Rumah tuan tanah itu telah musnah, namun sebuah lonceng penanda jam kerja para budaknya tetap selamat di sudut Palmerah.
Vila megah milik Andries Hartsinck
itu beratap gaya limasan yang ditudungi genting. Keberadaannya pernah
menjadi markah sehamparan kawasan pertanian di pedalaman Batavia pada
akhir abad ke-18.
Bangunan milik tuan tanah itu kelak dikenal sebagai Landhuis Djipang—sekitar Palmerah Selatan, Jakarta Pusat. Menurut Alwi Shahab,
jurnalis senior dan pemerhati sejarah Jakarta, bangunan tersebut berada
dalam kawasan yang pernah dijuluki sebagai Kampung Jepang.
Vila
dengan atap bersudut lebar itu ibarat topi berpinggiran lebar yang
menaungi beranda depan dan belakang. Pintu masuknya berukuran besar dan
tinggi. Hiasan di atas pintu, berupa kaca dan bilah-bilah lubang angin,
menunjukkan pengaruh Belanda yang kuat. Rumah sang tuan tanah itu
merupakan penanda zaman, tatkala orang-orang Belanda telah beradaptasi
dengan cuaca dan menerima kebudayaan setempat. Barangkali, inilah
kearifan para pendatang Eropa saat itu—gaya Belanda-Tropis.
Hartsinck,
lahir pada 1755 di Wageningen, Belanda. Dia pernah bertugas sebagai
akuntan di Surabaya, dan menjabat residen di beberapa kota: Pekalongan,
Rembang, dan Surakarta. Menikahi sembilan perempuan dan memiliki
keturunan sepuluh anak, termasuk dua anak dari hubungan tak resmi dengan
budaknya. Hubungan asmara majikan dan budak saat itu sangat lazim, yang
kelak turut melahirkan peradaban budaya indis.
Berikut istri-istri Hartsinck: Saijo Boerat (anaknya bernama Johanna Susanna Hartsinck yang lahir pada 1777); Willemijntje (anaknya bernama Andries Hartsinck dan Paulus Hartsinck. Keduanya lahir pada 1791 dan 1794); Mida (anaknya bernama Pieter Hartsinck, lahir 1793; Roosje van Mandaar (anaknya bernama Frederik Ditloff Hartsinck, lahir 1800); Moetiara van Loean (anaknya bernama Balthazar Frederik Wilhelm Hartsinck, lahir 1800); Malatie van Mandaar (anaknya bernama Anna Hartsinck, lahir 1801); Matra
(anaknya bernama Petronella Cornelia Hartsinck, lahir 1794); seorang
pribumi mungkin budak (anaknya bernama Sara Cornelia Hartsinck); dan Moetiana van Boegis (anaknya bernama Anthonetta Henrietta Hartsinck).
Tampaknya,
setelah purna-tugas dari Surakarta, Andries membangun vila mewah di
kawasan pedesaan, jauh dari hiruk-pikuk Kota Batavia pada paruh kedua
abad ke-18.
Satu vila berada di Palmerah Selatan yang dijuluki
sebagai Landhuis Djipang—ada juga yang menyebutnya Landhuis Depan.
Sementara beberapa ratus meter di belakang Landhuis Djipang,
Landhuis Djipang pernah diungkap dalam sebuah catatan pada 1792, sebagai rumah tembok yang berada sekitar dua jam jalan kaki ke luar kota Batavia. Rumah itu dikelilingi persawahan padi dan sekitar seratusan ekor ternak.
Di
halaman depan vila itu terdapat sebuah menara lonceng. Seperti pada
rumah-rumah tuan tanah abad ke-18, biasanya lonceng digunakan untuk
menandai waktu awal dan akhir bekerja para budak yang tinggal di barak
terpisah dari rumah majikannya.
"Fungsinya mirip kentongan orang
Jawa, sungguh," ujar Liliek Suratminto, pengajar bahasa dan budaya
Belanda di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia. Menurutnya,
lonceng bisa berfungsi sebagai alat komunikasi, misalnya untuk
mengumpulkan anggota keluarga, menyampaikan berita atau pengumuman
penting, dan menandai aktivitas para budak. "Jadi tuannya tidak perlu
teriak-teriak karena rumahnya sangat besar dan pekarangan sangat luas,"
ujar Liliek. "Dengan lonceng pekerjaan menjadi lebih praktis dan
efisien."
"Di Belanda abad 17 dan 18," Liliek melanjutkan, "orang
dengar lonceng bisa tahu ada kematian, yang meninggal laki atau
perempuan, anak-anak atau dewasa. Juga, kelahiran dan perkawinan."
Pada
akhir abad ke-17 hingga abad ke-19, tanah-tanah partikelir untuk
perkebunan yang dimiliki orang-orang Eropa dan Cina di Batavia mengalami
perluasan hingga menjauh dari kota. Perluasan tersebut diikuti
perkembangan kawasan permukiman orang Eropa dan Cina. Barangkali,
Hartsinck merupakan tuan tanah yang membuat Palmerah berdenyut sejak
akhir abad ke-18, hingga berkembang menjadi tempat berdagang, dan juga
pecinan di pinggiran Batavia.
Dalam
perkembangannya hingga pada akhir abad ke-20, vila yang pernah dimiliki
Hartsinck itu mengalami keanggunan yang memudar. Tanah perkebunannya
menjelma menjadi petak-petak hunian padat.
“Selama beberapa dekade rumah itu dilindungi Monumenten Ordonantie dan masuk dalam bangunan yang dilindungi,” ungkap Adolf Heuken dalam bukunya Historical Sites of Jakarta.
“Namun pada 1993, rumah itu dicabut dari daftar bangunan yang
dilindungi oleh sebuah persekongkolan misterius, kemudian dibongkar pada
1996.”
Namun pada 1993, rumah itu dicabut dari daftar bangunan yang dilindungi oleh sebuah persekongkolan misterius, kemudian dibongkar pada 1996.
Monumenten Ordonantie
merupakan undang-undang yang dibuat atas kesadaran pemerintah kolonial
Hindia Belanda dalam upaya mengumpulkan, melestarikan dan merevitalisasi
berbagai peninggalan budaya di Nusantara. Peraturan ini dibuat pada
1931, kemudian disempurnakan pada 1934.
Pada akhirnya, rumah zaman
VOC itu telah musnah di zaman Orde Baru. Namun, lonceng yang
menyertainya masih lestari. Lonceng yang tak berpenanda aksara atau pun
angka itu tersemat di sebuah menara beton di pekarangan kantor rukun
warga setempat—beberapa jengkal dari Gedung Kompas Gramedia di Palmerah
Selatan.
Lonceng lawas itu tak lagi berdentang. Dia telah
tenggelam dalam gelumat pasar, perkantoran, dan permukiman. Kini, warga
pun melupakan hikayat tentang lonceng yang bahana dentangannya pernah
menandai awal peradaban di Palmerah.
Sumber : http://nationalgeographic.co.id/berita/2014/09/lonceng-penanda-awal-denyut-peradaban-palmerah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar