Pelageya adalah seorang perempuan yang buta huruf. Bahkan menulis namanya sendiripun ia tidak bisa.
Di lain pihak, suaminya adalah seorang pegawai Sovyet yang
bertanggung jawab. Meskipun dulunya hanya seorang petani biasa yang
sederhana, namun setelah tinggal selama lima tahun di kota pria itu
telah belajar banyak. Bukan hanya bagaimana menulis namanya sendiri tapi
juga banyak hal‑hal lainnya.
Dan pria itu sangat malu memiliki seorang istri yang buta huruf.
“Kau, Pelageyushka, paling tidak harus bisa menulis namamu sendiri,”
katanya kepada Pelageya.
“Nama terakhirku pun cukup mudah. Hanya dua
suku kata, Kuch‑kin. Namun kau tetap tak bisa menulisnya. Payah.”
Namun Pelageya tak pernah peduli. “Tak ada gunanya bagiku
mempelajarinya sekarang ini, Ivan Nikolaevich,” begitulah jawabannya
selalu. “Umurku makin tua. Jari‑jariku semakin kaku. Untuk apa aku
belajar membuat huruf‑huruf itu sekarang? Biar yang muda‑muda saja yang
belajar. Biarlah di usiaku ini aku apa adanya begini saja.”
Suami Pelageya adalah seorang yang amat sibuk sehingga tidak dapat
membuang banyak waktu untuk meladeni istrinya. Ia hanya
menggeleng‑gelengkan kepalanya seakan berkata, “Oh, Pelageya, Pelageya!” Akan tetapi mulutnya tetap diam.
Namun suatu hari Ivan Nikolaevich membawa pulang sebuah buku kecil yang istimewa.
“Ini, Polya,” katanya, “adalah buku latihan membaca metode CBSA terbaru, berdasar metode yang paling up‑to‑date. Akan kuajari caranya.”
Pelageya tertawa dalam hati, diambilnya buku itu, dibalik lalu disembunyikannya di lemari rias, seakan berkata, “Biarlah dia di situ. Barangkali cucu‑cucu kita kelak memerlukannya.”
Tapi pada suatu hari Pelageya sedang duduk bekerja. Ia harus menambal jaket Ivan Nikolaevich yang lengannya berlobang.
Pelageyapun duduk di depan meja. Ia mengambil jarum dan meletakkan
tangannya di bawah jaket ketika mendengar ada sesuatu yang bergemerisik.
“Mungkin uang,” pikir Pelageya.
Dia mencari‑cari lalu menemukan sepucuk surat. Surat yang cantik
beramplop manis. Ada tulisan tangan yang kecil‑kecil dan rapi, dari
kertasnya pun tercium bau parfum yang wangi.
Jantung Pelageya tersentak.
“Mungkinkah Ivan Nikolaevich menipuku?” batinnya. “Mungkinkah ia bertukar surat‑surat cinta dengan para wanita terpelajar dan melecehkan istrinya yang bodoh dan buta huruf ini?”
Pelageya memperhatikan amplop itu, mengeluarkan suratnya dan membuka
lipatannya. Tapi karena buta huruf maka tak satu katapun yang dapat
dibacanya. Baru kali inilah seumur hidupnya ia merasa menyesal karena
tak dapat membaca.
“Meskipun ini barangkali surat orang lain,” pikirnya, “aku
tetap harus tahu apa isinya. Barangkali seluruh hidupku akan berubah
dan aku akan kembali ke desa dan bekerja sebagai petani.”
Pelageya menangis dan mulai berpikir bahwa Ivan Nikolaevich telah
berubah akhir‑akhir ini. Ia kini lebih rajin merawat kumisnya dan lebih
sering mencuci tangannya. Pelageya duduk sambil memperhatikan surat itu
dan mendengking seperti seekor babi yang sedang dibunuh dengan cara
ditusuk. Tapi apa daya ia tak dapat membaca surat itu. Sementara kalau
menunjukkannya kepada orang lain ia merasa malu.
Pelageya menyembunyikan surat tadi di dalam lemari rias, lalu
menyelesaikan pekerjaan menjahitnya dan menunggu Ivan Nikolaevich
pulang ke rumah.
Namun ketika suaminya telah tiba ia sama sekali tidak menunjukkan
bahwa telah terjadi sesuatu.
Sebaliknya, ia justru berbicara kepada
suaminya dengan nada suara yang tenang dan bahkan mengisyaratkan bahwa
ia tidak berkeberatan untuk belajar sedikit dan merasa sudah jenuh
menjadi orang awam yang bodoh dan buta huruf.
Ivan Nikolaevich sangat gembira mendengarnya. “Bagus!” katanya. “Nanti akan kutunjukkan bagaimana caranya.”
“Baik, ayolah!” sahut Pelageya.
Dan iapun memandang lekat‑lekat ke arah kumis tipis Ivan Nikolaevich yang terpangkas rapi.
Selama dua bulan Pelageya berlatih membaca setiap hari. Dengan sabar
diejanya kata‑kata, belajar membuat huruf‑huruf, dan menghafalkan
kalimat‑kalimat. Dan setiap sore diambilnya surat simpanan itu dari
lemari rias dan berusaha menguraikan rahasia makna‑maknanya.
Tapi hal itu tidak gampang. Barulah pada bulan ketiga kemampuan Pelageya lancar.
Pada suatu pagi ketika Ivan Nikolaevich telah pergi bekerja,
Pelageya mengambil surat itu dari lemari rias dan mulai membacanya.
Ia mengalami kesukaran memahami tulisan tangan yang kecil‑kecil,
namun bau parfum yang hampir hilang dari kertas itu telah memacunya
untuk terus. Surat itu dialamatkan kepada Ivan Nikolaevich. Pelageya
membaca:
Kepada Kamerad Kuchkin,
Kukirimkan buku latihan membaca yang dulu kujanjikan. Kurasa
istrimu bisa menguasai pengetahuan yang luas ini dalam waktu dua atau
tiga bulan. Berjanjilah kepadaku untuk membujuknya, Bung. Buat dia
mengerti betapa sialnya menjadi seorang perempuan awam yang buta huruf.
Untuk merayakan ulang tahun Revolusi, kita sedang menghapuskan
buta huruf di seluruh Republik dengan segala cara. Namun karena sesuatu
hal kita justru lupa terhadap orang‑orang yang dekat dengan kita.
Aku yakin kamu pasti bisa, Ivan Nikolaevich.
Salam komunis
Maria Blokhina
Pelageya membaca seluruh isi surat itu dua kali. Lalu dengan perasaan
sedih ia menekankan kedua bibirnya dan entah bagaimana diam‑diam merasa
terhina. Tiba‑tiba air matanya jatuh berlinang.
MIKHAIL ZOSHCHENKO (1895‑1958) adalah salah seorang
penulis humor paling populer di Rusia selain Chekov. Tulisan‑tulisannya
yang tajam mengenai gambaran kehidupan di Soviet kadang‑kadang membawa
kesulitan bagi dirinya dengan para penguasa.
Cerita ini disadur dari terjemahan Bahasa Inggrisnya oleh Syafruddin HASANI.
___________________
Sumber : http://sastradunia.wordpress.com/2011/05/20/pelageya-cerpen-mikhail-zoshchenko-2/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar