Puisi Merekam Sejarah, Kenangan, dan Jejak Tradisi
"Melalui sketsa, puisi, dan prosa yang ditulis ... kita dapat mengetahui peristiwa sejarah sosial, pendokumentasian mengenai sebuah wilayah, dan seluk beluk ... yang berhasil dicatat."
~ Kembang Goyang, Orang Betawi Menulis Kampungnya, Sketsa, Puisi dan Prosa, h. ix.
Seringkali
kita membaca puisi dari karya-karya lama yang nyaris terlupakan, karena
sewajarnya kita membaca selalu yang terkini, terpopuler dan itu lumrah
terjadi di mana saja, akan tetapi dalam puisi tidak hanya nilai moral
yang luhur serta keindahan kata saja yang kita dapat, seringkali kita
berjumpa dengan sesuatu yang 'asing' dalam istilah kosa kata kita,
bahkan bisa jadi kata tersebut sudah menjadi istilah dalam kamus.
Pernahkan Anda merasa demikian ?
Membaca karya-karya
sastra lama apa pun bentuknya, prosa, puisi, novel, cerpen seringkali
dalam karya tersebut mengandung sesuatu yang telah terjadi pada waktu
masa lampau dan kita tidak pernah tahu bahwa dahulu daerah tersebut
diberi nama seperti itu, atau kata tersebut mengandung nilai sejarah
yang romantis dalam kehidupan tempo dulu. Misalnya dalam sebuah karya
puisi ini :
Di Prinsen Park
dengan si amoi kubertemu
tempat mereka berlagu
dan bertjumbu rayu
disini kuberdjalan tergojah langkah
dari restoran ketoko-toko tjina
entah,
apa jang mau kutjari disana?
dari Prinsen Park achirja kuberlalu
dalam kalbu ilham menderu
dengan si amoi jang jadi ratu
Catatan : Dari antologi tunggal pertama milik N. Ssy Aminah Aziz, Seraut Wadjahku (Yayasan Kemuning, 1961)
~ Kembang Goyang, Orang Betawi Menulis Kampungnya, Sketsa, Puisi dan Prosa, h. 195.
Sebuah
kata dalam puisi tersebut mengandung nilai sejarah romantika tersediri
di Jakarta, 'Prinsen Park' dahulu adalah sebuah taman hiburan rakyat,
sekarang tempat tersebut disebut : 'Lokasari' di bilangan Mangga Besar,
Jakarta Barat yang tetap sebagai taman hiburan modern dengan segala
pernak-perniknya sekarang ini.
Princen Park sudah ada dari
tahun 1800-an sebagai tempat hiburan rakyat, khususnya masalah kesenian
rakyat, saat ini Lokasari juga masih sebagai sarana hiburan rakyat,
akan tetapi dengan konotasi yang berbeda sebagai daerah yang dikenal
dengan julukan 'remang-remang Jakarta. Sekiranya hal ini menjadi
perhatian Pemerintah Daerah DKI Jakarta untuk dikembalikan seperti
semula sebagai tempat hiburan kesenian rakyat tentu hal ini akan
disambut dengan antusias oleh seniman-seniman dan penduduk Jakarta.
La parole s'envole l'écrit reste
SERING ataukah jarang diulang ucap namun arti pentingnya takkan pernah lenyap
~ Pepatah Perancis (Old Nable.com)
Ada
baiknya Anda mencatat atau mencari tahu artinya atau nilai sejarahnya
dalam tulisan puisi, karena hal ini akan memperkaya khasanah
pengetahuan, di samping juga Anda pun dapat menulis kembali istilah atau
sebuah frasa dalam puisi, tentu Anda setuju dengan pepatah Perancis
tersebut di atas bahwa sebuh kata atau istilah itu takkan pernah lenyap
jika Anda menganggap itu penting bukan ?
Perhatikan dua
puisi berikut ini yang akan saya ulas karena mengandung nilai sejarah,
tradisi bahkan nilai-nilai budaya tersendiri yang ada dalam suatu
masyarakat sebagai suatu kebiasaan dalam menyikapi kehidupan saat itu,
sebuah istilah kata yang sederhana, namun dalam puisi kata tersebut
dibuat sebagai sebuah diksi dan metafora atau pun sebuah ungkapan yang
penuh arti.
Sembahyang Jukung
Jukung-jukung yang terkatung sunyi
Melantunkan dendang ombak dingin
Mengembalikan kejernihan hati
Cukup pada Ilahi
Sudi menemaninya di bakti balai peranginan
Balber, 22052005
Sumber : "Tafakur Cinta, Kumpulan Puisi Saifun Salakim, h. 14.
Kata
Jukung atau sering disebut juga sebagai Jongkong mungkin asing bagi
seseorang yang hidup di kota besar yang tidak memiliki sungai-sungai
besar yang bisa dilintasi berbagai macam kapal ukuran besar atau kecil,
di mana sarana angkutan air menjadi salah satu urat nadinya, oleh sebab
itu kata Jukung atau Jongkong lebih dikenal bagi orang-orang daerah yang
memiliki sungai-sungai besar, seperti kota Pontianak, Banjarmasin,
Palembang dan sebagainya.
Umumnya masyarakat kota lebih
mengenal istilah 'Perahu' ketimbang kata Jungkung atau Jongkong, sebab
Jungkung memiliki kekhasan dalam membuatnya, tidak seperti perahu
umumnya. Perahu Jukung dibuat dari kayu utuh atau kayu gelondongan yang
dibentuk seperti perahu, sedangkah perahu umumnya dibentuk dari beberapa
potongan kayu atau papan yang disambung-sambung, itulah bedanya perahu
umumnya dan Jungkung.
Menarik sekali jika kita amati di
belahan dunia lain seperti di Eskimo atau di suku Indian di Benua
Amerika, suku Dayak di pedalaman Kalimantan dan mungkin di benua Eropa
sampai benua Afrika cara pembuatan Jukung atau disebut juga Kano
memiliki prinsip yang sama cara membuatnya, yaitu menggunakan kayu utuh
atau gelondongan dan dibentuk menjadi perahu dengan cara mengambil
daging kayu di tengah-tengahnya.
Dalam masyarakat di
Sulawesi Selatan dikenal sebuat tulisan sastra lisan atau syair-syair
lisan disebut "La Galigo". Dalam tradisi lisan tersebut masyarakat Bugis
dikenal sebagai pelaut ulung dan ahli membuat perahu ukuran besar.
Salah satu tradisi mereka dalam membuat perahu bugis ini mengandung
nilai-nilai ritual dan harus melalui sebuah proses upacara tertentu.
(Perahu Bugis Dan Filosofi "La Galigo", Syiful Halim Blogspot.com).
Jukung
juga dikenal di wilayah-wilayah Indonesia lainnya seperti di Maluku,
Flores, bisa dikata hampir semua suku bangsa Indonesia memiliki kekhasan
dalam membuat perahu jukung ini, dan istilah mereka juga berbeda-beda
namun memiliki sejarah yang sama, ritual yang sama, tradisi yang sama,
serta asal usul yang sama.
NARASI ORISINAL:Apabila engkau menemui kesulitan di tengah laut,
maka palingkanlah perahumu ke sebelah kanan tujuh kali.
Kalau pun engkau tidak diberikan jalan,
maka palingkanlah perahumu ke sebelah kiri tujuh kali.
Kalau pun engkau tidak diberi jalan,
barulah engkau menempuh kesulitan.
Sumber : (Perahu Bugis Dan Filosofi "La Galigo", Syiful Halim Blogspot.com)
Tradisi
lisan seperti puisi di atas sarat dengan nilai-nilai tradisi, ada
beberapa daerah di Indonesia yang sudah ditemukan memiliki syair-syair
puisi lisan, selain Bugis ada Minangkabau, Sulawesi Tengah, Nusa
Tenggara Barat dan Timur dan mungkin wilayah-wilayah lain yang belung
terungkap hingga kini.
"Bagi kebanyakan orang, peristiwa banjir semacam itu hanya sampai pada sebatas sebuah berita. Kering tanpa rasa indah yang menggerakkan perasaan, pikiran, dan daya bayang (imajinasi). Berbeda dengan tanggapan seniman yang menggunakan pikiran dan perasaan sekaligus yang kemudian dituangkan dalam karya seni. Bagi sastrawan, peristiwa banjir, baik peristiwanya itu sendiri, penyebabnya, maupun akibatnya, tidak dianalisis secara ilmiah, akan tetapi juga digerakkan dengan imajinasi dan dengan perasaan."
(Sumber, Willy Ediyanto, Merekam Peristiwa Kehidupan Melalui Puisi, http://willyediyanto.wordpress.com).
Sedikit
kita menyimak sebuah peristiwa sejarah, dalam puisi ini seorang penyair
menulis sebuah puisi berdasarkan suatu peristiwa nyata pada saat itu,
yaitu mengenai keadaan ibu kota Jakarta yang menjadi pusat pemerintahan
di mana penjajah Belanda harus meninggalkan Indonesia dengan perasaa
malu seperti digambarkan oleh penyair Zeffry Alkatiri :
Daag Juliana !
Anak-anak Kindergroepje berbaris
Keluar dari kloosteran bersama para zuster
membawa bendera kecil
Rood, wit, and blauw
Sambil menyanyikan lagu:
Lang zal ze leven, lang zang ze leven, lang zang ze leven
In de gloria, in de gloria, in the gloria ...
Hiep ... hiep... hurraa...!
Di pertigaan Rijswijk.
Barisan Padvinder menyanyikan Wilhelmus
Semua orang tahu, hari itu
Bakal ada hiburan gratis buat pribumi:
Sepiring petasan dan kembang api
yang seakan kenyang membayangkan makan
Rijsttafel komplit di Indisch Woonhuis
Sejak sore,
Bang Sanip sudah tenang mendengkur
Di ubin tanpa kasur
Dalam kamar perdeo Hoofdbureau Glodok
Saat bangun ia melihat
Bendera bulat merah dikerek di halaman
Tabek tuan puteri, selamat jalan ...
Selamat tinggal voor de orlog
Tabek tuan putra, selamat datang
Dan silahkan duduk...?
Sayup-sayup dari arah kampung Kampung Tangki Lio-Pinangsia
Anak-anak ingusan berbaris sambil menyanyikan lagu:
Bendera Merah Putih
Diiket di kepala
Belanda pergi
Indonesia Merdeka...!
(1999)
Catatan :
Dari antologi tunggal milik Zeffry Alkatiri, Dari Batavia Sampai Jakarta 1619-1999: Peristiwa Sejarah dan Kebudyaan Betawi-Jakarta dalam Sajak (Indonesia Tera, 2001)
(~ Kembang Goyang, Orang Betawi Menulis Kampungnya, Sketsa, Puisi dan Prosa, h. 247-248)
Dalam
puisi di atas ada beberapa istilah bahasa Belanda yang menarik untuk
kita cari tahu, beberapa menunjukkan tempat dan istilah, misalnya kata
Rijswijk adalah nama jalan, sekarang bernama jalan Veteran, Jakarta
Pusat dekat dengan Gambir dan Monas, daerah tersebut merupakan pusat
pemerintahan. perdeo Hoofdbureau Glodok ini dimaksudkan sebagai penjara
di kepolisian daerah Glodok, kata Hoofdbureau memaksudkan kantor polisi,
sekarang telah menjadi pusat pertokoan Glodok. Istilah kata kloosteran
memaksudkan Rumah Bersalin sekarang bernama RSPAD dekat Kwitang, Jakarta
Pusat dan sebagainya.
Menilik puisi 'Daaag Juliana!'
memang menarik sekali, generasi sekarang jarang yang tahu
istilah-istilah tersebut dalam puisi, namun bagi penikmat puisi tentunya
hal ini menjadi tantangan menarik untuk mencari tahu sejarah atau latar
belakang tentang dibalik sebuah cerita dalam puisi tersebut, bagi opa
dan oma membaca puisi ini yang mengalami peristiwa ini tentu puisi ini
bisa menjadi nostalgia bagi dirinya, sebuah kenangan romantisme, bisa
jadi oom dan tante akan tersenyum membacanya, ya puisi bisa
mengandung nostalgia atau kenangan masa lalu yang bisa indah, bisa pahit
namun kita yang membacanya menjadi terhibur dan menambah wawasan
berpikir lebih jernih.
"Imajinasi dalam karya seni bukanlah khayalan yang kosong. Imajinasi adalah hasil pemikiran dan perenungan yang didasarkan pada peristiwa nyata yang dilihat, dirasakan, atau bahkan dialami oleh si seniman. Jadi, karya seni bukanlah khayalan semata."
(Sumber, Willy Ediyanto, Merekam Peristiwa Kehidupan Melalui Puisi, http://willyediyanto.wordpress.com).
Puisi
sebagai rekam jejak atau mengandung nilai sejarah seperti di atas
bernilai tinggi, sebagai catatan tersendiri untuk para peneliti sejarah,
atau orang-orang yang meminati berkaitan dengan sebuah peristiwa.
Sudahkah
Anda menulis sebuah puisi hari ini ? Di samping puisi itu memang indah
dan dikagumi bait-bait rindunya sudah tentu pusi itu sangatlah bermakna,
jika demikian menulislah sebuah puisi sebagai catatan bahwa Anda pernah
ada di dunia ini.
Para kekasih datang dan pergi Bersama angin dan percakapan Denting nampan menyergap kenangan
- Cecep Syamsul Hari
Sumber : Indonesia Sastra
29 Juli 2013
Sonny H. Sayangbati
______________
Dari berbagai sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar