Kamis, 05 September 2013

(Artikel Sastra) : "Mengenal Puisi 'Mbeling'"

Artikel Sastra





Mengenal Puisi 'Mbeling'



Dua Muka


raja punya dua muka
satu diketahui rakyat
satu diketahui sendiri

setelah ia digulingkan
ia pasti hilang muka

1997


Sumber : Remy Sylado, Puisi Mbeling h. 135.




Mbeling (bahasa Jawa), memiliki arti 'nakal atau suka memberontak terhadap kemapanan dengan cara-cara yang menarik perhatian ... kata mbeling mengandung unsur kecerdasan serta tanggung jawab pribadi (Wawancara Remy Sylado, 19 Mei 2004)' - Puisi Mbeling, Remy Sylado, Sekapur Sirih, h. xi

Puisi mbelingnya Remy Sylado ini memang memiliki ciri khas tersendiri, lucu atau jenaka membuat orang yang membacanya terpingkal-pingkal serta cerdas dan memang puisinya berdasarkan fakta yang terjadi, sindiran kepada penguasa orde baru pada waktu itu.

Remy sebagai sastrawan yang memiliki pandangan luas, dia memiliki daya pengamatannya yang jitu dalam setiap puisi-puisinya, penguasaan tentang sejarah masa lampau serta asal-usul sangat dikagumi. Remy memang unik dan kaya akan literatur.


Mengapa Puisi Mbeling Diperkenalkan ?


Menurut cerita, puisi ini diperkenalkan pertama kali oleh Remy Sylado (Yapi Panda Abdiel Tambayong) sebagai suatu gerakkan untuk mendobrak sikap orde baru yang dianggap feodal dan munafik. Pada tahun 1972, Remy Sylado mementaskan drama berjudul Genesis ll di Bandung, Remy menamakan gerakkan teatrenya sebagai teatre mbeling. Pada saat itu juga kata mbeling diperkenalkan sebagai suatu gerakkan.

Puisi mbeling juga lahir karena suatu sebab, di mana dominasi sastra pada waktu itu terkonsentrasi pada sebuah sosok yaitu figur 'paus sastra' Indonesia pada waktu itu HB Yassin dengan majalah Horisonnya. Sebuah sentral yang dominan ini membuat para pendatang baru atau istilahnya saudara muda sulit sekali menembus karya-karya mereka untuk terbit dalam majalah Horison, yang pada waktu itu mendominasi kesusasteraan Indonesia.

Boleh dikata puisi mbeling sesuai dengan artinya berupaya untuk berkarya di luar pakem yang sudah ada dan populer waktu itu.

Sebenarnya situasi-situasi tersebut tidak jauh berbeda dengan keadaan sekarang, walaupun memang kita akui bahwa media cyber dan penerbitan buku-buku indie sangat membantu untuk mengatasi kesenjangan hal tersebut dengan menjamurnya dunia internet dan media online, membuat para penyair yang digolongkan sebagai saudara muda lebih mudah untuk berkarya.

Idealisme yang dipegang oleh dominasi saudara tua masih tetap ada hingga saat ini, sebut saja majalah Horison masih selektif menerima karya-karya puisi dan mempertahankan mutunya dengan menjaga kualitas sesuai dengan garis kebijaksanaan mereka, hal ini masih tetap dipertahankan hingga kini.

Namun demikian saudara tua bukannya tanpa alternatif dalam menyikapi kesenjangan ini, mereka juga menerbitkan Kakilangit sebagai halaman tambahan bagi penyair-penyair pendatang baru, walaupun juga memiliki kriteria khusus.

Saudara tua juga menerbitkan website yang cukup dikenal yaitu Horison Online sebagai media alternatif bagi penyair-penyair yang tidak tertampung dalam media cetak mereka, dan Horison Online ini juga sebagai media kesuasteraan yang bergengsi di tanah air.

Ini sekedar gambaran bagaimana puisi mbelingnya Remy Sylado memprotes 'kekakuan' saudara tuanya HB Yassin dan majalah Horisonnya dalam arti yang positif :


Teka-Teki


saya ada dalam puisi
saya ada dalam cerpen
saya ada dalam novel
saya ada dalam roman
saya ada dalam kritik
saya ada dalam esei
saya ada dalam w.c.

Siapakah saya?
Jawab: h.b. jassin


(Sumber : Remy Sylado, Puisi Mbeling, Sekapur Sirih, h. xiv)


Kita mengenal dalam dunia sastra ada istilah sastra pinggiran, mungkin Anda pernah mendengar istilah ini dan pernah membacanya. Ya, dalam setiap zaman atau era ada saja sikap-sikap seperti ini. Hal ini lumrah terjadi di mana saja. Kita memaknai dalam pengertian yang positif saja, sebab pada dasarnya 'manusia adalah makhluk yang memiliki kecenderungan untuk tidak puas', karena kita adalah makhluk yang tidak sempurna.

Zaman sekarang manusia penyair memiliki banyak saluran media alternatif yang mereka bisa pilih, baik dari media cetaknya seperti majalah-majalah jurnal sastra yang semakin beragam dan banyak, koran-koran cetak atau versi online, website2 sastra (cybersastra) dan jejaring sosial yang saat ini sedang tren seperti Facebook yang menyediakan fasilitas yang baik bagi saluran-salauran dalam berkarya khususnya masalah sastra termasuk puisi.


Menulis Puisi Mbeling


Puisi mbeling termasuk jenis puisi kontemporer, maksudnya adalah:


Kata kontemporer secara umum bermakna masa kini sesuai dengan perkembangan zaman atau selalu menyesuaikan dengan perkembangan keadaan zaman. Selain itu, puisi kontemporer dapat diartikan sebagai puisi yang lahir dalam kurun waktu terakhir. Puisi kontemporer berusaha lari dari ikatan konvensional puisi itu sendiri. Puisi kontemporer seringkali memakai kata-kata yang kurang memperhatikan santun bahasa, memakai kata-kata makin kasar, ejekan, dan lain-lain. Pemakaian kata-kata simbolik atau lambang intuisi, gaya bahasa, irama, dan sebagainya dianggapnya tidak begitu penting lagi.


Sumber : Wikipedia Indonesia


Disamping itu puisi mbeling ini memiliki ke khasannya sendiri : "Mengutamakan unsur kelakar; pengarang memanfaatkan semua unsur puisi berupa bunyi, rima, irama, pilihan kata dan tipografi untuk mencapai efek kelakar tanpa ada maksud lain yang disembunyikan (tersirat). Menyampaikan kritik sosial terutama terhadap sistem perekonomian dan pemerintahan. Menyampaikan ejekan kepada para penyair yang bersikap sungguh-sungguh terhadap puisi. Dalam hal ini, Taufik Ismail menyebut puisi mbeling dengan puisi yang mengkritik puisi. (Sumber : Wikipedia Indonesia).

Sebenarnya menulis puisi mbeling ini cukup sederhana dan jangan lupa unsur jenaka dan sindiran harus ada, dan cara mengungkapkannya juga harus cerdas, hal ini yang paling penting dari unsur puisi mbeling, jangan pernah lupa hal ini.

Coba Anda perhatikan beberapa contoh puisi mbeling dari sang maestro mbeling ini :


1. Seorang Prajurit Memulai Korupsi Dengan Sumpritan Seharga Rp 200


satu prit
jigo

empat prit
cepek

delapan prit
kembali pokok


2. Dua Buat Har


Har berumur dua kali selawai
Dua warna rambut: hitam dan putih
Dua jumlah istri: tua dan muda
Dua hati: dua kemauan

Mau istri muda: Har tempil muda
lantas mencabut rambut-rambut putih
Mau istri tua: Har tampil tua
lantas mencabut rambut-rambut hitam

Dalam dua bulan: Har jadi botak
Kepalanya mengkilat mengganggu ozon


3. Kera dan Beruk


orang tua mengatai
"kera"
kenakalan remaja

orang muda mengatai
"beruk"
babe emak kemaruk



Sumber : Puisi Mbeling, Remy Sylado, KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)


Jika Anda memiliki buku 'Puisi Mbeling' oleh Remy Sylado ini, maka Anda akan tertawa terpingkel-pingkel membacanya, di samping unsur jenaka alias banyol ada nilai kecerdasan atau sindiran halus khas mbeling ini.


Puisi Mbeling Sebuah Pilihan


Sebagai orang Indonesia yang mencinta sastra khususnya 'jalan puisi', tentu kita patut bangga dengan karya-karya dari para sastrawan besar Indonesia, seperti halnya puisi-puisi lainnya: soneta, haiku, gurindam, mantera, syair, pantun. Model-model puisi tentunya ke depan akan lebih semarak lagi, namun sebuah karya akan tetap dikenang dan dicatat dalam sejarah, jika kita generasi penerus terus mengembangkan dan mencintai dunia tulis menulis ini dengan lebih giat lagi.

Puisi mbeling adalah salah satu pilihan yang baik dalam mengungkapkan perasaan kita terhadap suatu masalah dan menyikapinya dengan cara khas 'jalan puisi', karena bagi penyair 'jalan puisi' adalah sebuah pilihan yang sama terhormatnya dengan profesi lainnya, walaupun penyair tidak memiliki lisensi khusus, namun mereka adalah sebuah komunitas yang sangat berpengaruh dari zaman ke zaman, karya mereka ibarat pelangi yang menghias dunia, sehingga dunia memiliki romantismenya sendiri.

'Menulis puisi setiap hari, sama sehatnya dengan memakan makanan bergizi', demikian sebuah referensi mengatakannya, puisi mbeling adalah suatu sikap seorang manusia melihat dunianya dengan cara yang jenaka, cerdas dan memuaskan, Anda pasti ketagihan!


"
Bila seorang anak hidup dengan olokan,ia belajar menjadi malu. Bila seorang anak hidup dengan rasa malu, ia belajar merasa bersalah."
― Dorothy Law Nolte, Children Learn What They Live: Parenting to Inspire Values

Sumber : Goodreads






Jakarta, 11/8/2013
Sonny H. Sayangbati 




_______________


# Diolah dari berbagai sumber referensi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar