Cerpen Martin Aleida (Kompas, 18 November 2012)
QUEENARAKU, kuingat benar. Jauh sebelum Ibu-Bapakmu
memperkenalkan dunia luar dengan mendaftarkanmu ke playgroup,
berkali-kali kau memintaku lagi untuk mendongeng. Kau menarik-narik
lengan bajuku, membelai jenggotku. Merengek meminta aku memulai. Tapi,
aku tak pernah bisa, kecuali mengulang cerita Si Kancil yang cerdik dan
buaya yang besar kuat tetapi dungu. Pendiam, pemalu, acapkali salah
tingkah, itulah takdir kakekmu ini. Aku bukan si pencerita yang baik
untuk kau, cucu semata loyangku. Yang kupunya hanya kaki yang selalu
enteng menghampirimu, dan tangan, yang acapkali semutan, untuk mengecup
kening dan rambutmu. Mengagumi matamu….
Manakala pelupuk matamu sudah kuyu, sementara dongengku belum sudah,
sadarlah aku sesungguhnya kau sudah bosan. Ya, jangankan kau, Si Kancil
yang cemerlang dan buaya yang bebal itu pun mencibirku sebagai seorang
yang majal daya khayalnya.
Aku bukan seorang pencipta. Lebih sebagai pengelana. Dari pengembaraanku aku ingin memetikkan sebuah kisah untukmu.
Kemarin, setelah bertahun tak pernah dicium kamoceng, aku
bersih-bersih di kamar. Kutata kembali buku-buku yang sudah renta dan
berdaki kulitnya. Di celah buku ketemukan ini. Guntingan koran L’Unita
yang terbit di Roma setengah abad lampau. Kertasnya sudah kusam. Kalau
jatuh ke tangan pemulung, dia hanya layak untuk pembungkus terasi.
Kliping itu mengingatkan aku pada pengalaman yang menceriakan hati,
tetapi juga meninggalkan luka lantaran kecewa.
Tataplah guntingan koran ini. Lihat. Di bawah fotoku, yang sedang
melambaikan tangan (dengan peci yang membuat aku kelihatan dungu) setiba
di stasiun kereta-api Stazione Termini Roma, mengalir sebaris
keterangan: Seorang mahasiswa Indonesia berkunjung ke Italia sebagai
tamu resmi L’Unita.
Foto dan kata-kata di guntingan koran ini seperti kerlip rama-rama
yang datang mengantarkan terang, memancing fantasiku untuk menguntai
cerita untukmu, sekarang. Golekkanlah kepalamu di lenganku. Akan
kupejamkan matamu dengan belaian kisah tentang bagaimana kekaguman pada
seorang perempuan, yang telah menenung Kakekmu ini, sehingga dia menjadi
begitu pandir dalam kesetiaan. Aku percaya, kau akan sakit perut
terpingkal-pingkal dikocok tawa. Bagaimana mungkin aku bisa jadi sebodoh
itu, seperti buaya yang dikadali sang kancil.
Nanti, pengalamanku itu akan kutuliskan baik-baik dengan tulis-tangan
tebal-tipis di atas kertas bergaris halus-kasar. Gaya menulis orang
“jadul,” sebagaimana kata Ibumu. Dan akan kuselipkan di antara
buku-bukuku. Kalau kau sudah dewasa, dan aku mungkin sudah tiada,
bacalah! Saat itu kau tentu sudah memahami arti ketulusan hati dan
kesetiaan seseorang yang pandir. Dan orang itu adalah Kakekmu ini,
ketika dia masih seorang mahasiswa di sebuah negeri bersalju.
Beruntung, hampir lima puluh tahun lalu, aku dapat beasiswa belajar
teknik kapal selam di Moskow. Sungguh mati, Uni Soviet waktu itu bukan
surga di bumi. Tetapi, aku sudah merasa seperti berdiri di pintu masuk
sebuah taman yang menjanjikan. Setiap bulan aku menerima stipendiya (beasiswa) 90 rubel, dipotong dua rubel untuk bayar obsyezitie
(asrama). Dengan uang itu, setiap akhir bulan aku leluasa ngluyur di
tokok-toko buku, yang menjual bacaan dengan murah. Dalam bahasa Rusia,
aku membaca The Call of the Wild dan The White Fang, yang
mencitrakan anjing, binatang kesayangan kita, sebagai lambang pencari
kebebasan, karangan novelis Amerika Serikat, Jack London. Novel-novel
itu laris seperti kerupuk di Uni Soviet.
Gara-gara buku aku jadi tak bisa menabung. Padahal, aku sudah lama
berangan-angan melihat Italia, negeri di mana catatan peradaban masa
lalu bisa dibaca dalam berbagai peninggalan berbatu pualam. Alamnya
menawan. Cuma ada beberapa kawan yang coba mementahkan hajatku itu.
“Jangan pernah ke Italia! Orang-orang tak bersahabat di sana. Banyak
pelancong yang tertipu. Penjambret di mana-mana, seperti lalat yang tak
pernah kenyang. Karena itu Takhta Suci dibangun Tuhan di sana.”
Tapi, aku keras kepala. Kuturuti kehendak hatiku. Tak punya duit, aku
tak kehabisan akal. Di kios-kios penjualan surat kabar di Moskow hanya
ada koran partai komunis dari berbagai penjuru dunia. Kubeli L’Unita, dan dengan bahasa Italia yang terbata-bata, dibantu kamus, aku mengadu nasib. Kulayangkan surat pembaca ke koran itu.
“Signore,” nekat aku menyapa. “Saya mahasiswa Indonesia di Moskow.
Sejak kecil mimpi mau ziarah ke Italia. Tapi, tabungan saya hanya cukup
untuk membeli tiket kereta-api. Saya siap bekerja apa saja untuk
membiayai hidup beberapa hari di sana.”
Kiambang bertaut. Surat itu dimuat dan dapat tanggapan. Beberapa
keluarga bergairah ingin menjadi tuan rumahku. Namun, belum sempat aku
menyurati mereka, tiba-tiba datang telegram dari L’Unita yang
mengambil-alih semua kebaikan hati orang-orang yang bersimpati padaku.
Koran itu menyatakan siap menyambutku sebagai tamu resmi.
Begitulah, ke mana saja singgah aku disambut. Tak kulupakan bagaimana
hangatnya aku didaulat di kantor koran tersebut. Juga anak-anak muda
yang menerimaku dengan tulus. Tetapi, bukan itu benar yang ingin
kukisahkan kepadamu. Pun tidak tentang kota maupun wanita Italia
berambut jagung yang memang cantik jelita.
Musim panas, Sabtu sore, minggu ketiga Juli 1962. Kutinggalkan
stasiun kereta-api Bellorusskii Wokzal menuju Belarus, terus menyeberang
ke Polandia. Aku menempati coupe paling ujung untuk dua penumpang. Temanku satu coupe
seorang perempuan berusia 60-an. Melihat perawakannya yang tidak begitu
tinggi untuk rata-rata orang Rusia, dan gerak-geriknya yang gesit
seperti marmut, kukira dia berasal dari Asia Tengah. Dia mendapat
tempat-tidur sebelah bawah, aku di atas. Kalau siang, tempat-tidur
bertingkat itu kami lipat jadi tempat duduk.
Uni Soviet diperintah orang-orang bertangan besi, tetapi mencintai
musik. Di sana, perempuan tak bisa meninggalkan negerinya seorang diri.
Karena itu, saya terheran-heran melihat perempuan teman sekeretaku itu
yang mengelana sebatang kara. Mungkin dia seorang pejabat, kupikir.
Tetapi, yang kudengar, pejabat yang bepergian ke luar negeri, harus ada
yang mengawal. Khawatir kalau-kalau membelot mencari kebebasan ke negara
musuh. Atau memang ada pengawal yang mengawasinya dari gerbong lain?
Ah, itu urusan dalam negeri di mana aku hanya sekadar menumpang.
Tapi, perempuan ini memang unik. Selama perjalanan dua malam, sebelum
sampai di perbatasan Polandia, di Brest-Litovsk, aku sering dia
bangunkan dengan sikap yang kaku, agak kasar malah. Mencolek pinggangku
dari bawah.
“Molodoi celowek [Anak muda], tolong tanya kondektur, sudah sampai mana kereta kita?”
Seperti seekor tupai yang terusik, turunlah aku mencari kondektur ke
gerbong lain sambil ngedumel di dalam hati: “Cerewet amat Ibu Rusia ini,
kayak suaminya saja aku dia perlakukan, sesuka hatinya menggelitikku di
tengah malam begini.”
Senin siang rangkaian kereta berhenti di Brest-Litovsk. Di perbatasan
itu kereta tertahan dua jam lebih, karena harus mengganti roda, dari
yang lebar (di Soviet rel kereta-api lebih lebar) ke yang lebih sempit
di Polandia. Selama ganti roda, kami memilih tetap berada di dalam
gerbong. Aku duduk menghadapnya seperti seorang anak yang sedang menanti
nasihat dari ibunya.
“Anda datang dari mana?” Senyum, tanpa menatap mataku, dia memantik percakapan.
“Iz Indanezii [Dari Indonesia].”
Selama ngobrol hampir dua jam lebih, wajahnya yang semula mengesankan
seorang yang tertutup, tidak supel, lama-lama mencair, dan menampakkan
jati diri seorang ibu yang berhati terbuka.
“Setiap tahun saya mengunjungi tiga makam orang yang saya cintai.”
Kontan pikiranku yang nakal berbisik, tentulah waktu mudanya dia cantik
sekali sehingga dia punya banyak kekasih. “Yang pertama di Ukraina, yang
kedua di sekitar Moskow, dan yang ketiga di Polandia,” sambungnya lagi.
Cinta pertamanya adalah suaminya, seorang komandan pasukan tank, yang
gugur dalam Perang Dunia II. Yang kedua, putra pertamanya, seorang
perwira infantri, yang tewas di sekitar Moskow. Ketiga, putra bungsunya,
yang sirna di Polandia sebagai penerbang pesawat tempur.
Saat berbicara kelihatan dia bersusah-payah menyembunyikan kesedihan
di wajahnya. Katanya, dia menghabiskan beberapa tahun untuk mencari
makam putra bungsunya yang tewas di Polandia itu. Semua biaya perjalanan
selama mencari anaknya itu, katanya, ditanggung pemerintah. Sampai
akhirnya dia menemukan makam putra bungsunya itu di Katowice, Polandia.
Kalau sebelumnnya saban tahun dia mengadakan perjalanan ziarah ke kedua
makam di negerinya sendiri, maka untuk perjalanan duka yang ketiga dia
harus melintasi perbatasan.
Kereta bertolak kembali. Tiap setengah jam dia menggelitik pinggangku
dari bawah, memintaku menemui kondektur, menanyakan sudah sampai di
mana kami. Senin sore, kereta berhenti di Katowice. Ibu yang telah
memberikan tiga yang terbaik dalam hidupnya untuk Patrioticeskaya Woina,
perang patriotik habis-habisan dalam Perang Dunia II, di mana jutaan
tentara maupun rakyat biasa Soviet terbunuh, menunjukkan kebaikan
hatinya kepadaku. Kuanggap sebagai imbalan untuk gelitik dan kerepotanku
mondar-mandir mencari kondektur. Kedua pojok mulutnya tersungging, dia
senyum menatap mataku, dan dengan enteng tangannya memberikan semua
bekalnya kepadaku: roti hitam, apel, keju serta sosis. “Salamku untuk
Emakmu,” katanya mengelus kedua pipiku. Dia juga meninggalkan alamat,
dan berharap aku berkenan mengunjunginya suatu ketika.
Desember 1962. Bingkai tingkap asramaku memutih dibalut es. Kujenguk
keluar. Hanya ada warna putih. Seluruh alam berselimut salju. Pada saat
seperti itu terasa benar bahwa aku berada di perantauan yang jauh, di
mana batang kelapa, pohon singkong maupun akar bakau adalah mimpi di
balik dunia yang lain. Aku teringat Emakku. Dengan siapa aku cinta dan
hormat begitu tinggi.
Perempuan Rusia teman segerbongku itu tertawa
seperti dikocok perutnya ketika kuceritakan bahwa aku tidak hanya
mencium Emakku menjelang tidur. Aku juga kerap menggumulnya, mencium
pipinya, merenggut kakinya untuk kucium, hingga dia merasa malu melihat
kebiasaanku yang berlebihan itu.
Pahit rasanya kalau rindu tak terpuaskan. Entah bagaimana, lamunanku
pada kampung halaman mendorong hatiku untuk melangkahkan kaki ke luar
asrama. Berdesak-desakan dengan angin yang perih membekukan pipi, aku
menguak butir-butir salju menuju Ceremuskinskaya Ulitsa, tempat tinggal
perempuan Rusia, kawan seperjalananku.
Begitu tiba, buru-buru kuketuk pintu. “Ibu! Ini aku, mahasiswa
Indonesia. Kawanmu!” kataku mantap. Beberapa kali kuulangi ketukan dan
kuucapkan kembali kata-kata itu. Diam. Hanya butir-butir salju yang
menyahut, menumpuk di sepatuku.
Aku terpacak di bendul pintu. Sesaat kemudian, tiba-tiba pintu
terkuak. Dia berdiri dengan anggun. Kujulurkan tanganku. Cepat dia
tangkap dan genggam kuat-kuat. Tanpa canggung-canggung kudekap dia. “Aku
rindu negeriku, kangen Emakku, maka aku ke sini,” ucapku tanpa
malu-malu.
Melihatku kedinginan, dia langsung mempersilakan aku masuk. Dia sibuk
menyiapkan minuman, nyamikan, dan menghidangkannya. Sebagai balasan
kuberikan majalah Druzhba, sekalipun kusangka dia sudah membacanya. Di
situ aku menulis kisah pertemuanku dengannya, terutama upayanya
bertahun-tahun mencari jiwa manusia ketiga yang telah dia sumbangkan
untuk tanah airnya. “Hatimu Seputih Salju”.
Begitulah aku memujanya yang kuungkapkan dalam judul tulisanku itu.
Dia letakkan album foto di pangkuanku, membukakan halaman di mana dia
kelihatan sedang berdiri di samping suaminya. Di lembar foto yang lain,
dia tampak begitu hangat dengan kedua putranya. Mereka tertawa lepas,
saling beradu pipi.
“Liliana meninggal musim gugur lalu,” katanya seperti menggigil sambil mengusap airmatanya.
“Kecelakaan lalu lintas.”
“Yang di dalam foto-foto ini adalah Ibu.”
“Bukan. Bukan. Saya saudara kembar Liliana.”
“Apa salah saya, sehingga Ibu harus berbohong. Kalau Ibu tak mau saya
kunjungi, katakan terus terang. Saya datang dari negeri yang jauh.
Mengapa Ibu memperdaya?”
Dia gugup, menghampiri pangkuanku, mengatupkan album foto yang terbuka di pangkuanku, dan membawanya ke dalam kamar.
“Saya tahu saudara mengasihi, mengagumi, Liliana. Terima kasih. Saya
tak bisa berbuat apa-apa untuk membalas kebaikan saudara,” katanya
bergetar.
Aku mematung di sofa. Tak percaya dengan apa yang terjadi di ruang
tamu itu. Perlahan aku bangkit dan beringsut mau pergi. Dari belakang
terasa tangannya memegangi bahuku. “Maafkan…” ucapnya lembut tersendat.
Aku tak memalingkan muka, terus melangkah menerabas bulir salju. Merasa
sedang dipermainkan.
Seminggu kemudian, aku datang kembali. Ketika bersalaman,
kuperhatikan baik-baik jarinya, terutama telunjuknya yang suka
menggelitikku. Aku mematut-matut diri di depannya. Aku tak salah ingat,
tinggi kami sama. Kutatap matanya lama-lama. Juga kening dan kerut di
lehernya. Aku tak pernah salah, dialah perempuan itu. “Maaf, Liliana
sudah tak ada….” Begitulah dia terus mengulang-ulang kata yang
menyakitkan itu. Dia membiarkan aku masuk. Membiarkan aku termangu.
Minggu berikutnya aku datang lagi. Dan datang, datang lagi, dengan
keyakinan persahabatan tak boleh mati. Hatiku kecut ketika menerima
surat dari dosenku, yang meminta aku supaya berhenti berkunjung ke rumah
perempuan itu. Dasar kepala batu, aku tetap saja datang bertandang.
Mengapa persahabatan harus dibungkam dengan cara licik begitu, pikirku.
Sampai pun ketika sepasang Tentera Merah mencegatku di pintu, mencekal
leher bajuku. “Durak…!” Sinting! Maki mereka berbareng, meludahi mukaku.
Aku beranjak, menepiskan ludah yang membeku di pipiku. (*)
(Kepada Djoko Sri Moeljono, ilham cerita ini)
___________________
Sumber : https://lakonhidup.wordpress.com/2012/11/18/perempuan-yang-selalu-menggelitik-pinggangku/#more-3553
Tidak ada komentar:
Posting Komentar