“Kebudayaan yang benar dilahirkan di alam, sederhana, rendah hati, dan murni”
― Masanobu Fukuoka, The One-Straw Revolution
Salah satu upaya penyelamatan melalui proses penyadaran bisa dilancarkan melalui gerakan budaya (cultural) terutama dengan memanfaatkan kekuatan sastra, baik dalam bentuk prosa maupun puisi. Kelebihan dan keunggulan sastra, ia memiliki potensi yang ampuh dalam menyadarkan hati nurani manusia sejagat, tanpa harus bernada menggurui atau propaganda yang terlalu bombastis.
Naning Pranoto : Sastra Hijau dan Eksistensi Bumi
Apa
sebenarnya yang dimaksud dengan sastra hijau ini, dan mengapa disebut
sastra hijau, apakah dalam sastra itu ada berbagai macam warna semisal
sastra putih, sastra hitam, sastra pink, sastra biru ? Kenapa tidak
disebut sebagai sastra pelangi saja, biar lebih memiliki kesan
warna-warni yang komplit. Bukankah sastra mengandung berbagai aspek
kehidupan yang warna-warni. Mungkin terlintas dalam bayangan Anda
berpikir demikian, hal ini tidak sepenuhnya salah, tentu sebuah alasan
memiliki dasar pengamatan yang bervariasi.
Menurut pendapat Naning Pranoto bahwa yang dimaksud dengan sastra hijau adalah : "sastra yang menawarkan inspirasi dan ajakan untuk menyelamatkan bumi". Tidaklah sukar untuk mendifinisikan sastra hijau ini, dan mudah sekali menebak tulisan ini jika Anda membaca judulnya.
Lama
berselang alam sudah merupakan bagian dari kesusasteraan dan diksi
mengenai laut, gunung, lembah, hutan, bunga, dan yang berhubungan dengan
alam sudah diperkenalkan dalam tulisan-tulisan indah atau puisi-puisi
raja Daud. (Lihat Artikel Penyair Adalah Plagiat).
Sastra hijau ini diperkenalkan kembali pada tahun 1996 oleh Cheryll Glotfelty dan Harold Fromm dalam tulisan esainya berjudul "The Ecocriticism Reader: Landmarks in Literary Ecology".
Dalam tulisannya tersebut mereka memperkenalkan sebuah konsep mengenai
ekologi ke dalam tulisan sastra dan menjadikan bumi (alam) sebagai pusat
studinya. Yang dimaksud dengan ecocriticism adalah sebuah studi tentang
hubungan antara sastra dan lingkungan hidup (Glotfelty).
Sebagai sedikit gambaran awal dan perkembangan sastra hijau ini, Firman Nugraha menulis dalam blognya sebagai berikut:
Sebagai sebuah konsep, ekokritisisme muncul ke permukaan pada tahun 1970-an dalam sebuah konverensi WLA (The Western Literature Asscociation). Melalui eseinya yang berjudul What is ecocriticism?, Michael P. Branch menelusuri istilah ecocriticism yang ternyata pertama kali digunakan olah William Rueckert (1978) dalam eseinya Literature and Ecology: An Experiment in Ecocriticism. Menurut Branch, istilah ekokritisisme dan ekologi ini menjadi sangat dominan menjelang WLA, yang kembali dilaksanakan pada tahun 1989. Dan ketika itu, Glotfelty mendesakan istilah ekokritisisme untuk digunakan sebagai kritik yang sebelumnya telah dikenal sebagai the study of nature writing.
Sumber : http://cabiklunik.blogspot.com/2009/03/sastra-hijau.html
Tidak
soal bagaimana sastra hijau itu bermula dan berkembang, pada dasarnya
manusia dalam menulis selalu mengekspresikan pikirannya atau ide-idenya
yang dituangkan dalam karya sastra selalu bersentuhan langsung dengan
alam, manusia serta pemikiran-pemikiran yang berkembang pada zamannya.
Hanya
saja kita patut merespek karya-karya sastra hijau ini sebagai salah
satu alternatif dalam berkarya dan menulis puisi untuk lebih
memperdulikan lagi bagaimana alam selalu menopang kehidupan manusia
Sastra Hijau Dalam Catatan Referensi
Begitu
maraknya dan masivnya kerusakan hutan di Indonesia akibat eksplorasi
tambang, penebangan kayu, pengeboran minyak serta pembukaan ladang sawit
besar-besaran serta pembakaran hutan untuk kepentingan kelapa sawit
yang sangat merusak, serta pembangunan pariwisata yang tidak
mengindahkan keseimbangan alam setempat semuanya itu membuat alam
menjadi semakin terpuruk dan lama kelamaan akan habis dan sirna.
Baru-baru
ini kita baca di berita Greenpeace bahwa salah satu perusahaan besar
yang bergerak di bidang eksplorasi minyak bumi di kutub utara secara
besar-besaran demi bisnis semata tanpa memperhatikan keseimbangan
ekosistim alam di kutub utara.
Bumi semakin lama semakin
terpuruk, para ahli sains mempercayai bahwa perubahan iklim yang
drastis, seperti musim hujan di suatu tempat yang berkepanjangan, dan di
tempat lain badai salju yang begitu keras menghantam kota-kota di
dunia, ataupun bencana kekeringan yang begitu panjang di belahan dunia
lain, serta timbulnya beberapa penyakit yang dahulunya tidak pernah ada,
semuanya itu diperkirakan karena terjadinya perubahan iklim yang
disebabkan oleh ulah manusia yang merusak alam dengan cara yang paling
mengenaskan.
Oleh sebab itu hal ini juga disorot oleh
masyarakat sastra melalui puisi, prosa, cerpen atau karya-karya seni
lainnya, dan mereka bereaksi keras atas terjadinya 'bencana alam' ini,
gerakkan nyata ini atau gerakkan penyadaran (conscientization) yang
dilakukan oleh masyarakat sastra dunia baik ditingkat lokal, nasional,
regional, dan international.
Dan mereka diberi tahu untuk tidak merusak tumbuh-tumbuhan di bumi
atau apa pun yang hijau atau pohon apa pun,
melainkan hanya orang-orang yang tidak memiliki meterai Allah di dahi mereka.
”waktu yang ditetapkan” sudah dekat manakala Ia akan ”membinasakan orang-orang yang sedang membinasakan bumi”
Sumber : New World Translation of The Holly Scriptures
Di
Indonesia gerakkan sastra hijau salah satunya dipelopori oleh
PERHUTANI, yaitu dengan menerbitkan buku dengan judul : Seni Menulis
Sastra Hijau, buku tersebut berisi tentang cara menulis puisi berikut
contoh-contohnya. Selain itu, juga arahan cara menulis fiksi hijau:
novel.
Dalam catatan Naning Pranoto tersebut disebutkan
beberapa negara yang sudah menulis dan mengembangkan tentang sastra
hijau ini, misal di Australia telah dimulai sejak abad 19, disebut
sebagai Era Sastra Kolonial, puisi-puisinya dikenal dengan istilah blush poetry yang dipelopori oleh Henry Lawson (186 –1922), Banjo Paterson (1864-1941) dan Dorothea Mackellar (1885-1968).
Di
Amerika Serikat ada penulis terkenal Emily Dickinson, puisi-puisinya
sering dikutip oleh penyanyi terkenal Ebiet G. Ade, di Inggris ada Brian
Clarke yang menulis novel berjudul The Stream yang mendapat penghargan
Natural World Book Prize Britain, Novel The Stream benar-benar menantang
kita untuk berupaya mengubah limbah industri yang ganas dan kejam
menjadi limbah yang ramah lingkungan.
Bagaimana dengan di
Indonesia, sebenarnya banyak penyair secara tidak langsung menyajikan
tentang puisi-puisi hijau ini, dan mungkin Anda pernah menulis tanpa
sadar, tidak soal siapa pelopornya di Indonesia maupun dunia, kita
hendaknya sadar bahwa melalui sastra para penyair yang terpanggil bisa
memulainya menulis puisi, prosa atau karya sastra lainnya mengenai
lingkungan atau alam. Laskar Pelangi juga termasuk dalam sebuah karya
sastra hijau yang banyak menceritakan tentang keindahan alam di desa di
mana penulisnya Andrea Hirata pernah tinggal, menurut saya adalah sebuah
gerakkan sastra hijau yang dimulai dari pribadi-pribadi penulisnya
sendiri.
Berikut ini beberapa contoh puisi tentang atau yang mengandung sastra hijau, sebagai berikut :
Dahulu, hutanku lebat
Mata air di dalamnya tak pernah mengesat
Pepohonnya rindang berdaun lebat
Udaranya sejuk dan lingkungannya mengikat
Sumber daya alam yang tidak suli didapat
Semua machluk akrab bersahabat
Kini, hutan telah terbabat
Oleh mereka yang namanya konglomerat
Sumber daya alam habis disikat
Hasilnya dimanfaatkan untuk maksiat
Akibat kurangnya pengawasan aparat
Masyarakat menjadi seeanaknya berbuat
Pembabatan hutan semakin meningkat
Panasnya mentari sungguh menyengat
Pertanda Tuhan menurunkan laknat
Alam ini enggan bersahabat
Krisis melanda seluruh umat
Ulah manusia yang moralnya bejat
Kiranya ini menjadi nasihat
Kepada sekalian para sahabat
Kalau tak ingin mendapat laknat
Pelihara lingkungan secara ketat
Agar alam kembali bersahabat
Semoga Tuhan menurunkan rahmat
Sumber : www.anneahira.com
MELIHAT POHON HAYAT Naning Pranoto
Pohon hayat Tumbuh di arah kiblat Tegak subur berdaun makrifat Hidup tegar berbatang syahadat Lestari abadi bertumpu hakikat
Pohon hayat tegak di pusat dunia Anugerah dari yang Satu, Bagi yang jamak Tempat berlindung Kaum yang selamat
Pohon Hayat Berbuah dua Bagai Adam bersama Hawa Nenek moyang umat manusia Meniti hidup di alam fana
Pohon Hayat Hijaumu abadi Daun-daunmu tak pernah layu Walau musim silih berganti Dahan dan rantingmu tahan waktu
Pohon Hayat, Cabang-cabangmu mendongak ke atas Menuding ke arah langit tinggi Bagai menunjuk arasy Ilahi Memberi petunjuk umat insani Untuk berdoa sambil memuji
Pohon Hidup Sinarmu tak pernah redup Melindungi semua yang ada Bunga sucimu tak pernah kuncup Gambaran nyata alam semesta.
Jakarta, 21 September 2013
Sonny H. Sayangbati
_______________
Referensi :
- New World Translation of The Holly Scriptures (Indonesia Edisi)
- Naning Pranoto, Sastra Hijau dan Eksistensi Bumi (http://www.rayakultura.net/sastra-hijau-dan-eksistensi-bumi/)
- Firman Nugraha, Sastra Hijau (http://cabiklunik.blogspot.com/2009/03/sastra-hijau.html)
- www.anneahira.com
- Serta sumber-sumber lainnya
Teori ekocriticism atau sastra hijau ini merepakan sebuah terobosan untuk menyelamatkan lingkungan melalui karya sastra. (Widodo van Sodhunk, Fakultas Sastra Unej)
BalasHapus