Wilayah sengketa itu kini kembali dipersengketakan.
OLEH: MF MUKTHI
5 Maret 2013
MANTAN Perdana Menteri Malaysia Mahathir
Mohamad bersuara lantang mengomentari penyerangan bersenjata di Sabah
yang memakan banyak korban jiwa. “Tidak ada jalan keluar selain
meluncurkan serangan balik untuk mengusir mereka,” ujarnya. Mahathir
menganggap pemerintah Malaysia keliru mengirimkan polisi. “Ancaman
eksternal semestinya ditangani oleh angkatan bersenjata,” kritiknya.
Konflik itu diawali oleh penyusupan
ratusan warga Filipina Selatan, yang mengklaim sebagai Tentara Diraja
Kesultanan Sabah ke Lahad Datu, Sabah, Malaysia awal Februari 2013.
Mereka berusaha mengambil kembali Sabah (Kalimantan Utara) dari
Malaysia, yang mencaploknya 50 tahun silam.
Pada 1 Maret 2013 pihak keamanan
Malaysia mengepung mereka. Baku tembak menewaskan sedikitnya 14 orang.
Dua hari kemudian konflik meluas ke Semporna, 150 kilometer selatan
Lahad Datu. Enam polisi Malaysia dan enam penyerang tewas.
Meningkatnya eskalasi konflik membuat PM
Najib Razak mengirimkan dua batalyon tentara, lengkap dengan kendaraan
lapis baja. Sementara itu, pemerintah Filipina yang awalnya
memerintahkan para penyusup menyerahkan diri, kini mendesak pemerintah
Malaysia agar menggunakan “toleransi maksimum” terhadap warganya. Di
samping mengutus Menteri Luar Negeri Albert del Rosario ke Kuala Lumpur,
pemerintah Filipina juga meminta Malaysia agar mengizinkan kapal
angkatan lautnya merapat ke Lahad Datu guna memberi bantuan medis dan
membawa pekerja sosial.
Sabah atau Kalimantan Utara awalnya
milik Kesultanan Brunei. Pada abad ke-7, wilayah ini rumah bagi
komunitas bernama Vijayapura, vasal Kerajaan Sriwijaya di Sumatra
Selatan. Banyak yang percaya, Vijayapura leluhur orang Brunei.
Sejak abad ke-6, Kalimantan Utara ramai
dikunjungi orang dari berbagai tempat. Ia menjadi pusat transit karena
posisinya berada di tengah jalur perdagangan Tiongkok-Nusantara. Sewaktu
Kesultanan Brunei Darussalam berdiri pada abad ke-14, Sabah dan
wilayah-wilayah lain di Kalimantan belum resmi bagian kerajaan. Baru
pada era kekuasaan Raja Bolkiah (abad ke-15), yang melakukan ekspansi
besar-besaran hingga ke Banjarmasin di selatan, Sabah resmi dimasukkan
ke dalam Brunei Darussalam. “Pada abad ke-16 Brunei merupakan satu
kerajaan besar yang meliputi Kalimantan Utara dan merentang hingga ke
Filipina,” tulis John Stewart Bowman dalam Columbia Chronologies of Asian History and Culture.
Di kawasannya, dominasi Brunei mendapat
tantangan dari Kesultanan Sulu di Mindanao. Namun setelah terjadi
perpecahan dalam tubuh kerajaan pada pertengahan abad ke-17 dan
Kesultanan Sulu turut membantu mengatasinya, menurut Graham Saunders
dalam A History of Brunei, Brunei terpaksa memberikan Sabah kepada Kesultanan Sulu sebagai kompensasi.
Di bawah Kesultanan Sulu, yang lalu
takluk oleh Spanyol, Sabah kembali berganti pemilik. Wilayah itu lalu
dijadikan pos perdagangan Kongsi Dagang Inggris (EIC) setelah Alexander
Dalrymple, perwira EIC, menandatangani perjanjian kontrak dengan sultan
Sulu. British North Borneo Provisional Association Ltd. –lalu menjadi
British North Borneo Company– mendirikan kantor di situ dengan ibukota
di Kudat. Ketika Protokol Madrid ditandatangani oleh Inggris, Spanyol,
dan Jerman pada 1885, yang mengakui Sulu sebagai wilayah kedaulatan
Spanyol sebagai ganti atas klaim Spanyol terhadap Kalimantan Utara,
Sabah tetap menjadi konsesi perusahaan Inggris itu.
Pasca-Perang Dunia II, wilayah-wilayah
yang diduduki Jepang kembali menjadi bagian dari pemilik-pemilik
sebelumnya. Sabah dan wilayah lain seperti Brunei menjadi protektorat
Inggris, salah satu pemenang perang. Konflik baru kembali muncul pada
paruh pertama 1960 ketika tiga negara (Brunei Darussalam, Filipina, dan
Federasi Malaya) mengklaim Sabah secara bersamaan. Berdasarkan sejarah,
klaim Brunei, Sabah adalah wilayah kekuasaannya; Filipina bersikukuh
Sabah bagian wilayahnya karena sebelumnya merupakan milik sah Kesultanan
Sulu yang disewakan kepada perusahaan Inggris; dan Federasi Malaya
mengklaim Sabah miliknya karena mulanya Sabah milik Inggris. Malaya
ingin menyatukan Sabah, Sarawak, dan Brunei ke dalam Federasi Malaysia,
yang disponsori Inggris.
Konflik Brunei-Filipina berhasil
diselesaikan pada 1962. Sedangkan konflik Filipina-Malaya, meski alot,
akhirnya bisa diselesaikan dengan –bantuan Indonesia, yang lebih condong
ke Filipina lantaran Sukarno menganggap Malaysia sebagai proyek
neokolonialisme– ditandatanganinya Manila Agreement pada 31 Juli 1963.
Isinya antara lain, Sabah dan Serawak bisa bergabung ke dalam Malaysia
asalkan sebelumnya diadakan referendum terlebih dulu, apakah rakyat di
kedua wilayah setuju atau tidak bergabung dengan Malaysia.
Yang sulit adalah konflik Brunei-Malaya,
masing-masing pihak bersikukuh terhadap pendiriannya. Namun sebuah
penyerangan bersenjata –oleh rakyat Brunei terhadap pos-pos keamanan
Inggris di hampir seluruh Kalimantan Utara– pada 8 Desember 1962 membuat
posisi politik Brunei runtuh. Inggris kembali menggenggam Brunei dan
Sabah sebagai protektoratnya. Yang tersisa tinggal Malaya. Gerbang
kelancaran proyek Malaysia pun kian menganga.
Ketika tim pencari fakta PBB, yang
dibantu wakil-wakil Indonesia dan Filipina, sedang bekerja sebagai
kelanjutan dari keputusan Manila Agreement, PM Malaya Tunku Abdul Rahman
Putera mengumumkan proklamasi Federasi Malaya pada 16 September 1963.
“Tentu saja aku marah. Pemerintah Indonesia telah ditipu dan
diperlakukan seperti patung,” ujar Sukarno dalam otobiografinya, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Jakarta dan Manila menganggap Tunku mengangkangi perjanjian yang telah
mereka sepakati. Namun, nasib Sabah –dan Serawak– secara formal tetap
masuk ke dalam Malaysia pada 1963, meski ada permintaan Sukarno kepada
Sekjen PBB U Thant untuk menyelidiki ulang hasil referendum. “Ini adalah
penggabungan wilayah yang dipaksakan,” tegas Sukarno
____________________
Sumber : http://historia.co.id/artikel/modern/1182/20/Majalah-Historia/Sabah_Milik_Siapa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar