Oleh : Jurnal Sastra Hudan
jalan berputar lewat benda-benda, membuat daya menidurkan pada
puisi sonny h sayangbati dan pohon, sedemikian simbolik untuk sebuah
daerah lambang yang sebenarnya begitu kita renungi, menjadi daerah tanda
tanya akan massage utama puisi sonny. bahwa mengapung nasib dari hidup
yang kini dibawa ke dunia perlambangan, membuat daya dari dalam diri
kita tertidur. kita tidak mula-mula mempertanyakan apakah yang
sebenarnya hendak diceritakan oleh aku dalam puisi sonny, oleh kita
dipukau lewat kata yang dipakai lewat cara terbalik: misalnya suatu
konvensi bagi "menebang" dari daerah acuan bila kita menghadapi benda
keras adalah dahan - bukan menebang tapi memotong. tapi jelas bukan
mencabut seperti yang dipakaikan oleh sonny, membuat fakta pohon yang
kita kenali mendadak mendapat sentuhan defamiliarisasi. seolah-olah
bukan pohon lagi, tapi ia masih pohon. dan memang pohon, tapi merebaklah
dari pohon ini, oleh kata mencabut seolah nyawa manusia yang dicabut
dan lalu pohon bergerak menjadi sebatang - sebatang tubuh oleh beloknya
kata "memotong" jadi "mencabut".
hal ini menjadi daerah yang
lebih tergelincir, ketimbang Kau yang "dikatakan" oleh moh. tak
sepenuhnya dikatakan, di moh itu; ada juga permainan lambang, lewat
"waktu" yakni hari-sehari. lewat hari-waktu kita lalu dibawa ke daerah
abstrak kedua, tempat di mana abstrak pertama adalah Dia-Tuhan yang tak
berwajah itu kini mukim makin abstrak lagi, jadi lima lembar waktu -
lima waktu sholat itu.
kita memanggiliNya lewat lima lembar
waktu. seolah-olah terbayang diri kekasih yang kesunyian dan memanggili
nama kekasihnya yang telah pergi dan kini, keberadaannya entah di mana.
kita terus memanggili namanya, terus tak sudah sudahnya menyapanya mesra
dalam hati - mungkin dia telah hidup dengan orang lain, seperti istri
grand dalam cerita sampar, grand yang tua dan malang, digambarkan di
tengah derita sampar, di hari natal, terpesona dengan pohon pohon kecil
natal di dalam etalase, lalu ia mabuk ringan dan segala masa lalunya
terkenang dan teringatlah dia kepada jeanne yang telah pergi - istri
atau kekasihnya, itu.
jeanne kau di mana? hari ini natal. lalu
air mata. keluhan grand yang tua dan kini hidup lewat upaya menjaga
epidemi tapi dalam dirinya sendiri epidemi yang lebih akut itu
berlangsung. kau di mana jeanne hari ini natal. aku tidak bahagia kau
pergi. tapi aku juga tidak bahagia kau kembali lagi. jadi paradoks diri
juga grand itu - dan karena itu ia disebut oleh camus, dalam tafsiran
saya: grand tua yang malang. grand yang membuat novel lima puluh
halaman, tapi setiap halaman hanya satu paragraf itu saja isinya.
seorang perempuan menaiki kuda hitam yang besar dan mereka melangkah di
dalam taman. hanya ini isi novel grand, suatu percobaan untuk keluar
dari epidemi dalam hati - di latar sosialnya, penyakit pes yang melanda
kota oran, di dalam hatinya, itu dia: grand tua yang malang yang
menderita sampar: kehilangan wajah kekasih.
saya harus mengatakan
bahwa rasa kehilangan ini, suatu pra-syarat agar diri dibuat tidur oleh
bahasa, yang tak dimiliki oleh kualitas kata yang dipakai oleh/dalam
puisi moh. kata kata di puisi moh itu bergerak datar, kecuali waktu yang
dibuat tergelincir lewat selembar yang jumlahnya lima. sisanya, kata
tak kuasa mendukung sebuah emosi untuk sebuah panggilan sayup sayup
kepada Tuhan dalam diri. olehnya kita tak tertidur di puisi moh itu,
walau bahannya (maafkan pemakaian kata yang bernada material ini),
adalah suatu gaib yang sebenarnya ke sanalah setiap suara kesunyian
kepada wajah kekasih itu akhirnya bergerak naik. memang, wajah Kekasih
itu, oleh sedemikian abstranya, akhirnya mengambil ruang ruang konkret
yakni tubuh. ia jadi wajah kuasi, kuasi langit adalah tubuh manusia:
kekasih kita sang istri. kekasih kita dalam hati - wajah dia yang tak di
samping kita fisiknya. segalanya lalu mengkonkret tapi sekaligus
mengabur. ia bisa jadi, ia kuasa mendiami wajah fisik apa saja.
alam
itu misalnya, yang lewat sonny maujud jadi pohon, dan lamat lamatlah
permainan wajah tak kelihatan itu, di sini, dan tertidurlah kita di
bahasa sonny ini. oleh ia lembut bukan keras seperti di puisi moh. saya
turunkan kata yang rasanya, agak gagal dalam satuan pembentukan tanda
yang kuasa menitikkan air mata. manusia menangis sunyi di malam hari,
memanggil manggili namaNya, kadang namanya - istri atau suami yang telah
lama pergi dan kita, di malam sunyi, saat diri begitu rupa terserang
melankolia, hendakkan ia benar benar hadir. tapi ia tak hadir. terus
pagi dan sampai pagi, yang ada hanya diri. melankolia hati. itulah
tafsiran bahwahnya dan itu sah - oleh Ia-Dia memang tak terkatakan
wajahnya. kecuali lewat jalan berputar kita bisa menyapa wajahNya.
lihat
tiga baris ini tak kuasa menjadi pembaringan bagi tubuh kita tertidur,
oleh ia keras, walau telah digubah jadi permainan lambang. ia jadi
lambang yang keras yang berbeda dengan permainan yang dikembangkan lewat
jalan berputar oleh sonny h sayangbati. moh:
Tahajjud yang rupawan
Dhuha yang runcing tombak
Tak jua mampu, hapus rindu
________________
Sumber : Catatan Jurnal Sastra Hudan (Facebook)
Buku Antologi Puisi Kampoeng Jerami ini akan segera diterbitkan dalam waktu dekat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar