Wahai para hakim-hakim bertoga hitam atau berambut palsu di manapun
kalian sidang, duduk berjajar di meja menyeramkan, di sebelah tangan
kananmu terdapat kitab kematian yang tersusun rapi dengan pasal-pasal
dan ayat-ayat merujuk atas nama keadilan dan atas nama hukum Allah dan
negara berdaulat dan bahkan atas nama kemanusiaan.
Raut
muka dingin, engkau perhatikan tuduhan jaksa penuntut, engkau simak
kesaksian terdakwa, engkau dengar para saksi-saksi, baik saksi
memberatkan maupun saksi meringankan, berjam-jam, berhari-hari bahkan
berminggu-minggu, seringkali dengan kesimpulan cepat engkau memutuskan
suatu perkara.
Saat itu engkau bagaikan dua sosok
malaikat, malaikat pencabut nyawa dan malaikat pembebas, duduk seperti
raja walaupun engkau dibayar rakyat, engkau makan gaji, engkau dibayar
oleh sejumlah uang, seringkali bayaranmu tak sebanding dengan tanggung
jawabmu, segala perkara engkau putuskan, bagimu memutus perkara seperti
makan nasi dan lauk saat lapar perutmu
Wahai para hakim,
perhatikan telingamu, matamu dan seluruh panca indramu, bahkan
pengetahuanmu, sadarkah engkau bahwa seringkali nyawa sia-sia oleh
ucapanmu, sadarkah engkau mengampuni lebih berharga dari vonis mati,
sadarkah engkau bahwa kamupun manusia yang berdosa dan sadarkah kau
kadang seperti terdakwa.
Di mana kah hakim adil berada ?
Dia sudah mati kah ? Apakah dia sedang berkeliling bumi mencabut nyawa,
oh hakim, bagimu lebih mudah menghukum dari membuat pelajaran, bagimu
lebih mudah menggali kubur daripada menanam pohon.
Pelajarilah
hukum dunia ini, sesungguhnya belas kasihan lebih utama dari kau vonis
mati seseorang, seringkali engkau buta mengapa ia melakukan sebuah dosa,
sama denganmu seringkali juga khilaf dan dosa, kecuali engkau tanpa
dosa.
Wahai para hakim, lebih baik engkau mendidik
keluargamu agar hidup daripada engkau membiarkan keluargamu mati oleh
keputusan bumerangmu, aku menolak vonis mati atas dasar kemanusiaan.
Jakarta, 28 September 2013
Sonny H. Sayangbati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar