“Biar susah satu gunung, kami tetap Marsose…”
Ketiksa
saya SMP, saya pernah membaca keganasan pasukan kolonial. Konon cukup
tidak beradab dalam menghabisi pemberontak—atau pembebas—pribumi. Saya
mulai tertarik mengkajinya di akhir-akhir kuliah saya yang berantakan.
Cerita soal Marsose masih menarik buat saya.
Bermula
dari Pemerintah Kolonial yang begitu pusing menghadapi para pemberontak
Nusantara. Juga Perang Aceh yang makan banyak biaya. Banyaknya korban
dikalangan KNIL dalam menghadapi gerilyawan pribumi yang hanya
bersenjata parang dan minim senjata api itu, maka pemerintah kolonial
mencari cara mengalahkan para pemberonak.
Lalu
munculah sebuah gagasan membentuk pasukan khusus yang efektif
menghadapi gerilyawan. Pasukan yang beradaptasi dengan gaya perang kaum
gerilyawan. Jadilah sebuah pasukan antigerilya. Jangan heran bila dalam Marsose penggunaan senjata api sangatlah minim. Prajurit Marsose lebih sering menggunakan klewang daripada karaben atau senjata api yang mereka bawa.
Sepertihalnya gerilyawan, pasukan Marsose tidak memerlukan logistik yang terlalu banyak seperti pasukan biasa. Marsose
selalu hampir memasuki hutan untuk mencari para gerilyawan dan sebisa
mungkin menangkap pemimpinnya—perburuan itu dilakukan selama
berhari-hari.
Keberhasilan
Marsose menjadi kebanggan tersendiri bagi sebagian kalangan termasuk
militer Belanda—disamping kesadisannya yang juga dibenci dan membuat
ngeri sebagian orang-rang Belanda sendiri. Bagaimanapun juga, pasukan
ini memiliki legenda tersendiri di nusantara.
Pasukan ini dibentuk pada tanggal 20 April
1890—digolongkan oleh beberapa kalangan sebagai pasukan komando modern.
Menurut Paul van’t Veer, Marsose dibentuk atas prakarsa dari Teuku
Muhamad Arif, seorang Jaksa Kepala di Kutaraja, Aceh. Pastinya Teuku
Muhamad Arif adalah orang Indonesia yang pro Belanda setelah pendudukan
Belanda di Aceh dimulai. Dia memberi nasehat kepada Gubernur Militer
Belanda di Aceh, Jenderal van Teijn juga Kepala Staf-nya J.B. van
Heutsz, untuk membentuk sebuah unit-unit tempur kecil infanteri yang
memiliki mobilitas tinggi. Pasukan ini tentunya pasukan anti gerilya.
Pembentukan pasukan ini tidaklah sulit, tahun 1889, Komando Tentara Belanda di Aceh sudah menyusun dua detasemen pengawalan mobil yang memiliki kemampuan antigerilya.[i]
Konsep pasukan itu lalu dimatangkan lagi hingga menjadi pasukan Marsose
yang akhirnya membuktikan diri sebagai pasukan elit karena beberapa
tugas berat yang sulit dilakukan serdadu KNIL biasa berhasil mereka
selesaikan. Bagaimana tidak, pasukan ini adalah pasukan pilihan dari
berbagai kesatuan KNIL baik pribumi maupun Eropa.[ii]
Setiap unit Marsose terdiri dari 20 orang dengan dipimpin seorang sersan Belanda yang dibantu seorang kopral pribumi. Setiap
pasukan biasanya terdiri dari satu peleton yang terdiri dari 40 orang
dan dipimpin seorang Letnan Belanda. Secara keseluruhan, korps Marsose
terdiri dari 1.200 orang—dari berbagai bangsa. Pasukan ini,
selain dipersenjatai karaben, juga dipersenjatai dengan senjata
tradisional seperti klewang, rencong dan sebagainya.[iii]
Kata Marsose berasal dari kata marechaussée yang sebenarnya memiliki akar sejarah cukup panjang. Tahun 1370, dikota Paris terdapat sebuah otoritas hokum bernama Tribunal of Constables and Marshals of France. Constables dan Marshals ini lalu menjadi Gendermarie, yang menjadi kekuatan kepolisian di Belanda dan Belgia. sebuah unit kepolisian yang berakar pada masa pendudukan Perancis di Belanda. Berdasar dekrit Republik Bataaf, bentukan Perancis, dibentuklah sebuah unit kepolisian ini pada tanggal 4 Februari 1863 dengan nama marechaussée. Hal ini tidak langsung ditanggapi oleh otoritas Belanda. Tahun 1805, barulah terbentuk satu unit Gendermarie.[iv] Ketika
wangsa Oranje berkuasa di Negeri Belanda, setelah Republik Bataaf
tersingkir, berdasar dekrit nomor 48 tanggal 26 Oktober 1814 Marechaussée terbentuk.[v]
Di Hindia Belanda, Marsose
adalah pasukan gerak cepat dengan seragam hijau dengan tanda garis
bengkok warna merah pada lengan dan leher terdapat gari merah. Dalam
tugasnya, mereka dibekali senjata khas penduduk setempat, semacam
klewang. Mereka memakai bedil dengan ukuran yang lebih pendek dari bedil
biasa, karaben. Mereka tidak tergantung pada angkutan militer dan biasa berjalan kaki. Mereka tidak bergantung pada jalur suplai logistik.[vi]
Keberadaan Marsose di Hindia Belanda lebih berkembang sebagai pasukan tempur handal daripada pasukan polisi bersenjata seperti pendahulunya, Marechaussée, di Eropa barat. Kesamaannya di Eropa atau di Hindia Belanda, keduanya sama diseganinya. Ketika Perang Dunia II berlangsung, Marsose ikut membantu Angkatan Perang Belanda. Pasukan ini berhasil menewaskan Sisingamangaraja XII di Sumatra utara.[vii]
Marsose
terdiri orang-orang Belanda, Perancis, Swiss, Belgia, Afrika, Ambon,
Ambon, Menado, Jawa, juga beberapa orang Nias dan Timor. Selain
karaben—senapan modern berukuran pendek—mereka juga membawa klewang dalam front Aceh dan Batak. Hal ini sangat berguna dalam perang jarak dekat, man to man, seperti yang dilakukan para gerilyawan pribumi. Marsose
berusaha mengikuti gaya berperang ini karena gerilya kaum gerilyawan
begitu efektif menggempur KNIL yang biasa menang dalam front besar namun
repot ketiuka diserang mendadak. Pasukan ini tentunya terlatih dalam
peperangan di hutan menghadapi serangan gerilyawan[viii]
Marsose
bukan pasukan tempur biasa seperti yang berkembang pada pergantian abad
XIX ke XX. Marsose tidak seperti KNIL, mereka memiliki karakter sendiri
dalam bertempur. Mereka tidak terlalu mengandalkan senjata api,
melainkan klewang mereka untuk mengahabisi lawannya dalam jarak dekat. Marsose
lebih terlihat seperti jawara dibanding tentara reguler pada umumnya.
Senjata api tetap mereka pegang dan akan digunakan bila keadaan
terpaksa.
Kapten Hans
Hans
Christofell adalah orang yang memimpin pengejaran yang menewaskan
Sisingamangaraja XII dengan bantuan prajurit Belanda dari Senegal yang
sangat ahli berburu. Setelah mereka menewaskan Sisingamangaraja XII,
dipedalaman Sumatra Utara, Piso Gaja Dompak, pedang pusaka yang biasa
dibawa bertempur oleh Sisingamangaraja XII lalu diserahkan ke Gubernur
Jenderal Hindia Belanda sebagai bukti[ix] Sisingamangaraja XII tewas ditembak seorang serdadu, asal Alfuru bernama Hamisi.[x]
Selama Pemberontakan PKI 1926-1927 yang gagal, disamping polisi,
KNIL juga ikut melakukan penumpasan. Penumpasan pemberontakan PKI di
Padang dan Silungkang , Sumatra Barat, beberapa brigade Marsose pimpinan
Mayor (KNIL) W.V. Rhemrev, melakukan penyiksaan sadis pada kaum
pemeberontak komunis. Terjadi penjagalan dalam usaha
meredam pemberontakan kaum komunis itu. Tubuh korban dirusak, kepala
korban ditusuk dengan tongkat lalu diarak keliling kampung. Tujuannya
tidak lain untuk menebar teror di kalangan penduduk biasa. Berita kesadisan Marsose itu terdengar sampai di Eropa tanpa dapat disangkal.[xi]
Marsose, dalam banyak catatan,
lebih banyak melakukan tugasnya sebagai pasukan kontra-gerilya di Aceh
dan Tanah Batak. Dua daerah itu sangatlah sulit dikuasai pemerintah
kolonial hingga awal abad XX. Marsose dalam jumlah besar dibutuhkan
disana untuk waktu tugas yang lama. Bahkan setelah perang melawan
orang-orang Batak di Pedalaman Sumatra dan Aceh itu berakhir, perlawanan
kecil kadang masih terjadi. Seperti dialami bekas komandan Marsose, Letnan Kolonel W.B.J.A Scheepens, yang tertusuk rencong orang Aceh.
Marsose
sebenarnya tidak hanya ditugaskan di dua daerah itu, tapi juga
dibeberapa tempat seperti di kepulauan Nusa Tenggara juga Sulawesi—walau
dengan personil yang tidak terlalu banyak. Cerita kekejamana pasukan Marsose lebih banyak didengar di Aceh saja dan tanah Gayo saja.
Tentara KNIL |
Tentara KNIL |
Kolone Macan
Kehadiran Marsose
sebagai pasukan khusus yang sedemikian handal itu, rupanya masih dirasa
belum cukup oleh petinggi militer Belanda. Perwira-pwerwira Belanda
itumembentuk lagi sebuah unit didalam pasukan Marsose bernama Kolone Macan.. Seperti halnya Marsose, Kolone Macan
juga dipimpin oleh perwira-perwira dari orang-orang Eropa. Salah
satunya adalah perwira asal Swiss bernama Hans Christofell. Dia sangat
tersohor karena berjasa kepada pemerintah kolonial dalam peperangan di
Sumatra bagian utara itu. Dia membentuk pasukan khusus baru lagi, dimana
anggotanya adalah anggota-anggota Marsose yang terpilih.[xii]
Ada
perwira Marsose yang lebih tinggi pangkatnya dibanding Christoffel,
Kapten Scheepens. Setelah lewati berbagai pertimbangan, pembuat
kebijakan militer Belanda sampai pada kesimpulan, pekerjaan algojo yang
sadistis tidaklah cocok bagi Scheepens—walaupun Scheepens tergolong
orang bersedia mengerjakan tugas militer yang berat sekalipun seperti
bertempur berhari-hari dalam hutan. Dimata pembuat kebijakan itu,
Christoffel dianggap lebih cocok untuk memimpin sekelompok algojo.
Akhirnya Christoffel diberangkatkan ke Cimahi—dimana berdiri sebuah
garnisun pasukan Belanda disana. Disini Christoffel berttemu dengan
banyak Marsose kawakan dan memiliki pengalaman bertempur di Aceh.
Keberadaan mereka di Cimahi adalah dalam rangka istirahat setelah
peperangan berat di Aceh selama berbulan-bulan.[xiii]
Dia menghimpun anggota Marsose yang beringas, jago berkelahi. Pasukan ini dinamakan Kolone Macan. Pasukan
ini dilatih oleh Christoffel di Garnisun Cimahi. Pakaian mereka
berwarna hijau kelabu yang kerah bajunya terdapat dua lambing jari
berdarah. Tentu saja ikat leher warna merah agar nampak lebih lebih
menyeramkan. Mereka dikenal sebagai pasukan yang menyeramkan dengan
julukan ‘pembunuh berdarah dingin’.[xiv]
Setelah
beristirahat dalam waktu yang lama, para Marsose itu merasa ingin
kembali berperang di Aceh lagi. Dunia Marsose jelas bukan dunia tangsi
yang damai, dunia mereka adalah peperangan dalam hutan, seperti di Aceh.
Selama di tangsi Cimahai yang damai itu, para Marsose itu juga
diberikan teori peperangan, namun hal itu kurang direspon pleh marsose
yang berpendidikan rendah. Mereka tidak butuh teori dalam peperangan,
melainkan pertempuran. Wajar bila teori perang itu tidak sekalipun
dicerna prajurit Marsose. Mereka lebih tahu dan senang bertempur. Rutinitas
lain yang mereka benci di tangsi adalah beberapa kali dalam sehari
harus apel. Latihan marsose bukanlah menembakan senapan, melainkan
memainkan klewang.[xv]
Di
Cimahi, Christoffel mengamboil beberapa komandan brigade—yang biasanya
berpangkat sersan—terbaik Marsose. Mereka yang bosan hidup di garnisun
jelas menjadi prioritasnya. Pasukan ini terdari dari 12 brigade marsose
yang sudah dilatih lagi di Cimahi. Betapa terlatihnya mereka sekarang.
Barisan depan pasukan Kolene Macan adalah para Marsose jejaka. Jelas mereka bisa lebih leluasa bertempur karena tidak akan memikirkan anak istrinya.[xvi]
Cara kerja pasukan ini lebih kejam dari Marsose
sebelumnya. Mereka melakukan eksekusi ditempat. Hal ini tergolong gila,
seperti yang dirasakan salah seorang komandan Marsose Schriwanek. Walau
dia tergolong kasar, namun dia melihat cara kerja Kolone Macan, dirasa oleh perwira itu, benar-benar keterlaluan ketika melakukan Sweeping.
Mereka membersihkan gerakan gerilyawan perlawanan rakyat dengan kejam
sejak dari dataran rendah. Mereka lakukan kerja mereka dengan singkat
dan tuntas.[xvii]
Reaksi
keras atas cara kerja Kolone Macan muncul juga dari kalangan militer
Belanda sendiri. Peperangan yang mereka jalankan di Aceh terbilang
keterlaluan. Reaksi ini datang dari perwira Belanda yang bukan berlatar
belakang dari tentara bayaran. Akhirnya komando atas daerah
Aceh dirubah dari van Daalen kepada Swart. Karena hal pergantian
komando itu, cara kejam Kolone Macan perlahan dihilangkan. Pasukan yang
pernaha dilatih dan dipimpin oleh Christoffel itu kemudian beralih
komando pada van der Vlerk. Komandan baru ini, seperti tuntutan sebagian
perwira Belanda yang benci kebengisan van Daalen dan Christoffel, mulai
merubah sifat pasukan Kolone Macan. Pasukan ini lama-lama menghilang dan hanya menjadi Marsose biasa.[xviii]
Kolone
Macan adalah bagian terkejam dari korps bernama Marsose dan hanya
terjun di front Aceh saja. Pemerintah Kolonial rupanya tidak
menginginkan adalah sepasukan algojo terorganisir, bagi pemerintah
kolonal, cukup hanya marsose saja pasukan terkejam yang mereka miliki.
Bagaimanapun perlawanan terhadap kebijakan kolonial tidak bisa ditebak
kapan terjadinya dan inilah alasan mengapa Marsose terus dipertahankan
walaupun perannya semakin meredup sinarnya. Marsose tidak terdengar
kehebatannya lagi ketika Jepang mendarat di Indonesia. akhir sejarahnya
mungkin saat perang Aceh saja lalun hilang adan tanpa terlihat taringnya
yang tajam seperti pada Perang Aceh.
Kedatangan Sultan Potjoet Moerong ke pelabuhan Oeleëlheuë ke Koetaradja |
Korps Marechausse men in their egelstelling porcupine formation in Aceh. |
Cerita-cerita Marsose Pribumi.
Walau,
Marsose pasukan elit, bukan berarti pasukan ini hanya terdiri orang
Belanda maupun Eropa lain. Banyak orang pribumi yang menjadi anggota
Marsose. Orang pribumi bahkan bisa menjadi Marsose yang baik dibanding
orang-orang Eropa yang menjadi serdadu KNIL umumnya tidak bisa
menyesuaikan diri dengan iklim tropis. Banyak diantara Marsose adalah
orang-orang dengan kemampuan seperti jawara yang ada di Banten yang ahli dalam berkelahi.
Satu dari banyak anggota Marsose pribumi yang cukup diakui jasanya adalah W.C. Ferdinandus. W.C. Ferdinandus adalah pemuda kelahiran 19
Februari 1883 di Haruku, Saparua. Seperti banyak pemuda disana yang
ingin bertualang sebagai serdadu KNIL, Ferdinandus pada tanggal 1 Maret
1906 mendaftarkan diri sebagai KNIL di Ambon—teeken soldadu istalahnya pada waktu itu.[xix]
Pagi
hari tanggal 12 Desember 1908 di Dondo—sebuah daerah di Nusa tenggara
Barat sekarang ini—sekelompok Marsose bergerak. Salah satu dari mereka
adalah W.C. Ferdinandus bergerak dibawah komando dari Letnan Satu de
Vries untuk menyerang markas pemberontak di pantai utara. Marie Langa,
pimpinan pemberontak itu membangun kubu pertahanan didekat Watoe Ngere.
W.C. Ferdinandus adalah salah satu dari sekian banyak pasukan dari
Letnan Satu De Vries. Pasukan yang dipimpin De Vries itu terdiri dari
tiga brigade Marsose dengan kekuatan 50 karaben. Dan sekelompok strapan yang terdiri dari tiga puluh orang.
Pasukan
beserta strapannya itu berangkat ke Nio Panda, mereka tiba pukul 2
sore. Mereka beristirahat, sebelum bergerak pada pukul 22.00 malam.
Malam itu, De Vries, memimpin pasukannya mengintai benteng musuh itu
dari atas. Dalam kegelapan malam mereka bergerak. Mereka melintasi jalan
yang berat dan terjal. Mereka mencapai daerah tujuan mereka denganm
susah payah dan dari jauh mengintai lawan mereka dalam kegelapan malam
itu.
Pada
pukul 8 pagi, 12 Desember 1908, Letnan Satu de Vries membagi tiga
pasukannya, satu pasukan dibawah sersan van Rijen, satu pasukan dibawah
pimpinan sersan Ambon dan satu pasukan lagi dibawah pimpinan Kopral
Katuuk. Ketiga pasukan itu bergerak mengelilingi benteng diam-diam. W.C.
Ferdinandus adalah Marsose pertama yang menaiki benteng. Didalam
benteng, W.C. Ferdinandus dan penyerang lain berhasil menembak tiga
musuh dalam benteng dan membuat gerilyawan lain melarikan diri ke utara,
sementara itu di utara sudah menunggu pasukan pimpinan Kopral Katuuk.
Akhir dari serangan itu adalah, beberapa musuh melarikan diri dan
benteng direbut. Majalah Trompet juga pernah menampilkan profil salah
prajurit marsose lain, salah satunya dalah Robert Talumewo. Pemuda dari
Langoan kelahiran 11 September 1882 dan teeken soldadu pada 6
Agustus 1904 di Manado. Karena keberaniannya ketika menjadi serdadu
reguler biasa di KNIL, dia akhirnya dimutasikan ke Marsose[xx]
Levensmiddelentransport door dwangarbeiders tijdens de militaire expedities, Atjeh |
Ada
Marsose Jawa bernama Redjakrama. Pemuda kelahiran Kedungwaru,
Bagelen—Kabupaten Purworejo sekarang—tahun 1867. Diusianya yang ke-18,
tahun 1885 dia teeken soldadu di Gombong. Setehun kemudian Redjakrama dikirim ke Aceh untuk pertama kalinya. Tahun 1887 Redjakrama ditempatkan di Sulawesi. Tanggal
21 Desember 1888, Redjakrama resmi menjadi kopral dan 2 Oktober 1890
sudah menjadi seorang sersan. Sebuah prestasi hebat untuk seorang pemuda
kampung yang tidak terpelajar macam dirinya. Pada 2
Oktober 1901, Redjakrama dimutasikan ke Marsose. Sebagai Marsose
Redjakrama telah menunjukan keberaniannya—seperti yang dimuat dalam
majalah Trompet. Pada 26 Juni 1904, Sersan Redjakrama ditugaskan di
daerah Beureuleueng, Pidie—Nangroe Aceh Darussalam sekarang.
“Sementara berkelahi ini, maka satu bahagian dari kumpulan musuh darai Pang Andah tahan sekuat-kuatnya didalam
dua rumah dari sini mereka pasang pada Marsose. Cuma dengan pendek
saja, pasangan dari musuh dibalas oleh Marsose, lantas Marsose tarik
jatuh dinding dari kedua rumah. Ini pekerjaan dikerjakan oleh brigade,
dimana terdapat sesan Redjakrama yang telah enam bulan lamanya pegang
komando dari brigade ini yang telah menunjuk gagah beraninya. Ini
onderofficer biasa terdapat ditempat-tempat yang ada dan
sikapnya ada satu contoh yang bagus buat soldadu-soldadu. Yang perlu
sabar dan tiada hilang otak sehat, sebab brigade terdiri dihadapan musuh
yang tahan dengan sekuat-kuatnya dirumah-rumah dimana seperti dekking,
musuh memakai karung-karung dengan beras. Contoh yang gagah
berani dari sesan Redjakrama yang pertama kali masuk rumah, ada
sebegitu rupa sehingga dituruti oleh brigade, yang bikin kalah musuh dan
sesungguh-sungguhnya.”[xxi]
Cerita
keberanian yang juga dimuat di Majalah Trompet adalah Simon
Leiwakabessy. Ia pensiunan kopral yang tinggal di Ambon. Leiwakabessy lahir di Tial, Ambon pada 25 Januari 1870 dan teeken soldadu di Ambon pada 8 Maret 1894. sebelum
ditempatkan di Marsose, Leiwakabessy termasuk anggota pasukan dari
Batalyon 3 yang beberapa kali pindah tugas dibeberapa tempat di
Indonesia.
“Overvalling musuh disebelah selatan dari Cot Bamboton (Troeseb Pidie) pada tanggal 24 Agustus 1903. Agar supaya menyemu musuh,
maka keluarlah Letnan Darlang pada tanggal 24 Agustus jam 3 pagi dari
Didok dengan satu brigade ke selatan dari Troeseb yang terdapat di
terrain yang berbukit-bukit. Yang lain brigadenya mendapat opdract pada
jam 7 pagi marsch ke lapang, disebelah dari kaki utara dari bukit-bukit
dan disana diajak musuh dengan vurren yang biasa dari pihak itu mereka
pasang pada compagnie. Waktu pagi hari, maka Letnan Darlang
2 orang Aceh Aceh disatu cot boleh jadi ini 2 orang ada Wachtpost dari
musuh. Dengan tiada diketahui oleh musuh, maka brigadenya Letnan Darlang
di itu bukit dan dengan ati-ati naik keatas. Sampai dekat diatasnya
bukit, maka kelihatan 10 orang Aceh, yang ada tidur ditanah. Tempo satu
dari diantara musuh bangun dan berdiri dan tunggu lama tiadalah baik,
bertentangan dengan mereka boleh lihat di compagnie maka Darlang dan
beberapa Marsose-nya storm pada musuh. Marsose
Leiwakabessy yang oleh sebab kurang kader dan juga oleh sebab gagah
berani-nya dan cepat biasanya ditunjuk seperti komandan dari spits lari
kemuka dengan lewati 2 temannya dan sekonyong-konyong berada
ditengah-tengah dari musuh yang lari. 2 orang musuh ditembak mati oleh
Leiwakabessy. Tempo Leiwakabessy lihat, bahwa lain-lain musuh lari
kebawah, maka dengan beberapa temannya dari spits ia ambil jalan pendek
dan potong pas dari musuh. Dengan ini, maka ia tembak lagi 4 orang musuh
mati. Oleh sebab gagah beraninya dari Leiwakabessy, maka jatuh didalam
tangan kita 6 orang musuh dengan senjata-senjatanya, 3 beamont dan 3
senapan voorlaad.”[xxii]
aceh_marechaussee |
tentara marsose yg dipakai untuk menumpas pejuang aceh |
Stephanus Melfibossert Anthony pemuda kelahiran 3 Juni 1872 di Ambon dan teeken Soldadu tanggal
27 Agustus 1890 di Ambon. S.M. Anthony terpilih untuk dimasukan ke
korps Marsose pada 13 April 1897 lalu terlinbat dalam ekspedisi militer
KNIL di beberapa tempat seperti Aceh, Timor juga Sulawesi Selatan. Dia
memiliki cerita keberaniannya sebagai seorang Marsose dalam benteng
Sala Banga di daerah Mandar, Sulawesi Selatan. Peristiwa oitu terjadi
pada 20 Oktober 1914.
“Waktu bestorming
benteng tersebut, maka naiklah kopral Anthony, biarpun musuh tahan
dengan begitu kuat dan lawan pada compagnie dengan gagah berani
stormladder dan biasa pertama dimuka waktu bongkar rintangan-rintangan
dimana pekerjaan ini menuntut banyak kekuatan. Sesudahnya
dengan banyak susah pekerjaan lamanya satu setengah jam dikerjakan dan
satu lubang diborstwering dibikin, maka dengan segera Anthony storm
kemuka dengan lagti 3 militairen lain kedalam benteng. Sesudahnya itu ia
pasang pada musuh yang dekat padanya, sehingga mereka tiada bisa apa
lagi, sehingga troep dibelakang bisa mendapat kesempatan ke
borstwering.”[xxiii]
Masih banyak lagi
cerita heroik yang menggambarkan keberanian para Marsose pribumi—dimata
masyarakat kolonial—yang termuat di majalah Trompet. Marsose-marsose
pribumi tadi telah membuktikan bahwa dirinya adalah seorang prajurit
yang membela bendera Ratu Belanda. Bagaimanapun, Marsose pribumi adalah
bagian penting dalam korps Marsose, dari segi jumlah pastinya lebih
banyak dan sebagai prajurit rendahan mereka siap melakukan hal-hal berat
yang mungkin saja tidak mau dilakukan oleh perwira maupun bintara
Belanda. Sebagai prajurit mereka siap untuk melawan siapa saja yang
menajdi musuh ratu Belanda di Hindia Belanda. Mereka tidak takut melawan
siapa saja termasuk gerilyawan di Aceh. Perang Aceh dan gerilyawannya
yang tidak kenal menyerah adalah bagian terpenting dalam sejarah Marsose
selain korps dan anggota Marsose itu sendiri.
Disarikan dari buku Pasukan Komando: Pengukir Sejarah Indonesia (Media Pressindo, Yogyakarta, 2008)
[v] (Batara Hutagalung, Mardijkers, Marechaussěe, Tentara Kontrakan, Belanda Hitam Dan KNIL, http://batarahutagalung.blogspot.com/2006/04/mardijkers-marechaussee-tentara.html Diakses pada tanggal 29 Maret 2007, pukul 09.38 wib.)
[vi] R.P. Suyono, Peperaqngan Kerajaan di Nusantara, Jakarta, Grasindo, 2003. h. 336.
[vii] Batara Hutagalung, Mardijkers, Marechaussěe, Tentara Kontrakan, Belanda Hitam Dan KNIL, Dalam: http://batarahutagalung.blogspot.com/2006/04/mardijkers-marechaussee-tentara.html Diakses pada tanggal 29 Maret 2007, pukul 09.38 wib
[viii] Walter Bonar Sidjabat, Ahu Sisingamangaradja XII, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1982, h. 245.
[ix] Sibarani, Perjuangan Pahlawan Nasional Sisingamangaraja XII, Jakarta, Ever Ready, tanpa tahun. h. 210-218: W. Bonar Sidjabat, h. 17.
[x] W. Bonar Sidjabat, h. 290-295.
[xi] Imam Soedjono, Yang Berlawan: Membongkar Tabir Pemalsuan Sejarah PKI, Yogyakarta, Resist Book, 2006. h. 37.
[xii] Sibarani, h. 204
[xiii] H.C. Zentgraaff, Aceh, ab. Firdaus Burhan, Jakarta, Depdikbud Direktorat Jarahnitra, 1983. h. 177.
[xiv] Sibarani,. h. 204
[xv] H.C. Zentgraaff, h. 178.
[xvi] H.C. Zentgraaff, h. 178.
[xvii] H.C. Zentgraaff, h. 179.
[xviii] H.C. Zentgraaff, h. 179.
[xix] TROMPET (organ van den Bond van Inheemsche Gepensionereerd Militairen) no 72 tahun ke 6, edisi Januari 1940. h. 4-5.
[xx] TROMPET no 72 tahun ke 6, edisi Januari 1940., h. 4-5.
[xxi] TROMPET no 73 tahun ke 6, edisi Februari 1940., h 6-7.
[xxii] TROMPET no 70tahun ke 6, edisi November 1939., h 4-5.
[xxiii] TROMPET no 81 tahun ke 6, edisi November 1940, h . 5.
____________________
Sumber : http://www.kompasiana.com/posts/tags/hindia%20belanda
Petrik Matanasi [Peziarah & Pemerhati Sejarah Nusantara. Asal Balikpapan. Kuliah sejarah 7 tahun di UNY Jogja. Kini tinggal Palembang.]
____________________
Sumber : http://www.kompasiana.com/posts/tags/hindia%20belanda
Petrik Matanasi [Peziarah & Pemerhati Sejarah Nusantara. Asal Balikpapan. Kuliah sejarah 7 tahun di UNY Jogja. Kini tinggal Palembang.]
Sumber Foto-foto : http://dodimaubelajar.blogspot.com/2012/12/foto-foto-pasukan-marsose-belanda-di.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar