Minggu, 08 September 2013

Puisi-Puisi Terkenal dan Legendaris





SAJAK-SAJAK CHAIRIL ANWAR 1942-1949 (Kumpulan Semua Puisi Chairil Anwar)




Daftar Singkatan:  DCD= Deru Campur Debu
KT = Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan yang Putus
NA= Naskah Asli
P= Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45
TMT = Tiga Menguak Takdir

1942
 Gambar
            



                  NISAN
                        untuk nenekanda
Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
Dan duka maha tuan bertakhta
                        Oktober 1942


            PENGHIDUPAN

Lautan maha dalam
Mukul denture selama
Nguji tenaga pematang kita

Mukul denture selama
Hinga hancur remuk redam
Kurnia Bahgia
Kecil setumpuk
Sia-sia dilindung, sia-sia dipupuk
                                    Desember 1942

1943
            TAK SEPADAN

Aku kira :
Beginilah nanti jadinya
Kau Kawin, beranak dan berbahgia
Sedang aku mengembara serupa Ahasveros

Dikutuk-sumpahi Eros
Aku merangkaki dinding buta
Tak satu juga pintu terbuka

Jadi baik juga kita padani
Unggunan api ini
Karena kau tidak ‘kan apa-apa
Aku terpanggang tingal rangka
                                                Februari 1943

            SIA-SIA *

Penghabisan kali itu kau datang
membawa karangan kembang
Mawar merah dan melati putih :
darah dan suci
Kau tebarkan depanku
serta pandang yang memastikan : Untukmu.

Sudah itu kita sama termangu
Saling bertanya : Apakah ini ?
Cinta? Keduanya tak mengerti.

Sehari itu kita bersama. Tak hampir-menghampiri.

Ah !
Hatiku yang tak mau member
Mampus kau dikoyak-koyak sepi.

*Versi Deru Campur Debu (Editor)

            SIA-SIA*

Penghabisan kali itu kau datang
Membawa kembang berkarang
Mawar merah dan melati putih
Darah dan Suci
Kau terbarkan depanku
Serta pandang yang memastikan :untukmu

Lalu kita sama termangu
Saling bertanya : apakah ini?
Cinta? Kita berdua tak mengerti

Sehari kita bersama. Tak hampir-menghampiri

Ah!  Hatiku yang tak mau member
Mampus kau dikoyak-koyak sepi
                                    Februari 1943

*Versi KT (Editor)


            AJAKAN*

Ida
Menembus sudah caya
Udara tebal kabut
Kaca hitam lumut
Pecah pencar sekarang
Di ruang legah lapang
Mari ria lagi
Tujuh belas tahun kembali
Bersepeda sama gandengan
Kita jalani ini jalan

Ria bahgia
Tak acuh apa-apa
Gembira-riang
C[Biar hujan Datang
Kita mandi-basahkan diri
Tahu pasti sebentar kering lagi.
                                    Februari 1943

*Versi NA


            SENDIRI

Hidup tambah sepi, tambah hampa
Malam apa lagi
Ia mencekik ngeri
Dicekik kesunyian kamarnya

Ia membenci. Dirinya dari segala
Dalamketakutan-menanti ia menyebut satu nama

Terkejut ia terduduk. Siapa memanggil itu ?
Ah! Lemah lesu ia tersedu :Ibu ! Ibu!
                                                Februari 1943

            PELARIAN

            I
Tak tertahan lagi
Remang miang sengketa disini

Dalam lari
Dihempaskannya pintu keras tak terhingga

Hancur-lelah sepi seketika
Dan paduan dua jiwa.

            II
 Dari kelam ke malam
Tertawa-meringis malam menerimanya
Ini batu baru tercampung dalam gelita
“Mau apa?Rayu dan pelupa,
Aku ada! Pilih saja!
Bujuk dibeli?
Atau sungguh sunyi?
Mari! Mari!
Turut saja “

Tak kuasa – terengkam
Ia dicengkam malam
                                                Februari 1943

            SUARA MALAM

Dunia badai dengan topan
Manusia mengingatkan “Kebakaran di Hutan”
Jadi ke mana?
Untuk damai dan reda?
Mati.
Barang kali ini diam kaku saja
Dengan ketengan selama bersatu
Mengatasi suka dan duka
Kekebalan terhadap debu dan nafsu.
Berbaring tak sedar
Seperti kapal pecah di dasar lautan
Jemu dipukul ombak besar.
Atau ini.
Peleburan dalam Tiada
dan sekali akan menghadap cahaya.
……………………………………………..
Ya Allah! Badanku terbakar – segala samar.
Aku sudah melewati batas.
Kembali? Pintu tertutup dengan keras.
                                                Februari 1943

            AKU*

Kalau sampai waktuku
‘ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Lua dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak peduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi
                                                Maret 1943
*)  Versi DCD

            SEMANGAT*

Kalau sampai waktuku
Kutahu tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu!

Aku ini binatang jalan
Dari kumpulan terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang-menerjang

Luka dan bisa kubawa lari
Berlari

Hingga hilang pedih dan peri

Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi.
                                                Maret 1943
*) Versi KT

            HUKUM

Saban sore ia lalu depan rumahku
Dalam baju tebal abu-abu

Seorang jernih memikul. Banyak menangkis pukul.

Bungkuk jalannya – Lesu
Pucat mukanya – Lesu

Orang menyebut satu nama jaya
Mengingat kerjanya dan jasa

Melecut supaya terus ini padanya

Tapi mereka memaling. Ia begitu kurang tenaga

Pelik di angkasa : Perwira muda
Pagi ini menyinar lain masa

Nanti, kau dinanti-dimengerti!
                                                Maret 1943

            TAMAN

Taman punya kita berdua
Tak lebar luas, kecil saja
Satu tak kehilangan lain dalamnya.
Bagi kau dan aku cukuplah
Taman kembangnya tak berpuluh warna
Padang rumputnya tak berbanding permadani
Halus lebut dipijak kaki.
Bagi kita bukan halangan.
Karena
Dalam taman punya berdua
Kau kembang, aku kumbang
Aku kumbang, kau kembang.
Kecil, penuh surya taman kita
Tempat merenggut dari dunia dan ‘nusia
                                                Maret 1943

            LAGU BIASA

Di teras rumah makan kami kini berhadapan
Baru berkenalan. Cuma berpandangan
Sungguhpun samudera jiwa sudam selam berselam

Masih saja berpandangan
Dalam lakon pertama
Orkes meningkah dengan “Carmen” pula.

Ia mengerling. Ia ketawa
Dan rumput kering terus menyala
Ia berkata. Suaranya nyaring tinggi
Darahku terhenti berlari

Ketika orkes memulai “Ave Maria”
Kuseret ia kesana….
                                                Maret 1943


            KUPU MALAM DAN BINIKU

Sambil berselisih lalu
Mengebu debu.

Kupercepat langkah. Tak noleh ke belakang
Ngeri ini luka-terbuka sekali lagi terpandang

Barah terngaga

Melayang ingatan ke biniku
Lautan yang belum terduga
Biar lebih kami tujuh tahun bersatu

Barangkali tak setahuku
Ia menipuku.
                                                Maret 1943

            PENERIMAAN

Kalau kau mau kuterima kau kembali
Dengan sepenuh hatu

Aku masih tetap sendiri

Kutahu kau bukan yang dulu lagi
Bak kembang sari sudah terbagi
Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani

Kalau kau mau kuterima kau kembali
Untukku sendiri tapi

Sedang dengan cermin aku enggan berbagi.
                                                Maret 1943

            KESABARAN

Aku tak bisa tidur
Orang ngomong, anjing nggonggong
Dunia jauh mengabur
Kelam mendinding batu
Dihantam suaru bertalu-talu
Disebelahnya api dan abu

Aku hendak berbicara
Suarku hilang, tenaga terbang
Sudah! Tidak jadi apa-apa!
Ini dunia enggan disapa, ambil perduli

Keras membeku air kali
Dan hidup bukan hidup lagi

Kuulangi yang dulu kembali
Sambil bertutup telinga, berpicing mata
Menunggu reda yang mesti tiba
                                                Maret 1943

            PERHITUNGAN

Banyak gores belum terputus saja
Satu rumah kecil putih dengan lampu merah muda caya

Langit bersih-cerah dan purnama raya….
Sudah itu tempatku tak tentu dimana

Sekilap pandangan serupa dua klewang bergeseran

Sudah itu berlepasan dengan sedikit heran
Hembus kau aku tak perduli, ke Bandung, ke Sukabumi …. !?

Kini aku meringkih dalam malam sunyi.
                                                Maret 1943
          
            KENANGAN

                        untuk Karinah Moordjono
Kadang
Diantara jeriji itu-itu saja
Mereksmi memberi warna
Benda using dilupa
Ah! Tercebar rasanya diri
Membubung tinggi atas kini
Sejenak
Saja. Halus rapuh ini jalinan kenang
Hancur hilang belum dipegang
Terhentak
Kembali di itu – itu saja
Jiwa bertanya : Dari buah
Hidup kan banyakan jatuh ke tanah?
Menyelubung nyesak penyesalan pernah menyia-nyia
                                                19 April 1943

            RUMAHKU
Rumahku dari unggun – timbun sajak
Kaca jernih dari luar segala Nampak

Kulari dari gedong lebar halaman
Aku tersesat tak dapat jalan

Kemah kudirikan ketika senjakala
Di pagi terbang entah kemana

Rumahku dari unggun-timbun sajak
Disini aku berbini dan beranak

Rasanya lama lagi, tapi datangnya datang
Aku tidak lagi meraih petang
Biar berleleran kata manis madu
Jika menagih yang satu
                                                27 April 1943

            HAMPA*
                                                Kepada Sri

Sepi di luar. Sepi menekan – mendesak.
Lurus kaku pohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak. Sepi memagut,
Tak satu kuasa melepas-renggut
Segala menanti. Menanti. Menanti.
Sepi.
Tambah ini menanti jadi mencekik
Memberat – mencekung punda
Sampai binasa segala. Belum apa-apa
Udara bertuba. Setan bertempik
Ini sepi terus ada. Dan menanti.

*) Versi DCD

            HAMPA*)

Sepi di luar, sepi menekan-mendesak
Lurus-kaku pohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak
Sepi memagut
Tak suatu kuasa berani melepas diri
Segala menanti. Menanti-menanti.
Sepi.
Dan ini memnanti penghabisan mencekik
Memberat-mencengkung punda
Udara bertuba
Rontok-gugur segala. Setan bertempik
Ini sepi terus ada. Menanti. Menanti.
                                                Maret 1943

            KAWANKU DAN AKU*

Kami sama perjalanan larut
Menembus kabut
Hujan mengucur badan
Berkakuan kapal-kapal di pelabuhan

Darahku mengental pekat. Aku tumpat pedat

Siapa berkata-kata …?
Kawanku hanya rangka saja
Karena dera mengelucak tenaga

Dia bertanya jam berapa?

Sudah larut sekali
Hilang tenggelam segala makna
Dan gerak tak punya arti.

*) Versi DCD

            KAWANKU DAN AKU *
          
                                    Kepada L.K. Bohang

Kamu jalan sama. Sudah larut.
Menembus kabut.
Hujan mengucur badan.

Berkakuan kapal-kapal di pelabuhan.

Darahku mengental-pekat, aku tumpat-pedat.

Siapa berkata?

Kawanku hanya rangka saja
Karena dera mengelucak tenaga.

Dia bertanya jam berapa!

Sudah larut sekali
Hingga hilang segala makna
Dan gerak tak punya arti
                                    5 Juni 1943
*) Versi KT

BERCERAI

Kita musti bercerai
Sebelum kicau murai berderai.

Terlalu kita minta pada malam ini.

Benar belum puas serah menyerah
Darah manis berbusah-busah.

Terlalu kit aminta pada mala mini.

Kita musti bercerai
Biar surya ‘kan menembus oleh malam di perisai

Dua benua bakal bentur membentur.
Merah kesumba jadi putih kapur.

Bagaimana?
Kalau IDA, mau turut mengabur
Tidak samudra caya tempatmu menghambur.

            AKU

Melangkahkan aku bukan tua menggelegak
Cumbu-buatan satu biduan
Kujauhi ahli agam serta lembing-katanya.

Aku hidup
Dalam hidup di mata tampak bergerak
Dengan cacar melebar, barah bernnah
Dan kadang satu senyum kukucup-minum dalam dahga.
                                                8Juni 1943

            CERITA
                      
Kepada Darmawidjaja

Di pasar baru mereka
Lalu mengada-menggaya.

Mengikat sudah kesal
Tak tahu apa dibuat

Jiwa satu teman lucu
Dalam hidup, dalam tuju.

Gundul diselimuti tebal
Sama segala berbuat-buat.

Tapi kadang pula dapat
Ini renggang terus terapat.
                                                9 Juni 1943


            DI MESJID
Kuseru saja Dia
Sehingga datang juga

Kami pun bermuka-muka.

Seterusnya Ia bernyala-nyala dalam dada.
Segala daya memadamkannya

Bersimpah peluh diri yang tak bisa diperkuda

Ini ruang
Gelanggang kami berperang
Binasa-membinasa
Satu mernista lain gila.
                                                29 Mei 1943

            SELAMAT TINGGAL*
                                                perempuan…
Aku berkaca
ini muka penuh luka
Siapa punya?

Kudengar seru menderu
– dalam hatiku ? –
Apa hanya angin lalu?

Lagu lain pula
Menggelepar tengah malam buta

Ah….!

Segala menebal, segela mengental
Segala tak kukenal

Selamat tinggal…!!

*Versi NA


            SElAMAT TINGGAL*

Aku berkaca
Bukan buat ke pesta

Ini muka penuh luka
Siapa punya?

Kudengar seru menderu
– dalam hatiku ? –
Apa hanya angin lalu?

Lagu lain pula
Menggelepar tengah malam buta

Ah….!

Segala menebal, segela mengental
Segala tak kukenal

Selamat tinggal…!!

*) Versi KT

MULUTMU MENCUBIT DI MULUTKU*

Mulutmu mencubit di mulutku
Menggelegak benci sejenak itu
Mengapa merihmu tak kucekik pula
Ketika halus-perih kau meluka??

                                    22 Juli 1943
*) Semula sajak ini tanpa judul


            DENDAM

Berdiri tersentak
Dari mimpi aku bengis dielak

Aku tegak
Bulan bersinar sedikit tak Nampak

Tangan meraba ke bawah bantalku
Keris berkarat kugenggam di hulu

Bulan bersinar sedikit tak Nampak

Aku mencari
Mendadak mati kuhendak berbekas di jari

Aku mencari
Diri tercerai dari hati

Bulan bersinar sedikit tak Nampak

                                    13 Juli 1943

            MERDEKA

Aku mau bebas dari segala
Merdeka
Juga dari ida

Pernah
Aku percaya pada sumaph dan cinta
Menjadi sumsum dan darah
Seharian kukunyah – kumamah

Sedang meradang
Segala kurenggut
Ikut baying

Tapi kini
Hidupku terlalu tenang
Selama tidak antara badai
Kalah menang

Ah! Jiwa yang menggapai-gapai
Mengapa kalau beranjak dari sini
Kucoba dalam mati.
                                    14 Juli 1943


            KITA GUNYAH LEMAH*

Kita guyah lemah
Sekali tetak tentu rebah
Segala erang dan jeritan
Kita pendam dalam keseharian

Mari tegak merentak
Diri – sekeliling kita bentak
Ini malam purnama akan menembus awan.
                                                22 Juli 1943

*) semula sajak ini tanpa judul


JANGAN KITA DI SINI BERHENTI*

Jngan kita di sini berhenti
Tuaknya tua, sedikit pula
Sedang kita mau berkendi-kendi
Terus, terus dulu…!!

Ke ruang di mana botol tuak banyak berbaris
Pelayannya kita dilayani gadis-gadis
O, bibir merah, selokan mati pertama
O, hidup, kau masih ketawa??
                                                24 Juli 1943

            1943

Racun berada di reguk pertama
Membusuk rabu terasa di dada
Tenggelam darah dalam nanah
Malam kelam-membelam
Jangan kaku-lurus. Putus
Candu.
Tumbang
Tanganku menadah patah
Luluh
Terbenam
Hilang
Lumpuh.
Lahir
Tegak
Berderak
Rubuh
Runtuh
Mengaum. Mengguruh
Menentang. Menyerang
Kuning
Merah
Hitam
Kering
Tandas
Rata
Rata
Rata
Dunia
Kau
Aku
Terpaku.
                                    1943

            ISA

                        Kepada nasrani sejati
Itu Tubuh
Mengucur darah
Mengucur darah

Rubuh
Patah

Mendampar tanya: aku salah?

Kulihat Tubuh mengucur darah
aku berkaca dalam darah

terbayang terang di mata masa
bertukar rupa ini segera

mengatup luka

aku bersuka

Itu Tubuh
Mengucur darah
Mengucur darah
                                    12 November 1943

            DOA

                                    kepada pemilik teguh
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namaMu

Biar susah sungguh
Mengingat kau penuh seleuruh

cayaMu panas suci
tinggal kerdip liling di kelam sunyi

Tuhanku

Aku hilang bentuk
Remuk

Tuhanku

Aku mengembara di negeri asing

Tuhanku
dipintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling
                                    13 November 1943    
          
1944

            DALAM KERETA

Dalam kereta.
Hujan menebal jendela

Semarang, Solo…, makin dekat saja
Menangkup senja

Menguak purnama.
Caya menyayat mulut dan mata.
Menjengking kereta. Menjengking jiwa

Sayatan terus ke dada.
                                    15 Maret 1944

            SIAP-SEDIA
           
                                    Kepada angkatanku
Tanganmu nanti tegang kaku,
Jantungmu nanti berdebar berhenti,
Tubuhmu nanti mengeras batu,
Tapi kami sederap mengganti,
Terus memahat ini Tugu,

Matamu nanti kaca saja,
Mulutmu nanti habis bicara,
Darahmu nanti mengalir berhenti,
Tapi kami sederap mengganti,
Terus berdaya ke Masyarakat Jaya.

Suaramu nanti diam ditekan,
Namamu nanti terbang hilang,
Langkahmu nanti enggan ke depan,
Tapi kami sederap mengganti,
Bersatu maju, ke Kemenangan.

Darah kami panas selama,
Badan kami tertempa baja,
Jiwa kami gagah perkasa,
Kami akan mewarna di angkasa,
Kami pembawa ke bahgia nyata.

Kawan, kawan
Menepis segar angin terasa
Lalu menderu menyapu awan
Terus menembus surya cahaya
Memancar pencar ke penjuru segala
Riang menggelombang sawah dan hutan

Segala menyala!
Segala menyala!

Kawan, kawan
Dan kita bangkit dengan kesedaran
Mencucuk menerang hingga belulang.
Kawan,kawan
Kita mengayun pedang ke Dunia Terang!

                                                1944


1945
           
            KEPADA PENYAIR BOHANG

Suaramu bertanda derita laut tenang…
            Si Mati ini padaku masih berbicara
            Karena dia cinta, dimulutnya membusah
            Dan rindu yang mau memerahi segala
            Si Mati ini matanya terus bertanya!

Kelana tidak bersejarah
Berjalan ka uterus!
Sehingga tidak gelisah
Begitu berlumuran darah.

Dan duka juga menengadah
Melihat gayamu melangkah
Mendayu suara patah:
“”Aku saksi!”

Bohang, jauh di dasar  jiwamu
Bertampu suatu dunia;
Menguyup rintik satu-satu
Kaca dari dirimu pula….
                                                1945

            LAGU SIUL

Laron pada mati
Terbakar di sumbu lampu
Aku juga menemu
Ajal di cerlang caya matamu
Heran! Ini badan yang selama berjaga
Habis hangus di api matamu
‘ku layak tidak tahu saja
            II
Aku kira :
Beginilah nanti jadinya
Kau Kawin, beranak dan berbahgia
Sedang aku mengembara serupa Ahasveros

Dikutuk-sumpahi Eros
Aku merangkaki dinding buta
Tak satu juga pintu terbuka

Jadi baik juga kita padani
Unggunan api ini
Karena kau tidak ‘kan apa-apa
Aku terpanggan tingal rangka
                                    25 November 1945


            MALAM

Mulai kelam
Belum buntu malam,
Kami masih berjaga
- Thermopylae? –
- jagal tidak kenal? –
Tapi nanti
Sebelum siang membentang
Kami sudah tenggelam
                        Hilang….                               
                                    1945


1946

            SEBUAH KAMAR

Sebuah jendela menyerahkan kamar ini
pada dunia. Bulan yang menyinar ke dalam
mau lebih banyak tahu.
“Sudah lima anak bernyawa di sini,
Aku salah satu!”

Ibuku tertidur dalam tersedu,
Keramaian penjara sepi selalu,
Bapakku sendiri terbaring jemu
Matanya menatap orang tersalib di batu!

Sekeliling dunia bunuh diri
Aku minta adik lagi pada
Ibu dan bapakku, karena mereka berada
di luar hitungan: Kamar begini,
3 x 4 m, terlalu sempi buat meniup nyawa!
                                                1946

            KEPADA PELUKIS AFFANDI

Kalau, ‘ku habis-habis kata, tidak lagi
berani memasuki rumah sendiri, terdiri
di ambang penuh kupak,

adalah karena kesementaraan segala
yang mencap tiada benda, lagi pula terasa
mati kan datang merusak.

Dan tangan ‘kan kaku, menulis berhenti,
Kecemasan derita, kecemasan mimpi;
Berilah aku tempat di menara tinggi,
Dimana kau sendiri menginggi

Atas keramaian dunia dan cedera,
Lagak lahir dan kelancungan cipta,
Kau memaling dan memuja
Dan gelap-tertutup jadi terbuka!
                                                1946


            DENGAN MIRAT*

Kamar ini jadi sarang penghabisa
Di malam yang hilang batas

Aku dan dia hanya menjengkau
rakit hitam.

‘kan terdamparkah
atau terserah
pada putaran pitam?

Matamu ungu membatu

Masih berdekepankah kami atau
mengikut juga bayangan itu?
                                                8 Januari 1946
*) Dalam DCD sajak ini berjudul “Orang berdua”


            CATETAN TH. 1946

Ada tangaku, sekali akan jemu terkulai,
Mainan cahya di air hilang bentuk dalam kabut,
Dan suaru yang kucintai ‘kan berhenti membelai.
Dan suara yang kucintai ‘kan berhenti membelai.
Kupahat batu nisan sendiri dan kupagut.

Kita – anjing diburu – hanya melihat sebagian dari sandiwara sekarang
Tidak tahu Romeo & Juliet berpeluk di kubur atau di ranjang
Lahir seorang besar dan tenggelam beratus ribu
Keduanya harus dicaret, keduanya dapat tempat.

Dan kita nanti tiada sawan lagi diburu
Jika bedil sudah disimpan, Cuma kenangan berdebu;
Kita memburu arti atau diserahkan kepada anak lahir sempat.
Karena itu jangan mengerdip, tatap dan penamu asah,
Tulis karena kertas gersang, tenggorokan kering sedikit mau basah!
                                                            1946

            BUAT ALBUM DS.S

Seorang gadis lagi menyanyi
Lau derita doi pantai yang jauh,
Kelasi bersendiri di laut biru, dari
Mereka yang sudah lupa bersuka.

Suaranya pergi terus meninggi,
Kami yang mendengar melihat senja
Mencium belai si gadis dari pipi
Dan gaun putihnya sebagian dari mimpi.

Kami rasa bahagia tentu kan tiba,
Kelasi mendapat dekapan di pelabuhan
Dan di negeri kelabu yang berhiba
Penduduknya bersinar lagi, dapat tujuan.

Lagu merdu! Apa mengertikah adikku kecil yang menangis mengiris hati
Bahwa pelarian akan terus tinggal terpencil,
Juga di negeri jauh itu surya tidak kembali?
                                                            1946
                                  
            NUCTURNO
            (fragment)

……………………………………………………….
Aku menyeru – tapi tidak satu suara
membalas, hanya mati di beku udara.
Dalam diriku terbujur keinginan,
Juga tidak bernyawa.
Mimpi yang penghabisan minta tenaga,
Patah kapak, sia-sia berdaya,
Dalam cekikan hatiku

Terdapat… menginyam abu dan debu
Dari tinggalannya suatu lagu.
Ingatan pada Ajal yang menghantu.
Dan demam yang nanti membikin kaku…

…..,…………………………………..
Pena dan penyair keduanya mati,
Berpalingan!
                                                1946


CERITA BUAT DIEN TAMAELA

Beta Pattiradjawane
Yang dijaga datu-datu
Cuma satu.

Beta Pattiradjawane
Kikisan laut
Berdarah laut.

Beta Pattiradjawane
Ketika lahir dibawakan
Datu dayung sampan.

Beta Pattiradjawane, menjaga hutan pula
Beta api di pantai. Siapa mendekat
Tiga kali menyebut beta punya nama.

Dalam sunyi malam ganggang menari
Menurut beta punya tifa,
Pohon pala, badan perawan jadi
Hidup sampai tiba.

Mari menari!
Mari beria!
Mari berlupa!

Awas jangan bikin beta marah
Beta bikin pala mati, gadis kaku
Beta kirim datu-datu!

Beta ada di mala, ada di siang
Irama ganggang dan api membakar pulau…

Beta Pattiradjawane
Yang dijaga datu-datu
Cuma Satu
                                                1946


            KABAR DARI LAUT

Aku memang benar tolol ketika itu,
Mau pula membikin hubungan dengan kau;
Lupa kelasi tiba-tiba bisa sendiri di laut pilu,
Berunjuk kembali dengan tujuan biru.

Di tubuhku ada luka sekarang,
Bertambah lebar juga, mengeluar darah,
di bekas dulu kau cium nafsu dan garang;
lagi aku pun sangat lemah menyerah.

Hidup berlangsung antara buritan dan kemudi.
Pembatasan cma tambah menyatukan tenang.
Dan tawa gila pada whisky tercermin tenang.

Dan kau? Apakah kerjamu sembahyang dan memuji,
Atau diantara mereka juga terdampar,
Burung mati pagi hari di sisi sangkar?
                                                            1946


            SENJA DI PELABUHAN KECIL
          
                                                buat Sri Ajati

Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut

gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.

Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dai pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap.
                                                            1946

            CINTAKU JAUH DI PULAU

Cintaku jauh di pulau,
Gadis manis, sekarang iseng sendiri.

Perahu melancar, bulan memancar,
Di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar.
Angin membantu, laut terang, tapi terasa
Aku tidak kan sampai padanya.

Di air yang tenang, di angin mendayu,
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
“Tunjukkan perahu ke pangkuanku saja.”

Amboi! Jalan sudah bertahun kutempuh!
Perahu yang bersama’kan merapuh!
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!

Manisku jauh di pulau,
Kalau ku mati, dia mati isen sendiri.
                                                1946


            “BETINA”-NYA AFFANDI

Betina, jika di barat nanti
Menjadi gelap
Turut tenggelam sama sekali
Juga yang mengendap,
Di mukamu tinggal bermain Hidup dan Mati.

Matamu menentang – sebentar dulu! –
Kau tidak gamang, hidup kau sintuh, kau cumbu,
Sekarang senja gosong, tinggal abu…
Dalam tubuhmu ramping masih berkejaran Perempuan dan Laki.
                                                            1946


            SITUASI

………………………………………………
Tidak perempuan! Yang hidup dalam diri
masih lincah mengelak dari pelukanmu gemas gelap,
bersikeras mencari kehijauan laut lain,
dan berada lagi di kapal dulu bertemu,
berlepas kemudi pada angin,
mata terpikat pada bintang yang menanti.
Sesuatu yang mengepak kembali menandungkan
Tai Po dan rahasia laut Ambon
Begitulah perempuan! Hanya suatu garis kabur bila dituliskan
Dengan pelarian kebuntuan senyuman
                                                Cirebon 1946

            DARI DIA
                                                            buat K.

Jangan salahkan aku, kau kudekap
Bukan karena setia, lalu pergi gemerencing ketawa!
Sebab perempuan sudah mengatasi
Keterharuan penghidupan yang ‘kan dibawakan padanya….

Sebut namaku! ‘ku datang kembali ke kamar
Yang kutandai lampu merah, kaktus di jendela,
Tidak tahu buat berapa lama, tapi pasti di senja samar
Rambutku ikal menyinar, kau senapsu dulu kuhela

Sementara biarkan ‘kuhidup yang sudah
dijalinkan dalam rahasia….
                                                Cirebon 1946

            KEPADA KAWAN

Sebelum Ajal mendekat dan mengkhianat,
Mencengkam dari belakang ‘tika kita tidak melihat,
Selama masih menggelombang dalam dada darah serta rasa,

Belum bertugas kecewa dan gentar belum ada,
Tidak lupa tiba-tiba bisa malam membenam,
Layar merah terkibar hilang dalam kelam,
Kawan, mari kita putuskan kini disini:
Ajal yang menarik kita, juga mencekik diri sendiri!

Jadi
Isi gelas sepenuhnya lantas kosongkan,
Tembus jelajah dunia ini dan balikkan
Peluk kucup perempuan, tinggalkan kalau merayu,
Pilih kuda yang paling liar, pacu laju
Jangan tambatkan pada siang dan malam
Dan
Hancurkan lagi apa yang kau perbuat
Hilang sonder pusaka, sonder kerabat.
Tidak minta ampun atas segala dosa,
Tidak member pamit pada siapa saja!
Jadi
Mari kita putuskan sekali lagi:
Tikamkan pedangmu hingga ke hulu
Pada siapa yang mengairi kemurnian madu!!
                                    30 November 1946


            PEMBERIAN TAHU

Bukan maksudku mau berbagi nasib,
Nasib adalah kesunyian masing-masing.
Kupilih kau dari yang banyak, tapi
Sebentar kita sudah larut dalam sepi lagi terjaring.
Aku pernah ingin benar padamu,
Di malam raya, menjadi kanak-kanak kembali,

Kita berpeluk ciuman tidak jemu,
Rasa tak sanggup kau kulepaskan.
Jangan satukan hidupmu dengan hidupku,
Aku memang tidak bisa lama bersama
Ini juga kutulis di kapal, di laut tidak bernama!
                                                1946

          

1947

            SORGA
                        buat Basuki Resobowo

seperti ibu + nenekku juga
tambah tujuh keteurunan yang lalu
aku minta pula supaya sampai di sorga
yang kata Masyumi + Muhammadiah bersungai susu
dan bertabur bidari beribu

tapi ada suara menimbang dalam diriku,
nekat mencemooh: bisakah kiranya
berkering dari kuyup laut biru,
gamitan dari tiap pelabuhan gimana?
Lagi siapa bisa mengatakan pasti
Di situ memang memang ada bidari
Suaruanya berat menelan seperti Nina, punya kerlingnya Jati?
               Malang, 25 Februari 1947


SAJAK BUAT BASUKI RESOBOWO

Adakah jauh dari perjalanan ini?
Cuma selenggang! – Coba kalau bisa lebih
Lantas bagaimana?
Pada daun gugur tanya sendiri,
Dan sama lagu melembut jadi melodi!

Apa tinggal jadi tanda mata?
Lihat pada betina tidak lagi menengadah
Atau bayu sayu, bintang menghilang!

Lagi di jalan ini berapa lama?
Boleh seabad…aduh sekerdip saja!
Perjalanan karna apa?
Tanya rumah asal yang bisu!
Keturunanku yang beku disitu!

Ada yang menggamit?
Ada yang kehilangan?
Ah! Jawab sendiri! – aku terus gelandangan
                                    28 Februari 1947

DUA SAJAK BUAT BASUKI RESOBOWO

            I
Adakah jauh dari perjalanan ini?
Cuma selenggang! – Coba kalau bisa lebih
Lantas bagaimana?
Pada daun gugur tanya sendiri,
Dan sama lagu melembut jadi melodi!

Apa tinggal jadi tanda mata?
Lihat pada betina tidak lagi menengadah
Atau bayu sayu, bintang menghilang!

Lagi di jalan ini berapa lama?
Boleh seabad…aduh sekerdip saja!
Perjalanan karna apa?
Tanya rumah asal yang bisu!
Keturunanku yang beku disitu!

Ada yang menggamit?
Ada yang kehilangan?
Ah! Jawab sendiri! – aku terus gelandangan
            II
seperti ibu + nenekku juga
tambah tujuh keteurunan yang lalu
aku minta pula supaya sampai di sorga
yang kata Masyumi + Muhammadiah bersungai susu
dan bertabur bidari beribu

tapi ada suara menimbang dalam diriku,
nekat mencemooh: bisakah kiranya
berkering dari kuyup laut biru,
gamitan dari tiap pelabuhan gimana?
Lagi siapa bisa mengatakan pasti
Di situ memang memang ada bidari
Suaruanya berat menelan seperti Nina, punya kerlingnya Jati?
                        Malang, 28 Februari 1947


            MALAM DI PEGUNUNGAN

Aku berfikir; Bulan inikah yang membikin dingin,
Jadi pucat rumah dan kaku pohonan?
Sekali ini aku terlalu sangat dapat jawab kepingin:
Eh, ada bocah cilik main kejaran dengan bayangan!
                                                1947

            TUTI ARTIC

Antara bagagia sekarang dan nanti jurang ternganga,
Adikku yang lagi keenakan menjilat es artic;
Sore ini kau cintaku, kuhiasi dengan susu + coca cola.
Isteriku dalam latihan: kita hentikan jam berdetik.

Kau pintar benar bercium, ada goresan tinggal terasa
- ketika kita bersepeda kuantar kau pulang-
Panas darahmu, sungguh lekas kau jadi dara
Mimpi tua bangka ke langit lagi menjulang.

Pilihanmu saban hari menjemput, saban kali bertukar;
Besok kita berselisih jalan, tidak kenal tahu:
Sorga hanya permainan sebentar.

Aku juga seperti kau, semua lekas berlalu
Aku dan Tuti + Greet + Amoi..hati terlantar
Cinta adalah bahaya yang lekas jadi pudar.
                                                            1947


1948

PERSETUJUAN DENGAN BUNG KARNO

Ayo Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji
Aku sudah cukup lama dengar bicaramu,
Dipanggang atas apimu, digarami oleh lautmu

Dari mulai tgl 17 agustus 1945
Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu
Aku sekarang api aku sekarang laut

Bung karno! Kau dan aku satu zat satu urat
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita berlayar
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh
                                                1948

            SUDAH DULU LAGI*

Sudah dulu lagi terjadi begini
Jari tidak bakal teranjak dari petikan bedil
Jangan yanya mengapa jari cari tempat di sini
Aku tidak tahu tanggal serta alasan lagi
Dan jangan tanya siapa akan menyiapkan liang penghabisan
Yang akan terima pusaka; kedamaian antara reruntuhan menara
Sudah dulu lagi, sudah dulu lagi
Jari tidak bakal teranjak dari petikan bedil.
                                                1948

            INA MIA

Terbaring di rangkuman pagi
- hari baru jadi –
Ina Mia mencari
Hati impi
Teraba Ina Mia
Kulit harapan belaka
Ina Mia
Menarik napas panjang
Di tepi jurang
Napsu
Yang sudah lepas terhembus,
Antara daun-daunan mengelabu
Kabut cinta lama, cinta hilang
Terasa gentar sejenak
Ina Mia enekan tapak di hijau rumput,
Angin ikut
- dayang penghabisan yang mengip[as –
Berpaling
Kelihatan seorang serdadu mempercepat langkah di tekongan.
                                                            1948


            PRAJURIT JAGA MALAM*

Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu?
Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras, bermata tajam,
Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya kepastian
Ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini
Aku suka pada mereka yang berani hidup
Aku suka pada nmereka yang masuk menemu malam
Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu!
                                                            1948
*) Versi KT

            PRAJURIT JAGA MALAM

Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu
Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras, bermata tajam,
Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya kepastian
Ada di sisiku selama menjaga daerah yang mati ini

Aku suka pada mereka yang berani hidup
Aku suka pada nmereka yang masuk menemu malam
Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu!
                                                            1948

*)Versi TMT


            PUNCAK
              Pondering,pondering, on you dear…

Minggu pagi di sini. Kederasan ramai kota yang terbawa.
Tambah penjoal dalam diri – diputar atau memudar –
Terasa tertekan; kita berbaring bulat telanjang
Sehabis apa terucap di kelam tadi, kita habis kata sekarang.
Berada 2000 m. jauh dari muka laut, silang siur pelabuhan,
Jadi terserah pada perbandingan dengan
Cemarabersih hijau, kali yang bersih hijau

Maka cintaku sayang, kucoba menjabat tanganmu
Mendekap wajahmu yang asing, meraih bibirmu di balik rupa.
Kau terlompat dari ranjang, lari ke tingkap yang
Masih mengandung kabut, dank au lihat di sana, bahwa antara
Cemara bersih hijau dan kali gunung bersih hijau mengembang juga tanya dulu, tanya lama, tanya.
                                                            1948

            BUAT GADIS RASID

Antara
Daun-daun hijau
Padang lapang dan terang
Anak-anak kecil tidak bersalah, baur bisa lari-larian
Burung-burung merdu
Hujan segar dan menyebar
Bangsa muda menjadi, baru bisa bilang “aku”
Dan
Angin tajam kering, tanah semata gersang
Pasir bangkit mentanduskan, daerah dikosongi
Kita terapit, cintaku
- mengecil diri, kadang bisa mengisar setapak
Mari kita lepas, kita lepas jiwa mencari jadi merpati Terbang
Mengenali gurung, sonder ketemu, sonder mendarat
- The only possible non-stop flight
Tidak mendapat.
                                                1948

SELAMA BULAN MENYINARI DADANYA*

Selama bulan menyinari dadanya jadi pualam
Ranjang padang putih tiada batas
Sepilah panggilan-panggilan
Antara aku dan mereka yang bertolak
Aku bukan lagi si cilik tidak tahu jalan
Di hadapan berpuluh lorong dang an menimbang:
Ini tempat terikat pada Ida dan ini ruangan “pas bebas”
Selama bulan menyinari dadanya jadi pualam
Ranjang padang putih tiada batas
Sepilah pangilan-panggilan
Antara aku dan mereka yang bertolak
Juga ibnuku yang berjanji
Tidak meninggalkan sekoci.

Tilahtlah jingga luntur:
Dan aku yang pilih
Tinjauan mengabur, daun-daun sekitar gugur
Rumah tersembunyi dalam cemara rindnang yang tinggi
Pada jendela kaca tiada baying datang mengambang
Gundu, gasing, kuda-kudaan, kapal-kapalan
Aku sudah lebih dulu kaku.
            1948


1949

MIRAT MUDA, CHAIRIL ANWAR
                                    di pegunungan 1943

Dialah, Miratlah, ketika mereka rebah.
Menatap lama ke dalam pandangnya
Coba memisah matanya menantang
Yang satu tajam dan jujur yang sebelah.

Ketawa diadukannya giginya pada
Mulut Chairil; dan bertanya: Adakah, adakah
Kau selalu mesra dan aku bagimu indah?
Mirat raba urut Chairil, raba dada
Dan tahulah di akini, bisa katakana
Dan tunjukkan dengan pasti di mana
Menghidap jiwa, menghembus nyawa
Liang jiwa-nyawa saling berganti. Dia rapatkan

Dirinya pada Chairil makin sehati;
Hilang secepuh segan, hilang secepuh cemas
Hiduplah Miratdan Chairil dengan deras,
Menuntut tinggi tidak setapak berjarak
Dengan mati.
                                                            1949


            BUAT NYONYA N.

Sudah terlampau puncak pada tahun yang lalu.,
Dan kini dia turun ke rendahan datar.
Tiba di puncak dan dia sungguh tidak tahu,
Burung-burung asing bermain keliling kapalnya
Dan buah-buah hutan ganjil mencap warna pada gaun.

Sepanjang jalan dia terkenang akna jadi Satu
Atas puncak tinggi sendiri
Berjubah angin, dunia di bawah dan lebih dekat kematian
Tapi hawa tinggl hampa, tiba di puncak dia sungguh tidak tahu

Jalan yang dulu tidak akan ida tempuh lagi,
Selanjutnya tidak ada burung-burung asing, buah pandan ganjil

Turun terus. Sepi.
Datar-lebar-tidak bertepi.


AKU BERKISAR ANTARA MEREKA


Aku berkisar antara mereka sejak terpaksa
Bertukar rupa di pinggir jalan, aku pakai mata
mereka
pergi ikut mengunjungi gelanggang bersenda:
kenyataan-kenyataan yang didapatnya.
(bioskop Capitol putar film Amerika,
lagu-lagu baru irama mereka berdansa)
Kami pulang tidak kena apa-apa
Sungguhpun Ajal macam rupa jadi tetangga
Terkumpul di halte, kami tunggu trem dari kota
Yang bergerak di malam hari sebagai gigi masa.
Kami, timpang dan pincang, negatip dalam janji
juga
Sendarkan tulang belulang pada lampu jalan saja,
Sedang tahun gempita terus berkata.
Hujan menimpa. Kami tunggu trem dari kota.
Ah hati mati dalam malam ada doa
Bagi yang baca tulisan tanganku dalam cinta
mereka
Semoga segala sypilis dan segala kusta
(Sedikit lagi bertambah cerita bom atom pula)
Ini buktikan tanda kedaulatan kami bersama
Terimalah duniaku antara yang menyaksikan bisa
Kualami kelam malam dan mereka dalam diriku
pula.
                                                                                1949

YANG TERAMPAS DAN YANG PUTUS*

Kelam dan angin lalu mempesiang diriku,
menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin,
malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu
Di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin
Aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang
dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;
tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang
Tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku
                                                            1949
*) Versi NA


DERAI-DERAI CEMARA*

Cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam
Aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini
Hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah
                                                            1949
AKU BERADA KEMBALI*

Aku berada kembali. Banyak yang asing:
air mengalir tukar warna, kapal-kapal, elang-elang
Serta mega yang tersandar pada khatulistiwa lain;
rasa laut telah berubah dan kupunya wajah
juga disinari matari
lain.
Hanya
Kelengangan tinggal tetap saja.
Lebih lengang aku di kelak-kelok jalan;
lebih lengang pula ketika berada antara
yang mengharap dan yang melepas.
Telinga kiri masih terpaling
ditarik gelisah yang sebentar-sebentar seterang
guruh.

                                                            1949
*) semula sajak ini tanpa judul


SAJAK – SAJAK SADURAN


            KEPADA PEMINTA-MINTA

Baik, baik, aku akan menghadap Dia
Menyerahkan diri dan segala dosa
Tapi jangan tentang lagi aku
Nanti darahku jadi beku

Jangan lagi kamu bercerita
Sudah tercacar semua di muka
Nanah meleleh dari muka
Sambil berjalan kau usap juga
                                                          
Bersuara tiap kaumelangkah
Mengerang tiap kaumemandang
Menetes dari suasana kaudatang
Sembarang kaumerebah

Mengganggu dalam mimpiku
Menghempas aku di bumi keras
Di bibirku terasa pedas
Mengaum di telingaku

Baik, baik, aku akan menghadap Dia
Menyerahkan diri dan segela dosa.
Tapi jangan tentang lagi aku
Nanti darahku jadi beku.
                                                Juni 1943

            KRAWANG-BEKASI

Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi
Tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami
Terbayang kami maju dan berdegap hati?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu
Kenang, kenanglah kami
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa
Kami sudah beri kami punya jiwa
Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu jiwa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan dan harapan
Atau tidak untuk apa-apa
Kami tidak tahu, kami tidak bisa lagi berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang-kenanglah kami
Menjaga Bung Karno
Menjaga Bung Hatta
Menjaga Bung Syahrir
Kami sekarang mayat
Berilah kami arti
Berjagalah terus di garsi batas pernyataan dan impian
Kenang-kenanglah kami
Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi

                                                            1948




_______________

 Sumber :

 http://rahmatnawisiregar.wordpress.com/2012/11/02/sajak-sajak-chairil-anwar-1942-1949-kumpulan-semua-puisi-chairil-anwar/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar