Kamis, 10 Oktober 2013

(Artikel Sastra) - Pohon Dalam Antologi Puisi Kampoeng Jerami (Catatan Jurnal Sastra Hudan)

Artikel Sastra






Oleh : Jurnal Sastra Hudan



jalan berputar lewat benda-benda, membuat daya menidurkan pada puisi sonny h sayangbati dan pohon, sedemikian simbolik untuk sebuah daerah lambang yang sebenarnya begitu kita renungi, menjadi daerah tanda tanya akan massage utama puisi sonny. bahwa mengapung nasib dari hidup yang kini dibawa ke dunia perlambangan, membuat daya dari dalam diri kita tertidur. kita tidak mula-mula mempertanyakan apakah yang sebenarnya hendak diceritakan oleh aku dalam puisi sonny, oleh kita dipukau lewat kata yang dipakai lewat cara terbalik: misalnya suatu konvensi bagi "menebang" dari daerah acuan bila kita menghadapi benda keras adalah dahan - bukan menebang tapi memotong. tapi jelas bukan mencabut seperti yang dipakaikan oleh sonny, membuat fakta pohon yang kita kenali mendadak mendapat sentuhan defamiliarisasi. seolah-olah bukan pohon lagi, tapi ia masih pohon. dan memang pohon, tapi merebaklah dari pohon ini, oleh kata mencabut seolah nyawa manusia yang dicabut dan lalu pohon bergerak menjadi sebatang - sebatang tubuh oleh beloknya kata "memotong" jadi "mencabut". 

hal ini menjadi daerah yang lebih tergelincir, ketimbang Kau yang "dikatakan" oleh moh. tak sepenuhnya dikatakan, di moh itu; ada juga permainan lambang, lewat "waktu" yakni hari-sehari. lewat hari-waktu kita lalu dibawa ke daerah abstrak kedua, tempat di mana abstrak pertama adalah Dia-Tuhan yang tak berwajah itu kini mukim makin abstrak lagi, jadi lima lembar waktu - lima waktu sholat itu. 

kita memanggiliNya lewat lima lembar waktu. seolah-olah terbayang diri kekasih yang kesunyian dan memanggili nama kekasihnya yang telah pergi dan kini, keberadaannya entah di mana. kita terus memanggili namanya, terus tak sudah sudahnya menyapanya mesra dalam hati - mungkin dia telah hidup dengan orang lain, seperti istri grand dalam cerita sampar, grand yang tua dan malang, digambarkan di tengah derita sampar, di hari natal, terpesona dengan pohon pohon kecil natal di dalam etalase, lalu ia mabuk ringan dan segala masa lalunya terkenang dan teringatlah dia kepada jeanne yang telah pergi - istri atau kekasihnya, itu.

jeanne kau di mana? hari ini natal. lalu air mata. keluhan grand yang tua dan kini hidup lewat upaya menjaga epidemi tapi dalam dirinya sendiri epidemi yang lebih akut itu berlangsung. kau di mana jeanne hari ini natal. aku tidak bahagia kau pergi. tapi aku juga tidak bahagia kau kembali lagi. jadi paradoks diri juga grand itu - dan karena itu ia disebut oleh camus, dalam tafsiran saya: grand tua yang malang. grand yang membuat novel lima puluh halaman, tapi setiap halaman hanya satu paragraf itu saja isinya. seorang perempuan menaiki kuda hitam yang besar dan mereka melangkah di dalam taman. hanya ini isi novel grand, suatu percobaan untuk keluar dari epidemi dalam hati - di latar sosialnya, penyakit pes yang melanda kota oran, di dalam hatinya, itu dia: grand tua yang malang yang menderita sampar: kehilangan wajah kekasih.

saya harus mengatakan bahwa rasa kehilangan ini, suatu pra-syarat agar diri dibuat tidur oleh bahasa, yang tak dimiliki oleh kualitas kata yang dipakai oleh/dalam puisi moh. kata kata di puisi moh itu bergerak datar, kecuali waktu yang dibuat tergelincir lewat selembar yang jumlahnya lima. sisanya, kata tak kuasa mendukung sebuah emosi untuk sebuah panggilan sayup sayup kepada Tuhan dalam diri. olehnya kita tak tertidur di puisi moh itu, walau bahannya (maafkan pemakaian kata yang bernada material ini), adalah suatu gaib yang sebenarnya ke sanalah setiap suara kesunyian kepada wajah kekasih itu akhirnya bergerak naik. memang, wajah Kekasih itu, oleh sedemikian abstranya, akhirnya mengambil ruang ruang konkret yakni tubuh. ia jadi wajah kuasi, kuasi langit adalah tubuh manusia: kekasih kita sang istri. kekasih kita dalam hati - wajah dia yang tak di samping kita fisiknya. segalanya lalu mengkonkret tapi sekaligus mengabur. ia bisa jadi, ia kuasa mendiami wajah fisik apa saja. 

alam itu misalnya, yang lewat sonny maujud jadi pohon, dan lamat lamatlah permainan wajah tak kelihatan itu, di sini, dan tertidurlah kita di bahasa sonny ini. oleh ia lembut bukan keras seperti di puisi moh. saya turunkan kata yang rasanya, agak gagal dalam satuan pembentukan tanda yang kuasa menitikkan air mata. manusia menangis sunyi di malam hari, memanggil manggili namaNya, kadang namanya - istri atau suami yang telah lama pergi dan kita, di malam sunyi, saat diri begitu rupa terserang melankolia, hendakkan ia benar benar hadir. tapi ia tak hadir. terus pagi dan sampai pagi, yang ada hanya diri. melankolia hati. itulah tafsiran bahwahnya dan itu sah - oleh Ia-Dia memang tak terkatakan wajahnya. kecuali lewat jalan berputar kita bisa menyapa wajahNya.

lihat tiga baris ini tak kuasa menjadi pembaringan bagi tubuh kita tertidur, oleh ia keras, walau telah digubah jadi permainan lambang. ia jadi lambang yang keras yang berbeda dengan permainan yang dikembangkan lewat jalan berputar oleh sonny h sayangbati. moh:

Tahajjud yang rupawan
Dhuha yang runcing tombak
Tak jua mampu, hapus rindu





________________

Sumber : Catatan Jurnal Sastra Hudan (Facebook)

Buku Antologi Puisi Kampoeng Jerami ini akan segera diterbitkan dalam waktu dekat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar