Gandhi adalah kemenangan dari pertempuran tanpa kekerasan.
OLEH: WENRI WANHAR
2 Oktober 1869.
Persis 145 tahun lalu, Mohandas Karamchand Gandhi lahir di Porbandar,
Gujarat, sebelah barat India. Ayahnya menjabat perdana menteri di negara
bagian tersebut, dan keluarganya banyak bekerja untuk pemerintah
kolonial Inggris.
Semasa kecil hingga beranjak remaja,
Gandhi dikenal penakut. Dia takut ular, hantu, pencuri dan kegelapan.
Sebagai penganut Hindu Waisnawa yang memuja Rama, dia diajarkan oleh
Rambha, pembantu setianya, agar menyebut nama Rama untuk mengatasi
ketakutan. “Penangkal yang efektif mengatasi ketakutan,” tulis Pascal
Alan Nazareth dalam Keagungan Kepemimpinan Gandhi.
Di usia 13 tahun, Gandhi menikahi
Kasturba, gadis sekampungnya dan dikarunia empat anak laki-laki:
Harilal, Manilal, Ramdas, dan Devdas.
Lazimnya keturunan keluarga bangsawan
–yang mendapatkan akses dari pemerintah kolonial–pada 1889 Gandhi
berangkat ke Inggris. Dia kuliah ilmu hukum di Universitas College,
London. Setelah lulus pada 1893, dia pulang ke India untuk menjadi
pengacara.
Karena sifat penakutnya, Gandhi gagal
total dalam berdebat kasus pertamanya di pengadilan. “Saya berdiri,
namun hati saya tenggelam hingga ke sepatu bot saya,” kenang Gandhi
dalam Mahatma Gandhi: Sebuah Otobiografi. Semenjak itu, dia
tidak pernah lagi pergi ke pengadilan sampai akhirnya merantau ke
Durban, wilayah koloni Inggris di Afrika Selatan pada 1893.
Alam Afrika yang liar mengubah Gandhi
yang penakut jadi pemberani. Titik tolaknya, baru sepuluh hari di sana,
dia dilempar keluar dari keretapi dalam perjalanan Durban-Johannesburg.
Padahal, dia memiliki tiket kelas pertama dan berpakaian rapi. Salahnya,
dia duduk di gerbong khusus kulit putih.
Peristiwa itu, serta buku-buku yang dibacanya, antara lain Bhagawad Gita, Song Celestial karya Edwin Arnold, The Kingdom of God is Within You karya Tolstoy, Unto This Last karya John Ruskin dan Civil Disobedience karya Henry David Thoreaus, sedikit banyak mempengaruhi pikirnya. Gandhi terjaga.
“Dia mengorganisir orang India yang
tinggal di Afrika,” kata Gurjit Singh, duta besar India untuk Indonesia
dalam acara “Celebrate Gandhi Jayanti–International Day of Non Violence” di Gandhi Memorial International School, Jakarta, 2 Oktober 2014.
Akumulasi dari pergerakan
antidiskriminasi yang digagasnya terlihat pada 11 September 1906. Dalam
rapat raksasa di lapangan umum kekaisaran di Johannesburg itu, Gandhi
mendeklarasikan perjuangan tanpa kekerasan. Baginya, perjuangan tanpa
kekerasan adalah senjata yang benar-benar berani. Menjadi budak dari
rasa takut adalah bentuk terburuk dari perbudakan. Inilah cikal bakal
gerakan Satyagraha yang legendaris itu.
“Satyagraha adalah damai,” tulis Pascal.
“Satyagraha merupakan latihan kekuatan, tidak melalui kekuasaan atas
orang lain melainkan kekuasaan atas diri sendiri.”
Satyagraha kali pertama dikumandangkan
Gandhi secara terbuka pada Juli 1907. Nama kelompok ini mendunia ketika
suratkabar ramai memberitakan aksi mereka pada September 1913. Kala itu,
Gandhi memimpin pawai lebih dari duaribu massa Satyagraha ke Provinsi
Transvaal. Di saat bersamaan, buruh perusahaan batubara Newcastle,
mogok.
Mereka protes terhadap keputusan
Mahkamah Agung Transvaal bahwa pernikahan Hindu, Muslim dan Parsi tidak
diakui. Juni 1914, tuntutan Gandhi dipenuhi. Pemerintah juga
menghapuskan pajak tiga pound tahunan yang diberlakukan kepada buruh
kontrak India.
Nama Gandhi dan lakon perjuangannya
sampai juga ke tanah Jawa. Tak sedikit kaum pergerakan kemerdekaan
Indonesia terilhami perjuangannya. Sukarno mempelajari dan mencontoh
perjuangan Gandhi. Bahkan, Mohammad Hatta pernah dijuluki “Gandhi dari
Jawa.”
Duapuluh tahun Gandhi berjibaku di
Afrika sebelum kembali ke India dan lebur dalam perjuangan kemerdekaan
India. Ketika India merdeka pada 1947, Gandhi termasuk orang yang tidak
setuju India dibelah dua: Islam ke Pakistan, Hindu di India.
____________________
Sumber : http://www.historia.co.id/artikel/persona/1477/Majalah-Historia/Mahatma_Gandhi,_Perjuangan_Tanpa_Kekerasan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar