Jumat, 06 September 2013

(Artikel Sastra) : "Puisi Merekam Sejarah, Kenangan, dan Jejak Tradisi"

Artikel Sastra





Puisi Merekam Sejarah, Kenangan, dan Jejak Tradisi



"Melalui sketsa, puisi, dan prosa yang ditulis ... kita dapat mengetahui peristiwa sejarah sosial, pendokumentasian mengenai sebuah wilayah, dan seluk beluk ... yang berhasil dicatat."


~ Kembang Goyang, Orang Betawi Menulis Kampungnya, Sketsa, Puisi dan Prosa, h. ix.



Seringkali kita membaca puisi dari karya-karya lama yang nyaris terlupakan, karena sewajarnya kita membaca selalu yang terkini, terpopuler dan itu lumrah terjadi di mana saja, akan tetapi dalam puisi tidak hanya nilai moral yang luhur serta keindahan kata saja yang kita dapat, seringkali kita berjumpa dengan sesuatu yang 'asing' dalam istilah kosa kata kita, bahkan bisa jadi kata tersebut sudah menjadi istilah dalam kamus. Pernahkan Anda merasa demikian ?

Membaca karya-karya sastra lama apa pun bentuknya, prosa, puisi, novel, cerpen seringkali dalam karya tersebut mengandung sesuatu yang telah terjadi pada waktu masa lampau dan kita tidak pernah tahu bahwa dahulu daerah tersebut diberi nama seperti itu, atau kata tersebut mengandung nilai sejarah yang romantis dalam kehidupan tempo dulu. Misalnya dalam sebuah karya puisi ini :


Di Prinsen Park

dengan si amoi kubertemu
tempat mereka berlagu
dan bertjumbu rayu

disini kuberdjalan tergojah langkah
dari restoran ketoko-toko tjina
entah,
apa jang mau kutjari disana?

dari Prinsen Park achirja kuberlalu
dalam kalbu ilham menderu
dengan si amoi jang jadi ratu


Catatan : Dari antologi tunggal pertama milik N. Ssy Aminah Aziz, Seraut Wadjahku (Yayasan Kemuning, 1961)

~ Kembang Goyang, Orang Betawi Menulis Kampungnya, Sketsa, Puisi dan Prosa, h. 195.


Sebuah kata dalam puisi tersebut mengandung nilai sejarah romantika tersediri di Jakarta, 'Prinsen Park' dahulu adalah sebuah taman hiburan rakyat, sekarang tempat tersebut disebut : 'Lokasari' di bilangan Mangga Besar, Jakarta Barat yang tetap sebagai taman hiburan modern dengan segala pernak-perniknya sekarang ini.

Princen Park sudah ada dari tahun 1800-an sebagai tempat hiburan rakyat, khususnya masalah kesenian rakyat, saat ini Lokasari juga masih sebagai sarana hiburan rakyat, akan tetapi dengan konotasi yang berbeda sebagai daerah yang dikenal dengan julukan 'remang-remang Jakarta. Sekiranya hal ini menjadi perhatian Pemerintah Daerah DKI Jakarta untuk dikembalikan seperti semula sebagai tempat hiburan kesenian rakyat tentu hal ini akan disambut dengan antusias oleh seniman-seniman dan penduduk Jakarta.


La parole s'envole l'écrit reste

SERING ataukah jarang diulang ucap namun arti pentingnya takkan pernah lenyap


~ Pepatah Perancis (Old Nable.com)


Ada baiknya Anda mencatat atau mencari tahu artinya atau nilai sejarahnya dalam tulisan puisi, karena hal ini akan memperkaya khasanah pengetahuan, di samping juga Anda pun dapat menulis kembali istilah atau sebuah frasa dalam puisi, tentu Anda setuju dengan pepatah Perancis tersebut di atas bahwa sebuh kata atau istilah itu takkan pernah lenyap jika Anda menganggap itu penting bukan ?

Perhatikan dua puisi berikut ini yang akan saya ulas karena mengandung nilai sejarah, tradisi bahkan nilai-nilai budaya tersendiri yang ada dalam suatu masyarakat sebagai suatu kebiasaan dalam menyikapi kehidupan saat itu, sebuah istilah kata yang sederhana, namun dalam puisi kata tersebut dibuat sebagai sebuah diksi dan metafora atau pun sebuah ungkapan yang penuh arti.


Sembahyang Jukung


Jukung-jukung yang terkatung sunyi
Melantunkan dendang ombak dingin
Mengembalikan kejernihan hati
Cukup pada Ilahi
Sudi menemaninya di bakti balai peranginan

Balber, 22052005


Sumber : "Tafakur Cinta, Kumpulan Puisi Saifun Salakim, h. 14.


Kata Jukung atau sering disebut juga sebagai Jongkong mungkin asing bagi seseorang yang hidup di kota besar yang tidak memiliki sungai-sungai besar yang bisa dilintasi berbagai macam kapal ukuran besar atau kecil, di mana sarana angkutan air menjadi salah satu urat nadinya, oleh sebab itu kata Jukung atau Jongkong lebih dikenal bagi orang-orang daerah yang memiliki sungai-sungai besar, seperti kota Pontianak, Banjarmasin, Palembang dan sebagainya.

Umumnya masyarakat kota lebih mengenal istilah 'Perahu' ketimbang kata Jungkung atau Jongkong, sebab Jungkung memiliki kekhasan dalam membuatnya, tidak seperti perahu umumnya. Perahu Jukung dibuat dari kayu utuh atau kayu gelondongan yang dibentuk seperti perahu, sedangkah perahu umumnya dibentuk dari beberapa potongan kayu atau papan yang disambung-sambung, itulah bedanya perahu umumnya dan Jungkung.

Menarik sekali jika kita amati di belahan dunia lain seperti di Eskimo atau di suku Indian di Benua Amerika, suku Dayak di pedalaman Kalimantan dan mungkin di benua Eropa sampai benua Afrika cara pembuatan Jukung atau disebut juga Kano memiliki prinsip yang sama cara membuatnya, yaitu menggunakan kayu utuh atau gelondongan dan dibentuk menjadi perahu dengan cara mengambil daging kayu di tengah-tengahnya.

Dalam masyarakat di Sulawesi Selatan dikenal sebuat tulisan sastra lisan atau syair-syair lisan disebut "La Galigo". Dalam tradisi lisan tersebut masyarakat Bugis dikenal sebagai pelaut ulung dan ahli membuat perahu ukuran besar. Salah satu tradisi mereka dalam membuat perahu bugis ini mengandung nilai-nilai ritual dan harus melalui sebuah proses upacara tertentu. (Perahu Bugis Dan Filosofi "La Galigo", Syiful Halim Blogspot.com).

Jukung juga dikenal di wilayah-wilayah Indonesia lainnya seperti di Maluku, Flores, bisa dikata hampir semua suku bangsa Indonesia memiliki kekhasan dalam membuat perahu jukung ini, dan istilah mereka juga berbeda-beda namun memiliki sejarah yang sama, ritual yang sama, tradisi yang sama, serta asal usul yang sama.



NARASI ORISINAL:
Apabila engkau menemui kesulitan di tengah laut,
maka palingkanlah perahumu ke sebelah kanan tujuh kali.
Kalau pun engkau tidak diberikan jalan,
maka palingkanlah perahumu ke sebelah kiri tujuh kali.
Kalau pun engkau tidak diberi jalan,
barulah engkau menempuh kesulitan.

Sumber : (Perahu Bugis Dan Filosofi "La Galigo", Syiful Halim Blogspot.com)


Tradisi lisan seperti puisi di atas sarat dengan nilai-nilai tradisi, ada beberapa daerah di Indonesia yang sudah ditemukan memiliki syair-syair puisi lisan, selain Bugis ada Minangkabau, Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Barat dan Timur dan mungkin wilayah-wilayah lain yang belung terungkap hingga kini.


"Bagi kebanyakan orang, peristiwa banjir semacam itu hanya sampai pada sebatas sebuah berita. Kering tanpa rasa indah yang menggerakkan perasaan, pikiran, dan daya bayang (imajinasi). Berbeda dengan tanggapan seniman yang menggunakan pikiran dan perasaan sekaligus yang kemudian dituangkan dalam karya seni. Bagi sastrawan, peristiwa banjir, baik peristiwanya itu sendiri, penyebabnya, maupun akibatnya, tidak dianalisis secara ilmiah, akan tetapi juga digerakkan dengan imajinasi dan dengan perasaan."

(Sumber, Willy Ediyanto, Merekam Peristiwa Kehidupan Melalui Puisi, http://willyediyanto.wordpress.com).


Sedikit kita menyimak sebuah peristiwa sejarah, dalam puisi ini seorang penyair menulis sebuah puisi berdasarkan suatu peristiwa nyata pada saat itu, yaitu mengenai keadaan ibu kota Jakarta yang menjadi pusat pemerintahan di mana penjajah Belanda harus meninggalkan Indonesia dengan perasaa malu seperti digambarkan oleh penyair Zeffry Alkatiri :


Daag Juliana !


Anak-anak Kindergroepje berbaris
Keluar dari kloosteran bersama para zuster
membawa bendera kecil
Rood, wit, and blauw
Sambil menyanyikan lagu:

Lang zal ze leven, lang zang ze leven, lang zang ze leven
In de gloria, in de gloria, in the gloria ...
Hiep ... hiep... hurraa...!

Di pertigaan Rijswijk.
Barisan Padvinder menyanyikan Wilhelmus
Semua orang tahu, hari itu
Bakal ada hiburan gratis buat pribumi:
Sepiring petasan dan kembang api
yang seakan kenyang membayangkan makan
Rijsttafel komplit di Indisch Woonhuis

Sejak sore,
Bang Sanip sudah tenang mendengkur
Di ubin tanpa kasur
Dalam kamar perdeo Hoofdbureau Glodok
Saat bangun ia melihat
Bendera bulat merah dikerek di halaman
Tabek tuan puteri, selamat jalan ...
Selamat tinggal voor de orlog
Tabek tuan putra, selamat datang
Dan silahkan duduk...?

Sayup-sayup dari arah kampung Kampung Tangki Lio-Pinangsia
Anak-anak ingusan berbaris sambil menyanyikan lagu:

Bendera Merah Putih
Diiket di kepala
Belanda pergi
Indonesia Merdeka...!


(1999)

Catatan :

Dari antologi tunggal milik Zeffry Alkatiri, Dari Batavia Sampai Jakarta 1619-1999: Peristiwa Sejarah dan Kebudyaan Betawi-Jakarta dalam Sajak (Indonesia Tera, 2001)

(~ Kembang Goyang, Orang Betawi Menulis Kampungnya, Sketsa, Puisi dan Prosa, h. 247-248)


Dalam puisi di atas ada beberapa istilah bahasa Belanda yang menarik untuk kita cari tahu, beberapa menunjukkan tempat dan istilah, misalnya kata Rijswijk adalah nama jalan, sekarang bernama jalan Veteran, Jakarta Pusat dekat dengan Gambir dan Monas, daerah tersebut merupakan pusat pemerintahan. perdeo Hoofdbureau Glodok ini dimaksudkan sebagai penjara di kepolisian daerah Glodok, kata Hoofdbureau memaksudkan kantor polisi, sekarang telah menjadi pusat pertokoan Glodok. Istilah kata kloosteran memaksudkan Rumah Bersalin sekarang bernama RSPAD dekat Kwitang, Jakarta Pusat dan sebagainya.

Menilik puisi 'Daaag Juliana!' memang menarik sekali, generasi sekarang jarang yang tahu istilah-istilah tersebut dalam puisi, namun bagi penikmat puisi tentunya hal ini menjadi tantangan menarik untuk mencari tahu sejarah atau latar belakang tentang dibalik sebuah cerita dalam puisi tersebut, bagi opa dan oma membaca puisi ini yang mengalami peristiwa ini tentu puisi ini bisa menjadi nostalgia bagi dirinya, sebuah kenangan romantisme, bisa jadi oom dan tante akan tersenyum membacanya, ya puisi bisa mengandung nostalgia atau kenangan masa lalu yang bisa indah, bisa pahit namun kita yang membacanya menjadi terhibur dan menambah wawasan berpikir lebih jernih.


"Imajinasi dalam karya seni bukanlah khayalan yang kosong. Imajinasi adalah hasil pemikiran dan perenungan yang didasarkan pada peristiwa nyata yang dilihat, dirasakan, atau bahkan dialami oleh si seniman. Jadi, karya seni bukanlah khayalan semata."


(Sumber, Willy Ediyanto, Merekam Peristiwa Kehidupan Melalui Puisi, http://willyediyanto.wordpress.com).


Puisi sebagai rekam jejak atau mengandung nilai sejarah seperti di atas bernilai tinggi, sebagai catatan tersendiri untuk para peneliti sejarah, atau orang-orang yang meminati berkaitan dengan sebuah peristiwa.

Sudahkah Anda menulis sebuah puisi hari ini ? Di samping puisi itu memang indah dan dikagumi bait-bait rindunya sudah tentu pusi itu sangatlah bermakna, jika demikian menulislah sebuah puisi sebagai catatan bahwa Anda pernah ada di dunia ini.


Para kekasih datang dan pergi Bersama angin dan percakapan Denting nampan menyergap kenangan


- Cecep Syamsul Hari

Sumber : Indonesia Sastra





29 Juli 2013
Sonny H. Sayangbati




______________

Dari berbagai sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar