut.
Banyak yang hampir lupa
kupindahkan
Seperti makna yang hilang ini,
Hari-hari silang menyusut
Menghapus haknya mengada.
Bayang-bayang lenyap di tengah
yang baru
Dan abjad yang menggeram makna
Tak seorang telah membacanya.
________________
Rabindranath
Tagore dilahirkan pada tahun 1861 di Calcuta, India. Berasal dari
keluarga yang berkecukupan dan mencintai seni, membuat Tagore kecil akrab
dengan sajak-sajak penyair India dan Persia. Pengalaman apresiasinya itu
bukannya tidak membawa pengaruh pada karya-karyanya kemudian. Konon, Tagore
banyak terpengaruh Hafiz, penyair sufi (Persia) abad ke-14.
Tagore pernah sekolah di
Inggris, pada tahun 1877, mengambil jurusan hukum, tetapi tidak selesai. Ia
kembali ke India untuk mengurus tanah orang-tuanya. Dalam perjalanan hidupnya
sewaktu muda, Tagore pernah mengalami kesulitan keuangan. Tetapi karena
kecintaannya terhadap hidup dan kehidupan, dalam keadaan seperti itu, ia malah
mendirikan sekolah khusus laki-laki, Shanti-Niketan. Maka ia harus banyak membagi
waktunya, antara mengajar, menulis, dan menerjemahkan.
Kontribusi nyata Rabindranath
Tagore dalam dunia kesusastraan meliputi 50 drama, 100 kumpulan puisi, 40
kumpulan cerpen dan roman, serta sejumlah buku esai dan filsafat. Gitanyali
adalah salah satu kumpulan puisinya yang dianggap sebagai karya puncak
kepenyairannya. Tahun 1913, Tagore menerima hadiah Nobel untuk kesusastraan
(Nobel Award of Literature). Dan tahun 1915 menerima gelar kebangsawanan sir
dari kerajaan Inggris. Tagore meninggal tahun 1941. Puisi-puisi terjemahan di
atas dikutip dari buku Antologi Puisi Nobel, yang diterbitkan oleh Yayasan
Bentang Budaya, Jogjakarta.
________________
Sumber : http://sarbikita.blogspot.com/2013/07/puisi-puisi-rabindranath-tagore.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar