Bicara soal cinta tentu lebih luas dari samudera, atau tak ada
pakem untuk mendifinisikan apa itu cinta. Kalaupun cinta hanya dilihat
dari dimensi psikologis, rasanya kok akan lebih mereduksi pengertian dan
hakekat cinta itu sendiri. Yang pasti, mendefinisikan cinta dengan
kalimat yang disetujui banyak orang tidak mudah, dan sangat naïf. Salah
satu penafsiran, mengatakan, makna cinta yang rasional adalah mencintai
Tuhan, mencintai sesama dan mencintai lingkungan.
Walau dalam
ejahwantah masalahnya tidak sesederhana itu, karena cinta itu punya
banyak “wajah.” Perangai manusia yang semakin hari semakin akrab dengan
hidup yang praktis-pragmatis mendorong untuk memilih dan tunduk pada
kehidupan yang memberikan daya guna atau hasil nyata. Dan
mengesampingkan makna cinta yang memiliki spiritual membentuk kebajikan,
kemulian, sifat luhur dan kecerdasan, bahkan cinta dalah anugerah yang
patut disyukuri yang akan mendatangkan kebahagiaan dalam arti
sesungguhnya.
Dalam format indahnya cinta dilihat sebagai dasar
sukacita, tenteram, aman, harmoni bahkan pengasah keberhasilan. Secara
psikologis pula, setiap insan membutuhkan cinta sebagai pijakan hidup
“berbahagia.” Walau tak sedikit pendapat yang mengatakan bahwa
pembatasan cinta hanya pada frame kejiwaan adalah salah besar.
Berderet nama filsuf, para seniman, sastrawan dan teolog yang mengkaji
soal cinta dalam karya-karya indah mereka. Perjalanan waktu tidak kuasa
mematikan karya cinta tersebut yang hingga kini masih segar untuk
dipahami. Roman, pantun, syair, puisi, esei dalam gradasi warna sastra
telah lahir sejak abad-abad lalu.
Sebut saja Symposium. Judul
yang ditetapkan filsuf Plato untuk karya sastranya yang menghadirkan
materi cinta. “Siapa yang tidak terharu oleh cinta, berarti berjalan
dalam gelap gulita,” tulisnya. Sesuatu yang hadir atas dasar cinta
memang selalu menggelitik untuk dinikmati, disimak dan ditelaah. Walau
sebagaimana yang telah dikatakan di atas bahwa multi anggapan muncul
terhadap cinta. Cinta dianggap anugerah, atau cinta justru dianggap
pemicu lahirnya akar pahit dalam hidup dan tak ada pentingnya
membicarakan atau membahas soal cinta.
Tapi satu hal yang tak
dapat disangkal bahwa filsuf dunia ini berkarya atas dasar cinta. Sebut
saja Khalil Gibran. “The Prophet” dan “Broken Wings” yang merupakan
master piece-nya juga bicara soal cinta. Gibran memiliki ketajaman
melihat cinta dalam karya-karya indahnya. Puisi cintanya selama puluhan
tahun menjadi best seller. Dalam lembaran “The Prophet,” Gibran
menulis:
Kecuali keseluruhan dirinya
Cinta tidak mengambil apa-apa
Kecuali dari dirinya
Cinta tidak memiliki atau dimiliki
Karena cinta telah cukup untuk cinta…
Tak berlebihan jika dikatakan hampir semua karya Khalil Gibran mengurai
soal cinta- kasih. Cinta memang menembus banyak sisi dan roh manusia
dalam berkarya sastra. Di sisi yang lain mendefinisikan cinta dengan
kalimat (atau karya) agar disetujui banyak orang - juga bukanlah
gampang, karena toh definisi yang muncul akan beragam. Sebagaimana
filsuf Rumi mendefinisikan cinta ke dalam syairnya:
cinta adalah sebuah samudera yang dalamnya tak dapat diukur
Cinta tak dapat ditemukan dalam belajar dan ilmu pengetahuan,
buku-buku dan lembaran-lembaran halaman
Apapun yang orang bicarakan itu, bukanlah jalan para pencinta
Sementara konsep psikolog Fromm berpendapat bahwa perilaku yang
dilihat sebagai cinta itu adalah perhatian, tanggungjawab, hormat dan
pengetahuan. Walau cinta yang paling mendasar diartikannya sebagai
tindakan yang mau berkorban dengan tulus. Katanya lagi, cinta itu adalah
kode etik dan estetika yang berlaku di tengah kehidupan masyarakat
sosial.
Cinta kepada Tuhan (agape), cinta terhadap sesama, dan
kepada alam semesta (philia) ketika hubungan vertical dan horizontal
itu dijalankan dengan benar maka manusia akan mampu melalui hidupnya
dengan tindakan-tindakan produktif dan kreatif. Dan itu juga yang
dikatakan oleh psikolog Abraham Maslow: Cinta adalah proses panjang
aktualitas diri seorang manusia.
Dalam pandangan para filsuf
naturalis, cinta itu adalah gejala psikologis alamiah yang dialami
banyak insan.Atau, dalam Taoisme dapat dibaca bahwa cinta dikenal
sebagai suatu tindakan suka rela. Sementara Socrates berpendapat, cinta
antara lain satu pencaharian untuk menjaga eksitensi diri, kebaikan
duniawi, kesenangan estetik yang menghasilkan sesuatu yang abadi, bahkan
sampai setelah kematian, di mana cinta itu tetap muncul sebagai
keindahan. Lewat karya-karya mereka maka keindahan itu terbukti bisa
dikecap dan dinikmati banyak orang. Satu di antaranya adalah karya
sastra.
Dalam karya sastra ada suatu emosi cinta yang positif.
Mungkin ini yang dikatakan Khalil Gibran sebagai akal pertimbangan dan
perasaan hati laksana kemudi dan layar dalam mengarungi bahtera jiwa.
Atau kata Iqbal dalam Asrar-I Khudi,
melalui cinta akan mengenal
realitas, dan akan memberi ketenangan pada cinta yang bekerja,
bangkitlah dan letakkan dasar-dasar dunia baru, dengan mengawinkan akal
dan cinta.
Penekanan arti cinta di hampir di seluruh karya Gibran
itu membuktikan bahwa filsuf asal Lebanon ini sangat menganggungkan
cinta. “Cinta, engkau adalah badanku” - yang ia tulis dalam eseinya
“The Victor.” Lagi dalam novel “Broken Wings,” Gibran menulis, “cinta
adalah hukum alam.” Dengan jelas juga Gibran berpendapat bahwa hidup
tanpa cinta ibarat pohon tanpa bunga, bunga tanpa cinta wangi atau buah
tanpa isi. Pandangan Gibran senada dengan pandangan Erich Fromm yang
melihat cinta sebagai dasar eksitensi manusia.
Kenyataan ini
setidaknya mengartikan bahwa cinta adalah potensi dalam diri manusia
atau “api” yang mampu menerangi kreativitas untuk melahirkan karya-karya
indah. Cinta juga menjadi daya hidup yang menghidupkan sebuah
kehidupan. Dan hasil kerja merupakan ejawantah dari arti cinta itu
sendiri, karena cinta adalah perwujudan nyata dan lahirnya sebuah
kebebasan yang positif. Semua itu lahir dan bermuara di dalam hati
manusia. Kebebasan? Ya, bukankah kebebasan itu sendiri adalah cinta.
Ambil contoh, Leonardo da Vinci menciptakan sebuah lukisan untuk
seorang perempuan yang dicintainya. Muncullah wajah Monalisa di atas
kanvas. Apakah benar wajah perempuan itu seperti yang ia lukis? Hanya
dialah yang tahu.
Di bagian lain, Plato menekankan bahwa esensi
cinta adalah keindahan. Rasanya benar, karena keindahan cinta itu maka
dari dataran Cina muncul cerita Sampek Engtay. Ada juga kisah romantis
yang sangat termasyur, Romeo and Juliet. Yang juga masih kental
diingatan kisah cinta yang mengharuskan dari Timur Tengah Laila -
Majnun, atau Bandung Bondowoso yang ingin membuat seribu candi dalam
semalam karena ingin mendapatkan cinta dari orang yang dikagumi, Roro
Jonggrang.
“Sayap-Sayap Patah” karya Khalil Gibran, adalah kisah
cinta yang mengharubirukan hati, yang mengisahkan perjalanan cinta yang
tragis dari seorang perempuan bernama Selma Karamy. Atau, Shah Jehan
pun tertular virus cinta yang akhirnya membangun Taj Mahal atas dasar
ketulusan cintanya.
Para filsuf pun dalam memformulasikan apa
itu cinta, beragam pendapatnya. Mereka memilah cinta dari aliran-aliran
yang dianut mereka. Misalnya aliran naturalis, idealis, atau
fenomenologis. Juga ada pandangan yang dari kalangan filsuf
eksistensialis.
Apapun beda pandang itu, kenyataan berbicara bahwa karya mereka lahir karena cinta!
Bacaan:
~Khalil Gibran, The Prophet (London:William Manneheim ltd,1926)
~Erick Fromm, Seni Mencinta, Terj Iwan Nurdaya Djafar (Jakarta: Pustaka Sinar harapan 1990)
~Fahrudin Faiz-Filosofi Khalil Gibran Penerbit Diadit Media-2006
~ Herry Prasetyo, The Power of Pribadi yang Mengagumkan - 2012
~Kenneth Hagin Jr - The Untapped Power in Praise-MetaNoia - 2004
____________________
Sumber : Catatan Martha Sinaga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar