Okta Adetya *
http://preteers.wordpress.com
Kritik sastra dewasa ini menemui titik fleksibilitas, artinya kegiatan kritik sastra mampu mempu mengekor perubahan dalam masyarakat. Lampau, kritik sastra identik dengan terbitnya sebuah buku kritik. Kemudian seiring mencuatnya geliat media massa, muncul kritik sastra dalam koran Minggu, majalah, atau media lain. Era digital tak pelak meniupkan ruh baru, terkait perkembangan pesat internet yang memunculan kritik sastra cyber. Meski demikian, nyatanya kritikus sastra kehilangan taring, sehingga dirasa masih sangat tidak memuaskan. Hal ini terjadi, kemungkinan besar ada korelasinya dengan ruang media. Sebuah buku berkaitan dnegan kritik sastra pasti akan mampu mengulas lebih banyak dan lebih mendalam mengenai karya sastra yang dikritik, dibandingkan beberapa kolom dalam media massa. Ketajaman dan kedalaman kritikus pun seakan terlibas oleh ruang. Sehingga kritik yang mereka lontarkan, tak lebih dari sekadar penceritaan kembali sebuah karya sastra.
Dalam perkembangan sastra, kritik sastra menjadi aspek yang cukup menentukan dan penting. Kritik sastra itu ibarat jembatan antara pembaca dan penulis. Artinya, sebuah kritik akan menentukan, apakah sebuah karya sastra akan diminati atau tidak, apakah sebuah karya sastra akan menjadi monumen di eranya atau tidak. Untuk itulah, keberadaan kritik sastra mampu menenggelamkan pengarang atau bahkan melambungkan nama pengarang tersebut.
Dunia sastra Indonesia pernah memiliki kritikus sastra yang handal. Beliau adalah HB Jassin. Pengamat sastra berpendapat, bahwa kritik yang beliau lemparkan cerdas dan berkualitas, mampu melihat karya sastra secara menyeluruh tidak hanya permukaan saja. Akan tetapi, hal menyedihkan terjadi, kala HB Jassin memproklamirkan diri untuk pensiun dari dunia kritik. Sesudah masa itu, kegiatan kritik sastra di Indonesia mengalami stagnansi bahkan berada pada kondisi yang kritis.
Sebenarnya tidak hanya HB Jassin saja yang memandekkan kegiatan berkritik. Pada masa itu, para pegiat sastra di lingkungan Fakultas Sastra Universitas Indonesia) yang termasuk kritikus gaek, juga mulai mempensiunkan diri dalam berkecimpung di dunia kritik, sebut saja Boen Sri Oemarjati, MS Hutagalung, Lukman Ali, dan Saleh Saad. Sayangnya, mereka tidak melakukan regenerasi kritikus, sehingga keberadan kritikus yang mumpuni pada masa sesudah itu semacam mengalami pemutusan rantai generasi.
Menurut kritikus sastra Amerika Serikat MH Abrams, “kritik” adalah istilah yang dipakai untuk studi yang berkaitan dengan pendefinisian, pengelompokan, penganalisisan, penginterpretasian dan pengevaluasian karya sastra. Dalam dunia sastra terdapat dua jenis besar “kritik sastra”, yaitu kritik teoritis dan kritik praktis. Kritik teoritis berfungsi untuk menetapkan, dengan dasar prinsip-prinsip umum, seperangkat istilah, perbedaan dan kategori untuk diterapkan pada identifikasi dan analisis sastra, termasuk juga menetapkan kriteria (standar, atau norma-norma) untuk mengevaluasi karya sastra atau sastrawan. Sementara kritik praktis, atau kritik terapan, merupakan pembicaraan atas karya sastra, atau sastrawan, tertentu di mana prinsip-prinsip teori yang mendasari analisis, interpretasi dan evaluasi karya tersebut biasanya dibiarkan tidak nampak menyolok, tersirat saja, kecuali kalau memang diperlukan. Dan mereka yang melakukan “kritik” sastra menurut kedua pengertian di atas disebut sebagai “kritikus” sastra.
Kritikus dan karya sastra merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Untuk mampu mengkritik dengan baik, maka kritikus harus memiliki kemampuan dan kompetensi yang cukup baik dalam dunia sastra. Kritikus perlu memiliki pengetahuan yang komprehensif atas jenis sastra. Selain ini sikap profesional dan kritis, menjadi hal vital yang harus dimiliki oleh seorang kritikus sastra Indonesia. Minimal, seorang kritikus memiliki kepintaran yang sejajar dengan orang yang karyanya dia kritik. Pengarang berbincang melalui karya berdasarkan imajinasinya, sedangkan kritikus membincang karya melalui keluasan ilmu pengetahuan dan teori yang dimilikinya. Maka, seharusnya kedua pihak ini mampu membangun sinergisme. Seorang kritikus juga harus tahu betul medium yang dimasuki. Ini penting dilakukan, karena setiap generasi memiliki karakteristiknya masing-masing. Ketika kritikus sastra sudah paham akan karakteristik pada masing-masing generasi ini, maka sedikit banyak itu akan berpengaruh terhadap kualitas kritik yang mereka hasilkan.
B Teew, salah satu kritikus berkebangsaan Belanda, menyampaikan dalam esainya yang berjudul Tentang Paham dan Salah Paham dalam Membaca Puisi menyebutkan rendahnya kualitas kritik puisi modern Indonesia oleh sekelompok dosen, yang dinilainya tidak memuaskan. Puisi yang dimaksud adalah sajak “Salju” karya Subagio Sastrowardoyo dan sajak ‘Coctail Party’ karya Toeti Heraty. Teew berpendapat, bagaimana mungkin sekelompok dosen yang sudah berkubang dan berkecimpung di dunia teori dan akademisi, hanya mampu menghasilkan kritik yang sedemikian.
Lantas, kita juga sering mendengar suara-suara yang melantangkan bahwa sastra modern Indonesia berada dalam kondisi kritis. Salah satu penyebab utama kekritisan ini adalah adanya stagnansi dan tema yang monoton. Adapun upaya penyembuhan yang bisa dilakukan, adalah dengan berkiblat pada perkembangan sastra Eropa atau Amerika. The west is the best, sebagaimana yang dikatakan Jim Marison dari The Doors. Akan tetapi, beberapa kritikus menganggap bahwasannya pendapat tersebut terasa dilebih-lebihkan, mengingat produktivitas pengarang Indonesia yang cukup tinggi. Sastra Indonesia sudah diwarnai berbagai macam aliran, yang kemudian melahirkan penulis-penulis besar semacam Chairil Anwar, Renda, sampai Pramodya Ananta Toer. Berkaitan dnegan tema sosiologis yang banyak diangkat, hal tersebut tidak dapat dijadikan patokan bahwa perkembangan sastra di Indonesia stagnan. Sebenarnya, sastra sudah berkembang cukup baik, justru perkembangan kritikusnya yang sekarang sedang mengalami fase kritis.
Dalam beberapa dekade balakangan atau masa-masa kritik sastra media mulai berkembang, ada upaya menjustifikasi, bahwa mereka yang menulis tentang sastra dapat disebut kritikus. Tak peduli apa esensi dari tulisan yang dia buat. Orang-orang yang selama ini mengaku sebagai kritikus sastra pun cenderung kehilangan taring. Mereka tak cukup keberanian untuk mengulas karya-karya besar, tulisan yang mereka hasilkan pun cunderung memiliki pangsa tersendiri, yaitu para penikmat sastra pemula. Hal ini semakin diperparah dengan sistem akademis kita yang hanya menyodorkan seperangkat teori. Lebih parah lagi, teori-teori tersebut terkadang keluar dari realita teks itu sendiri. Tentu menjadi tamparan yang cukup keras dan pedas, ketika kita mengkorelasikan dengan apa yang sudah disampaikan oleh B Teew di muka.
Membincang para pegiat sastra yang menasbihkan diri mereka kritikus sastra, kualitas kritikus sastra di Indonesia cukup memprihatinkan. Setidaknya hal itulah yang disampaikan Saut Situmorang dalam tulisanya yang berjudul Dicari: Kritik(us) Sastra Indonesia. Dia memaparkan bahwa banyak kritikus yang tidak bisa menulis, akan tetapi selalu berkomentar miring dan tajam, menghakimi, mencaci maki, bahkan menjadikan pengarang obyek bulan-bulanan. Seakan-akan mereka adalah jagoan, raja yang memiliki kapasitas dan samudera pengetahuan yang luas, sehingga sering membuat kesimpulan-kesimpulan yang kadang terkesan absurd dan arogan. Sorang kritikus, kendati memberikan penilaian yang individualistik tetap harus obyektif dalam menilai.
Saut Situmorang banyak menguliti para kritkus, seperti Korrie Rayun Lampan yang terkesan latah dan dangkal dalam penyusunan buku Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia. Korrie dinilai tidak memberikan argumen yang bisa dipertanggungjawabkan. Kritikus lain yang memperoleh komentar pedas dari Saut adalah Nirwan Dewanto yang dinilainya terlalu mentah dalam mengkritik. Dia juga memberikan satu kritikan yang cukup pedas terhadap kritikus sekaligus dosen asal Jakarta, yaitu Maman S Mahayana, yang dinilainya terlalu agresif dalam menyerang pengarang. Dia bahkan menudiang para kritikus sebagai seorang narsistik yang tidak lebih hebat dari pengarang itu sendiri.
Seberapa jauh mereka berkompeten untuk menguliti sebuah karya. Jangan-jangan, segala bentuk polah tingkah mereka hanya semacam legitimasi menyerang pengarang melalui kekuasaan media. Para kritikus akan lebih baik lagi, kalau meningkatkan kapasitas, sehingga kualitas tulisan yang mereka buat dpercaya oleh masyarakat. Karena rendahnya kualitas, akan memicu ketidakpercayaan, sebagaimana para penonton sepakbola yang seakan-akan ingin mencekik komentator abal-abal, namun berbicara seolah dia mampu mengandangkan bola ke gawang seratus kali dalam satu pertandingan. Eksistensi kritikus ditentukan bukan dari berapa banyak hasil kritikan yang mampu dia lahirkan, melainkan seberapa berat bobot kritikan yang dia lahirkan tersebut. Karya sastra bisa terus lahir tanpa kritikus, namun kritikus yang menulis namun dianggap angin lalu, tentu itu sangat menyedihkan.
Sebagaimana kritik terhadap cyber sastra yang mencetak buku berjudul Graffiti Gratitude dirasa sangat mengada-ada. Buku ini lahir pada awal Mei 2011 dari rahim Yayasan Multimedia Sastra (YMS). Awal terbitnya buku ini, membangunkan para kritikus, yang kemudian secara membabi buta menyerang. Tuduhan bahwa sastra cyber tidak dapat dikategorikan sebagai ‘sastra’, pembukuan terhadap cyber sastra adalah pengkhianatan dan dosa atas hakekat bentuk itu sendiri, sampai upaya mempertanyakan mutu dan kualitas dari puisi-puisi tersebut. Upaya ini dikenal dengan pengadilan sastra, yang kala itu menjadi topik serangan favorit bagi kritikus-kritikus sastra di Indonesia.
Terlepas dari segala bentuk persoalan dan sengkarut keberadaan kritikus sastra di Indonesia, negeri ini pernah memiliki kritikus-kritikus sastra yang berkualitas. Merea diantaranya Jacob Sumardjo, Gunawan Mohamad, Emha Ainun Najib, Dami Ndandu Toba, serta tak lupa, Bapak sastra Indonesia, HB Jassin.
http://preteers.wordpress.com
Kritik sastra dewasa ini menemui titik fleksibilitas, artinya kegiatan kritik sastra mampu mempu mengekor perubahan dalam masyarakat. Lampau, kritik sastra identik dengan terbitnya sebuah buku kritik. Kemudian seiring mencuatnya geliat media massa, muncul kritik sastra dalam koran Minggu, majalah, atau media lain. Era digital tak pelak meniupkan ruh baru, terkait perkembangan pesat internet yang memunculan kritik sastra cyber. Meski demikian, nyatanya kritikus sastra kehilangan taring, sehingga dirasa masih sangat tidak memuaskan. Hal ini terjadi, kemungkinan besar ada korelasinya dengan ruang media. Sebuah buku berkaitan dnegan kritik sastra pasti akan mampu mengulas lebih banyak dan lebih mendalam mengenai karya sastra yang dikritik, dibandingkan beberapa kolom dalam media massa. Ketajaman dan kedalaman kritikus pun seakan terlibas oleh ruang. Sehingga kritik yang mereka lontarkan, tak lebih dari sekadar penceritaan kembali sebuah karya sastra.
Dalam perkembangan sastra, kritik sastra menjadi aspek yang cukup menentukan dan penting. Kritik sastra itu ibarat jembatan antara pembaca dan penulis. Artinya, sebuah kritik akan menentukan, apakah sebuah karya sastra akan diminati atau tidak, apakah sebuah karya sastra akan menjadi monumen di eranya atau tidak. Untuk itulah, keberadaan kritik sastra mampu menenggelamkan pengarang atau bahkan melambungkan nama pengarang tersebut.
Dunia sastra Indonesia pernah memiliki kritikus sastra yang handal. Beliau adalah HB Jassin. Pengamat sastra berpendapat, bahwa kritik yang beliau lemparkan cerdas dan berkualitas, mampu melihat karya sastra secara menyeluruh tidak hanya permukaan saja. Akan tetapi, hal menyedihkan terjadi, kala HB Jassin memproklamirkan diri untuk pensiun dari dunia kritik. Sesudah masa itu, kegiatan kritik sastra di Indonesia mengalami stagnansi bahkan berada pada kondisi yang kritis.
Sebenarnya tidak hanya HB Jassin saja yang memandekkan kegiatan berkritik. Pada masa itu, para pegiat sastra di lingkungan Fakultas Sastra Universitas Indonesia) yang termasuk kritikus gaek, juga mulai mempensiunkan diri dalam berkecimpung di dunia kritik, sebut saja Boen Sri Oemarjati, MS Hutagalung, Lukman Ali, dan Saleh Saad. Sayangnya, mereka tidak melakukan regenerasi kritikus, sehingga keberadan kritikus yang mumpuni pada masa sesudah itu semacam mengalami pemutusan rantai generasi.
Menurut kritikus sastra Amerika Serikat MH Abrams, “kritik” adalah istilah yang dipakai untuk studi yang berkaitan dengan pendefinisian, pengelompokan, penganalisisan, penginterpretasian dan pengevaluasian karya sastra. Dalam dunia sastra terdapat dua jenis besar “kritik sastra”, yaitu kritik teoritis dan kritik praktis. Kritik teoritis berfungsi untuk menetapkan, dengan dasar prinsip-prinsip umum, seperangkat istilah, perbedaan dan kategori untuk diterapkan pada identifikasi dan analisis sastra, termasuk juga menetapkan kriteria (standar, atau norma-norma) untuk mengevaluasi karya sastra atau sastrawan. Sementara kritik praktis, atau kritik terapan, merupakan pembicaraan atas karya sastra, atau sastrawan, tertentu di mana prinsip-prinsip teori yang mendasari analisis, interpretasi dan evaluasi karya tersebut biasanya dibiarkan tidak nampak menyolok, tersirat saja, kecuali kalau memang diperlukan. Dan mereka yang melakukan “kritik” sastra menurut kedua pengertian di atas disebut sebagai “kritikus” sastra.
Kritikus dan karya sastra merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Untuk mampu mengkritik dengan baik, maka kritikus harus memiliki kemampuan dan kompetensi yang cukup baik dalam dunia sastra. Kritikus perlu memiliki pengetahuan yang komprehensif atas jenis sastra. Selain ini sikap profesional dan kritis, menjadi hal vital yang harus dimiliki oleh seorang kritikus sastra Indonesia. Minimal, seorang kritikus memiliki kepintaran yang sejajar dengan orang yang karyanya dia kritik. Pengarang berbincang melalui karya berdasarkan imajinasinya, sedangkan kritikus membincang karya melalui keluasan ilmu pengetahuan dan teori yang dimilikinya. Maka, seharusnya kedua pihak ini mampu membangun sinergisme. Seorang kritikus juga harus tahu betul medium yang dimasuki. Ini penting dilakukan, karena setiap generasi memiliki karakteristiknya masing-masing. Ketika kritikus sastra sudah paham akan karakteristik pada masing-masing generasi ini, maka sedikit banyak itu akan berpengaruh terhadap kualitas kritik yang mereka hasilkan.
B Teew, salah satu kritikus berkebangsaan Belanda, menyampaikan dalam esainya yang berjudul Tentang Paham dan Salah Paham dalam Membaca Puisi menyebutkan rendahnya kualitas kritik puisi modern Indonesia oleh sekelompok dosen, yang dinilainya tidak memuaskan. Puisi yang dimaksud adalah sajak “Salju” karya Subagio Sastrowardoyo dan sajak ‘Coctail Party’ karya Toeti Heraty. Teew berpendapat, bagaimana mungkin sekelompok dosen yang sudah berkubang dan berkecimpung di dunia teori dan akademisi, hanya mampu menghasilkan kritik yang sedemikian.
Lantas, kita juga sering mendengar suara-suara yang melantangkan bahwa sastra modern Indonesia berada dalam kondisi kritis. Salah satu penyebab utama kekritisan ini adalah adanya stagnansi dan tema yang monoton. Adapun upaya penyembuhan yang bisa dilakukan, adalah dengan berkiblat pada perkembangan sastra Eropa atau Amerika. The west is the best, sebagaimana yang dikatakan Jim Marison dari The Doors. Akan tetapi, beberapa kritikus menganggap bahwasannya pendapat tersebut terasa dilebih-lebihkan, mengingat produktivitas pengarang Indonesia yang cukup tinggi. Sastra Indonesia sudah diwarnai berbagai macam aliran, yang kemudian melahirkan penulis-penulis besar semacam Chairil Anwar, Renda, sampai Pramodya Ananta Toer. Berkaitan dnegan tema sosiologis yang banyak diangkat, hal tersebut tidak dapat dijadikan patokan bahwa perkembangan sastra di Indonesia stagnan. Sebenarnya, sastra sudah berkembang cukup baik, justru perkembangan kritikusnya yang sekarang sedang mengalami fase kritis.
Dalam beberapa dekade balakangan atau masa-masa kritik sastra media mulai berkembang, ada upaya menjustifikasi, bahwa mereka yang menulis tentang sastra dapat disebut kritikus. Tak peduli apa esensi dari tulisan yang dia buat. Orang-orang yang selama ini mengaku sebagai kritikus sastra pun cenderung kehilangan taring. Mereka tak cukup keberanian untuk mengulas karya-karya besar, tulisan yang mereka hasilkan pun cunderung memiliki pangsa tersendiri, yaitu para penikmat sastra pemula. Hal ini semakin diperparah dengan sistem akademis kita yang hanya menyodorkan seperangkat teori. Lebih parah lagi, teori-teori tersebut terkadang keluar dari realita teks itu sendiri. Tentu menjadi tamparan yang cukup keras dan pedas, ketika kita mengkorelasikan dengan apa yang sudah disampaikan oleh B Teew di muka.
Membincang para pegiat sastra yang menasbihkan diri mereka kritikus sastra, kualitas kritikus sastra di Indonesia cukup memprihatinkan. Setidaknya hal itulah yang disampaikan Saut Situmorang dalam tulisanya yang berjudul Dicari: Kritik(us) Sastra Indonesia. Dia memaparkan bahwa banyak kritikus yang tidak bisa menulis, akan tetapi selalu berkomentar miring dan tajam, menghakimi, mencaci maki, bahkan menjadikan pengarang obyek bulan-bulanan. Seakan-akan mereka adalah jagoan, raja yang memiliki kapasitas dan samudera pengetahuan yang luas, sehingga sering membuat kesimpulan-kesimpulan yang kadang terkesan absurd dan arogan. Sorang kritikus, kendati memberikan penilaian yang individualistik tetap harus obyektif dalam menilai.
Saut Situmorang banyak menguliti para kritkus, seperti Korrie Rayun Lampan yang terkesan latah dan dangkal dalam penyusunan buku Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia. Korrie dinilai tidak memberikan argumen yang bisa dipertanggungjawabkan. Kritikus lain yang memperoleh komentar pedas dari Saut adalah Nirwan Dewanto yang dinilainya terlalu mentah dalam mengkritik. Dia juga memberikan satu kritikan yang cukup pedas terhadap kritikus sekaligus dosen asal Jakarta, yaitu Maman S Mahayana, yang dinilainya terlalu agresif dalam menyerang pengarang. Dia bahkan menudiang para kritikus sebagai seorang narsistik yang tidak lebih hebat dari pengarang itu sendiri.
Seberapa jauh mereka berkompeten untuk menguliti sebuah karya. Jangan-jangan, segala bentuk polah tingkah mereka hanya semacam legitimasi menyerang pengarang melalui kekuasaan media. Para kritikus akan lebih baik lagi, kalau meningkatkan kapasitas, sehingga kualitas tulisan yang mereka buat dpercaya oleh masyarakat. Karena rendahnya kualitas, akan memicu ketidakpercayaan, sebagaimana para penonton sepakbola yang seakan-akan ingin mencekik komentator abal-abal, namun berbicara seolah dia mampu mengandangkan bola ke gawang seratus kali dalam satu pertandingan. Eksistensi kritikus ditentukan bukan dari berapa banyak hasil kritikan yang mampu dia lahirkan, melainkan seberapa berat bobot kritikan yang dia lahirkan tersebut. Karya sastra bisa terus lahir tanpa kritikus, namun kritikus yang menulis namun dianggap angin lalu, tentu itu sangat menyedihkan.
Sebagaimana kritik terhadap cyber sastra yang mencetak buku berjudul Graffiti Gratitude dirasa sangat mengada-ada. Buku ini lahir pada awal Mei 2011 dari rahim Yayasan Multimedia Sastra (YMS). Awal terbitnya buku ini, membangunkan para kritikus, yang kemudian secara membabi buta menyerang. Tuduhan bahwa sastra cyber tidak dapat dikategorikan sebagai ‘sastra’, pembukuan terhadap cyber sastra adalah pengkhianatan dan dosa atas hakekat bentuk itu sendiri, sampai upaya mempertanyakan mutu dan kualitas dari puisi-puisi tersebut. Upaya ini dikenal dengan pengadilan sastra, yang kala itu menjadi topik serangan favorit bagi kritikus-kritikus sastra di Indonesia.
Terlepas dari segala bentuk persoalan dan sengkarut keberadaan kritikus sastra di Indonesia, negeri ini pernah memiliki kritikus-kritikus sastra yang berkualitas. Merea diantaranya Jacob Sumardjo, Gunawan Mohamad, Emha Ainun Najib, Dami Ndandu Toba, serta tak lupa, Bapak sastra Indonesia, HB Jassin.
June 16, 2013
*) Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar