Ki-ka: Aiko Kurasawa, Franki P. Roring, dan Bonnie Triyana, dalam
peluncuran dan diskusi buku Jejak Intel Jepang: Kisah Pembelotan
Tomegoro Yoshizumi karya Wenri Wanhar, di aula Ir Sukarno, Universitas
Bung Karno, Jakarta, 13 September 2014.
Sejumlah tentara Jepang membelot ke pihak Indonesia. Mereka masuk catatan hitam.
OLEH: ARYONO
14 September 2014
SETELAH Jepang melihat bayang-bayang
kekalahan dari Sekutu, dan Perdana Menteri Kuniaki Koiso mengumumkan
janji kemerdekaan Indonesia di kemudian hari, sejumlah tentara Jepang
memihak Indonesia. Di negeri sendiri, sikap mereka menjadi catatan
hitam.
“Bahkan mereka yang lari dari kamp
interniran dinilai pemerintah Jepang sebagai desertir, bahkan subversi,”
ujar Aiko Kurasawa, guru besar Keio University, Jepang, dalam acara
peluncuran dan diskusi buku Jejak Intel Jepang: Kisah Pembelotan Tomegoro Yoshizumi karya Wenri Wanhar, di aula Ir Sukarno, Universitas Bung Karno, Jakarta (13/9).
Pada Juli 1944, Jepang berada di ujung
tanduk. Kepulauan Saipan jatuh ke tangan Sekutu. Garis pertahanan di
Pasifik, yakni Kepulauan Solomon dan Kepulauan Marshall, bobol. Sebulan
kemudian, Perdana Menteri Kuniaki Koiso mengumumkan Indonesia
diperkenankan merdeka di kemudian hari.
Berita tersebut menyebar. Pada Oktober 1944, Laksamana Muda Maeda berkunjung ke mess perwira Kaigun Bukanfu di Kebon Sirih 80 Jakarta. Kedatangannya ditunggu Tomegoro Yoshizumi, Shigetada Nishijima dan Sato Nobuhide. Mereka lalu berunding dan meruncingkan ide untuk mendirikan sekolah bagi kaum muda yang akan mengisi kemerdekaan.
Nama sekolah itu adalah Asrama Indonesia
Merdeka. Sukarno mengajar gerakan nasionalis; Hatta mengajar gerakan
koperasi; Ahmad Subardjo mengajar hukum internasional; Sutan Sjahrir
mengajar prinsip nasionalisme dan demokrasi; Iwa Kusuma Sumantri
mengajar perburuhan. Wikana sebagai kepala sekolah mengajar gerakan
pemuda. Dan Nishijima bersama Yoshizumi, memberi ceramah tentang perang
gerilya dan pertanian.
Di Sumatra Barat, beberapa tentara
Jepang melatih penduduk Baso soal ketrampilan teknik, seperti
memperbaiki mesin dan membuat senjata. Tak jarang penduduk diajarkan
teknik bertempur. Ada tiga orang yang membantu rakyat Baso. “Mereka
diberi nama Minangkabau. St. Marajo untuk si ahli mesin, St. Diateh
untuk ahli pengobatan, dan Malin Kuning untuk si ahli ilmu sosial,”
tulis Audrey Kahin dalam Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatra Barat dan Politik Indonesia, 1926-1998.
Simpati beberapa orang Jepang ini merupakan sikap pribadi, bukan cerminan sikap pemerintah Jepang.
“Seperti yang dilakukan Maeda dengan
menyediakan rumahnya untuk menyusun naskah proklamasi merupakan
inisiatif pribadi. Sikap ini bertentangan dengan kepentingan militer
Jepang, terutama di Jawa yang dikuasai kalangan Angkatan Darat,” ujar
Aiko.
Menurut Aiko, ada beberapa alasan kenapa
beberapa orang Jepang membelot. Antara lain sikap putus asa sebab kalah
perang; bertahan dalam situasi ekonomi yang sulit; sudah memiliki
keluarga atau menikahi perempuan Indonesia. Juga didorong rasa benci
kepada Sekutu.
“Yoshizumi adalah orang yang paling kuat cita-citanya dalam mendukung proklamasi,” ujar Aiko.
Pemerintah Jepang memasukkan tentara yang menyeberang ke pihak Indonesia ke dalam catatan hitam. Sikap pemerintah Jepang baru melunak sekira 1990-an dimana ada usaha memulihkan nama baik mereka.
____________________
Sumber : http://historia.co.id/artikel/modern/1464/Majalah-Historia/Catatan_Hitam_Pendukung_Kemerdekaan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar