Apa Itu Puisi Esai
Puisi esai adalah puisi yang ditulis berdasarkan fakta peristiwa
tertentu dan dituangkan dalam bahasa komunikasi yang mudah dipahami.[i])
Puisi esai membedakan dirinya dengan puisi lirik yang memang lebih
sering ditulis berdasarkan imajinasi, dan kerap menggunakan bahasa
simbolik atau metafor-metafor yang sulit dipahami. Walaupun diangkat
dari peristiwa faktual, puisi esai tetaplah fiksi. Fakta peristiwa hanya
merupakan latar belakang dari cerita yang ingin dibangun oleh penulis
puisi esai.
Jika dalam puisi lirik peristiwa seperti tenggelamnya matahari atau
jatuhnya hujan digambarkan sebagai semata-mata peristiwa puitik, maka
dalam puisi esai peristiwa yang diangkat adalah peristiwa yang memiliki
dimensi sosial dalam ruang dan waktu tertentu. Untuk memahami dengan
benar dimensi sosial dari suatu peristiwa seorang penulis puisi esai
melakukan riset yang mendalam. Ia membutuhkan referensi untuk memperkuat
fakta, menyajikan data, atau memperjelas duduk persoalan. Karena itu
puisi esai dilengkapi catatan kaki untuk menegaskan bahwa cerita yang
diangkatnya adalah cerita manusia kongkret yang terlibat dalam suatu
realitas sosial atau peristiwa sejarah, bukan sesuatu yang tak ada,
asing, dan abstrak—sebagaimana penggambaran yang sering muncul dalam
puisi lirik.
Cara Baru Penulisan Puisi
Sejauh ini publik sastra mengenal puisi lirik sebagai puisi arus utama, bahkan menjadi paradigma dalam penulisan puisi.[ii])
Lirisisme dalam sejarah perkembangan puisi Indonesia selalu mendominasi
semua ruang kreativitas, bahkan menjadi sebuah hegemoni bagi para
penyair. Namun demikian, banyak penyair yang mencoba keluar dari jalur
utama itu dan membentuk tata bahasa sendiri di luar lirisisme.[iii])
Puisi esai merupakan salah satu jalan lain yang berada di luar jalur
utama lirisisme. Puisi esai mengambil bentuk penulisan yang berbeda
karena lebih menyerupai cerita pendek (cerpen) yang dituangkan dalam
bentuk puisi. Pesan yang disampaikan sangat jelas dengan latar seting
dan konteks yang juga tidak dirahasiakan. Bahasa yang dipilih ialah
bahasa yang mudah dipahami. Inilah yang membedakannya dengan puisi
lirik.
Para penyair puisi lirik melukiskan keindahan alam dengan bahasa yang
indah, mengungkapkan perasaan melalui simbol dan metafor, yang untuk
itu tak jarang mereka harus menciptakan idiom-idiom sendiri di luar
bahasa konvensional. Membaca puisi hampir selalu berarti membaca pesan
yang tersirat, karena penulis merahasiakannya melalui bahasa simbol dan
pengungkapan yang sublim. Walhasil, hanya orang tertentu saja yang dapat
memahami dan bisa menulisnya—yang bukan penyair tidak ambil bagian.
Hal sebaliknya terjadi pada puisi lama. Bentuk-bentuk puisi lama
seperti pantun, syair, gurindam, dan sebagainya, merupakan puisi rakyat
dimana semua orang bisa terlibat aktif baik dalam menikmati, memahami,
maupun mencipta. Masyarakat awam sangat dekat dengan bentuk-bentuk puisi
lama dan, pada masanya, ikut bertanggung jawab memelihara dan
menghidupkannya. Sayangnya masa itu sudah lewat. Saat ini puisi nyaris
tidak lagi memiliki “kaki” di tengah-tengah masyarakat.
Gejala elitisme dalam puisi liris telah menjauhkan masyarakat dari
bentuk kesusastraan yang dulu sangat populer ini. Dan itu bukan hanya
gejala Indonesia melainkan juga terjadi di mana-mana, sehingga
melahirkan kerisauan tersendiri di kalangan penikmat sastra. John Barr,
misalnya, pemimpin Foundation of Poetry, dalam tulisannya berjudul American Poetry in New Century yang dipublikasikan dalam Poetry, A Magazine of Verse
tahun 2006, mengatakan bahwa puisi semakin sulit dipahami publik.
Penulisan puisi juga mengalami stagnasi, tak ada perubahan berarti
selama puluhan tahun. Publik luas merasa semakin berjarak dengan dunia
puisi.
Menurut John Barr, para penyair asik masyuk dengan imajinasinya
sendiri, atau hanya merespon penyair lain. Mereka semakin terpisah dan
tidak merespon persoalan yang dirasakan khalayak luas. Barr merindukan
puisi dan sastra seperti di era Shakespeare. Saat itu, puisi menjadi
magnet yang dibicarakan, diapresiasi publik, dan bersinergi dengan
perkembangan masyarakat yang lebih luas. Saat itu puisi juga memotret
aura dan persoalan zamannya.
Puisi esai berada di dalam aras itu. Ia hadir dengan bahasa yang
lugas dan mudah dipahami publik pembaca sehingga keberadaannya tidak
dipandang sebagai makhluk asing. Puisi esai menghindari paham “yang
bukan penyair tidak ambil bagian”. Dalam paham ini, puisi punya logika
bahasanya sendiri dalam beropini. Pesan tersirat dalam bahasa yang
abstrak telah menjadi tradisi dalam berpuisi selama ini. Karena itu
puisi esai dengan bahasanya yang mudah dipahami hadir sebagai “movement” cara baru beropini dan cara baru penulisan puisi, sekaligus mengembalikan puisi ke pangkuan masyarakat sebagai pemilik bahasa.
Pelopor Kelahiran Puisi Esai
Pada bulan Maret 2012, terbit sebuah buku puisi berjudul Atas Nama Cinta
karya Denny JA, seorang ilmuwan sosial dan kolumnis yang telah
menerbitkan puluhan buku, serta dikenal luas sebagai konsultan politik.
Buku ini mencantumkan judul tambahan: Sebuah Puisi Esai, dan keterangan pada cover: Isu Diskriminasi dalam Untaian Kisah Cinta yang Menggetarkan Hati.
Penerbitan buku puisi esai ini diiringi oleh dua orang penyair papan
atas yaitu Sapardi Djoko Damono dan Sutardji Calzoum Bachri, serta
seorang budayawan senior Ignas Kleden, yang semuanya memberi apresiasi
pada epilog buku. Ketiganya dapat dikatakan menyambut baik corak baru
penulisan puisi—atau eksperimen—yang dilakukan oleh Denny JA, yang
keluar dari pakem penulisan puisi lirik.
Buku ini memuat lima buah puisi esai dan semuanya bertemakan cinta.
Hanya saja, kisah cinta yang dituturkan dalam lima puisi esai ini bukan
cinta yang berdiri sendiri melainkan bertali-temali dengan kompleksitas
persoalan sosial yang kritis. Di sana ada isu perbedaan agama (Bunga Kering Perpisahan), isu rasial (Sapu Tangan Fang Yin), orientasi seksual (Cinta Terlarang Bantam dan Robin), kekerasan gender (Minah Tetap Dipancung), dan pertentangan sekte agama (Romi dan Yuli dari Cikeusik).
Disajikan sedemikian rupa dengan pesan-pesan moral yang dikemas apik
dengan bahasa puisi, kelima isu tersebut dibingkai dalam tema besar:
masalah diskriminasi.
Buku Atas Nama Cinta buah tangan Denny JA menjadi karya
pertama puisi esai yang mencoba keluar dari paradigma lirisisme dan
sekaligus menandai tradisi baru dalam penulisan puisi di Tanah Air.
Salah satu puisi dalam buku itu yang berjudul Sapu Tangan Fang Yin
untuk pertamakalinya dibacakan dalam Kongres Sastra Komunitas Sastra
Indonesia (KSI) yang berlangsung di kawasan Puncak, Jawa Barat, pada
bulan Maret 2012. Dalam acara yang dihadiri sekitar 150-an sastrawan
dari seluruh Tanah Air itu juga untuk pertamakalinya dilakukan
sosialisasi puisi esai dalam bentuk undangan untuk membuat review,
kritik, dan lomba penulisan puisi esai.
Transformasi Puisi Esai
Di samping versi cetak, buku karya Denny JA ini juga dibuatkan versi mobile web,
sehingga dapat diakses dari telpon genggam dan akun twitter sekalipun.
Oleh sebagian orang, buku itu dianggap sebagai tonggak yang membawa
sastra ke era sosial media. Hanya dalam waktu sebulan, HITS di web buku
puisi itu melampaui satu juta. Ini tak pernah terjadi sebelumnya dalam
sejarah buku puisi, buku sastra bahkan buku umum sekalipun. Tak hanya
membaca, sebagian mereka juga menyampaikan kesan dan komentar, seperti
yang bisa dilihat di www.puisi-esai.com.
Sampai tanggal 7 Januari 2013, belum genap 10 bulan sejak diluncurkannya, web www.puisi-esai.com
telah diklik lebih dari 7 juta kali (persisnya 7.502.891). Ini
menunjukkan betapa puisi kembali dekat dengan khalayak. Publik luas
membaca dan merespon puisi dalam waktu cepat dan massif. Dapat diduga
bahwa mereka pun sebenarnya akan memberikan respon yang sama kepada
puisi lain, asalkan mereka dihidangkan puisi dengan bahasa yang mudah;
asalkan mereka disajikan tema yang juga menjadi kegelisahan mereka
sendiri; asalkan mereka diberikan pula kemudahan akses untuk membaca
puisi itu melalui jaringan yang kini hot, media sosial: twitter, smartphone, internet.
Bukan hanya disajikan dalam web dan mobile web, puisi-puisi esai
karya Denny JA ini juga ditransformasikan ke dalam film dimana
penulisnya, Denny JA, menggaet sineas kenamaan Hanung Bramantyo sebagai
co-produser. Beberapa nama terlibat sebagai sutradara dan artis dalam
film-film tersebut:
- Sapu Tangan Fang Yin disutradarai oleh Karin Bintaro. Para aktor/aktris: Leoni Vitria, Hartanti Reza Nangin, dan Verdi Solaiman.
- Romi dan Yuli dari Cikeusik disutradarai oleh Indra Kobutz. Para aktris/aktor: Zascia Adya Mecca, Ben Kasyafani, dan Agus Kuncoro.
- Minah Tetap Dipancung disutradarai oleh Indra Kobutz. Para aktris/aktor: Vitta Mariana, Saleh Ali, dan Peggy Melati Sukma.
- Cinta Terlarang Batman dan Robin difilmkan dengan judul Cinta Yang Dirahasiakan disutradarai oleh Rahabi MA. Para aktor: Rizal Syahdan, Zack Nasution, dan Tio Pakusadewo.
- Bunga Kering Perpisahan disutradarai oleh Emil Heradi. Para aktris/aktor: Rawa Nawangsih, Arthur Brotolaras, dan Teuku Rifku Wikana.
Selain dibuat dalam bentuk film, puisi-puisi esai karya Denny JA dalam buku Atas Nama Cinta juga dibuatkan versi poetry reading-nya
dalam bentuk video klip yang melibatkan para sastrawan dan budayawan
Putu Wijaya, Sutardji Calzoum Bachri, Niniek L Karim, Sudjiwo Tedjo, dan
Fatin Hamama.
Tema-tema puisi esai Denny JA yang sudah difilmkan dan dibuatkan
video klipnya, dijadikan simulasi dalam pertemuan korban tragedi
kekerasan bulan Mei 1998, peringatan hari lahir Pancasila di Taman
Ismail Marzuki, dan momen hari buruh memperingati kematian Ruyati, TKW
Indonedia yang dipancung di Arab Saudi. Lebih lengkapnya lihat di web
resmi www.puisi-esai.com.
Sebagaimana diungkapkan oleh Denny JA dalam pengantar bukunya,
sebagai penulis ia mencari bentuk lain agar kegelisahan dan komitmen
sosialnya sampai ke publik dalam bentuk yang pas. Ia mencari medium
baru, medium tulisan yang bisa menyentuh batin manusia, namun pada saat
yang sama membuat pembaca mendapatkan pemahaman tentang sebuah isu
sosial, walau secuplik. Esai atau makalah atau kolom jelas tidak
mengeksplor sisi batin manusia. Sementara puisi yang ada sering tidak
dipahami, apatah lagi menyentuh batin. Maka ia mengembangkan medium
sendiri yang kemudian disebutnya puisi esai—puisi bercita rasa esai, atau esai yang dituliskan dalam bentuk puisi.
Dalam perkembangannya puisi esai karya Denny JA kemudian
ditransformasikan ke dalam banyak bentuk. Selain film pendek dan video
klip pembacaannya seperti disebutkan di atas, juga diekspresikan dalam
medium teater, lukisan, foto, lagu, dan social movement.[iv])
Ini sekaligus menjadi kekuatan puisi esai yang sejak awal menegaskan
diri untuk menjadi bagian dari denyut nadi masyarakat. Karena karakternya yang sangat dekat dengan social movement itulah maka sejak diterbitkan buku karya Denny JA ini memperoleh perhatian yang luas dari publik dan media.[v])
Konsep Keindahan dalam Puisi Esai
Kelahiran puisi esai disambut dengan pertanyaan apa konsep estetika yang ditawarkannya.[vi])
Sebab tanpa itu sebuah karya puisi dianggap batal. Setiap karya
sastra—dan sebenarnya setiap karya seni—disajikan kepada khalayak dengan
konsep keindahan atau estetika tertentu. Dikatakan demikian karena
konsep keindahan muncul dalam beragam makna. Karya puisi pun selalu
hadir dengan konsep keindahan yang tidak monolitik.
Konsep keindahan dalam puisi esai tidak terutama terletak pada rima
atau persajakan sebagaimana dalam puisi lama, juga tidak melulu pada
pilihan-pilihan kata (diksi) sebagaimana pada puisi baru, namun pada
keseluruhan bangunan puisi esai itu sendiri, termasuk struktur cerita
yang ditampilkan, dan pesan-pesan yang disampaikannya.
Dalam wacana filsafat, nilai keindahan dikaitkan dengan kemampuan
seseorang melakukan “diskriminasi” sensorik pada objek yang dilihat atau
dirasakan. Seseorang memperoleh nilai keindahan atas suatu objek
melalui pengalaman pribadinya yang bersifat khusus. Namun konsep
keindahan pada seseorang itu (yang bersifat partikular) bisa saja
berubah menjadi konsep keindahan yang dianut oleh banyak orang apabila
ia mampu memengaruhi persepsi keindahan orang lain.
Begitu juga dalam puisi. Konsep keindahan puisi pertama-tama terletak
pada bahasa yang digunakannya, karena bagaimanapun puisi
dikomunikasikan melalui media bahasa. Namun, karena bahasa terus
berkembang, maka konsep keindahan yang melekat padanya seharusnya juga
berkembang. Selama ini bahasa yang dalam dan sublim pada sebuah puisi dijadikan patokan untuk menilai keindahannya. Masalahnya, yang dalam dan sublim itu selalu berarti sulit dan abstrak.
Sebuah puisi yang sulit dan abstrak dikatakan telah mencapai estetika
tertinggi. Pembaca dipaksa untuk menyelami keindahan di lorong-lorong
gelap bahasa yang tidak memberi jaminan akan kepastian maknanya. Membaca
puisi bagaikan menebak sebuah teka-teki.
Puisi esai menganut paham yang berbeda. Sejak awal puisi esai justru
ingin mengembalikan puisi agar mudah dipahami publik seluas-luasnya.
Pencapaian estetika tidak harus dengan bahasa yang sulit dan abstrak.
Jika bahasanya sulit dipahami itu bukan pencapaian estetika tapi
ketidakmampuan penyair berkomunikasi dengan baik. Dengan pandangan
seperti ini, bukan berarti puisi esai mengenyahkan sama sekali keindahan
bahasa. Seluruh perangkat yang mendukung terciptanya bahasa yang indah
tetap digunakan dalam puisi esai. Pemakaian metafora, simbol, rima,
metrum, dan berbagai gaya bahasa lainnya justru dianjurkan, namun harus
tetap komunikatif dan mudah dipahami. Puisi esai dianggap berhasil jika
dapat dipahami publik seluas-luasnya.
Namun komitmen estetika puisi esai tidak terutama pada keadaan apa adanya (as it is)
itu sendiri, melainkan pada nilai-nilai yang dimunculkan darinya.
Dengan kata lain, keindahan bukan sesuatu yang diciptakan di dalam
imajinasi melainkan diturunkan dari realitas. Di dalam realitas melekat
nilai-nilai yang saling bertentangan dan kadang tidak disadari tetapi
menghegemoni kesadaran. Misalnya nilai baik dan buruk, benar dan salah,
cinta dan benci, adil dan lalim, tulus dan serakah, dan sebagainya.
Konsep keindahan dalam puisi esai Denny JA ialah keberpihakannya pada
nilai-nilai universal dan pembebasan manusia dari belenggu
diskriminasi. Sastrawan Leon Agusta menyebut konsep keindahan dalam
puisi esai Denny JA ini sebagai estetika pembebasan.[vii])
Salahkah sebuah karya sastra semisal puisi memiliki keberpihakan pada
nilai-nilai kemanusiaan? Menurut penyair Sapardi Djoko Damono, tidak.
Sebab, para penyair justru terdorong untuk menulis puisi karena ingin
berbagi penghayatan hidup. Dan di dalam proses itu ia selalu berada
dalam ketegangan untuk menjadi anak-anak yang bermain-main dengan bahasa
dan untuk menjadi nabi yang diutus-Nya untuk membebaskan manusia dari
malapetaka.[viii])
Karena keberpihakan dan perhatiannya pada isu-isu kemanusiaan itu
maka puisi esai ialah karya yang nilai-nilainya bisa dikenali oleh
pembaca. Puisi esai menganut pandangan bahwa keindahan terbit dari
penggambaran yang menggugah atas realitas sosial, yang pesan-pesannya
dapat ditemukan karena bahasanya mudah dipahami.
Lima Platform Puisi Esai
Mana yang dapat dinamakan puisi esai dan mana yang bukan? Denny JA membuat lima platform puisi yang dipeloporinya itu sebagai berikut:[ix])
Pertama, puisi esai mengeksplor sisi batin individu yang
sedang berada dalam sebuah konflik sosial. Jika Budi jatuh cinta kepada
Ani, itu saja belum cukup untuk menjadi sebuah puisi esai. Kondisinya
harus diubah menjadi: Budi jatuh cinta kepada Ani, tapi mereka berbeda
agama, kasta, atau kelas sosialnya sehingga menimbulkan satu problema
dalam komunitas tertentu.
Kedua, puisi esai menggunakan bahasa yang mudah dipahami.
Semua perangkat bahasa seperti metafor, analogi, dan sebagainya justru
bagus untuk dipilih. Namun diupayakan siapapun cepat memahami pesan yang
hendak disampaikan puisi.
Ketiga, puisi esai adalah fiksi. Boleh saja puisi esai itu
memotret tokoh riel yang hidup dalam sejarah. Namun realitas itu
diperkaya dengan aneka tokoh fiktif dan dramatisasi. Yang dipentingkan
oleh puisi esai adalah renungan dan kandungan moral yang disampaikan
lewat sebuah kisah, bukan semata potret akurat sebuah sejarah. Karena ia
fiksi, penulis sangat bebas membuat dramatisasi agar lebih menyentuh
dan lebih membuat kita merenung.
Keempat, puisi esai tidak hanya lahir dari imajinasi
penyair, tapi hasil riset minimal realitas sosial. Ia merespon isu
sosial yang sedang bergetar di sebuah komunitas, apa pun itu. Dalam hal
ini, catatan kaki menjadi sentral dalam puisi esai karena ia menunjukkan
bahwa fiksi ini berangkat dari fakta sosial. Sejak awal puisi esai ini
memang menggabungkan fiksi dan fakta. Unsur fakta dalam puisi esai itu
diwakili oleh catatan kaki tersebut.
Kelima, puisi esai berbabak dan panjang. Pada dasarnya puisi
esai itu adalah drama atau cerpen yang dipuisikan. Dalam sebuah puisi
esai, selayaknya tergambar dinamika karakter pelaku utama atau perubahan
sebuah realitas sosial. Dinamika karakter dan perubahan sebuah realitas
sosial itu dengan sendirinya membutuhkan kisah yang berbabak.
Denny JA menyebut kelima kriteria itu bukan sejenis hukum agama yang
berdosa jika dilanggar. Kelima kriteria itu adalah tuntunan paling mudah
dikenali jika seseorang membuat sebuah puisi esai. Ketika sebuah “movement” dan genre ingin dikemas, tak terhindari harus ada garis batas yang memisahkan “what is” dengan “what is not”. Kelima kriteria itu adalah “what is”.
Puisi esai menurut Denny JA hanya satu variasi saja dari aneka bentuk
puisi yang sudah ada dan yang akan ada. Ia tidak diklaim lebih superior
atau inferior. Ia juga tidak dimaksudkan untuk mendominasi apalagi
menyeragamkannya. Ia hanyalah sebuah bunga mawar dari taman firdaus
sastra yang dipenuhi bunga lain jenis. Ia hanyalah rusa yang berlari di
sebuah marga satwa yang didiami aneka hewan lain. Ia hanyalah warna
oranye dari sebuah pelangi yang diperkaya oleh aneka warna lain.
Karya-karya Puisi Esai yang Lain
Menyusul terbitnya buku antologi puisi esai Atas Nama Cinta karya Denny JA, telah terbit pula sejumlah buku antologi puisi esai dari para pengarang lain, yaitu:
- Kutunggu Kamu Di Cisadane (Penerbit: Komodo Book, 2012) karya Ahmad Gaus. Kata Pengantar: Jamal D. Rahman.
- Manusia Gerobak (Penerbit: Jurnal Sajak, 2013) karya Elza Peldi Taher. Kata Pengantar: D. Zawawi Imron
- Mata Luka Sengkon-Karta (Penerbit: Jurnal Sajak, 2013). Antologi ini memuat puisi esai juara Lomba Menulis Puisi Esai 2012, karya Peri Sandi Huizchedengan, Beni Setia, dan Saifur Rohman. Penyair Agus R. Sarjono bertindak sebagai editor dan pemberi kata pengantar untuk antologi ini.
- Dari Rangin ke Telpon (Penerbit: Jurnal Sajak, 2013). Antologi ini memuat puisi esai juara hiburan Lomba Menulis Puisi Esai 2012, karya Katherine Ahmad, Kedung Darma Romansha, Rahmad Agus Supartono, Wendoko, dan Yustinus Sapto Hardjanto. Penyair Acep Zamzam Noor bertindak sebagai editor dan pemberi kata pengantar untuk antologi ini.
- Dari Singkawang ke Sampit (Penerbit: Jurnal Sajak, 2013). Antologi ini memuat puisi esai juara hiburan Lomba Menulis Puisi Esai 2012, karya Arief Setiawan, Arif Fitra Kurniawan, Catur Adi Wicaksono, Hanna Fransisca, dan Jenar Aribowo. Penyair Jamal D. Rahman bertindak sebagai editor dan pemberi kata pengantar untuk antologi ini.
- Mawar Airmata (Penerbit: Jurnal Sajak, 2013). Antologi ini memuat puisi esai kategori puisi esai menarik Lomba Menulis Puisi Esai 2012, karya Nur Faini, Onik Sam Nurmalaya, Sahasra Sahasika, Syifa Amori, Stefanus P Elu, Yudith Rosida. Antologi ini diberi kata pengantar oleh Sunu Wasono. Penyair Jamal D. Rahman bertindak selaku editor.
- Penari Cinta Anak Koruptor (Penerbit: Jurnal Sajak, 2013. Antologi ini memuat puisi esai kategori puisi esai menarik Lomba Menulis Puisi Esai 2012, karya Alex R. Nainggolan, Baiq Ratna Mulyaningsih, Carolina Betty Tobing, Chairunnisa, Damhuri Muhammad, dan Huzer Apriansyah. Penyair Nenden Lilis A. menulis kata pengantar untuk antologi yang disunting oleh penyair Jamal D. Rahman ini.
- Puisi Esai: Kemungkinan Baru Puisi Indonesia (Penerbit: Jurnal Sajak, 2013). Buku ini merupakan bunga rampai yang memuat tulisan-tulisan seputar puisi esai. Penyair Acep Zamzam Noor bertindak sebagai editor dan pemberi kata pengantar untuk buku ini.
Selain karya-karya yang disebutkan di atas, Jurnal Sajak
yang terbit setiap 3 (tiga) bulan dan diasuh oleh para penyair memuat
puisi esai dan mendiskusikan isu puisi esai dalam setiap edisinya. Pada
bulan Januari 2013, Dapoer Seni Djogjakarta mementaskan teater Sapu
Tangan Fang Yin berdasarkan puisi esai Denny JA.
[i] Denny JA, Puisi Esai: Apa dan Mengapa, dalam Jurnal Sajak No.3 Tahun III/2012 hal. 68-75. Semua bahan menyangkut penjelasan apa itu puisi esai dikutip dari artikel tersebut, kecuali penjelasan dan analisa yang bahan-bahannya disebutkan dari sumber lain.
[ii] Hal ini terungkap dalam diskusi “Imperium Puisi Liris” di Bentara Budaya Jakarta (19/3/2008), yang menghadirkan penyair Afrizal Malna dan Sapardi Djoko Damono.
[iii] Misalnya pada akhir tahun 1960-an dan awal 1970-an pernah lahir genre puisi mbeling yang dipelopori oleh Jeihan Sukmantoro, Remy Sylado, Sutardji Calzoum Bachri, Abdul Hadi WM, Sanento Yuliman dan Wing Karjo. Menurut Sapardi Djoko Damono, puisi mbeling lahir sebagai suatu usaha pembebasan. Istilah mbeling menurutnya kurang lebih berarti nakal, kurang ajar, sukar diatur, dan suka berontak. (Bahasa dan Sastra, tahun IV No.3/1978, Pusat Pengembangan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud).
[iv] Pada tanggal 10 Juni 2012 sedikitnya 50 lembaga swadaya masyarakat menjadi panitia Sepekan Tribute untuk Korban Kekerasan Agama di Indonesia yang digelar di Taman Ismail Marzuki, Minggu (10/6). Para LSM itu antara lain YLBHI, ICRP, Maarif Institute, Wahid Institute, Kontras, PGI, dan PP Ansor. Ribuan pengunjung yang hadir ikut larut dalam keprihatinan memburuknya toleransi agama di Indonesia. Di acara puncak yang juga hadiri oleh Hj.Sinta Nuriyah itu, diputar sebuah film yang diangkat dari puisi esai Denny JA dengan sutradara Hanung Bramantyo. (Indopos, 11 Juni 2012).
[v] Lihat, misalnya, Puisi Esai Denny JA Ajak Berempati (Media Indonesia, 12 Juni 2012); Pemutaran Video Puisi Esai Denny JA Menjadi Puncak Acara Lomba Sastra Antar SLTP dan SLTA se-Provinsi Banten (Media Indonesia, 5 Juni 2012); Puisi Esai Denny JA Menjelma Jadi Film Romantis Sarat Pesan (MediaIndonesia.com – 11 Juni 2012); Kisah Romi dan Yuli dari Cikeusik (kompas.com – Selasa, 12 Juni 2012)
[vi] Lihat, misalnya, Maman S. Mahayana (MSM), Posisi Puisi, Posisi Esai, dalam Kompas 30 Desember 2012, h. 20. Dalam artikel ini MSM juga mempertanyakan legitimasi puisi esai sebagai sebuah genre baru dalam kesusastraan Indonesia. Pertanyaan ini dijawab oleh sastrawan senior Leon Agusta dalam artikel sanggahannya yang dimuat di harian Kompas, 13 Januari 2013, yang berjudul Mempersoalkan Legitimasi Puisi Esai. Dalam artikel tersebut, Leon balik bertanya kepada MSM: “Legitimasi dari siapa? Siapa sesungguhnya yang berhak memberikan ”stempel legitimasi” terhadap konsep puisi esai atau konsep puisi penyair mana pun? Dari mana seseorang mendapatkan hak sedemikian? Apakah Denny JA memerlukan legitimasi seperti yang dipahamkan MSM? Sejauh pengenalan saya tentang cara berpikir dan sepak terjang Denny JA dalam dunia perpuisian yang dibangunnya, cara berpikir, pertanyaan, dan kesimpulan MSM sepertinya sudah jauh ketinggalan zaman.”
[vii] Lihat Leon Agusta, Tentang Puisi Esai Denny JA, dalam Majalah Horison No XLVII Nopember 2012, hal. 31-36.
[viii] Sapardi Djoko Damono, Bilang Begini, Maksudnya Begitu, Jakarta, Editum, 2010, hal. 105
[ix] Denny JA, Puisi Esai: Apa dan Mengapa, Jurnal Sajak No.3 Tahun III/2012.
_______________
Sumber : http://puisi-esai.com/2013/08/15/puisi-esai/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar