Abdoel Moeis dan novel pertamanya, "Salah Asuhan" (1928). Ilustrasi: Micha Rainer Pali.
Tanggal lahir Abdoel Moeis ditetapkan sebagai Hari Sastra Indonesia. Jejak perjuangannya membekas dalam kewartawanan, politik, dan kesusastraan.
OLEH: HENDRI F. ISNAENI
PADA 24 Maret
2013, pertemuan sastrawan terkemuka Indonesia di Bukittinggi, Sumatra
Barat, yang dihadiri wakil menteri pendidikan serta sejumlah tokoh
nasional dan daerah, menetapkan 3 Juli sebagai Hari Sastra Indonesia.
Tanggal itu diambil dari kelahiran Abdoel Moeis, wartawan, politisi, dan
sastrawan.
“Pada awalnya kami mencari naskah
sastrawan terkemuka yang diterima Balai Pustaka. Tapi tidak berhasil
menemukan tanggal terbitan pertama Balai Pustaka sehingga akhirnya
panitia kecil menetapkan tanggal lahir Abdoel Moeis sebagai Hari Sastra
Indonesia,” kata penyair Taufiq Ismail, penggagas Hari Sastra Indonesia,
dikutip www.republika.co.id, 24 Maret 2013. Selain itu, Abdoel
Moeis juga merupakan pahlawan nasional pertama yang diangkat oleh
Presiden Sukarno pada 30 Agustus 1959.
Abdoel Moeis lahir pada 3 Juli 1886 di
Solok, Sumatra Barat –versi lain menyebut tahun kelahirannya: 1878,
1883, dan 1890. Lulus sekolah dasar yang diperuntukkan bagi komunitas
Eropa (ELS), Abdoel Moeis masuk sekolah dokter Jawa (STOVIA) namun
keluar karena sakit. Berkat bantuan JH Abendanon, direktur departemen
pendidikan dan agama, dia bekerja di departemen tersebut sebagai
jurutulis. Hanya dua tahun bekerja, dia pindah ke Bank Rakyat. Tak tahan
melihat penyelewengan para pejabat bank, dia berhenti dan bergabung
dengan Abdul Rivai, pemimpin Bintang Hindia, sebuah majalah progresif terbitan Amsterdam (1901-1908).
Abdoel Moeis bertindak sebagai wartawan dan pemimpin redaksi Bintang Hindia
edisi bahasa Indonesia di Batavia. Berakhirnya penerbitan majalah
tersebut akibat dihentikannya dukungan keuangan pemerintah, memaksanya
pindah ke suratkabar Belanda, Preanger Bode, yang juga tak bertahan lama.
Pada 1912, Abdoel Moeis bersama A. Widiadisastra seorang wartawan asal Banten dan pernah bekerja di suratkabar Medan Priyayi pimpinan Tirto Adisuryo; dan Mohammad Yunus, seorang Arab dari Palembang sebagai penyokong keuangannya, mendirikan suratkabar Kaum Muda, sebuah suratkabar progresif berbahasa Indonesia yang belakangan diperhitungkan oleh pihak Belanda.
Sejak itu, dia berhubungan erat dengan
tokoh-tokoh Islam. Atas permintaan HOS Tjokroaminoto, dia bersama
Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara) dan Wignyadisasra bergabung
dengan Sarekat Islam (SI) yang berdiri pada 1911 di Solo; organisasi
politik ini semula namanya Sarekat Dagang Islam yang bertujuan memajukan
perdagangan Indonesia di bawah panji-panji Islam. Abdoel Moeis menjadi
ketua SI cabang Bandung, Ki Hajar Dewantara wakil ketua, dan
Wignyadisasra sebagai sekretaris.
Saat cabang SI mencapai 50 lebih,
dibentuk Central Sarakat Islam (CSI) pada 1915 berkedudukan di Surabaya.
Tjokroaminoto sebagai ketua, Abdul Muis wakil ketua, dan Haji Samanhudi
ketua kehormatan. Pada awal 1918, Abdoel Moeis dari CSI terpilih
sebagai anggota Volksraad (Dewan Rakyat).
Akibat aktivitas politiknya dengan SI,
Abdoel Moeis berhadapan dengan pemerintah kolonial Belanda. Tak lama
setelah Abdoel Moeis mengunjungi Toli-Toli, Sulawesi Tengah, rakyat di
sana menolak kerja rodi dan melakukan perlawanan pada Juni 1919.
Sejumlah pegawai pribumi dan seorang controleur (pengawas) De
Kat Angelino terbunuh. Pemerintah menuduh Abdoel Moeis mengompori rakyat
untuk memberontak. Pada 11 Februari 1922, Abdoel Moeis memimpin
pemogokan besar-besaran buruh pegadaian di Jawa, dan pada 1923
memperjuangkan masyarakat Minangkabau dalam memperjuangkan hak tanahnya
yang berkaitan dengan pajak (belasting).
Akibat kegiatan tersebut, pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan passenstelsel, yang melarang Abdoel Moeis mengunjungi semua daerah di luar pulau Jawa dan Madura.
“Setelah ada larangan itu, Abdoel Moeis kemudian tinggal sebagai petani di Garut tahun 1924,” tulis Maman Mahayana dalam Akar Melayu.
“Dia mengawali penulisan novelnya awal tahun 1927 saat dia sudah
meninggalkan kegiatan politiknya dalam Sarekat Islam selama lebih dari
satu dasawarsa (1912-1924).”
Karya perdana Abdoel Moeis berjudul Salah Asuhan diterbitkan
Balai Pustaka pada 1928. Novel ini diadaptasi ke layar lebar oleh
sutradara Asrul Sani pada 1972, dan diterjemahkan ke dalam bahasa
Tiongkok dan Jepang. Pada 1933, dia menerbitkan novel keduanya, Pertemuan Jodoh, dan menerjemahkan beberapa novel seperti Don Kisot de la Mancha karya Cervantes, Tom Sawyer Anak Amerika karya Mark Twain, dan Sebatang Kara karya Hector Malot. Baru pada 1950 dia menerbitkan novel Surapati, dan tigatahun kemudian novel Robert Anak Surapati.
Abdoel Moeis meninggal pada 17 Juni 1959
di Bandung. Pada tahun itu juga dia diangkat menjadi pahlawan nasional.
“Tidak ada alasan jelas mengapa Abdoel Moeis dipilih sebagai pahlawan
nasional yang pertama,” tulis Klaus H. Schreiner, “Penciptaan
Pahlawan-Pahlawan Nasional,” dalam Outward Appearances, karya Henk Schulte Nordholt (ed.).
Menurut Maman, betapapun Salah Asuhan
telah membuat nama Abdoel Moeis begitu populer, aktivitasnya sendiri
sebagian besar dicurahkan dalam bidang kewartawanan dan politik. “Bahkan
pengangkatannya sebagai pahlawan nasional bukanlah karena jasanya di
bidang kewartawanan dan kesusastraan, melainkan dalam politik, yaitu
dianggap telah berjasa dalam pergerakan kebangsaan ketika dia menjadi
anggota Sarekat Islam.”
Kini, tanggal lahirnya diabadikan
sebagai Hari Sastra Indonesia. Penetapan ini, dengan mengambil pijakan
Balai Pustaka, tentu bisa menuai perdebatan karena mengabaikan
perkembangan sastra atau peranan sastrawan era sebelumnya.
Penolakan antara lain dilontarkan Jurnal
Sastra Boemipoetra Solo, dengan alasan Abdoel Moeis adalah anak dari
Balai Pustaka, institusi penerbitan pemerintah kolonial Belanda. Sebagai
tandingan, mereka menetapkan tanggal 6 Februari, berdasarkan tanggal
lahir sastrawan Pramoedya Ananta Toer, yaitu pada tanggal 6 Februari
1925.
“Pramoedya Ananta Toer adalah salah
seorang sastrawan Indonesia yang karya-karyanya mengandung semangat
kebangsaan Indonesia, antikolonialisme, antifeodalisme dan bersifat
kerakyatan. Selain itu, Pramoedya Ananta Toer juga satu-satunya
sastrawan Indonesia yang berkali-kali dinominasikan sebagai pemenang
Hadiah Nobel Sastra,” demikian argumen deklarasi tandingan tersebut.
_______________________
Sumber : http://www.historia.co.id/artikel/persona/1187/Majalah-Historia/Abdoel_Moeis_dan_Hari_Sastra_Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar