Ketika berkecamuk Perang Tiga Puluh Tahun, seorang Swiss beragama
Protestan yang bernama Zingli memiliki sebuah bisnis penyamakan kulit
yang besar di kota Augsburg yang berada di luar wilayah kerajaan – dalam
daerah Lech. Ia menikah dengan seorang wanita Augsburg dan mendapat
seorang putera darinya. Ketika orang‑orang Katolik menyerbu kota itu,
teman‑temannya telah mendesaknya untuk segera mengungsi. Namun entah
karena keluarga kecilnya atau sayang meninggalkan bisnisnya, ia enggan
berangkat ketika masih ada waktu.
Maka iapun masih tetap di situ saat para prajurit kerajaan menyerbu
kota. Dan sorenya ketika terjadi penjarahan, ia bersembunyi di dalam
lubang tempat penyimpanan kulit yang telah disamak yang terletak di
halaman rumahnya. Sementara, istrinya sudah siap berangkat dengan anak
mereka menuju ke tempat keluarganya di pinggiran kota, namun wanita itu
menghabiskan terlalu banyak waktu untuk mengepak barang‑barangnya yang
berupa baju‑baju, perhiasan, dan perabotan ranjang. Maka terjadilah
ketika tiba‑tiba dilihatnya melalui sebuah lobang jendela di lantai
pertama satu regu tentara kerajaan yang sedang berusaha menerobos masuk
ke dalam halaman, ia tak kuasa mengatasi rasa takutnya dan menjatuhkan
semua barangnya lalu melarikan diri melalui pintu belakang.
Dengan demikian anaknyapun tertinggal di dalam rumah. Balita itu
terbaring di dalam buaiannya di aula rumah yang luas dan asyik bermain
dengan sebuah bola kayu yang digantungkan dari langit‑langit dengan
seutas benang.
Hanya seorang gadis pembantu yang masih berada di rumah tadi. Saat
itu ia sedang sibuk dengan panci‑panci dan periuk‑periuk tembaga di
dapur ketika terdengar suara ribut‑ribut di jalanan. Iapun berlari cepat
ke sebuah jendela, dari sana terlihat para tentara yang sedang melempar
berbagai macam barang rampasan ke jalanan dari lantai pertama rumah
seberang. Lalu ia berlari ke aula dan baru saja hendak mengambil si
kecil dari buaiannya ketika terdengar hantaman keras di pintu depan yang
terbuat dari kayu ek. Sang gadis dicekam kepanikan dan berlari ke atas
tangga.
Aula itupun dipenuhi para prajurit yang mabuk, mereka membanting apa
saja sampai berkeping‑keping. Mereka tahu bahwa saat itu sedang berada
di rumah seorang Protestan. Sungguh suatu keajaiban bagi Anna, sang
gadis pembantu, ia tetap tak diketemukan selama terjadi penggeledahan
dan penjarahan itu. Setelah para serdadu tadi enyah, dengan buru‑buru
Anna segera keluar dari lemari tempat persembunyiannya tadi dan
mendapati si kecil yang berada di aula juga dalam keadaan selamat. Iapun
lalu mengangkatnya dan berjalan mengendap‑endap menuju ke halaman.
Ketika itu malam telah turun, namun cahaya merah dari rumah sebelah yang
terbakar menerangi halaman itu. Dan dengan ngeri iapun bisa menyaksikan
mayat majikannya. Para tentara tadi telah menyeret pria itu dari lubang
persembunyiannya kemudian membantainya. Baru kini gadis itu menyadari
betapa berbahayanya kalau sampai tertangkap di jalanan bersama anak
Protestan tersebut. Dengan berat hati dibaringkannya lagi sang balita ke
dalam buaiannya, memberinya susu dan mengayun‑ayunkannya hingga
tertidur. Kemudian ia pergi mencari jalan ke wilayah lain di kota itu di
mana kakak perempuannya yang telah menikah tinggal.
Pada sekitar pukul sepuluh malam dengan ditemani suami kakaknya,
gadis itu berjalan berjejal‑jejal di antara gerombolan serdadu yang
sedang merayakan kemenangan mereka untuk pergi ke pinggiran kota dan
mencari Nyonya Zingli, ibu anak tadi. Mereka mengetuk‑ngetuk pintu
sebuah rumah yang bagus, dan setelah agak lama barulah pintunya dibuka
sedikit.
Seorang pria tua berperawakan kecil, paman Nyonya Zingli, menjulurkan
kepalanya. Dengan terengah‑engah Anna memberitahu bahwa Tuan Zingli
telah meninggal tapi anaknya masih selamat di rumah itu. Laki‑laki tua
tersebut memandangnya dengan dingin dan mengatakan bahwa keponakan
perempuannya sudah tidak lagi berada di situ, sedangkan dirinya sendiri
cuci tangan terhadap anak jadah Protestan tersebut. Setelah berkata
demikian iapun kembali menutup pintu. Ketika mereka beranjak, kakak ipar
Anna memperhatikan sebuah gorden bergerak‑gerak dari salah satu jendela
dan merasa yakin bahwa Nyonya Zingli berada di sana. Tampaknya
perempuan itu tidak merasa malu sedikitpun tidak mengakui anaknya
sendiri.
Anna dan kakak iparnya berjalan berdampingan dalam kebisuan untuk
beberapa saat. Kemudian ia menyatakan bahwa ia akan kembali ke tempat
penyamakan kulit tadi dan mengambil si kecil. Kakak iparnya, seorang
pria yang terpandang, terperanjat mendengarnya dan berusaha mencegah
gagasan yang berbahaya ini. Memangnya orang‑orang itu apanya dia? Bahkan
selama ini diapun tidak pernah mendapatkan perlakuan yang layak dari
mereka.
Anna mendengarkannya sampai selesai berbicara dan berjanji tidak akan
melakukan tindakan yang gegabah. Meski demikian, ia harus singgah
secepatnya ke tempat penyamakan itu untuk melihat apakah sang balita
membutuhkan sesuatu. Dan ia ingin pergi sendiri.
Ia berkeras melaksanakan niatnya. Di tengah‑tengah aula yang
porak‑poranda si kecil terbaring dengan damai dan lelap dalam tidurnya.
Dengan hati‑hati Anna duduk di sisinya dan memandanginya. Ia tidak
berani menyalakan lampu, namun rumah sebelah masih terbakar dan dari
cahayanya gadis itu dapat memandang sang balita dengan agak jelas. Di
lehernya yang mungil terdapat tahi lalat kecil.
Ketika ia memandangi si kecil yang sedang menarik napas dan mengisap
jempolnya yang mungil selama beberapa saat, kira‑kira satu jam, ia
menyadari bahwa ada semacam perasaan berat untuk meninggalkan anak itu.
Dengan enggan iapun bangkit dan menyelimuti si kecil dengan lembut
dengan menggunakan alas sepreinya, kemudian membopongnya dan membawanya
pergi dari situ. Ia berjalan mengendap‑endap seperti seorang pencuri.
Setelah berkonsultasi lama dengan kakak perempuan dan iparnya, dua
pekan kemudian ia membawa anak tadi ke desa di Daerah Grossaitingen, di
mana kakak laki‑laki tertuanya tinggal sebagai petani. Tanah pertanian
di sana adalah milik istrinya, yang karena itu ia nikahi. Sesuai
kesepakatan semula bahwa langkah terbaik adalah tidak menceritakan
kepada orang lain kecuali kakak laki‑lakinya tersebut tentang jati diri
anak itu, sebab mereka tidak percaya kepada istri yang masih muda itu
dan tidak tahu bagaimana sikapnya nanti dalam menerima tamu kecil yang
sangat berbahaya ini.
Anna mencapai desa itu sekitar tengah hari. Kakak laki‑laki dan
istrinya serta para pekerja sedang berada di meja makan. Ia tidak
disambut dengan buruk, namun setelah sekilas melihat sikap kakak ipar
perempuannya yang baru, ia memutuskan untuk memperkenalkan balita itu
sebagai anaknya sendiri. Mulanya mereka agak ragu sampai ia menjelaskan
bahwa suaminya mendapat pekerjaan di sebuah pabrik di desa tetangga yang
agak jauh dan mengharap agar istri dan anaknya sementara berada di situ
dulu selama beberapa pekan. Hati wanita petani itupun akhirnya bisa
diluluhkan dan si kecil bisa diterima dengan wajar.
Lepas tengah hari ia menemani kakak laki‑lakinya mengumpulkan kayu.
Saat mereka berdua duduk di atas tumpukan potongan kayu, Anna pun
menceritakan kejadian yang sebenarnya. Dia dapat melihat kesulitan pada
diri kakaknya. Posisi pria itu di tanah pertanian ini masih belum kuat
dan ia menghargai Anna karena telah menjaga lidahnya waktu di depan
istrinya tadi. Adalah jelas bahwa pria tersebut tidak menganggap
istrinya memiliki kelapangan hati terhadap anak Protestan itu. Ia
meminta sandiwara ini terus dilanjutkan. Meskipun demikian, tidaklah
mudah ketika waktu terus bergulir.
Anna ikut bantu‑bantu ketika mereka panenan dan mengasuh ‘anaknya’ di
sela‑sela itu. Dengan rutin ia bolak‑balik dari ladang ke rumah ketika
yang lainnya sedang istirahat. Si kecilpun tumbuh besar dan montok, ia
tertawa tergelak‑gelak ketika melihat Anna dan berusaha mengangkat
kepalanya. Namun kemudian datanglah musim dingin dan sang kakak ipar pun
mulai bertanya‑tanya tentang suami Anna.
Bagi Anna sendiri tidak ada masalah tinggal di tanah pertanian itu,
ia bisa ikut bantu‑bantu. Masalahnya adalah bahwa para tetangga sudah
mulai curiga tentang siapa ayah dari ‘anaknya’ Anna itu, sebab laki‑laki
tersebut tak pernah datang menjenguk keadaan anaknya. Kalau Anna tidak
dapat mencarikan seorang ayah bagi anaknya, maka tak lama lagi tanah
pertanian itu akan menjadi bahan pergunjingan.
Pada suatu hari ahad pagi sang petani mempersiapkan kudanya dan
berteriak memanggil Anna agar ikut dengannya untuk mengambil seekor anak
sapi dari desa tetangga. Ketika mereka sedang duduk terguncang‑guncang
di perjalanan, sang kakak memberitahukan kepadanya bahwa ia telah
menemukan seorang suami untuknya. Pria yang dimaksud adalah seorang
pemilik gubuk yang ketika mereka berdua bertandang ke gubug jeleknya
itu, hampir tak dapat mengangkat kepalanya yang tak terawat dari
selimut kumalnya.
Ia bersedia menikahi Anna. Sementara ibunya, seorang perempuan
berkulit pucat, berdiri di pinggiran dipan. Perempuan tua itu akan
mendapat imbalan atas jasanya kepada Anna.
Tawar‑menawar itupun selesai dalam waktu sepuluh menit, lalu Anna dan
kakaknya pun bisa melanjutkan perjalanan dan membeli anak sapi mereka.
Pernikahannya pun dilangsungkan pada akhir pekan itu juga. Ketika
pendeta sedang melaksanakan upacara pernikahan, laki‑laki yang tengah
sekarat tadi tak sekalipun melihat ke arah Anna. Kakaknya tidak ragu
lagi bahwa adiknya nanti akan mendapat sertifikat kematian dalam waktu
beberapa hari saja. Lalu suami Anna tersebut, ayah dari si bocah, akan
mati di suatu tempat di sebuah desa dekat Augsburg di tengah perjalanan
menemui istrinya dan tak seorangpun akan punya pikiran lain jika sang
janda tinggal di rumah kakak laki‑lakinya.
Anna pulang dengan riang‑gembira dari pernikahannya yang ganjil
tersebut, di mana tidak terdengar lonceng‑lonceng gereja atau adanya
pita kuning, pengiring pengantin, dan tamu‑tamu undangan. Sebagai jamuan
pernikahan ia menyantap sepotong roti dengan seiris daging babi di atas
meja makan. Setelah itu ia berjalan bersama kakaknya ke peti kayu di
mana si kecil berada dan yang kini sudah punya nama. Diselempitkannya
kain penutupnya lebih rapat dan tersenyum kepada kakaknya. Sertifikat
kematian itu pasti akan tiba.
Akan tetapi tak ada berita dari perempuan tua tadi pada pekan
berikutnya dan setelahnya. Di tanah pertanian itu Anna telah
memberitahukan bahwa suaminya sedang dalam perjalanan ke tempatnya.
Ketika ia ditanyai kenapa laki‑laki tersebut sampai sekarang belum
datang‑datang juga, ia mengatakan bahwa pasti salju yang tebal
menyulitkan perjalanannya. Namun setelah tiga pekan berikutnya berlalu,
kakaknya yang sangat kebingungan berangkat ke desa dekat Augsburg.
Ia pulang kembali ketika malam telah larut. Anna masih terjaga dan
berlari ke pintu saat didengarnya bunyi roda di pekarangan. Ia
memperhatikan betapa lambannnya sang petani melepas ikatan kudanya dan
ketegangan pun menyelinap di hatinya.
Pria itu membawa berita buruk. Tadi ketika berkunjung ke pondok
dilihatnya laki‑laki yang dulu sekarat itu sedang asyik duduk di depan
meja makan dengan berpakaian santai dan tengah menikmati santapan
malamnya dengan lahap. Ia benar‑benar telah pulih.
Sang petani tidak melihat ke wajah Anna ketika ia meneruskan
ceritanya. Pemilik gubuk tadi, yang singkat kata bernama Otterer, dan
ibunya sama‑sama takjub atas perubahan yang terjadi dan barangkali belum
memutuskan tentang apa yang akan dilakukan. Otterer tidak menunjukkan
kesan yang tidak menyenangkan. Ia hanya bicara sedikit, tapi langsung ke
pokoknya. Ketika sang ibu menyesali bahwa kini ia telah dibebani oleh
seorang istri yang tak dikehendaki dan seorang bocah asing, ia menyuruh
ibunya itu diam. Sementara ia terus melahap kejunya dengan santai
sepanjang percakapan dan masih terus makan saat sang petani beranjak
pulang.
Di hari‑hari berikutnya Anna punya banyak masalah. Di sela‑sela
pekerjaan rumah tangganya ia mengajari si kecil berjalan. Ketika bocah
itu dilepas oleh kerabatnya dan berjalan tertatih‑tatih kepadanya dengan
membentangkan kedua lengan kecilnya, Anna menahan isaknya dan
mendekapnya erat‑erat ketika mengangkatnya.
Suatu ketika ia pernah bertanya kepada kakaknya, “Seperti apa sih laki‑laki itu?”
Dulu ia hanya melihatnya ketika terbaring di atas ranjang kematian
dan kemudian pada sore itu di bawah cahaya lilin yang remang‑remang.
Kini baru ia tahu bahwa suaminya itu seorang pria pekerja keras berusia
lima puluh tahunan.
Tak lama setelah itu, ia pun menjumpainya. Dengan penuh kerahasiaan
seorang pedagang keliling menyampaikan pesan kepadanya bahwa seorang
kenalan ingin bertemu dengannya pada tanggal tertentu, di waktu
tertentu, dekat desa tertentu, di sebuah tempat di mana terdapat jalan
setapak yang menuju ke Landsberg. Maka pasangan pengantin itupun bertemu
di tengah‑tengah jalan yang menghubungkan desa mereka, di tempat
terbuka yang diselimuti salju.
Anna tidak menyukai pria itu. Giginya kecil‑kecil berwarna abu‑abu.
Ia memandangi Anna dari atas ke bawah, padahal wanita itu terbungkus
rapat di dalam bulu domba yang tebal dan tak banyak yang bisa dilihat,
lalu mengucapkan sakramen pernikahan. Dengan ketus ia mengatakan kepada
pria itu bahwa ia harus berpikir lagi dan bahwa laki‑laki itu harus
menyuruh beberapa orang pedagang dan tukang daging yang melewati
Grossaitingen untuk memberitahukan kepadanya di depan kakak ipar
perempuannya bahwa pria itu akan segera datang sekarang dan bahwa
kemarin‑kemarinnya ia telah jatuh sakit di perjalanan.
Otterer mengangguk dengan santai. Pria itu lebih tinggi satu kepala
darinya dan terus‑menerus menatap ke leher kirinya selama mereka
berbicara sehingga membuatnya jengkel.
Namun pesan itu tak pernah datang, dan Anna pun menimbang‑nimbang
untuk meninggalkan saja tanah pertanian itu bersama si kecil dan mencari
kerja jauh ke selatan, barangkali ke Kempten atau Sonthofen. Hanya
karena resiko di jalan raya yaitu terlalu banyak perbincangan dan
kenyataan bahwa saat itu sedang di tengah‑tengah musim dingin yang
mengurungkan niatnya.
Tapi sekarang keberadaannya di tanah pertanian itu semakin sulit.
Kakak iparnya mengajukan pertanyaan‑pertanyaan bernada curiga kepadanya
tentang suaminya saat mereka sedang berada di meja makan di depan semua
pekerja ketika sedang makan malam.
Pada suatu ketika saat ia sudah keterlaluan yaitu sambil memandang
bocah itu sekilas kemudian berseru dengan perasaan iba yang dibuat‑buat,
“Oh, anak yang malang!” Anna pun memutuskan untuk pergi apapun
resikonya, tapi ketika itu si kecil jatuh sakit.
Ia terbaring gelisah di peti kayunya dengan wajah yang merah dan mata
sembab. Anna pun mengawasinya terus‑menerus setiap malam dengan
perasaan cemas. Ketika si kecil mulai pulih lagi dan senyumannya pun
kembali, terdengar ketukan di pintu pada suatu pagi dan Otterer pun
masuk ke dalam.
Tak ada orang lain di ruangan itu kecuali Anna dan si kecil. Mereka
berdua berdiri mematung beberapa saat tanpa kata, kemudian Otterer
menyatakan bahwa dari pihaknya ia telah mempertimbangkan, dan datang
kemari untuk menjemput mereka. Sekali lagi ia mengingatkan ke sakramen
pernikahan. Anna menjadi marah. Secara tegas meski dengan pelan ia
mengatakan bahwa tidak terpikir olehnya untuk hidup bersama laki‑laki
tersebut. Ia mau menikahinya hanya semata‑mata demi anak itu dan tidak
menginginkan apapun darinya kecuali memberikan namanya untuk dia dan
anak itu.
Sementara Anna menyebut anak itu Otterer melirik sekilas ke peti kayu
di mana si kecil sedang mendeguk‑deguk tanpa ada niatan sama sekali
untuk mendekatinya. Hal ini membuat Anna makin benci kepadanya.
Pria itu menyampaikan beberapa hal; Anna hendaknya mempertimbangkan
lagi, di rumahnya ada sedikit makanan dan ibunya bisa tidur di dapur.
Beberapa saat kemudian sang kakak ipar perempuan pun masuk ke dalam,
menyapa sang suami dengan rasa ingin tahu dan mengundangnya makan malam.
Laki‑laki itu baru saja duduk di depan meja ketika ia menyapa sang
petani dengan sebuah anggukan yang acuh tak acuh, tapi juga tidak
berpura‑pura kalau dia tidak mengenalnya atau mengingkari kalau sudah
kenal. Atas pertanyaan‑pertanyaan yang diajukan oleh ipar perempuannya,
hanya dijawabnya dengan singkat‑singkat saja tanpa pernah mengalihkan
pandangan dari piringnya. Dikatakannya bahwa ia mendapat sebuah
pekerjaan di Mering dan Anna bisa bergabung bersamanya. Namun ia tidak
lagi menyarankan untuk ikut saat itu juga.
Selama lepas tengah hari ia menghindari untuk kumpul‑kumpul bersama
kakak ipar laki‑laki dan teman‑temannya, namun justru membelah kayu
sendirian di belakang rumah, padahal tak seorangpun yang memintanya.
Setelah makan malam di mana pria itu sekali lagi ambil bagian dengan
diam, kakak ipar perempuannya sendiri yang mengantarkan kasur bulu ke
kamar Anna agar suaminya bisa bermalam di sana. Namun justru karena itu,
entah kenapa, ia malahan bangkit dengan canggung dan menggerutu bahwa
ia mesti pulang malam itu. Sebelum pergi, ia menatap dengan pandangan
kosong ke peti tempat si kecil terbaring, namun tidak mengatakan apapun
dan tidak pula menyentuhnya.
Malam itu Anna jatuh sakit dan menderita demam sampai beberapa pekan.
Kebanyakan waktunya dihabiskan dengan lesu, hanya sesekali ketika
menjelang tengah hari, saat demamnya agak reda, ia merangkak ke peti si
kecil dan menyelempitkan selimutnya.
Pada pekan ke empat dari sakitnya, Otterer memacu keretanya memasuki
pekarangan dan membawa pergi Anna serta bocah itu. Anna membiarkan saja
tanpa berkata sepatahpun.
Agak lama barulah ia memperoleh kembali kekuatannya karena hanya
menyantap sop encer di gubug itu. Tapi pada suatu pagi ketika ia
memperhatikan betapa si kecil nampak demikian kotor dan terabaikan maka
iapun memutuskan untuk bangkit.
Si kecil menyambutnya dengan senyum akrabnya, yang oleh kakak
laki‑lakinya selalu dikatakan seperti senyumannya Anna. Bocah itu terus
tumbuh dan kini merangkak ke seluruh ruangan dengan cepatnya,
memukul‑mukulkan telapak tangannya di atas lantai dan menjerit‑jerit
kecil tiap kali jatuh tertelungkup. Anna memandikannya di bak kayu dan
memperoleh kembali kepercayaan dirinya.
Beberapa hari kemudian, bagaimanapun juga, ia tidak dapat tinggal di
gubug itu lebih lama lagi. Ia membungkus si kecil dengan sedikit
selimut, membawa sepotong roti dan keju di dalam tasnya lalu minggat.
Ia bermaksud mencapai Sonthofen, tapi tak berhasil berjalan jauh.
Kedua lututnya masih sangat lemah sementara jalan raya masih licin dan
sebagai dampak peperangan, masyarakat di desa‑desa sangat sensitif dan
mudah curiga.
Pada hari ketiga pengembaraannya, salah satu kakinya terperosok ke
dalam sebuah selokan dan setelah berjam‑jam mengkhawatirkan keadaan si
kecil, iapun dibawa ke sebuah tanah pertanian di mana ia bisa berlindung
di gudang. Si kecil merangkak‑rangkak di antara kaki‑kaki sapi dan
hanya tertawa‑tawa saja ketika Anna berteriak‑teriak dengan cemas. Pada
akhirnya ia harus mengatakan kepada orang‑orang di tanah pertanian itu
tentang nama suaminya dan laki‑laki itupun membawanya kembali ke Mering.
Mulai sekarang ia tidak lagi berusaha melarikan diri dan pasrah
menerima nasibnya. Ia bekerja keras. Sungguh sulit memperoleh suatu
hasil dari sebidang tanah yang kecil dan menjaganya agar tetap berjalan.
Meski demikian laki‑laki itu tidak berlaku buruk kepadanya dan si kecil
juga bisa makan sekenyang‑kenyangnya. Lagi pula kakak laki‑lakinya pun
kadang‑kadang berkunjung sambil membawakan aneka bingkisan. Dan suatu
ketika Anna bahkan bisa memperoleh sebuah mantel mungil yang dicelup
warna merah untuk si kecil. Menurutnya mantel itu sangat pantas untuk
anak seorang saudagar kulit.
Seiring irama waktu ia semakin menikmati dan mengalami banyak
kesenangan dalam mengasuh si kecil. Maka beberapa tahun pun berlalu.
Namun suatu hari ketika ia pergi membeli sirup ke desa dan
sekembalinya mendapati bocah itu sudah tidak berada lagi di pondoknya
dan suaminya pun menceritakan padanya bahwa tadi ada seorang wanita
berpakaian elok singgah dengan kereta kudanya dan membawa si kecil. Anna
pun terhuyung‑huyung menuju tembok dengan histeris.
Dan sore itu juga dengan tidak membawa apapun kecuali sebungkus
makanan ia pergi ke Augsburg. Pertama kali yang dikunjunginya di kota
kerajaan itu adalah tempat penyamakan kulit. Di sana ia tidak diijinkan
masuk dan tidak bisa melihat si kecil.
Kakak perempuan dan iparnya sia‑sia saja menghibur Anna. Ia pergi
mengadu kepada para penguasa dan tak dapat menahan dirinya untuk
berteriak bahwa anaknya telah dicuri. Bahkan ia pun bertindak lebih jauh
lagi sampai‑sampai mengisyaratkan bahwa orang‑orang Protestan telah
mencuri anaknya. Tapi kemudian dia tahu bahwa kini jaman telah berubah
dan perdamaian telah berlaku antara orang‑orang Katolik dengan
Protestan.
Hampir saja usahanya tidak akan mencapai hasil apa‑apa kalau tidak
karena sepotong keberuntungan yang datang membantunya. Kasusnya
diserahkan kepada seorang hakim yang sungguh luar biasa. Ia adalah hakim
Ignaz Dollinger yang tersohor di seluruh Swabia karena kekasaran dan
pengetahuannya yang luas. Dikenal oleh para anggota dewan Bavaria yang
sengketa hukum mereka dengan Kota Kerajaan diselesaikan dan diputuskan
olehnya. Sebagai ‘orang tolol dari Latin ini’ tapi dikenang oleh
masyarakat dalam sebuah balada yang panjang.
Dengan ditemani oleh kakak perempuan dan ipar laki‑lakinya, Anna
pergi menghadapnya. Seorang laki‑laki tua yang pendek tapi sangat gendut
duduk di antara setumpuk dokumen di sebuah ruangan kecil yang sama
sekali tanpa hiasan dan mendengar seluruh pengaduannya dengan sangat
singkat. Lalu ia menulis sesuatu, setelah itu menggeram; “Jalan ke sana
dan cepatlah!”
Dan dengan telapak tangannya yang kecil tapi gemuk ia menunjuk ke
sebuah tempat di ruangan itu di mana cahaya bisa masuk melalui sebuah
jendela sempit. Selama beberapa menit ia mempelajari wajah Anna dengan
cermat, lalu menyuruhnya pergi dengan sebuah dengusan.
Pada hari berikutnya ia mengirim seorang petugas untuk menjemput
Anna, dan ketika wanita itu masih berada di ambang pintu ia sudah
berteriak:
“Kenapa engkau tidak bilang saja bahwa kau sedang mengincar tempat
penyamakan kulit itu beserta kekayaan yang ada bersamanya, ha?!”
Anna bersikeras mengatakan bahwa yang diinginkannya adalah si kecil.
“Jangan coba‑coba berpikir bahwa kau bisa menyerobot tempat
penyamakan kulit itu!” teriak sang hakim. “Kalau anak haram jadah itu
memang milikmu, maka harta tadi akan jatuh ke tangan para kerabat
Zingli!”
Anna mengangguk tanpa melihat ke arahnya, lalu berkata: “Anak itu tidak membutuhkan tempat penyamakan kulit itu.”
“Dia anakmu?!” tanya sang hakim membentak.
“Ya,” jawab Anna dengan lembut. “Kalau aku dapat memeliharanya sampai bisa berkata‑kata, sejauh ini ia hanya tahu tujuh.”
Sang hakimpun batuk‑batuk dan membereskan dokumen‑dokumen di mejanya.
Kemudian ia berkata
lebih pelan meskipun dengan nada yang masih
menyakitkan:
“Kau menginginkan anak bengal itu sementara perempuan jalang yang
punya lima rok sutera itu juga menginginkannya. Namun yang diinginkan si
bocah adalah seorang ibu sejati.”
“Ya,” sahut Anna dan iapun menatap sang hakim.
“Selesai denganmu,” geramnya. “Sidang dilangsungkan hari sabtu.”
Pada hari sabtu jalan utama dan halaman di luar balai kota sampai
dengan Menara Perlach disemuti oleh massa yang ingin mengikuti jalannya
sidang atas anak Protestan tersebut. Kasus yang luar biasa ini telah
menimbulkan kegemparan hebat sejak awalnya. Dan di rumah‑rumah serta di
kedai‑kedai minum pun terjadi perdebatan‑perdebatan seru mengenai siapa
sesungguhnya ibu yang asli dan yang palsu. Lebih dari itu, si tua
Dollinger telah dikenal luas karena proses persidangannya yang sederhana
serta ucapan‑ucapan sengit dan ungkapan‑ungkapan bijaknya.
Pengadilannya lebih populer daripada pertunjukan dan pasar malam.
Dengan demikian maka bukan hanya penduduk Augsburg saja yang
bergerombol di luar balai kota, tidak sedikit para pemilik tanah
pertanian yang datang dari desa‑desa sekitarnya. Jum’at adalah hari
pasaran dan untuk mengantisipasi pengadilan besok, mereka menginap di
kota itu.
Aula di mana Hakim Dollinger biasa mendengarkan argumentasi
persidangan disebut Aula
Keemasan. Terkenal di seluruh Jerman sebagai
satu‑satunya balai yang seukuran itu yang tanpa pilar‑pilar.
Langit‑langitnya digantungkan dari kasok dengan rantai‑rantai.
Hakim Dollinger duduk, ia seperti segumpal daging bundar kecil, di
depan sebuah gerbang logam yang tertutup sepanjang sebuah tembok.
Terlihat seutas tali tambang sebagai pembatas publik membentuk
lingkaran. Tapi sang hakim duduk di atas lantai terbuka dan tak ada meja
di depannya. Ia telah membuat tatanan seperti ini sejak bertahun‑tahun
yang lalu, dia sangat percaya dalam hal penataan segala sesuatu pada
tempatnya yang sesuai.
Di dalam lingkaran tali tadi terdapat Nyonya Zingli beserta kedua
orang tuanya, dua orang kerabat Tuan Zingli yang baru saja datang dari
Swiss dengan penampilan mereka yang necis seperti orang kaya dan Anna
Otterer bersama kakak perempuannya. Seorang perawat yang membopong si
kecil nampak berdiri di sisi Nyonya Zingli.
Masing‑masing orang, para pihak yang bersengketa dan para saksi,
berdiri. Hakim Dollinger biasa berkata bahwa sidang akan lebih cepat
kalau para pesertanya berdiri. Tapi barangkali juga dia menyuruh mereka
berdiri agar bisa menyembunyikan dirinya dari publik, dengan begitu
seseorang hanya dapat melihatnya kalau berjinjit dan melongokkan
kepalanya.
Ketika proses persidangan itu dimulai terjadilah satu insiden kecil.
Ketika Anna melihat bocah itu, spontan ia memekik dan melangkah maju dan
anak itupun berusaha pergi arahnya. Ia meronta‑ronta sekuat tenaga dan
menjerit‑jerit di dalam gendongan sang perawat. Sang hakim memerintahkan
agar ia dibawa keluar dari balai itu.
Selanjutnya iapun memanggil Nyonya Zingli. Wanita itupun maju ke
depan dengan berisik dan bercerita sambil sesekali menyeka matanya
dengan sapu tangan kecil bagaimana ketika para serdadu kerajaan itu
merenggut sang putra dari tangannya waktu terjadi penjarahan. Pada malam
yang sama si gadis pembantu datang ke tempat ayahnya dan melaporkan
bahwa si kecil masih berada di rumah, barangkali dengan harapan untuk
memperoleh imbalan. Namun ketika salah seorang tukang masak ayahnya
diutus ke penyamakan, ia tidak menemukan anak itu. Dan iapun lalu
menduga bahwa orang ini, maksudnya Anna, telah membawanya dalam rangka
supaya bisa memeras sejumlah uang dengan suatu cara atau apalah
nantinya. Tak diragukan bahwa cepat atau lambat pada akhirnya dia akan
datang dengan suatu permintaan sebelum melepaskan anak itu.
Hakim Dollinger memanggil dua orang kerabat Tuan Zingli dan menanyai
mereka apakah mereka telah mencari tahu tentang keadaan Tuan Zingli saat
itu dan bagaimana jawaban Nyonya Zingli.
Mereka bersaksi bahwa Nyonya Zingli telah memberitahu kepada mereka
bahwa suaminya telah terbunuh dan bahwa wanita itu telah mempercayakan
puteranya kepada seorang gadis pembantu di mana ia akan mendapat
pemeliharaan yang baik. Mereka berbicara tentang Nyonya Zingli dengan
cara yang sangat tidak bersahabat yang tentu saja tidaklah aneh karena
kekayaan itu akan jatuh ke tangan mereka kalau Nyonya Zingli sampai
kalah dalam perkara ini.
Untuk membuktikan kebenaran mereka sang hakim beralih kembali kepada
Nyonya Zingli dan ingin tahu darinya kenapa dengan mudahnya ia tidak
kehilangan lehernya saat serangan itu dan mengabaikan anaknya.
Nyonya Zingli menatapnya dengan kedua bola mata birunya yang pucat
seakan‑akan keheranan dan berkata dengan nada pedih bahwa ia tidak
mengabaikan anaknya.
Hakim Dollinger menyeka lehernya dan menanyainya dengan penuh selidik
apakah wanita itu percaya bahwa tak ada ibu yang sampai hati
mengabaikan anaknya.
Ya, ia yakin akan hal itu, jawab wanita tadi dengan tegas. Lalu
apakah ia percaya, tanya sang hakim lebih jauh, bahwa seorang ibu yang
meskipun begitu telah melakukannya, harus didera punggungnya tanpa
memandang berapapun banyaknya rok yang dia pakai?
Nyonya Zingli tidak menjawab dan sang hakim pun memanggil sang mantan
gadis pembantu, Anna. Iapun melangkah dengan cepat dan dengan suara
pelan mengatakan kembali apa yang pernah dikatakannya pada pemeriksaan
awal sebelumnya. Namun ia berbicara dengan seakan‑akan juga sambil
mendengarkan pada saat yang bersamaan, dan sesekali melirik ke pintu
besar di mana si kecil tadi dibawa, seolah‑olah ia khawatir balita itu
masih menjerit‑jerit.
Anna bersaksi bahwa meskipun ia telah mengunjungi rumah paman Nyonya
Zingli pada malam itu, ia tidak kembali lagi ke tempat penyamakan kulit
karena takut terhadap tentara‑tentara kerajaan dan karena khawatir atas
keadaan anak tidak sahnya yang dititipkan bersama orang‑orang baik di
desa tetangga Lechhausen.
Si tua Dollinger dengan kasar memotong pembicaraannya dan menghardik
bahwa pada akhirnya ada juga seseorang di kota itu yang punya perasaan
seperti takut. Ia senang menemukan kenyataan itu, yang membuktikan bahwa
setidaknya ada seseorang di kota itu yang punya perasaan semacam itu
saat itu. Tentu saja tidak lucu bagi seorang saksi bahwa ia hanya
mempedulikan anaknya saja, tapi di sisi lain sebagaimana dinyatakan
dalam sebuah ungkapan yang terkenal, bahwa darah lebih kental daripada
air. Dan seorang ibu akan berusaha keras mencuri demi anaknya meski hal
ini sangat dilarang oleh hukum.
Kemudian iapun menyampaikan salah satu pelajaran yang bijak dan tajam
mengenai kekejian orang‑orang yang menipu pengadilan sampai wajah
mereka hitam, dan setelah melantur sedikit tentang para petani yang
mencampur air pada susu sapinya dan dewan kota yang memungut pajak
terlalu tinggi kepada para petani, yang mana hal tersebut tentu saja
tidak ada hubungannya sama sekali dengan kasus ini, ia menyatakan bahwa
pemeriksaan terhadap para saksi telah selesai dan tidak berhasil menarik
kesimpulan.
Kemudian ia jeda dalam waktu lama dan memperlihatkan tanda‑tanda
menyerah. Tampak seolah‑olah ia berharap ada seseorang yang bisa
memberikan saran bagaimana caranya untuk mencapai penyelesaian.
Orang‑orang pun saling melihat satu sama lain dengan bingung dan
beberapa dari mereka mengangkat lehernya agar bisa melihat sekilas hakim
yang tidak berdaya itu. Namun di balai itu suasananya tetap hening,
hanya terdengar suara kerumunan orang yang berada di jalan di bawah
sana.
Kemudian sambil mendesah sang hakim berbicara lagi.
“Ini bukan untuk menentukan siapa ibu kandung sesungguhnya,” katanya.
“Anak itu harus dikasihani. Kita semua pernah mendengar tentang para
ayah yang mengelak dari tanggung jawabnya dan tidak mau menjadi ayah,
namun para bajingan! Tapi di sini terdapat dua orang ibu yang sama‑sama
menuntut. Sidang pengadilan telah mendengarkan mereka selama selayaknya,
yakni masing‑masing lima menit penuh, dan sidang pengadilan pun telah
diyakinkan oleh argumen‑argumen mereka berdua. Namun, sebagaimana telah
dikatakan tadi, kita masih harus memikirkan tentang si kecil yang harus
mendapatkan seorang ibu. Oleh sebab itu harus dibuktikan, tidak cukup
hanya dengan ocehan, siapakah ibu anak ini yang sesungguhnya.”
Dan dengan suara kesal dipanggilnya seorang petugas kemudian
menyuruhnya membawa sebatang kapur. Petugas itupun pergi dan
mengambilnya.
“Gambarlah sebuah lingkaran yang cukup besar dengan kapur itu di atas
lantai agar bisa muat untuk tiga orang berdiri di dalamnya!” perintah
sang hakim selanjutnya.
Petugas itupun berjongkok dan menggambar lingkaran tadi dengan kapur seperti yang diperintahkan.
“Sekarang bawa anak itu kemari!” lanjutnya.
Bocah itupun dibawa masuk. Ia menangis lagi dan berusaha pergi ke
arah Anna. Si tua Dollinger tidak mempedulikan tangisan itu dan
semata‑mata hanya memberikan instruksinya dengan suara yang agak lebih
keras.
“Ujian yang sebentar lagi akan dilaksanakan,” ujarnya, “kutemukan
dalam sebuah buku kuno dan tampaknya sangat baik. Secara sederhana, ide
dasar dari ujian dengan lingkaran kapur ini adalah bahwa ibu yang
sesungguhnya akan diketahui dari kecintaannya kepada sang anak. Di
sinilah kekuatan dari cinta tadi harus diuji. Petugas, letakkan bocah
itu ke dalam lingkaran kapur tad!”
Sang petugas pun mengambil anak yang masih menangis tadi dari tangan
sang perawat dan membawanya ke dalam lingkaran tersebut. Sang hakim
melanjutkan sambil berpaling kepada Nyonya Zingli dan Anna:
“Kalian berdua masuklah dan berdiri di dalam lingkaran itu juga.
Masing‑masing memegang salah satu lengan si kecil dan kalau aku berkata:
Ya! tarik sekuat‑kuatnya anak itu keluar dari lingkaran. Siapa saja di
antara kalian yang paling kuat cintanya, pastilah juga akan menarik
dengan kekuatan yang lebih besar dan dengan demikian akan membawa anak
itu ke sisinya.”
Balai itupun menjadi gempar. Para penonton berjinjit dan
memperingatkan orang‑orang yang berdiri di depan mereka. Namun mendadak
terjadi keheningan lagi ketika kedua wanita tersebut melangkah masuk ke
dalam lingkaran dan masing‑masing memegang sebelah tangan si kecil.
Bocah itupun juga langsung terdiam, seperti mengerti apa yang sedang
dipertaruhkan. Ia memalingkan wajah mungilnya yang berlinang air mata
kepada Anna. Lalu sang hakimpun memberikan aba‑abanya:
“Ya…!”
Dan dengan sekali sentakan kuat Nyonya Zingli merenggut si kecil
keluar dari lingkaran. Terpana dan tak percaya, pandangan mata Anna
mengikutinya. Karena khawatir kalau sampai si kecil cedera bila kedua
lengannya yang mungil itu ditarik serentak ke dua arah yang berbeda,
Anna segera melepasnya.
Si tua Dollinger berdiri.
“Nah, akhirnya kita tahu!” serunya, “siapa ibu yang sesungguhnya.
Ambil si kecil dari sundal itu. Ia akan mencabik‑cabiknya sampai hancur
dengan darah dingin!” Dan iapun lalu mengangguk kepada
Anna dan segera
meninggalkan balai itu untuk menyantap sarapan paginya.
Dan pada pekan‑pekan berikutnya para petani, yang menyaksikan dengan
mata kepala sendiri, secara tak langsung memperbincangkan bagaimana saat
sang hakim sambil mengedip menghadiahkan si kecil kepada wanita dari
Mering itu.
BERTOLT BRECHT (1898‑1956) merupakan salah seorang
tokoh puncak drama di abad dua puluh. Ia lahir di Augsburg, Jerman.
Belajar sains dan pengobatan, namun ia segera menemukan bahwa minat
utamanya adalah pada teater. Di AS karya kolaborasinya bersama Kurt
Weill mendapat sukses luar biasa. Sedang di Indonesia sebuah karyanya, Opera Kecoa, juga pernah dipentaskan.
____________________
Sumber : http://sastradunia.wordpress.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar