Artikel Sastra
Mengamati 'Dunia' Sastra Cyber (Cybersastra)
Peradaban manusia tidak ditentukan oleh apa yang dimilikinya, tetapi oleh denyut pikiran dan hatinya. - Naguib Mahfouz [Sumber : Indonesia Sastra]
Jika
Anda melihat ilustrasi ini ada: 'sebuah pesawat yang menarik pesawat
satunya agar bisa berjalan', demikian juga dengan sastra cyber atau
cybersastra, antara sastra di dunia cetak dan sastra dalam dunia cyber,
sebagai pendatang baru harus saling menopang atau membantu bahu membahu.
Kita sebut saja sastra dalam media cetak sebagai istilah 'saudara tua
dan cybersastra sebagai saudara muda. Perbedaan diantara mereka
disamping usia hanyalah 'medianya' saja, yang satu versi cetak (majalah,
buku, koran, buletin, jurnal, tabloit, lembaran yang dikenal dalam
media cetak) sedangkan cyber seperti dunia maya atau internet.
Semenjak
dunia internet merambah kehidupan saat ini, banyak yang telah berubah
seiringnya fasilitas yang ditawarkan oleh internet, di samping kecepatan
pengiriman, penghematan kertas sebagai gerakkan go green, era epaper,
efisiensi dan berbiaya murah, mudah di dapat karena maraknya handphone
murah, serta hal-hal yang menjadikan kehidupan lebih mudah.
Begitupun
dengan dunia sastra, tidak ada bedanya. Dunia cybersastra (suadara
muda) memberikan kemudahan dan fasilitas-fasilitas yang tidak diperoleh
pada media sastra 'saudara tua'. Inilah yang membuat dunia cybersastra
semakin semarak dan gemerlap, ibarat wanita cantik yang bersolek dengan
gaun dan asesoris yang 'wah' penuh pesona.
Polemik yang terjadi
Jika
kita mengamati polemik yang terjadi antara tulisannya Ahmadun Y.
Herfanda berjudul 'Puisi Siber, Genre, Atau Tong Sampah' di koran
Republika Minggu 12 April 2001 dan penyair Saut Situmorang dalam
menyikapi tulisan Ahmadun Y. Herfanda tersebut di sebuah tulisan
berjudul : Sastra Cyber Mendobrak Hegemoni. Sebuah perdebatan
intelektual lewat tulisan atau artikel cukup menarik. [http://cybersastra.org]
Intinya
adalah polemik antara saudara tua dan saudara muda itu adalah dalam hal
'kualitas' suatu karya sastra. Memang kita akui bahwa standart kualitas
suatu karya itu sangatlah 'relatif'. Susah untuk diukur namun seperti
bisa dirasakan. Kualitas suatu karya sastra memang selalu menjadi
polemik, oleh sebab itu lebih baik kita tinggalkan saja sebuah penilaian
akan kualitas sastra sebab hal ini tidak akan habis-habisnya
dibicarakan, mungkin juga sampai akhir dunia.
Jika
demikian bagaimana cara mengukur sebuah karya sastra yang baik, adil,
dan memuaskan ? Jawabannya tidak ada yang ideal. Karena tidak ada model
yang baku dan standart, maka saya lebih suka dikembalikan kepada para
pembaca atau penikmat sastra, ya meminjam istilah 'hukum pasar', siapa
yang karyanya banyak diminati itulah yang menjadi sebuah penilaian yang
adil, bukankah cara seperti itu sesuai dengan zaman era demokrasi?
Cara Terbaik Mengatasi Hal Ini
Adalah
dengan membiarkan masyarakat sastra yang melimpah ini untuk memberikan
penilaiannya sendiri, biarlah menulis itu menjadi kebiasaan yang positif
khususnya untuk para anak muda dan generasi penerus yang akan datang.
Tantangan
ke depan masalah-masalah sosial akan lebih kompleks lagi,
setidak-tidaknya kita harus lebih aktif lagi dalam memperkenalkan karya
sastra baik melalui saudara tua dan saudara muda bahu membahu sebagai
salah satu jalan terbaik mencintai kehidupan dan mengisi kehidupan
dengan sastra yang baik serta inovasi-inovasi dibidang penulisan serta
apresiasi yang diberikan dari tokoh-tokoh sastra kepada para pemula dan
pencinta sastra di kedua lini, apa pun pilihan mereka ke depan.
Misalnya
saja penulisan-penulisan karya buku indie harus sering dilakukan
ditingkatkan baik kualitas maupun kuantitasnya, cybersastra harus lebih
menjangkau lagi daerah-daerah pelosok di Indonesia Timur sampai ke Papua
dan daerah-daerah pedalaman lainnya yang nyaris tidak tersentuh oleh
saudara tua dan saudara muda, sebab masalah sastra sepertinya hanya
sebatas di kota-kota maju seperti pulau Jawa dan kota-kota lainnya,
Idonesia Timur masih kurang perhatian, inilah tantangan ke depan bagi
generasi berikutnya.
Mungkin juga masih belum digali
sastra lisan di sana, dengan adanya cybersastra masuk ke sana, bisa saja
hasilnya akan kita ketahui dan bisa jadi akan menambah khasanah
perbendaharaan sastra Indonesia. Kita semua berharap untuk itu.
SEANDAINYA
Seandainya tak ada mentari
Betapa gelapnya siang hari
Tak ada bunga-bunga berseri
Tak ada pula embun di pagi
Seandainya tak ada rembulan
Betapa gelap suramnya malam
Indahnya malam tak jadi kenangan
Tak ada cerita roman picisan
Seandainya tak ada cinta
Betapa hambarnya rasa
Setiap hari hanya merana
Tak ada rindu yang membara
(Ki Jogo Sion)
Seandainya
antara saudara tua dan saudara muda ini saling bahu membahu dan ada
cinta di sana maka kehidupan dan denyut nada sastra kita akan semakin
maju, ibarat orang tua yang bijak, menjadi tempat bertanya bagi anak
muda.
"Setiap bangsa yang tahu bahwa puisi adalah inspirasi akan menghargai sastra."
― Sutardji Calzoum Bachri
Jakarta, 27 Juli 2013
Sonny H. Sayangbati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar