Kamis, 05 September 2013

(Artikel Sastra) "Mengamati 'Dunia' Sastra Cyber (Cybersastra)"

Artikel Sastra






Mengamati 'Dunia' Sastra Cyber (Cybersastra)




Peradaban manusia tidak ditentukan oleh apa yang dimilikinya, tetapi oleh denyut pikiran dan hatinya. - Naguib Mahfouz [Sumber : Indonesia Sastra]



Jika Anda melihat ilustrasi ini ada: 'sebuah pesawat yang menarik pesawat satunya agar bisa berjalan', demikian juga dengan sastra cyber atau cybersastra, antara sastra di dunia cetak dan sastra dalam dunia cyber, sebagai pendatang baru harus saling menopang atau membantu bahu membahu. Kita sebut saja sastra dalam media cetak sebagai istilah 'saudara tua dan cybersastra sebagai saudara muda. Perbedaan diantara mereka disamping usia hanyalah 'medianya' saja, yang satu versi cetak (majalah, buku, koran, buletin, jurnal, tabloit, lembaran yang dikenal dalam media cetak) sedangkan cyber seperti dunia maya atau internet.

Semenjak dunia internet merambah kehidupan saat ini, banyak yang telah berubah seiringnya fasilitas yang ditawarkan oleh internet, di samping kecepatan pengiriman, penghematan kertas sebagai gerakkan go green, era epaper, efisiensi dan berbiaya murah, mudah di dapat karena maraknya handphone murah, serta hal-hal yang menjadikan kehidupan lebih mudah.

Begitupun dengan dunia sastra, tidak ada bedanya. Dunia cybersastra (suadara muda) memberikan kemudahan dan fasilitas-fasilitas yang tidak diperoleh pada media sastra 'saudara tua'. Inilah yang membuat dunia cybersastra semakin semarak dan gemerlap, ibarat wanita cantik yang bersolek dengan gaun dan asesoris yang 'wah' penuh pesona.


Polemik yang terjadi


Jika kita mengamati polemik yang terjadi antara tulisannya Ahmadun Y. Herfanda berjudul 'Puisi Siber, Genre, Atau Tong Sampah' di koran Republika Minggu 12 April 2001 dan penyair Saut Situmorang dalam menyikapi tulisan Ahmadun Y. Herfanda tersebut di sebuah tulisan berjudul : Sastra Cyber Mendobrak Hegemoni. Sebuah perdebatan intelektual lewat tulisan atau artikel cukup menarik. [http://cybersastra.org]

Intinya adalah polemik antara saudara tua dan saudara muda itu adalah dalam hal 'kualitas' suatu karya sastra. Memang kita akui bahwa standart kualitas suatu karya itu sangatlah 'relatif'. Susah untuk diukur namun seperti bisa dirasakan. Kualitas suatu karya sastra memang selalu menjadi polemik, oleh sebab itu lebih baik kita tinggalkan saja sebuah penilaian akan kualitas sastra sebab hal ini tidak akan habis-habisnya dibicarakan, mungkin juga sampai akhir dunia.

Jika demikian bagaimana cara mengukur sebuah karya sastra yang baik, adil, dan memuaskan ? Jawabannya tidak ada yang ideal. Karena tidak ada model yang baku dan standart, maka saya lebih suka dikembalikan kepada para pembaca atau penikmat sastra, ya meminjam istilah 'hukum pasar', siapa yang karyanya banyak diminati itulah yang menjadi sebuah penilaian yang adil, bukankah cara seperti itu sesuai dengan zaman era demokrasi?


Cara Terbaik Mengatasi Hal Ini

Adalah dengan membiarkan masyarakat sastra yang melimpah ini untuk memberikan penilaiannya sendiri, biarlah menulis itu menjadi kebiasaan yang positif khususnya untuk para anak muda dan generasi penerus yang akan datang.

Tantangan ke depan masalah-masalah sosial akan lebih kompleks lagi, setidak-tidaknya kita harus lebih aktif lagi dalam memperkenalkan karya sastra baik melalui saudara tua dan saudara muda bahu membahu sebagai salah satu jalan terbaik mencintai kehidupan dan mengisi kehidupan dengan sastra yang baik serta inovasi-inovasi dibidang penulisan serta apresiasi yang diberikan dari tokoh-tokoh sastra kepada para pemula dan pencinta sastra di kedua lini, apa pun pilihan mereka ke depan.

Misalnya saja penulisan-penulisan karya buku indie harus sering dilakukan ditingkatkan baik kualitas maupun kuantitasnya, cybersastra harus lebih menjangkau lagi daerah-daerah pelosok di Indonesia Timur sampai ke Papua dan daerah-daerah pedalaman lainnya yang nyaris tidak tersentuh oleh saudara tua dan saudara muda, sebab masalah sastra sepertinya hanya sebatas di kota-kota maju seperti pulau Jawa dan kota-kota lainnya, Idonesia Timur masih kurang perhatian, inilah tantangan ke depan bagi generasi berikutnya.

Mungkin juga masih belum digali sastra lisan di sana, dengan adanya cybersastra masuk ke sana, bisa saja hasilnya akan kita ketahui dan bisa jadi akan menambah khasanah perbendaharaan sastra Indonesia. Kita semua berharap untuk itu.


SEANDAINYA


Seandainya tak ada mentari
Betapa gelapnya siang hari
Tak ada bunga-bunga berseri
Tak ada pula embun di pagi

Seandainya tak ada rembulan
Betapa gelap suramnya malam
Indahnya malam tak jadi kenangan
Tak ada cerita roman picisan

Seandainya tak ada cinta
Betapa hambarnya rasa
Setiap hari hanya merana
Tak ada rindu yang membara

(Ki Jogo Sion)


Seandainya antara saudara tua dan saudara muda ini saling bahu membahu dan ada cinta di sana maka kehidupan dan denyut nada sastra kita akan semakin maju, ibarat orang tua yang bijak, menjadi tempat bertanya bagi anak muda.


"Setiap bangsa yang tahu bahwa puisi adalah inspirasi akan menghargai sastra."

― Sutardji Calzoum Bachri





Jakarta, 27 Juli 2013
Sonny H. Sayangbati


Tidak ada komentar:

Posting Komentar