Pemerintah Kota Labeck menghadiahkan sebuah rumah bagi Gunter Grass untuk memajang karya-karyanya. Apa saja isinya?
Rumah berlantai dua itu berdiri di antara gedung-gedung berarsitektur
Renaissance yang terletak di Jalan Glokenengiesser, Labeck, Jerman.
Gunter Grass Hauss, demikian namanya, bukanlah rumah sang pengarang
terkenal itu, tapi tempat pameran karya-karyanya.
Di depan pintu masuk, pada dinding berwarna abu-abu terpampang
kilasan biografi sang pengarang, mulai dari lahir sampai di usianya yang
ke-70. Di depannya lagi terdapat taman mungil dengan dekorasi karya
monumental Grass, berupa patung perunggu setinggi 220 sentimeter, Butt
im Griff (Ikan Flounder dalam Genggaman) dan Zwei Kapfe (Dua Kepala).
Di sini pengunjung dapat mengenal lebih dekat sang penerima Hadiah
Nobel Sastra pada 1999 itu. Grass adalah seniman, tapi juga politikus,
pemusik dan belakangan dikenal jago masak. Selain pengarang buku,
penulis puisi, drama dan teater, ia adalah pematung, pemahat dan ahli
seni grafis.
Ia juga menerima penghargaan lain setingkat Nobel, seperti hadiah
sastra Le meilleur livre a tranger dari Prancis dan hadiah budaya
Prinz-von-Asturien dari Spanyol. Dengan latar belakang itulah, Yayasan
Kebudayaan kota Labeck, Jerman, meresmikan Gunter Grass Haus ini tepat
di hari ulang tahun Grass yang ke-75 pada 16 Oktober 2002 lalu.
Saat Tempo berkunjung ke sana pada awal Juli lalu, terlihat bagian
dalam rumah itu nyaman dan tertata apik. Di sana Grass menggelar film
yang diangkat dari bukunya yang pertama (terbit pada 1959) dan meledak
di seluruh dunia, Die lechtromel (Genderang Kaleng). Film itu terus
diputar sepanjang hari.
Film hitam-putih itu berkisah tentang Oskar Matzerath, seorang bocah
dengan drum kesayangannya, yang menolak menjadi dewasa pada ulang
tahunnya yang ketiga. Dia selalu memukul genderangnya dan akan
memukulnya lebih keras bila dunia di sekitarnya makin kacau. Ketika
Jerman dikuasai Nazi dan pecah perang pada 1930-an dan 1940-an, Oskar
terus menerus memukul genderangnya dengan liar. Hanya setelah invasi Uni
Soviet di akhir perang, ketika satu-satunya anggota keluarganya yang
selamat terbunuh, dia memutuskan untuk jadi dewasa. Film yang
disutradarai Volker Schlündroff ini menyabet penghargaan Palm d’Or pada
festival film Cannes pada 1979 dan piala Oscar untuk film asing terbaik
pada tahun yang sama.
Yang unik, puisi-puisi Gras ternyata tak sekadar berupa rangkaian
kata-kata indah. Seluruh puisi yang dipajang berpigura di rumah itu
ditulis tangan di atas goresan sketsa, litografi, bahkan foto dan
grafis. Seperti sajak berjudul Letze Tanze (Tarian Terakhir), Geteert
und gefeedert (Beraspal dan Berbulu) danLiebe gepraft (Bukti Cinta).
Karyanya menyegarkan mata dan hati, kata seorang pengunjung.
Lulusan sekolah seni di Dasseldorf dan Sekolah Tinggi Seni di Berlin
ini bahkan juga menggunakan materi yang belum populer di masanya dalam
berpameran, seperti plastik dan kapur merah.
Selain rangkaian lukisan cat air hitam putih dan warna, Grass juga
memajang sketsa potret dirinya, seperti mit Handschuh nachdenklich
(Dengan Sarung Tangan Terpekur), selbst mit Matze und Unke (Diriku
dengan Topi dan Katak) dan ich als koch (Saya Sebagai Tukang Masak).
Grass memang piawai menggambar dirinya. Pengarang berkaca mata tebal
yang bergaya konservatif dan berkumis lebat, gemar berpeci baret, makan
ikan dan pintar masak itu gampang dikenali lantaran tangannya tak pernah
lepas dari pipa rokok dan tangannya yang lain masuk ke dalam saku
bajunya. Sketsa yang digoresnya jelas menampilkan guratan-guratan
wajahnya yang merangkak ke usia 83.
Kegemarannya memasak dan makan ikan terekam di sebagian
karya-karyanya, seperti terlihat pada goresan sketsanya yang berjudul
selbst mit Butt und Federn (Diriku dengan Ikan Flouder dan Bulu Burung),
atau litografi Fischkfe (Kepala-kepala Ikan). Juga goresan sketsanya di
atas lempeng tembaga Hai aber Land (Ikan Hiu di Atas Permukaan) dan
Frau mit Fisch (Perempuan dan Ikan). Ia juga menulis buku dengan nuansa
ikan, seperti Der Butt (Ikan Flounder). Dan, dengan keahliannya itu
pula, semua ilustrasi sampul buku-bukunyanya dibikin sendiri oleh Grass.
Di bagian tengah ruangan terdapat beberapa meja kecil dengan tiga
laci pipih berkaca yang berisi contoh tulisan-tulisan tangan Grass
sebelum diserahkan ke penerbit. Jadi, begitulah rupanya cara kerja Grass
jika ia menulis buku. Alur cerita digarap dengan tulisan tangan.
Sebelum ada komputer, Grass menyerahkan draf tulisan itu ke
sekretarisnya untuk diketik, baru kemudian diserahkan ke penerbit.
Konon Grass sendiri lebih suka bekerja dengan mesin tik daripada
komputer. Selama hidupnya ia punya tiga mesin tik. Mesin tiknya yang
pertama bermerek Olivetti warna hijau, yang dipinjam dari temannya,
Wolfgang Bergmann, ikut dipajang di rumah ini. Satu lagi ada di tempat
peristirahannya di Mon, Denmark, dan yang lain di ruang kerjanya.
Setiap Rabu, Grass bekerja dari pukul 13.00-19.30 di ruang kerjanya
yang juga berada di rumah ini. Dia ramah, tapi jarang menyapa kami kalau
tidak perlu, kata Yosef Buse, pegawai di situ.
Meski usia Grass sudah lebih dari delapan dasawarsa itu, menurut
Buse, ia masih produktif. Beberapa buku barunya ditulis di situ, seperti
Dummer August (2007), Die Box (2008) dan Unterwegs von Deutschland,
buku setebal 256 halaman yang diterbitkan Januari lalu.
Hari-hari lainnya, Grass, yang pernah ke Jakarta dalam rangkaian
kunjungannya ke negara-negara Asia pada 1978, lebih banyak menghabiskan
waktunya bersama istrinya, Ute Grunert, dan Minka, anjingnya. Mereka
tinggal di desa Beelen, sekitar 30 menit naik mobil dari Kota Labeck.
Satu dari empat anak Grass dari seorang wanita pelukis dan arsitektur
yang tidak dinikahinya, Helene Grass, mengikuti jejak bapaknya sebagai
seniman di Prancis. Mereka berdua membuat pertunjukkan di Paris berupa
pembacaan buku literatur Jerman kuno abad ke-18, Des Knaben Wunderhern
(Anak Kecil Menakjubkan). Kisahnya itu tampil di kilasan otobiografi
Grass dalam bentuk film dari sebuah televisi berukuran besar di bagian
depan rumah ini.
Di sebelah pintu masuk rumah tersebut terdapat toko yang menjual
semua karya-karya Grass, seperti buku, audiobook, kartu pos bergambar
sketsa atau lukisan Grass, serta patung-patung hasil pahatannya. Di
bagian bawah patung perunggu yang dibuat seukuran dekorasi meja itu
diberi nomor dan ditandatangani Grass.
Benda-benda seni ini amat mahal harganya, seperti replikasi Butt im
Griff harganya 3.200 euro (hampir Rp 45,5 juta), dchen mit Rattin hampir
Rp 60 juta, dan Zwei Kache mencapai Rp 68 juta. Pegawai toko itu pun
harus memakai sarung tangan untuk memegangnya. Benda seni ini bernilai
tinggi, jadi mesti hati-hati memegangnya agar jangan sampai tergores
kuku, kata Nicole Werner, pegawai toko di situ.
_______________
* Dinukil dari Suplemen Ruang Baca Harian Koran Tempo Edisi 26 Juli 2009
http://radiobuku.com/2009/07/sebuah-rumah-bagi-tuan-grass/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar