Seni untuk Kehidupan
PERTANYAAN tentang fungsi seni dan peran seniman dalam masyarakatnya
adalah pertanyaan mendasar yang akan selalu mencuat seiring
perkembangan zaman, peradaban dan kebudayaan. Dan jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan tersebut akan berbeda dari masa kemasa sesuai
dengan spirit zaman yang mewakilinya.
Pada dasarnya seni dan
kehidupan saling berhubungan satu dan lainya, entah berupa hubungan
simbiosis maupun kritis. Demikian pula antara seni, filsafat, science,
politik dan sistem ekonomi berkelindan sedemikian rupa saling
mempengaruhi. Terutama seni sendiri sepertinya merupakan wilayah yang
paling fleksibel dan terbuka atas pengaruh disiplin ilmu lainya. Memang
ada istilah “seni untuk seni” yang seakan tak ada hubungan dengan bidang
lainnya. Tetapi makna sesungguhnya sebetulnya tak pernah bisa terlepas
dari konteks yang membingkainya. Bahkan seni yang hanya mementingkan
estetika saja pun jika dilihat dalam konteks tertentu bisa memiliki
“makna” juga.
Tampaknya pertanyaan yang lebih mendasar harus
diajukan disini yaitu pertanyaan tentang kreatifitas yang melandasi
penciptaan seni. Apakah kreatifitas itu hanya milik para seniman saja?
Mungkin akan ada beragam jawaban – tergantung dari siapa yang menjawab
dan dari sudut pandang mana. Mungkin lebih baik beralih kepertanyaan
mendasar lainya saja: apakah fungsi kreatifitas itu? Jawaban sederhana
adalah kemampuan manusia untuk mendorong lahirnya penciptaan, dari tak
ada menjadi ada, dari satu hal menjadi sesuatu lainya baik dari segi
bentuk maupun makna. Sehingga lewat kreatifitas manusia bisa melakukan
perubahan, baik di dunia seniman pun lainya.
Dalam kenyataanya
seniman sebagai penciptaan adalah juga mahluk yang harus hidup
berdampingan dengan mahluk lainya. Ia berkeluarga, bertetangga, dan
menjadi anggota masyarakat yang memiliki tanggung-jawab terhadap diri
dan lingkunganya. Artinya seperti yang lain ia juga menghadapi berbagai
masalah, baik yang bersifat personal maupun public dan ia diharapkan
mampu untuk menemukan solusi. Terlebih jika seniman ini hidup di negeri
seperti Indonesia dimana masalah-masalah menumpuk di berbagai bidang dan
ranah masih menunggu pemecahan dan jalan keluar. Apakah seorang seniman
akan duduk berpangku tangan saja? Dan hanya asik menciptakan karya yang
akan laku dipasar dan mencari keuntungan pribadi belaka?
Memang seniman perlu hidup dan membutuhkan penunjang. Dalam kondisi
dimana Negara tak berfungsi dan lemahnya infrastruktur seni maka pasar
amatlah diperlukan. Pasar bisa bersifat konstruktif jika dijalankan
dengan aturan dan menghargai nilai-nilai penciptaan. Ketika pasar mulai
mendikte seniman maka berahirlah kreatifitasnya. Apakah produknya layak
disebut karya seni – ini bisa dipertanyakan. Di era kapitalisme
neo-liberal ini memang persoalan pasar bukan hal sederhana dan tak hanya
digunakan untuk mencari keuntungan saja. Tapi pasar juga bisa menjadi
alat untuk menjarah dan mendominasi. Apalagi dalam pasar seni yang
bersifat lebih longgar aturan – sehingga bisa dimanfaatkan oleh para
pemodal untuk mengeruk untung yang sangat besar. Jadi sudah sepantasnya
jika situasi seperti ini akan membawa kita pada pertanyaan etik.
Rasanya memang seniman tak bisa berlaku naïf dan berpaling dari
kenyataan. Seniman harus paham permainan pasar yang manipulatif,
permisif dan bisa bersifat destruktif. Begitulah pasar yang tanpa aturan
dan eksklusif – bisa membawa manfaat bagi segelintir orang namun
kehancuran bagi seniman lain maupun dunia seni itu sendiri. Situasi ini
sebetulnya mencerminkan apa yang terjadi dalam kehidupan umumnya dimana
pasar dijadikan indicator dan ukuran penilaian. Akibatnya kehidupan
dikelola secara sedemikian rupa bagai sebuah perusahaan saja. Yang
mendatangkan keuntungan sangat besar bagi segelintir orang. Namun
sekaligus mendatangkan berbagai persoalan serius di berbagai ranah.
Mengakibatkan kehancuran budaya tradisional, disintegrasi sosial dan
kerusakan lingkungan hidup. Menganggu keseimbangan ekologi dan bersifat
tidak adil serta menyengsarakan orang banyak.
Memang selain
kemampuan teknis yang memadai sebaiknya seniman juga memiliki wawasan
luas dan memahami bagaimana kehidupan digerakkan. Hal ini sudah pasti
akan menambah kemampuan kreatif serta stamina berkarya yang stabil. Ia
juga akan mampu untuk terus mengembangkan gagasan dan tidak menjadi
stagnan lalu hanya mengulang-ulang. Untuk itu seniman sebaiknya membuka
diri bagi kehidupan disekelilingnya dan bukan sebaliknya malah memagari
diri dalam gaya hidup eksklusif. Biarlah seni merambah kehidupan dan tak
hanya berkutat diruang sempit ego ataupun studio. Apalagi cuma
menghiasi dinding-dinding rumah mewah dan galeri-galeri megah. Biarlah
seni menjadi milik semua dan tidak dipenjarakan serta diisolasi dalam
koleksi mereka yang tak memberi kesempatan pada orang kebanyakan untuk
menyaksikan dan menikmati. Berilah seni dan seniman kesempatan untuk
menyumbang pada kehidupan budaya yang kreatif dan bebas.
Nyatanya seni yang tak memisahkan diri dari kehidupan dan kebudayaan
yang sehat sebetulnya bisa menawarkan kemungkinan pendekatan masalah
dari sudut kreatif dan bersifat alternatif, yang biasanya minim
prasangka. Membebaskan dari belenggu perspektif konservatif dan wacana
dominan. Juga berpotensi untuk merekatkan elemen-elemen di dalam
masyarakat yang terfragmentasi serta mempertemukan dan merekonsiliasi
unsur yang berlawanan. Ya, mulai dari titik inilah seniman dihadapkan
pada tantangan kreatif yang sesungguhnya. Sebab jika perkara seni
dibatasi hanya sebagai ekspressi pribadi dan hanya merujuk pada
keyakinan “seni untuk seni” maka hasil usaha kreatif berbentuk karya
hanya akan menjadi komoditas belaka. Seni menjadi kehilangan vitalitas
dan kemampuan untuk mentransformasi nilai-nilai. Seni akan terceraikan
dari kehidupan, terasing dari masyarakatnya dan juga dari penciptanya.
Nitiprayan, 19 Februari 2012
(Makalah ini disampaikan pada diskusi pameran seni rupa bertanjuk
”Kenduri Seni” oleh Ruang Kelas SD, 20 Febuari 2013. Tema Diskusi:
”Mahasiswa, Pekerja Seni dan Masyarakat” dengan pembicara: Prof. Faruk
HT (guru besar FIB UGM), Prof. M. Dwi Marianto (dosen ISI Yogyakarta dan
penulis seni), Arahmaini (seniman, aktivis seni), dan Arif Budiman
(mahasiswa ISI Yogyakarta), dan moderator Nano Warsono (osen FSR ISI
YK), bertempat di bekas gedung SD Sewon 2, Pedukuhan Geneng, Sewon,
Bantul).
*) Perupa.
________________