Nenek
moyangku seorang pemintal dan tukang tenun kain, turun-temurun
memainkan kelentukkan tangan, kaki dan mata lelahnya, memilih
warna-warni atau mencari pohon-pohon atau akar dan daun yang apabila
sihir petunjuk ilhamnya menyatakan bahwa daun ini dan akar itu apabila
diampur akan menghasilkan warna anu.Sejak dahulu kala keturunan nenek
moyang pemintal dan penenun menyebar ke seluruh bumi, mereka memiliki
kesamaan ilmu, baik dalam corak, alat, benang dan warna. Satu guru
mereka yang lahir di lembah subur Mesopotamia, di tengah-tengah benua
mereka belajar satu ilmu dari seorang nenek moyang keturunan mahir.
Mata
mereka melihat sekeliling alam dan meniru corak alam, binatang,
tumbuhan bahkan di langit atas mereka membuat tiruan alam di kain tenun
mereka dan mereka membuat apa saja dengan kain tenun ini, membuat busana
adat mulai dari pembungkus kaki sampai kepala, membuat kain pelana
kuda, membuat taplak meja, alas tempat tidur ataupun kemah dan
karpet-karpet tempat duduk orang-orang, raja-raja, dan pangeran beserta
keluarga besarnya.
Di semua bumi berpenduduk segala bangsa
menenun, memintal, kadangkala mereka mewujudkannya dalam sebuah ritual
yang sakral, membuat tenun khusus bagi upacara-upacara, bahkan saat sang
bayi lahir di bumi entah itu anak laki-laki atau perempuan mereka
memiliki kain tenunnya sendiri. Kepala suku dengan coraknya, bangsawan
dengan coraknya dan dukun dengan coraknya.
Semua dikenal
karena busana tenunnya yang merupakan identitas atau jabatan mereka,
itulah keturunan para penenun dan pemintal mewariskan kepada keturunan
mereka dengan segala pesan, nasihat, mantra dan doa-doa panjang mereka
Lihat
seringkali busana tenun memiliki sebuah gengsi, kedudukan, pangkat atau
jabatan dikombinasikan dengan corak dan warna-warni penuh arti, setiap
orang suku bangsa bangga dengan hasil tenunnya sebagai warisan leluhur
yang merupakan budaya, adat istiadat yang lestari.
Sampai
suatu saat seorang yang memiliki arti hidup, seorang pecinta mengoyakkan
jubah tenunnya dan membuangnya di tanah dan kepalanya ditaruh abu dan
debu dan berduka cita dengan semua yang apa ia kenakan dengan segala
kebanggaan, itu semua sia-sia tanpa martabat, tanpa juru selamat dan
tanpa Allah yang hidup, semua sia-sia.
Aku menundukkan
kepala dengan segala kerendahan hati bahwa semua itu tidak pantas aku
kenakan, biarkan hidupku telanjang dan masuk angin, aku tahu Oh penenun
hati dan pikiran, aku menundukkan kepalaku hanya kepadamu bahwa ini
semua sia-sia tanpa Engkau ada disampingku senantiasa.
Jaga Blengko, 3 April 2015
Jack Phenomenon