Transformasi Sastra Indonesia
Oleh Sides Sudyarto DS
Sejarah sastra Indonesia bisa dipetakan dalam dua gelombang. Gelombang Pertama adalah era sastra Indonesia yang belum mengenal Theory of Creative Writing (TCW), Teori Menulis Kreatif. Era kedua, adalah Gelombang Sastra Indonesia setelah mengenal Theory of Creative Writing (TCW) atau Teori Menulis Kreatif.
Masa Pra Creative Writing berlangsung dari zaman awal hingga
berabad-abad lamanya. Masa perkenalan dengan TCW baru berjalan lima
atau enam tahun berjalan. Apa beda antara Gelombang Pertama dan
Gelombang Kedua sastra Indonesia? Sastra Gelombang Pertama, yang belum
mengenal Teori Menulis Kreatif, ibarat hutan liar, yang tumbuh sendiri,
tanpa perencanaan, tanpa campur tangan manusia, tanpa proses budidaya.
Mereka, para penulis di Gelombang Pertama, hanya mengandalkan bakat
alam sebagai andalan utamanya. Kalau ada sedikit bekal tambahan, itu
adalah hasil pergaulan kaum cerdik pandai dengan sastrawan dan literaur
asing yang sudah lebih dahulu maju. Maka bisa dimengerti, bila kemudian
sastra kita tertinggal di belakang sastra lain seperti India yang punya
Tagore, Jepang yang punya Kawabata dan Kenzaburo Oe, dan China yang
punya Gao Xinjian. Sastra kita juga jauh tertinggal dibanding
negara-negara Amerika Latin yang punya Gabriel Garcia Marquez, Mario
Vargas Llosa, Isabel Allende, Carlos Fuentes, dll.
Sastra Indonesia Gelombang Kedua, di mana TCW mulai dikenal baru berlangsung sekitar lima atau enam tahun. Istilah Creative Writing
mulai dikenal dan ramai jadi bahan pembicaraan. Kemudian timbul
beberapa lembaga pendidikan (semacam kurusus) untuk mmasyarakatkan teori
Creative Writing. Namun umumnya lembaga-lembaga itu berusia pendek.
Kemudian Yayasan Rayakultura mencoba mencari jalan lain. Tidak
mengutamakan pendirian sekolah atau lembaga kursus, tetapi berupaya
memasuki sekolah-sekolah dari kota ke kota, dari daerah satu ke daerah
lain. Bentuk yang dipilih untuk menyampaikan Teori Menulis Kreatif
adalah loka karya (workshop). Selain memberikan pembekalan seputar Creative Writing,
juga disediakan ajang buat mereka berlatih berekspresi menerapkan hasil
pembelajarannya. Untuk mereka dibuka forum Lomba Menulis Cerita Remaja
(LMCR).
Paket Loka karya Menulis Kreatif dan Lomba Menulis cerita, mmungkin
para peserta untuk berbagai latihan dasar: 1. Latihan berbahasa. 2.
Latihan berkomunikasi, 3. Latihan berekspresi, 4. Latihan berimajinasi,
5. Latihan berlogika (filsafat), 6. Latihan berestetika.
Hasil Lomba Menulis yang mendapatkan dukungan penuh dari PT Rohto
Indonesia Laboratories itu sungguh di luar dugaan. Tahun Pertama LMCR
diikuti kurang lebih 4.500 naskah peserta lomba. Tahun keenam, diikuti
tidak kurang dari 8.000 judul naskhah peserta lomba. Itu jika kita
berbicara dari segi kuantitatif. Bagaimana dari segi kualitatifnya?
Setiap tahun, hasil lomba diumumkan. Karya-karya para pemenang dari
Kategori A (SLTP), Kategori B (SLTA) dan kategori C (Umum, Guru,
Mahasiswa/Dosen), dibukukan dan diedarkan secara luas. Katakanlah
sebagai semacam “laporan” kepada public teruutama masuatarakat bahasa
dab sastra Indonesia.
Tujuan penerbitan antologi itu juga dimaksudkan sebagai bukti kepada
seluruh peserta, bahwa lomba dilaksanakan secara kompetitif. Kedua, agar
bisa menjadi perhatian masyaraat sastra pada umumnya. Khususnya sebagai
bahan perbandimngan, antara menulis dengan dan yang tanpa teori Creative Writing.
Cerita pendek Musim Kesunyian karya Ai el Afif (Pemenang Nasional I, 2011) menunjukkan permaninan bahasa (language game)
yang bercorak eksperimental. Ia dengan benderang menunjukkan bahwa
kreativitas adalah berarti penguasaan manusia atas bahasa. Sebab bahasa
untuk manusia, dan bukan manusia untuk bahasa. Kebebasan kata-kata
adalah satu nonsense. Kata bukanlah milik kata itu sendiri.
Dalam bentuknya yang paling purba pun, kebebasan kata adalah kebebasan
manusia itu sendiri.
Dari segi isi fiksi, Afifi tidak menyuguhkan hal-hal yang
konvensional duniawi. Ia mencoba menunjukkan, adanya andil manusia
sebagai subjek dalam setiap kejadian yang disebut takdir. Di sini Ai El
Afif tidak menggelar isi ceritanya di atas ranah realisme. Ia bermain di
adatas dataran surealisme yang nyaris abstrak.
Pemenang Nasional Kedua, Attar, karya Afifah Afra, adalah
satu karya yang merupakan hasil renungan kontemplatif, antara tragedi
erupsi Merapi, dengan krisis harga diri yang melanda umat manusia. Attar, manusia muda yang bergabung menjadi relawan tak resmi, terjun ke tengah magma untuk menyelamatkan banyak korban.
Apa gerangan motif pribadinya? Ia tidak sedang mencari karunia
semacam ‘surga’ di hari esok. Ia hanya berangkat dari keyakinannya,
bahwa manusia hidup ada harganya jika ia berarti bagi yang lain. Pilihan
lainnya: Lebih baik lenyap ketimbang hidup tidak dibutuhkan oleh
sesama. Sayangnya, Attar yakin, bahwa kalaupun ia lenyap dari kehidupan,
tidak akan ada seorang pun yang merasa kehilangan.
Ketika bencana tampak mereda, Attar pun memilih bunuh diri secara
tidak langsung.. Ia berteduh di bawah satu reruntuhan sunyi, yang saat
terjadi getaran gempa ulang menindihnya dan menamatkan hidupnya. Ia
terlalu yakin, bahwa tidak akan ada orang yang merasa kehilangan atas
kematiannya. Kematian yang terlalu belia.
Ternyata Attar salah. Setelah ia lenyap kehilangan eksistensinya, dua
ihak menangisinya, karena merasa sangat kehilangan. Pertama seorang
gadis jelita yang sia-sia menemukannya. Kedua, sebuah pohon trembesi
raksasa, yang dalam kisah itu mejadi sorang narrator yang sangat piawai.
Pemenang Nasional Ketiga, di bawah judul Pada Petak Garam,
memberikan kepada kita sebuah analisis kimia plus theologi yang akrab
dengan filsafat manusia. Sehingga kita pun jadi sadar, bahwa garam bukan
hanya sekadar barang tambang, tetapi ia dalah satu eksistensi
tersendiri yang jarang dan sulit dipahami. Garam mungkin sama murahnya
dengan air tetapi manusia lenyap dari muka bumi tanpa garam dan laut.
Pertanyaannya, apaah laut yang menciptakan garam? Atau, apakah laut
masih ada artinya tanpa garam dalam kandungannya? FX Wigbertus L Halan,
penulis cerpen ini, menyadarkan kita secara sontak, garam di lemari
dapur kita adalah hasil peristiwa ajaib antara kehendak alam dan restu
Illahi.
Transformasi sastra Indonesia mungkin tidak akan berjalan mulus dan
lancar. Seperti biasa, setiap perubahan pasti akan menghadapi
resistensi. Banyak pihak yang menentang masuknya Teori Menulis Kreatif.
Mereka mengira, menulis itu tidak memerlukan pengetahuan atau teori
sebagai pendudungnya. Tetapi transformasi telah dimulai. Tidak mungkin
surut. Menoleh kepada negara-negara maju, kaum pengarang yang namanya
sudah dan sedang mendunia, adalah mereka sastrawan yang menguasai Theory Creative Writing.
Sesuai hukum sejarah, penulis lama akan memasuki masa senjanya, penulis
baru akan terbit bersama fajar transformasi sastra Indonesia. ***
_______________
Sumber : http://www.rayakultura.net/transformasi-sastra-indonesia/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar