Surealisme Dan Sejarahnya Yang Romantis
Sumber : Sarbi
I. PENGENALAN
Surealisme, adalah sebuah aliran seni dan kesusastraan yang menjelajahi
dan merayakan alam mimpi dan pikiran bawah sadar melalui penciptaan
karya visual, puisi, dan film. Surealisme diluncurkan secara resmi di
Paris, Perancis, pada tahun 1924, ketika penulis Perancis Andre Breton
menulis manifesto pertama surealisme, mengguratkan ambisi-ambisi akan
kelahiran gerakan baru. (Breton menuliskan dua lagi manifesto surealis,
pada tahun 1930 dan 1942). Gerakan tersebut segera menyebar ke wilayah
lain di Eropa, juga ke wilayah Amerika Utara dan Selatan. Di antara
kontribusi-kontribusi yang paling penting dari gerakan surealis adalah
penemuan teknik artistik baru yang terhubung ke alam pikiran bawah sadar
seniman.
II. ASAL MUASAL SUREALISME
Surealisme,
dalam banyak karakteristik, merupakan kelanjutan dari gerakan seni
pendahulunya yang dikenal sebagai Dada, yang didirikan di tengah
berkecamuknya Perang Dunia I (1914-1918). Terhentak oleh kenyataan
kehancuran besar-besaran dan melayangnya begitu banyak nyawa yang
diakibatkan perang, motivasi-motivasi para Dadais secara kuat bersifat
politis: untuk mengejek kebudayaan, pemikiran, teknologi, bahkan seni.
Mereka percaya bahwa keyakinan apapun akan kemampuan kemanusiaan untuk
mengembangkan diri melalui seni dan kebudayaan, khususnya setelah
penghancuran yang belum pernah terjadi sebelumnya akibat perang, adalah
naif dan tidak realistis. Sebagai akibatnya, para Dadais menciptakan
karya menggunakan ketidaksengajaan, kemungkinan, dan apapun yang
menekankan pada irasionalitas kemanusiaan: contohnya, menulis
puisi-puisi dengan serpihan-serpihan cukilan dari koran yang dipilih
secara acak, berbicara dengan kata-kata tak masuk akal keras-keras, dan
mendaulat obyek sehari-hari sebagai karya seni. Program surealis adalah
pengembangan dari Dada, tapi menaruh lebih banyak pandangan positif
secara esensial pada pesan negatif Dada .
Para surealis secara
hebat dipengaruhi oleh Sigmund Freud, pendiri psikoanalisis dari
Austria. Mereka terutama sangat menerima pembedaannya antara ego dan
id-yaitu, antara naluri-naluri dan hasrat-hasrat utama kita (id) dan
corak perilaku kita yang lebih beradab dan rasional (ego). Sejak
tuntutan dan kebutuhan utama kita secara berkala berjalan bersinggungan
dengan pengharapan masyarakat, Freud menyimpulkan bahwa kita menekan
hasrat asli kita ke dalam bagian bawah sadar pikiran kita. Untuk
individu yang ingin menikmati kesehatan kejiwaan, ia rasa, mereka harus
membawa hasrat-hasrat itu ke pikiran sadar. Freud percaya bahwa –
mengesampingkan desakan tuntutan untuk menekan hasrat-hasrat – yang ada
di pikiran bawah sadar tetap menampilkan dirinya, terutama ketika
pikiran yang sadar melonggarkan cengkeramannya; dalam mimpi, mitos,
corak kelakuan ganjil, terpelesetnya lidah, ketidaksengajaan, dan seni.
Dalam pencarian untuk mendapatkan akses ke alam pikiran bawah sadar,
para surealis menciptakan bentuk dan teknik baru seni yang radikal.
III. MIMPI-MIMPI, MITOS-MITOS, DAN METAMORFOSIS
Mimpi, menurut Freud, adalah jalan terbaik untuk mempelajari alam bawah
sadar, karena dalam mimpilah pikiran bawah sadar kita, hasrat-hasrat
utama menampilkan dirinya. Ketidakberaturan dalam mimpi, Freud percaya,
adalah hasil dari pergulatan memperebutkan dominasi antara ego dan id.
Dalam usaha untuk mengakses kinerja pikiran yang sebenarnya, banyak
surealis yang menggali untuk meraba kualitas mimpi yang tak masuk akal.
Para pemimpin dari seniman-seniman tersebut antara lain Salvador Dali
dari Spanyol, dan Rene Margrite serta Paul Delvaux dari Belgia.
Untuk mengungkap kualitas irasional dari alam mimpi – dan secara
bersamaan, untuk mengejutkan para penyimaknya – banyak pelukis surealis
menggunakan representasi yang realistis, tapi meletakkan secara
berdampingan objek-objek dan gambarannya dengan cara yang irasional.
Dalam “Magritte’s Pleasure” (1927, Kunstsammlung Nordrhein-Westfalen,
Düsseldorf, Jerman), sebagai contohnya, seorang gadis kecil
mencabik-cabik seekor burung dengan giginya lalu menelannya hidup-hidup.
Karya tersebut menggarisbawahi kejahatan umat manusia, sambil
mempermainkan ketidakcocokan antara judul dan gambarannya. Dalam karya
Dali, Apparition of Face and Fruit Dish on a Beach (1938, Wadsworth
Atheneum Museum of Art, Hartford, Connecticut), buah-buahan pelengkap
hidangan tampak menggentayang sebagai wajah, jembatan sebagai kalung
kekang anjing, dan pantai sebagai taplak meja, tergantung apa yang
menjadi fokus penyimaknya.
Dali juga bereksperimen dengan
film, yang menawarkan kemungkinan memotong, menindih, mencampur, atau
memanipulasi gambar untuk menciptakan penyejajaran gambar sedemikian
rupa yang mengguncang penyimaknya. Dalam film seperti Un chien Andalou
(An Adalusian Dog, 1929) dan L’age d’or (The Golden Age, 1930),
dua-duanya adalah hasil kolaborasi dengan sutradara Spanyol Luis Bunuel,
perangkat-perangkat tersebut digunakan sebagai tambahan untuk rangkaian
dan pengembangan plot yang irasional.
Metamorfosis dari satu objek
ke objek lainnya, yang populer digunakan oleh para pelukis dan pembuat
film surealis, adalah perangkat yang juga digunakan oleh para pemahat
surealis. Seniman Swiss Meret Oppenheim menghubungkan cangkir teh,
piring cawan, dan sendok dengan bulu binatang dalam karyanya Object
(Breakfast in Fur) (1936, Museum of Modern Art, New York City), membawa
penyimaknya untuk membayangkan sensasi yang membingungkan dengan meminum
dari cangkir serupa itu.
Banyak surealis yang menjadi
terpesona dengan mitos. Menurut Freud, mitos-mitos mengungkap belenggu
kejiwaan yang tersembunyi dalam setiap manusia. Psikolog Swiss Karl Jung
meneruskan dengan argumen bahwa mitos – mengesampingkan tempat asal dan
waktu terjadinya – menunjukkan persamaan yang patut diperhatikan. Ia
menjelaskan persamaan-persamaan tersebut melalui keberadaan apa yang ia
sebut dengan “ketidaksadaran kolektif”, lapisan kejiwaan yang entah
bagaimana dimiliki oleh semua manusia. Seperti halnya mimpi menampilkan
gambaran-gambaran irasional yang mengungkap kejiwaan pemimpinya, mitos
mengungkap kejiwaan semua umat manusia.
Dalam lukisan Dali
“Metamorphosis of Narcissus”(1934, Tate Gallery, London, England), sang
seniman merujuk pada tokoh mitos Yunani kuno, Narcissus, yang mana
adalah seorang anak muda yang jatuh cinta pada bayangannya sendiri dan
dialih-bentukkan menjadi bunga yang cantik. Mitos-mitos Yunani menarik
para surealis karena metamorfosis (perubahan dari satu bentuk ke bentuk
lain) adalah tema yang paling sering mereka ulang. Secara serupa, dalam
lukisan Dali, apa yang pada pandangan pertama tampak seperti pantat
manusia, dilihat dengan cara lain, menjadi gambar tangan yang memegang
telur.
Mitos-mitos juga menarik bagi surealis dikarenakan peran
pentingnya bagi budaya-budaya non-barat. Dalam pandangan para pengikut
Freud, peradaban barat berada dalam bahaya karena menceraikan
kemanusiaan dari sifat alaminya. Secara luas dipercaya bahwa
budaya-budaya non-barat lebih selaras dengan sifat dan dorongan-dorongan
alami – dorongan-dorongan yang diekspresikan melalui mitos-mitos dan
seni kebudayaan tersebut. Seorang surealis yang meminjam dari kesenian
Afrika untuk karyanya adalah pemahat Swiss Alberto Giacometti. Dalam
membuat “Spoon Woman” (1926, Museum of Modern Art, New York City), yang
mana di dalamnya sendok menyerupai juga bentuk badan wanita yang
berlekuk, Giacometti dipengaruhi oleh orang suku Dan di Liberia dan Cote
d’Ivoire, yang mana sendok-sendok dan centong-centongnya juga
menyerupai bentuk manusia.
IV. TEKNIK-TEKNIK SUREALIS
Sebuah strategi yang digunakan para surealis untuk mengangkat
gambaran-gambaran dari alam bawah sadar disebut “Exquisite Corpse”.
Dalam bentuk seni kolaborasi ini, sehelai kertas dilipat menjadi empat
bagian lipatan, dan empat seniman berbeda memberi kontribusi berupa
representasi gambarannya tanpa melihat kontribusi seniman-seniman
lainnya. Yang pertama menggambar kepala, melipat lagi kertasnya lalu
menyerahkannya kepada seniman lainnya, yang menggambar bagian atas
tubuh; yang ketiga menggambar kedua kaki, dan yang keempat, menggambar
bagian bawah tubuh. Para seniman itu lalu membuka lipatan kertas untuk
mempelajari dan menginterpretasikan kombinasi gambar tersebut.
Max Ernst, surealis Jerman, menemukan teknik lain yang menggunakan
kemungkinan dan ketidaksengajaan: frottage (bahasa Perancis untuk
“menggosok”). Dengan menempatkan kepingan-kepingan kayu atau logam yang
kasar di bawah kanvas dan selanjutnya melukis atau menggambar dengan
pensil di atasnya, sang seniman mentransfer motif kasar dari permukaan
tersebut ke dalam karya-jadi. Dalam “Laocoon, Father and Sons” (1926,
Menil Collection, Houston, Texas), Ernst meracik motif kasar kemungkinan
dengan cara menggosok, sambil merujuk juga pada tokoh mitos Yunani,
Laocoon, seorang imam Troya yang bergulat dengan piton-piton raksasa.
Barangkali teknik paling penting yang digunakan surealis untuk
mengangkat alam bawah sadar adalah “automatisme”. Dalam lukisan,
automatisme dibuat dengan membiarkan tangan menjelajahi permukaan kanvas
tanpa campur tangan dari pikiran sadar. Tanda-tanda yang dihasilkan,
mereka pikir, tidak akan menjadi acak atau tak berarti, tapi akan
dibimbing pada setiap titiknya dengan memfungsikan pikiran bawah sadar
sang seniman, dan bukan oleh pikiran rasional atau pelatihan
keartistikan. Dalam “The Kill” (1944, Museum of Modern Art, New York
City), pelukis Perancis Andre Mason menerapkan teknik ini, tapi kemudian
ia menggunakan tanda-tanda yang telah diimprovisasi sebagai dasar untuk
penguraiannya. Betapapun mengada-adanya penyerupaannya dengan objek
nyata (dalam hal ini, wajah atau bagian tubuh), ia memperbaikinya untuk
membuat hubungannya tampak lebih jelas. Karena Masson tidak menentukan
sebelumnya hal yang menjadi subjek dari lukisannya, para surealis
mengklaim bahwa uraian-uraiannya selanjutnya dimotivasi secara murni
oleh keadaan emosionalnya selama pembuatannya.
Seniman lainnya
yang menggunakan teknik automatisme adalah pelukis Spanyol Joan Miro.
Dalam “Birth of the World” (1925, Museum of Modern Art, New York City),
contohnya, ia menuangkan zat warna secara acak ke atas kanvas dan
membiarkan lukisannya melaju melintasi permukaannya mengikuti gravitasi,
menciptakan serentetan hasil yang tak bisa ia prediksi ke depannya.
Sejalan dengan Masson, langkah dalam karya lukisan seniman lainnya malah
dibuat lebih secara disengaja dan diperhitungkan. Sang seniman mungkin
telah merenungkan warna yang akan dituangkan ke atas kanvas untuk
beberapa lama, lalu, terinspirasi oleh bentuk-bentuk dan makna-makna
yang mereka anjurkan, menambahkan beberapa lekukan, bentuk-bentuk
abstrak yang memunculkan wujud-wujud hidup. Judul “Birth of the World”
menyiratkan bahwa dunia diciptakan dari tiada, tapi juga
merepresentasikan lahirnya kesadaran melalui penciptaan lukisan.
Beberapa surealis, diantaranya Ernst, Yves Tanguy dari Perancis, dan
Roberto Matta dari Chili, menggunakan kombinasi teknik-teknik tersebut
untuk menyiratkan keadaan alam mimpi atau untuk menghasilkan
perbendaharaan abstrak dari bentuk-bentuk. Mereka sesudahnya kesulitan
untuk menyimpannya ke dalam sebuah kategori. Dalam karya Matta “The
Unknowing” (1951, Museum of Modern Art, Vienna, Austria) contohnya, sang
seniman telah membuat ruang dan objek-objek tiga dimensi yang kelihatan
solid. Objek-objek tersebut, bagaimanapun juga, sangat ambigu sehingga
penyimaknya bisa melihatnya dengan berbagai cara dan menyimpulkan
interpretasi mereka sendiri-sendiri terhadap lukisan tersebut.
V. SASTRA SUREALIS
Meskipun surealisme paling banyak memberikan pengaruh dalam seni
visual, gerakan tersebut pada awalnya dimulai sebagai gerakan
kesusastraan. Menurut Andre Breton, karya surealis yang pertama adalah
“Les champs magnétiques” (1920; The Magnetic Fields, 1985), kumpulan
tulisan automatisme yang ia tulis berkolaborasi dengan penulis Perancis
Philippe Soupault. Penulis-penulis surealis penting lainnya antara lain
para penulis Perancis Louis Aragon, Jean Cocteau (yang juga membuat
film-film surealis), dan Paul Éluard. Beberapa penulis surealis membuat
catatan-catatan dari mimpi, dan, seperti pelukis surealis, beralih pada
teknik automatisme untuk mengakses alam bawah sadar. Dalam penulisan
automatis para surealis membiarkan pikirannya mengalir dengan bebas ke
dalam halaman kertas tanpa mencoba untuk menyunting atau mengaturnya.
Hasil aliran kata-kata tersebut seringkali susah dimengerti. Seperti
pelukis surealis, para penulis tersebut kemudian memodifikasi
automatisme murni dari percobaan awal mereka dengan menyuntingnya,
seringkali dengan penegasan yang seksama terhadap gambaran-gambaran
simbolis.
Para penulis surealis menggali kembali ketertarikan
dalam dua orang penyair Perancis yang karyanya sepertinya telah
mengandung benih-benih surealis: Arthur Rimbaud dan Isidore Ducasse,
yang nama penanya adalah Le Comte de Lautréamont. Breton mengadopsi
ungkapan dari Lautreamont “cantik seperti kesempatan yang bertemu di
meja mesin jahit yang terpotong dan sebuah payung,” sebagai contoh yang
mengejutkan, ketidakberaturan kecantikan yang diharapkan para surealis
untuk diungkapkan.
VI. PENGARUH SUREALISME
Surealisme
dinilai sebagai salah satu dari gerakan-gerakan seni yang paling
penting dan berpengaruh di Eropa pada paruh pertama abad 20. Banyak
surealis, termasuk Breton, Masson, Ernst, and Matta, menghabiskan waktu
di Amerika Serikat selama Perang Dunia II (1939-1945). Kehadiran mereka
terbukti penting bagi perkembangan para pelukis abstrak-ekspresionis,
terutama bagi karya Arshile Gorky, Robert Motherwell, dan Jackson
Pollock. Surrealism juga meninggalkan pengaruh kekal pada seni Amerika
Latin, dalam karya seniman-seniman seperti Frida Kahlo dari Meksiko dan
Wifredo Lam dari Kuba.
_______________
Sumber: Encarta Reference Library
Kontributor: Claude Cernuschi
Diterjemahkan oleh: Sam Haidy
Diambil dari www.malaikatcacat.wordpres
Tidak ada komentar:
Posting Komentar