Adevira Lestari (@Adefira Lestari)
Jika membincang soal peran sastra dalam
pembentukan karakter bangsa, timbul rasa prihatin dari para pendidik
soal perkembangan pendidikan dan pengenalan sastra di sekolah. Pasalnya,
pada kurikulum 2013 yang mulai diterapkan tahun ini, peran sastra dalam
pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia sangatlah minim. Memang, dengan
diterapkannya kurikulum baru itu, manajemen sistem pendidikan akan lebih
tertata. Namun, terlepas dari pernyataan tersebut, porsi pembelajaran
sastra yang diberikan sangatlah kurang. Peserta didik hanya diajarkan
satu genre sastra dalam satu jenjang pendidikan. Padahal, untuk mengenal
sastra yang sesungguhnya diperlukan waktu yang tidak singkat.
Pemahaman serta ketelatenan memahami
kata demi kata yang tertuang dalam buku sastra bukanlah perkara mudah.
Butuh tahapan pemahaman yang saling berkesinambungan dan harus diulang
terus menerus. Sementara itu, tingkat pemahaman setiap orang terhadap
suatu masalah tidak bisa bebarengan.
Sejalan dengan hal itu, Dr. Teguh
Supriyanto, M.Hum, Dosen Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Negeri
Semarang (Unnes), mengatakan bahwa masih banyak topik-topik sastra dalam
kurikulum 2013 yang mengandung nilai karakter, tetapi dihilangkan (www.suaramerdeka.com).
Menilik keadaan demikian, maka tantangan terbesar seorang pendidik
adalah mengoptimalkan waktu pembelajaran sastra dalam menumbuhkan nilai
positif bagi peserta didik. Untuk mencapai hal itu, para pendidik harus
bekerja keras demi terwujudnya tujuan pembelajaran.
Dalam praktik di lapangan, sampai saat
ini kedudukan sastra dalam ruang lingkup nasional kurang mendapatkan
perhatian, apalagi dalam dunia pendidikan. Sastrawan Budi Dharma
menyebutkan bahwa naskah kuno di Indonesia –termasuk sastra− masih
banyak yang tak terurus. Pendokumentasian naskah kuno lemah karena
bangsa Indonesia tak terbiasa memberi ruang bagi sejarah (Kompas, 22 Juni 2013). Hal inilah yang melatarbelakangi kurang berkembangnya ilmu sastra di bumi pertiwi.
Selain itu, untuk menghasilkan peserta
didik yang mampu menjadikan sastra sebagai alat untuk pembentukan
karakter, diperlukan kekreatifan guru dalam menyajikan materi pelajaran.
Fenomena ini sesuai dengan Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006; Mata
pelajaran Sastra Indonesia berorientasi pada hakikat pembelajaran sastra
yang menyatakan bahwa belajar sastra adalah belajar menghargai manusia
dan nilai-nilai kemanusiaannya. Oleh karena itu, pembelajaran sastra
Indonesia diarahkan kepada usaha untuk menimbulkan pemahaman dan
penghargaan terhadap hasil cipta manusia Indonesia.
Karakter
Lalu, bagaimana upaya untuk membentuk
karakter bangsa melalui pembelajaran sastra di sekolah? Peran sastra
dalam pembentukan karakter bangsa sebenarnya bukanlah terletak pada
keberadaan sastra itu sendiri. Sastra hanya digunakan sebagai alat untuk
membentuk karakter bangsa. Artinya, pemahaman tentang sastra yang
berupa apresiasi karya sastra itulah yang digunakan untuk mengukur
seberapa jauh setiap individu menghayati nilai-nilai yang terdapat pada
karya sastra.
Pada dasarnya, sastra merupakan cermin
kehidupan masyarakat. Sehingga, untuk memahami nilai yang terkandung
dalam karya sastra yang sedang diapresiasi, seorang apresiator harus
bisa menggunakan seluruh intuisinya saat sedang menelaah karya sastra.
Hal ini diperlukan agar selain mendapatkan nilai tersurat, seorang
apresiator juga mampu menemukan makna tersirat dari karya sastra yang
dihadapinya. Meski demikian, tak banyak orang yang mampu memahami makna
karya sastra dengan seutuhnya.
Sejauh ini, pengajaran sastra dinilai
masih kurang mendapatkan perhatian, baik dari segi pengajar maupun
pelajar. Dari segi pengajar, kekurangperhatian itu terletak pada
tingkatan pengetahuan dan pemahaman tentang sastra yang masih minim.
Perkara ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, seperti;kurangnya
kekreatifan dalam mengajar, kurangnya referensi, waktu diskusi, dan
minimnya pemahaman tentang sastra. Faktor lain yang turut menghambat
proses pembelajaran muncul dari pelajar. Mereka cenderung acuh tak acuh
terhadap pembelajaran sastra karena saat pembelajaran berlangsung,
mereka merasakan kebosanan dengan sistem pengajaran yang tidak
bervariasi.
Berkaca pada fenomena itu, keberadaan
sastra dalam pembelajaran yang terbatas diharapkan mampu menjadi tali
penyambung pembentukan karakter pada peserta didik. Tidak usah
muluk-muluk menghasilkan para penulis muda yang berbakat. Paling tidak,
mereka telah mampu menyerap nilai-nilai karakter bangsa setelah menjadi
apresiator, misalnya; menghargai pendapat orang lain, berpendirian
teguh, memiliki sifat periang, terbuka, dan tidak gegabah dalam
mengambil keputusan. Sebab, tujuan utama pembelajaran sastra adalah
melatih peserta didik untuk menghargai karya orang lain dan memunculkan
sifat kreatif.
Akibat Modernitas Bangsa
Di zaman sekarang, kemajuan ICT (Information, Communication, and Technology)
merupakan salah satu tanda berkembangnya modernitas suatu bangsa. Zaman
ini ditandai dengan semakin maraknya media sosial yang turut menambah
malas generasi muda untuk membaca buku. Akses informasi begitu mudah
dicari di dunia maya. Tinggal ketik dan klik pada laman yang tersedia,
muncullah informasi yang diinginkan.
Kebiasaan hidup instan seperti ini
sangatlah berbahaya. Manusia akan cenderung menggantungkan diri pada
dunia maya di tengah kesibukan mereka dalam beraktivitas. Budaya
konsumerisme dunia maya semakin menjalar. Ada beberapa alasan yang
melatarbelakangi ihwal ini, misalnya; alasan tidak punya banyak waktu
untuk membaca buku, anggapan bahwa dunia maya lebih praktis, dan
kekurangefisienan dalam berproses lantaran membawa buku dirasa lebih
susah dibandingkan membawa ponsel, tablet, ataupun laptop. Sebenarnya, anggapan demikian merupakan kesan negatif yang menjerumuskan bangsa ke lubang ketidakcerdasan.
Sedikit mengingat tentang para pemikir
bangsa yang terdahulu. Tanpa adanya modernitas seperti saat ini, mereka
pun mampu mengusir para penjajah yang telah bertahun-tahun menguasai
negara. Sebelum perperang, yang mereka lakukan hanyalah mengatur cara
dan melakukan tindakan disertai dengan kobaran semangat berperang yang
menggebu-gebu. Mereka tidak perlu browsing mencari strategi
untuk melakukan taktik perlawanan. Bekal mereka hanyalah kerjasama dan
adanya satu tekad untuk bersama-sama maju menuju kemerdekaan. Nilai
inilah yang harus dilestarikan.
Saat ini, tantangan terberat bagi bangsa
adalah upaya pemeliharaan nilai-nilai karakter para pejuang negara.
Untuk mengemban amanat ini diperlukan strategi yang militan. Salah
satunya adalah menghargai karya sastra dengan menjadi apresiator sastra
dan mengamalkan nilai-nilai yang terdapat dalam karya sastra.
Sastra bukan hanya sebatas hiburan dan
kesenian. Ia merupakan salah satu identitas bangsa yang perlu
dipelihara. Bukti adanya pengamalan peran sebagai pewaris sifat pejuang
bangsa bukanlah kesiapan untuk bertempur ke medan perang, melainkan
persiapan mempertahankan jati diri bangsa. Jika diperhatikan, saat ini
Indonesia sedang menghadapi masa-masa peralihan menjelang harapan
Indonesia Emas tahun 2045. Pengaruh ICT telah benyak memberikan pengaruh
bagi generasi muda, baik positif maupun negatif. Oleh karena itu,
melalui pembelajaran sastra yang dilakukan meskipun dengan waktu
terbatas, diharapkan mampu membentuk karakter bangsa melalui bangunan
pondasi kepribadian yang akan terus melekat seiring dengan modernitas
yang semakin tak terbatas.
_______________
Sumber : http://vokalinstitute.com/index.php/12-guru-bertutur/137-peran-sastra-terhadap-karakter-bangsa