Sabtu, 22 Maret 2014

(Seluk Beluk Sastra) - Cinta Melahirkan Sastra Oleh: Martha Sinaga






Bicara soal cinta tentu lebih luas dari samudera, atau tak ada pakem untuk mendifinisikan apa itu cinta. Kalaupun cinta hanya dilihat dari dimensi psikologis, rasanya kok akan lebih mereduksi pengertian dan hakekat cinta itu sendiri. Yang pasti, mendefinisikan cinta dengan kalimat yang disetujui banyak orang tidak mudah, dan sangat naïf. Salah satu penafsiran, mengatakan, makna cinta yang rasional adalah mencintai Tuhan, mencintai sesama dan mencintai lingkungan.

Walau dalam ejahwantah masalahnya tidak sesederhana itu, karena cinta itu punya banyak “wajah.” Perangai manusia yang semakin hari semakin akrab dengan hidup yang praktis-pragmatis mendorong untuk memilih dan tunduk pada kehidupan yang memberikan daya guna atau hasil nyata. Dan mengesampingkan makna cinta yang memiliki spiritual membentuk kebajikan, kemulian, sifat luhur dan kecerdasan, bahkan cinta dalah anugerah yang patut disyukuri yang akan mendatangkan kebahagiaan dalam arti sesungguhnya.

Dalam format indahnya cinta dilihat sebagai dasar sukacita, tenteram, aman, harmoni bahkan pengasah keberhasilan. Secara psikologis pula, setiap insan membutuhkan cinta sebagai pijakan hidup “berbahagia.” Walau tak sedikit pendapat yang mengatakan bahwa pembatasan cinta hanya pada frame kejiwaan adalah salah besar.

Berderet nama filsuf, para seniman, sastrawan dan teolog yang mengkaji soal cinta dalam karya-karya indah mereka. Perjalanan waktu tidak kuasa mematikan karya cinta tersebut yang hingga kini masih segar untuk dipahami. Roman, pantun, syair, puisi, esei dalam gradasi warna sastra telah lahir sejak abad-abad lalu.

Sebut saja Symposium. Judul yang ditetapkan filsuf Plato untuk karya sastranya yang menghadirkan materi cinta. “Siapa yang tidak terharu oleh cinta, berarti berjalan dalam gelap gulita,” tulisnya. Sesuatu yang hadir atas dasar cinta memang selalu menggelitik untuk dinikmati, disimak dan ditelaah. Walau sebagaimana yang telah dikatakan di atas bahwa multi anggapan muncul terhadap cinta. Cinta dianggap anugerah, atau cinta justru dianggap pemicu lahirnya akar pahit dalam hidup dan tak ada pentingnya membicarakan atau membahas soal cinta.

Tapi satu hal yang tak dapat disangkal bahwa filsuf dunia ini berkarya atas dasar cinta. Sebut saja Khalil Gibran. “The Prophet” dan “Broken Wings” yang merupakan master piece-nya juga bicara soal cinta. Gibran memiliki ketajaman melihat cinta dalam karya-karya indahnya. Puisi cintanya selama puluhan tahun menjadi best seller. Dalam lembaran “The Prophet,” Gibran menulis:

Cinta tidak memberi apa-apa
Kecuali keseluruhan dirinya
Cinta tidak mengambil apa-apa
Kecuali dari dirinya
Cinta tidak memiliki atau dimiliki
Karena cinta telah cukup untuk cinta…

Tak berlebihan jika dikatakan hampir semua karya Khalil Gibran mengurai soal cinta- kasih. Cinta memang menembus banyak sisi dan roh manusia dalam berkarya sastra. Di sisi yang lain mendefinisikan cinta dengan kalimat (atau karya) agar disetujui banyak orang - juga bukanlah gampang, karena toh definisi yang muncul akan beragam. Sebagaimana filsuf Rumi mendefinisikan cinta ke dalam syairnya:

Cinta tak dapat termuat dalam pembicaraan atau pendengaran kita,
cinta adalah sebuah samudera yang dalamnya tak dapat diukur
Cinta tak dapat ditemukan dalam belajar dan ilmu pengetahuan,
buku-buku dan lembaran-lembaran halaman
Apapun yang orang bicarakan itu, bukanlah jalan para pencinta

Sementara konsep psikolog Fromm berpendapat bahwa perilaku yang dilihat sebagai cinta itu adalah perhatian, tanggungjawab, hormat dan pengetahuan. Walau cinta yang paling mendasar diartikannya sebagai tindakan yang mau berkorban dengan tulus. Katanya lagi, cinta itu adalah kode etik dan estetika yang berlaku di tengah kehidupan masyarakat sosial.

Cinta kepada Tuhan (agape), cinta terhadap sesama, dan kepada alam semesta (philia) ketika hubungan vertical dan horizontal itu dijalankan dengan benar maka manusia akan mampu melalui hidupnya dengan tindakan-tindakan produktif dan kreatif. Dan itu juga yang dikatakan oleh psikolog Abraham Maslow: Cinta adalah proses panjang aktualitas diri seorang manusia.

Dalam pandangan para filsuf naturalis, cinta itu adalah gejala psikologis alamiah yang dialami banyak insan.Atau, dalam Taoisme dapat dibaca bahwa cinta dikenal sebagai suatu tindakan suka rela. Sementara Socrates berpendapat, cinta antara lain satu pencaharian untuk menjaga eksitensi diri, kebaikan duniawi, kesenangan estetik yang menghasilkan sesuatu yang abadi, bahkan sampai setelah kematian, di mana cinta itu tetap muncul sebagai keindahan. Lewat karya-karya mereka maka keindahan itu terbukti bisa dikecap dan dinikmati banyak orang. Satu di antaranya adalah karya sastra. 

Dalam karya sastra ada suatu emosi cinta yang positif. Mungkin ini yang dikatakan Khalil Gibran sebagai akal pertimbangan dan perasaan hati laksana kemudi dan layar dalam mengarungi bahtera jiwa. Atau kata Iqbal dalam Asrar-I Khudi,
melalui cinta akan mengenal realitas, dan akan memberi ketenangan pada cinta yang bekerja, bangkitlah dan letakkan dasar-dasar dunia baru, dengan mengawinkan akal dan cinta.

Penekanan arti cinta di hampir di seluruh karya Gibran itu membuktikan bahwa filsuf asal Lebanon ini sangat menganggungkan cinta. “Cinta, engkau adalah badanku” - yang ia tulis dalam eseinya “The Victor.” Lagi dalam novel “Broken Wings,” Gibran menulis, “cinta adalah hukum alam.” Dengan jelas juga Gibran berpendapat bahwa hidup tanpa cinta ibarat pohon tanpa bunga, bunga tanpa cinta wangi atau buah tanpa isi. Pandangan Gibran senada dengan pandangan Erich Fromm yang melihat cinta sebagai dasar eksitensi manusia.

Kenyataan ini setidaknya mengartikan bahwa cinta adalah potensi dalam diri manusia atau “api” yang mampu menerangi kreativitas untuk melahirkan karya-karya indah. Cinta juga menjadi daya hidup yang menghidupkan sebuah kehidupan. Dan hasil kerja merupakan ejawantah dari arti cinta itu sendiri, karena cinta adalah perwujudan nyata dan lahirnya sebuah kebebasan yang positif. Semua itu lahir dan bermuara di dalam hati manusia. Kebebasan? Ya, bukankah kebebasan itu sendiri adalah cinta.

Ambil contoh, Leonardo da Vinci menciptakan sebuah lukisan untuk seorang perempuan yang dicintainya. Muncullah wajah Monalisa di atas kanvas. Apakah benar wajah perempuan itu seperti yang ia lukis? Hanya dialah yang tahu. 

Di bagian lain, Plato menekankan bahwa esensi cinta adalah keindahan. Rasanya benar, karena keindahan cinta itu maka dari dataran Cina muncul cerita Sampek Engtay. Ada juga kisah romantis yang sangat termasyur, Romeo and Juliet. Yang juga masih kental diingatan kisah cinta yang mengharuskan dari Timur Tengah Laila - Majnun, atau Bandung Bondowoso yang ingin membuat seribu candi dalam semalam karena ingin mendapatkan cinta dari orang yang dikagumi, Roro Jonggrang. 

“Sayap-Sayap Patah” karya Khalil Gibran, adalah kisah cinta yang mengharubirukan hati, yang mengisahkan perjalanan cinta yang tragis dari seorang perempuan bernama Selma Karamy. Atau, Shah Jehan pun tertular virus cinta yang akhirnya membangun Taj Mahal atas dasar ketulusan cintanya. 

Para filsuf pun dalam memformulasikan apa itu cinta, beragam pendapatnya. Mereka memilah cinta dari aliran-aliran yang dianut mereka. Misalnya aliran naturalis, idealis, atau fenomenologis. Juga ada pandangan yang dari kalangan filsuf eksistensialis. 

Apapun beda pandang itu, kenyataan berbicara bahwa karya mereka lahir karena cinta!







Bacaan:


~Khalil Gibran, The Prophet (London:William Manneheim ltd,1926)
~Erick Fromm, Seni Mencinta, Terj Iwan Nurdaya Djafar (Jakarta: Pustaka Sinar harapan 1990)
~Fahrudin Faiz-Filosofi Khalil Gibran Penerbit Diadit Media-2006
~ Herry Prasetyo, The Power of Pribadi yang Mengagumkan - 2012
~Kenneth Hagin Jr - The Untapped Power in Praise-MetaNoia - 2004



____________________


Sumber : Catatan Martha Sinaga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar