oleh Saut Situmorang
Dalam sebuah tulisan di Media Indonesia Minggu beberapa
waktu yang lalu yang, konon, dimaksudkannya sebagai “tanggapan” atas
esei saya tentang relasi antara karya sastra dan politik ekstra-literer
sastra, seorang Hudan Hidayat membuat sebuah klaim bahwa sebenarnya
tidak ada hubungan pengaruh-mempengaruhi antara “keberhasilan” sebuah
karya sastra dengan faktor-faktor ekstra-literer di luar teks karya
dimaksud. Bagi Hudan, hanya ada satu hal saja yang menentukan
baik-tidaknya, berhasil-tidaknya, sebuah karya sastra, yaitu apa yang
dinamakannya sebagai “substansi” sastra karya itu sendiri. Ironisnya,
Hudan sendiri kayaknya tidak menganggap “substansi” sastra yang
dijagokannya itu cukup penting nilainya ternyata sehingga dia lupa untuk
menjelaskan apa sebenarnya yang dimaksudkannya dengan istilah tersebut
kepada pembaca tulisannya itu. Atau apa dia mungkin memang tidak
mengerti apa yang sedang dibicarakannya makanya tak mampu untuk
menjelaskannya?
Dalam dunia sastra Indonesia para pengarang berbakat alam seperti
Hudan Hidayat sangat yakin bahwa apa yang mereka sebut sebagai
“substansi” sastra, yang sifatnya universal, bebas-nilai (apolitis), dan
abadi, itu memang ada dan merupakan satu-satunya faktor penentu
baik-tidaknya, berhasil-tidaknya, sebuah karya sastra menjadi sebuah
karya sastra. Contoh yang paling sering saya alami adalah menerima
pernyataan “Buktikanlah dengan karya!” setiap kali saya berusaha
mendongeng tentang pentingnya menyadari politik sastra yang mempengaruhi
sastra di manapun terutama di Indonesia, seolah-olah apa saja karya
yang mereka produksi memang secara otomatis sudah sangat penting
nilainya bagi sejarah sastra. Ada sementara dari para pengarang romantik
ini memakai istilah lain untuk maksud yang sama, yaitu “sublim”. Sebuah
puisi yang menjadi, misalnya, adalah sebuah puisi yang “sublim”, kata
mereka. Tapi, lagi-lagi, para pengarang bakat alam yang romantik ini
selalu lupa untuk mengelaborasi arti dari istilah pseudo-filosofis
tersebut, atau paling tidak menunjukkan contoh karya-karya sastra mana
yang “sublim” itu dan kenapa karya-karya itu “sublim”.
Bagi para pengarang yang tidak berbakat alam – jumlah mereka sangat
sedikit di Indonesia – istilah “kanon sastra” tentu bukan merupakan
sebuah istilah eksotis-filosofis kayak “substansi” sastra atau sastra
“sublim”. Kanon adalah sekelompok karya yang, minimal, selalu ada dalam
kurikulum pengajaran sastra di sekolah dan perguruan tinggi. Sebuah
karya yang bisa masuk jadi anggota kanon sastra tentu saja akan
terangkat reputasi sastranya, dan pengarangnya, dalam hierarki kelas
“kedahsyatan” artistik dalam sejarah sastra. Dan bisa dipastikan akan
terus menerus dicetak-ulang sekaligus dibahas-ulang dalam skripsi, tesis
dan disertasi.
Tentu saja semua pengarang ingin semua karyanya bisa masuk dalam
kanon sastra, paling tidak sebuah bukunya. Tapi kenyataannya cuma
segelintir saja pengarang yang bernasib mujur begini. Ketidakmujuran
nasib banyak pengarang dalam peristiwa kanonisasi sastra inilah yang
menimbulkan pertanyaan: Kok karya S Takdir Alisjahbana bisa masuk kanon sementara cerita silat Kho Ping Hoo nggak? Kenapa puisi Goenawan Mohamad, bukan Saut Situmorang? Masak cerpen Seno Gumira Ajidarma masuk tapi cerpen Hudan Hidayat kagak?
Apakah karena cerpen Seno punya “substansi” sementara cerpen Hudan cuma
begitu-begitu aja? Puisi Goenawan Mohamad “sublim” tapi Saut Situmorang
cuma bermain-main dengan intertekstualitas dan tidak tertarik pada
“kedalaman” simbolisme pasemon puitis? Apa sebenarnya yang menjadi
“kriteria” dalam seleksi kanon (canon formation)? Apakah
“substansi” sastra atau “sublimitas” sastra seperti yang diyakini Hudan
Hidayat dan para pengarang bakat alam lainnya itu? Apakah estetika
satu-satunya standar dalam menilai mutu karya? Kalau benar, lantas
apakah “estetika” itu? Adakah karya sastra yang an sich
benar-benar “dahsyat” dan “universal”? Apakah karya sastra itu memang
otonom, bebas nilai, tidak tergantung pada hal-hal di luar dirinya untuk
menentukan baik-buruk mutunya? Atau ada hal-hal lain di luar teks karya
– mulai dari komentar para “pengamat” sampai ekspose di media massa
atas sosok sang pengarang – yang menjadi faktor dominan dalam
terpilih-tidaknya sebuah karya sastra menjadi anggota kanon sastra?
Pertanyaan-pertanyaan cerewet seperti ini sudah waktunya diumumkan
dalam dunia sastra kontemporer Indonesia karena kondisi sastra Indonesia
saat ini sudah mencapai titik dekadensi yang mengkhawatirkan. Absennya
tradisi kritik sastra yang kuat dan mapan seperti dalam sastra-sastra
nasional di peradaban Barat telah mengakibatkan apa yang saya sebut
sebagai “anarkisme interpretasi dan evaluasi” merajalela dalam sastra
Indonesia di mana orang-orang yang sama sekali tidak memiliki
kualifikasi atau latar belakang pendidikan akademis ilmu sastra merasa
tidak ada persoalan sama sekali untuk mempublikasikan komentar-komentar
mereka yang mereka klaim sendiri sebagai “kritik sastra”, walau
komentar-komentar mereka tersebut tidak memiliki prosedur interpretasi
dan evaluasi yang menjadi ciri-khas kritik sastra di mana-mana. Akses
media-massa cetak seperti koran nasional terbitan Jakarta yang relatif
mudah membuat komentar-komentar para pseudo-kritikus ini mendominasi
lalulintas “opini publik” tentang sastra dan berakibat terjadinya
distorsi-arti tentang apa itu sebenarnya yang dimaksud dengan
“kritik(us) sastra”. Akibatnya terjadilah penciptaan kanon sastra dalam
sastra kontemporer Indonesia yang sama sekali tidak merefleksikan
realitas sebenarnya dari apa yang kita kenal sebagai sastra Indonesia
itu, seperti pada kasus “sastra koran” yang merupakan hasil dari
pemuatan sajak dan cerpen di koran-koran hanya melalui seleksi seorang
redaktur rubrik “Sastra” yang nota bene cuma seorang wartawan
biasa dari koran-koran tersebut. Nama dari rubrik koran (-koran)
tersebut, biasanya “Sastra” atau “Seni” atau “Budaya”, dianggap sudah
sah sebagai jaminan bahwa tulisan-tulisan yang dimuat di situ adalah
memang karya sastra, atau minimal punya nilai sastra.
***
Istilah “kanon”, atau “canon” dalam bahasa Inggrisnya, berasal dari kata bahasa Junani Kuno, yaitu kanon,
yang berarti sebuah “buluh” atau sebuah “tongkat” yang dipakai sebagai
alat pengukur. Istilah ini di kemudian hari memiliki makna tambahan
yaitu “peraturan” atau “hukum” dan makna ini yang akhirnya menjadi makna
utamanya dalam bahasa-bahasa modern Eropa. Dalam konteks kritik sastra,
istilah “kanon” menjadi sebuah istilah penting setelah dipakai di abad 4
M dalam merujuk ke daftar teks atau pengarang, khususnya buku-buku yang
akhirnya menjadi kitab suci agama Kristen yaitu Alkitab atau Bibel dan
para theolog awal agama tersebut. Di sini istilah “kanon” memiliki arti
sebagai sebuah prinsip seleksi atas pengarang-pengarang tertentu mana
atau teks-teks tertentu mana yang dianggap lebih pantas untuk
dilestarikan dibanding yang lainnya. Teks-teks dan pengarang-pengarang
yang gagal masuk kanon Bibel tersebut (disebut “apokrifa” dalam tradisi
Kristen) tidak berhasil karena alasan dogma: para pemimpin agama Kristen
awal harus memutuskan “ajaran-ajaran” mana yang harus diajarkan kepada
para pengikutnya. Para pembuat kanon Bibel di awal
berkembangnya agama
Kristen ini tidak begitu peduli dengan “keindahan” teks-teks yang mereka
pilih atau sifat universalitasnya. Yang paling penting bagi mereka
adalah bahwa teks-teks tersebut “sesuai” dengan standar komunitas
mereka, atau dengan “peraturan/hukum” mereka. Tujuan utama mereka lebih
kepada memisahkan mana yang ortodoks dan mana yang bidah.
Dalam konteks sastra banyak kritikus sastra di luar Indonesia yakin
bahwa seleksi atas karya-karya sastra untuk “kanonisasi” – yaitu
karya-karya yang disebut sebagai karya “klasik” itu – terjadi sama
seperti pada kanon Bibel. Para kritikus ini yakin bahwa di balik
pretensi “objektivitas” penilaian mutu karya terdapat sebuah agenda
politik terselubung, yaitu eksklusi atas banyak kelompok dari
representasi dalam kanon sastra. Sebuah contoh yang paling sering
disebutkan adalah fakta lebih sedikitnya jumlah sastrawan (jenis
kelamin) perempuan dalam kanon sastra. Atau begitu sedikitnya jumlah
pengarang non-Eropa (bukan kulit putih) dalam kanon sastra berbahasa
Inggris, misalnya. Pertanyaan-pertanyaan yang selalu diajukan adalah
apakah karya para sastrawan yang tidak masuk kanon sastra ini –
sastrawan perempuan dan sastrawan bukan kulit putih – memang lebih
rendah mutunya dibanding karya-karya kanon? Bagaimana menentukan
tinggi-rendahnya “mutu” sastra? Apa itu “mutu” sastra?
***
Di sastra Indonesia persoalan “mutu” sebuah karya sastra selalu
dikaitkan dengan sifat “universalitas” yang dianggap dimiliki oleh
sebuah karya yang “bermutu”. Sebuah karya yang dianggap “bermutu” tinggi
pasti juga akan “universal” pengakuan atas “mutu” yang dimilikinya itu.
Perbedaan konteks budaya dianggap tidak berlaku atas sebuah karya yang
“bermutu”. “Mutu” sebuah karya berbanding lurus dengan “universalitas”
pengakuan atasnya, demikianlah keyakinan para sastrawan semacam Hudan
Hidayat, misalnya. “Mutu” itu sendiri sangat diyakini sudah inheren
dimiliki oleh setiap karya sastra yang dianggap “berhasil”. Inilah
sebenarnya yang dimaksudkan oleh para pengarang bakat alam yang romantik
itu sebagai “substansi” atau “sublimitas” karya sastra.
Seperti yang sudah saya singgung di atas, kalau memang benar bahwa
“substansi” sastra itu ada dan keberadaannya tidak dipengaruhi sama
sekali oleh faktor-faktor dari luar teks sastra, maka bagaimana,
misalnya, menjelaskan tentang “kegagalan” para sastrawan dunia seperti
Maxim Gorky, Vladimir Mayakovsky, James Joyce, DH Lawrence, Virginia
Woolf, Ezra Pound, Bertolt Brecht, George Orwell, Paul Eluard, Jorge
Luis Borges… sampai Pramoedya Ananta Toer untuk “memenangkan” Hadiah
Nobel Sastra, hadiah sastra paling bergengsi di planet ini? Apakah
“substansi” karya sastra mereka lebih buruk “sublimitas”nya dibanding
para sastrawan pemenang Nobel Sastra? Atau seperti yang pernah
dipertanyakan oleh sastrawan Eksistensialis Prancis, Jean-Paul Sartre,
waktu menolak menerima Hadiah Nobel Sastra 1964 yang “dimenangkan”nya:
Dari semua pemenang Hadiah Nobel Sastra asal Uni Soviet, kenapa
sastrawan yang menentang Partai Komunis Uni Soviet yang lebih banyak
mendapat Hadiah Nobel Sastra? (Kasus Sartre sendiri unik. Sebenarnya
yang seharusnya mendapat Hadiah Nobel Sastra untuk tahun 1964 itu adalah
penyair Komunis asal Chile, Pablo Neruda. Tapi “status” Neruda sebagai
anggota Komite Sentral Partai Komunis Chile dan bahwa Neruda pada tahun
1953 dianugrahi Hadiah Stalin untuk puisinya telah membuat badan
intelijen Amerika Serikat CIA panas-dingin dan melalui lembaga
“kebudayaan” yang dibentuknya pada 1950 dalam Perang Dingin melawan Uni
Soviet, yaitu “Congress for Cultural Freedom”, telah berhasil
mempengaruhi Panitia Nobel untuk tidak memilih Neruda tahun 1964 itu.
Ironisnya, Sartre yang “dimenangkan” Panitia Nobel justru menolak
menerima Nobelnya! (lihat: Who Paid the Piper? The CIA and the Cultural Cold War (Granta Books, 2000) karya Frances Stonor Saunders)
Di dunia ini intelektual manakah yang belum pernah mengenal penyair
Inggris bernama William Shakespeare? Walaupun belum tentu pernah membaca
karya aslinya, tapi setiap orang yang menganggap dirinya berbudaya
pasti akan mengaku pernah mendengar nama sastrawan yang hidup di paroh
kedua abad 16 Inggris ini. Justru di sinilah persoalannya. Karya-karya
Shakespeare tidak dibaca luas tapi keuniversalan namanya fenomenal.
Mungkin Shakespeare adalah contoh dari sastra yang punya “substansi” dan
“sublim” itu. Tapi benarkah karya-karya Shakespeare yang terbaik
sekalipun memang secara “estetika” sempurna tidak bercacat? Munculnya
apa yang dikenal sebagai Teori Sastra Pascakolonial sebagai akibat
terbitnya buku Orientalisme (1978) karya pengarang kelahiran
Palestina, Edward Said, telah menyebabkan terjadinya “pembacaan-ulang”
atas para sastrawan kanon Barat termasuk Shakespeare. Dan hasilnya:
Shakespeare ternyata adalah seorang sastrawan rasis dalam karya-karyanya
yang tokoh-tokohnya berkulit berwarna, seperti The Merchant of Venice (1596), Othello (1604), dan The Tempest (1611).
Hal yang sama terjadi juga atas Joseph Conrad, yang dianggap salah
seorang novelis terbesar Inggris. Karya-karya bekas pelaut kelahiran
Polandia ini banyak mengambil setting cerita di negeri-negeri
yang pernah dia singgahi seperti Afrika, Indonesia dan Amerika Latin.
Sebuah novel pendeknya yang dianggap salah satu novel terdahsyat dalam
bahasa Inggris yaitu Heart of Darkness (1902) yang bersetting
di pedalaman Afrika di tepi Sungai Kongo dicaci-maki dengan keras oleh
novelis besar Afrika, Chinua Achebe, sebagai sebuah novel jelek karena
sangat rasisnya dalam menggambarkan orang-orang Afrika. Beberapa novel
lain Conrad seperti Almayer’s Folly (1895) dan Lord Jim
(1900) mengambil latar cerita di Kalimantan dan Jawa periode
kolonialisme Belanda. Tentu akan menarik sekali untuk mengetahui
bagaimana reaksi pembaca kontemporer Indonesia asal Kalimantan dan Jawa
dalam menanggapi penggambaran orang-orang lokal kedua daerah tersebut
dalam kedua novel Conrad itu.
Di Indonesia sendiri kita juga memiliki banyak contoh dari terjadinya apa yang saya sebut sebagai politik kanonisasi sastra
ini. Seperti nama William Shakespeare di dunia internasional, di
Indonesia siapakah intelektual kita yang tidak pernah mendengar nama
Pramoedya Ananta Toer! Bagi mereka yang serius membaca karya sastra
Indonesia akan mengerti bahwa dari keseluruhan fiksi yang pernah ditulis
dan dipublikasikan oleh Pram (ataupun oleh para novelis Indonesia
lainnya) maka seri-novel yang dihasilkannya selama menjalani
hukuman-tanpa-pengadilan rejim Orde Baru di Pulau Buru yang terkenal
dengan nama Tetralogi Buru itu (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca) merupakan karya terbaik Pram dan karya terbaik dalam sejarah sastra Indonesia. Justru karena Tetralogi Buru
inilah nama Pram berkali-kali masuk dalam nominasi pemenang Hadiah
Nobel Sastra. Tapi apa yang terjadi dengan seri-novel ini di Indonesia
sendiri? Kita semua tahu karena sudah menjadi pengetahuan umum bahwa Tetralogi Buru
dilarang di Indonesia! Selama rejim militer Suharto berkuasa, siapa
saja yang ketahuan memiliki satu saja dari keempat novel Pram ini maka
pasti akan ditangkap dan dimasukkan penjara sebagai seorang subversif.
Setelah rejim Suharto jatuh dan tidak berkuasa lagi, publikasi dan
pemilikan atas Tetralogi Buru tidak lagi mengakibatkan
penangkapan dan pemenjaraan tapi larangan atasnya tetap berlaku.
Larangan yang masih terus berjalan itu adalah larangan untuk
mempelajarinya secara formal di sekolah dan perguruan tinggi. Kalau kita
tanya apa yang membuat Tetralogi Buru harus dilarang padahal
keempat novel itu merupakan sebuah gugatan kritis seorang sastrawan
Indonesia atas (sejarah) kolonialisme Belanda di Indonesia, maka jawaban
klise yang terus menerus didaur-ulang/direproduksi oleh penguasa
Republik ini adalah bahwa pengarangnya seorang Komunis. Kalau kita tanya
lagi apa bukti Pram itu seorang Komunis, maka jawabannya… tidak ada
jawaban! (Kita, misalnya, masih belum bertanya soal apa sebenarnya salah
Komunis dalam sejarah Indonesia! Atau, apa sebenarnya Komunis itu
sehingga segala sesuatu yang berhubungan dengannya dilarang di negeri
komunal dan gotong royong ini.) Dari Kasus Pram ini kita bisa melihat
betapa eksistensi sebuah teks sastra sangat dipengaruhi oleh
faktor-faktor di luar teks baik dalam publikasi maupun resepsi atasnya.
Contoh lain adalah reputasi majalah sastra Horison selama
masih dengan sangat aktif dieditori oleh HB Jassin, tokoh legendaris
yang dianggap sebagai Paus Sastra Indonesia itu. Bagi para sastrawan
Indonesia yang masih waras otaknya pada periode yang saya maksudkan
(terutama pada tahun 1970an), apalagi yang baru mulai menulis sastra,
dimuatnya karya di Horison adalah setara dengan memenangkan
Hadiah Nobel Sastra bagi sastrawan dunia. Sebuah pencapaian
“artistik/estetik” yang paling tinggi! Sebuah pengakuan legitimasi gelar
kesastrawanan! Makanya pemberian gelar mentereng “Paus Sastra
Indonesia” tadi kepada Jassin! Selera HB Jassin menentukan
bermutu-tidaknya karya sastra Indonesia pada zamannya. Bisa dikatakan HB
Jassin bukan cuma “Paus Sastra Indonesia” tapi justru Sastra Indonesia
itu sendiri! Tak ada “sastra(wan)” Indonesia di luar HB Jassin! Hanya
mereka yang menulis novel pop, cerpen pop dan lirik lagu pop saja yang
tidak peduli pada keangkeran nama Horison dan HB Jassinnya.
Makanya hanya karya-karya apolitis yang eksperimental secara
formal/bentuk (walau isinya biasa-biasa saja malah cenderung
konservatif) yang menjadi kanon sastra Indonesia, seperti fiksi Danarto,
Putu Wijaya dan Budi Darma atau puisi Sutardji Calzoum Bachri. Karena
eksperimentasi dalam bentuk merupakan “estetika” kaum humanis universal,
kaum Manikebuis, yang direpresentasikan oleh sosok Jassin ini. Karena
dunia teater Indonesia sangat dipengaruhi sastra Indonesia, maka efek
Jassinisne ini juga merebak ke teater Indonesia dan jadi kanon teater
pulalah para sastrawan Horison seperti Putu Wijaya dan Arifin C Noor.
***
Di sastra Indonesia kita bisa melihat peristiwa pembentukan kanon
sastra ini dengan sangat jelas, bahkan bisa dikatakan sejak “lahirnya”
apa yang kita kenal sebagai “Sastra Indonesia” itu ― sebuah sastra
nasional yang memakai bahasa Indonesia sebagai bahasa ekspresinya ― di
awal abad 20 lalu sampai sekarang, sastra Indonesia adalah sebuah sastra
nasional yang sangat didominasi oleh apa yang saya sebut sebagai
“politik kanonisasi sastra”.
Institusi formal sastra pertama yang melakukan politik kanonisasi
sastra adalah Balai Pustaka. “Bahasa” merupakan isu utama yang dijadikan
“Kantor Bacaan Rakyat” yang didirikan pemerintah kolonial Belanda pada
tahun 1908 ini sebagai alasan untuk mengkategorikan sebagai “bacaan
liar” karya-karya yang tidak diterbitkannya! Yaitu karya-karya fiksi
yang ditulis dalam apa yang disebut oleh para pejabat Balai Pustaka
sendiri sebagai bahasa “Melayu Rendah”, yang kebanyakan dikarang para
pengarang Indo dan Cina-Peranakan dan yang dipublikasikan di koran-koran
berbahasa Melayu sebagai cerita bersambung. “Bacaan liar” ini tidak
diakui sebagai karya sastra “tinggi/serius” karena bahasanya dianggap
tidak memenuhi standar institusi kolonial tersebut, yang pada waktu itu
sedang gencar mempromosikan bahasa Melayu Riau sebagai bahasa Melayu
“tinggi”.
Isu kedua berhubungan dengan “isi” karya-karya “bacaan liar”
tersebut. Banyak dari karya-karya dalam bahasa “Melayu Rendah” ini,
seperti genre “Fiksi Nyai-Tuan” misalnya, diklasifikasikan sebagai
“kurang pantas” atau “murahan” karena menceritakan hubungan “Nyai-Tuan”,
yaitu hubungan seksual di luar nikah, makanya dianggap “cabul”. Yang
lebih parah lagi, dalam pandangan Balai Pustaka, beberapa karya fiksi
“Nyai-Tuan” tersebut memiliki tokoh laki-laki Eropa yang jahat atau
unsur-unsur teks lain yang dianggap “sensitif”, walau kritik atas
realitas kolonialisme itu sendiri absen sama sekali.
Efek dari politik kanonisasi sastra Balai Pustaka ini bisa kita lihat
pada anggapan umum sampai saat ini dalam dunia sastra Indonesia bahwa
“Angkatan Balai Pustaka” merupakan “angkatan pertama” dalam sejarah
sastra Indonesia dan “Fiksi Balai Pustaka” pun (seperti Sitti Nurbaya, Salah Asuhan, dan Layar Terkembang)
dianggap karya-karya kanon klasik sastra Indonesia sementara
karya-karya “bacaan liar” nyaris tak dikenal sama sekali sampai beberapa
tahun terakhir ini.
Politik kanonisasi sastra dalam bentuk “menghilangkan dengan sengaja”
karya-karya sastra yang pernah ditulis dan dipublikasikan dalam sastra
Indonesia seperti yang dilakukan institusi kolonial bernama Balai
Pustaka di atas terjadi dengan sangat memprihatinkan sejak terjadinya
peristiwa G-30-S pada tahun 1965. Sangat memprihatinkan karena dilakukan
bukan oleh sebuah lembaga asing yang menjajah Indonesia tapi oleh para
sastrawan Indonesia sendiri!
Ideologi estetika “Politik sebagai Panglima” selalu dituduhkan oleh
para sastrawan Manikebu/Horison sebagai ideologi kesenian khas sastrawan
Lembaga Kebudayaan Rakyat atau Lekra, tapi dalam prakteknya terutama
setelah berkuasanya rejim pemerintahan diktator militer Jendral Suharto
yang menyebut dirinya “Orde Baru” itu ternyata dilakukan juga oleh para
sastrawan Manikebu/Horison, bahkan lebih intens lagi. Contoh klasik
adalah esei HB Jassin berjudul “Bangkitnya Satu Generasi” yang merupakan
semacam penjelasan editorial atas penerbitan buku Angkatan 66 karya Jassin sendiri itu, sebuah buku yang ingin membuktikan bahwa sebuah angkatan terbaru
sastra Indonesia telah lahir di sekitar peristiwa lahirnya rejim
politik baru bernama “Orde Baru” yang menggantikan rejim pemerintahan
Sukarno yang sekarang disebut sebagai “Orde Lama” itu. Lahirnya
“Angkatan 66” tersebut oleh Jassin disetarakan latar-belakang kondisi
“sosial-politiknya” dengan kelahiran “Angkatan 45”, yang juga merupakan
ciptaan Jassin sendiri. Dalam eseinya tersebut terlihat betapa politisnya Jassin dalam poin-poin yang diklaimnya menjadi ciri-khas angkatan terbarunya itu dan dalam seleksi who’s who para sastrawan Angkatan 66 yang diproklamasikannya itu. Jassin misalnya menyatakan bahwa:
Kini, dalam tahun 1966, di Indonesia terjadi suatu peristiwa yang
penting. Peristiwa yang melahirkan angkatan yang menyebut dirinya
Angkatan 66. Ialah pendobrakan terhadap kebobrokan yang disebabkan oleh
penyelewengan negara besar-besaran, penyelewengan yang membawa ke jurang
kehancuran total. Sebagaimana Chairil Anwar berontak terhadap
penjajahan Jepang dalam tahun 1943 dengan “Aku ini binatang jalang dari
kumpulannya terbuang”, kitapun menyaksikan satu ledakan pemberontakan
dari penyair, pengarang dan cendekiawan, yang telah sekian lama dijajah
jiwanya dengan slogan-slogan yang tidak wajar dan tidak sesuai dengan
kepribadian bangsa. Tokoh-tokohnya ada pula, tokoh-tokoh yang menjadi
matang dalam pergolakan.
Kalau kita baca baik-baik kutipan dari esei Jassin di atas maka akan
terlihat ada beberapa persoalan besar dalam klaim-klaim sejarah yang
dibuatnya sebagai pembenaran untuk menerima keberadaan “Angkatan 66”-nya
itu.
Pertama tentu saja diksi yang dipakainya secara hiperbolis seperti
“pendobrakan terhadap kebobrokan”, “penyelewengan negara besar-besaran”,
“jurang kehancuran total”, “pemberontakan dari penyair, pengarang dan
cendekiawan”, “sekian lama dijajah jiwanya”, dan “slogan-slogan yang
tidak wajar dan tidak sesuai dengan kepribadian bangsa”. Bukankah Jassin
konon sedang berbicara tentang “dunia sastra” dalam eseinya itu tapi
frase-frase yang dipakainya sama sekali tidak merefleksikan apa yang
kita kenal sebagai dunia sastra itu kecuali pada anak-kalimat yang
menyinggung nama Chairil Anwar dan kutipan sajaknya yang terkenal.
Karena Jassin memang menulis tentang “sastra Indonesia” di
eseinya tersebut maka kita bisa bertanya: apakah “sastrawan” yang
melakukan “penyelewengan negara besar-besaran” itu? Penyelewengan
bagaimana yang mereka lakukan? Siapa sastrawan yang melakukannya?
Sayangnya dalam eseinya itu Jassin sama sekali tidak mampu untuk
menyebutkan penyelewengan negara kayak apa yang dilakukan sastrawan, dan
siapa nama-nama yang melakukannya.
Apa yang secara tersurat dinyatakan oleh Jassin adalah bahwa
“terdapat beberapa kumpulan sajak yang menarik perhatian selama
demonstrasi-demonstrasi terhadap pemerintah dan selama usaha-usaha untuk
mengembalikan revolusi ke dalam rel Pancasila”.
Dari kedua kutipan di atas, kita bisa menarik kesimpulan bahwa apa
yang sebenarnya dilawan oleh “Angkatan 66”-nya itu tidak bisa lain
adalah “pemerintah” yang melakukan “penyelewengan negara besar-besaran”,
karena hanya pemerintahlah yang bisa melakukan hal ini, rakyat mana
mungkin! Apa dalam sejarah manusia pernah terjadi rakyat melakukan
“penyelewengan negara besar-besaran” atau membuat “slogan-slogan yang
tidak wajar dan tidak sesuai dengan kepribadian bangsa”!
Kalau pemerintahlah yang sebenarnya melakukan “penyelewengan negara
besar-besaran” itu, lantas kenapa para sastrawan yang menjadi anggota
organisasi seni bernama Lembaga Kebudayaan Rakyat atau Lekra harus
dikambing-hitamkan dalam peristiwa “penyelewengan negara besar-besaran”
tersebut? Apa para sastrawan Lekra itu adalah juga bagian dari
pemerintah yang berkuasa? Inilah persoalan kedua dari pernyataan Jassin
yang saya kutip di atas. Jassin tidak bisa membuktikan dalam eseinya itu
kalau para sastrawan Lekra itu memang merupakan bagian dari pemerintah
yang sedang berkuasa!
Apa yang kita ketahui sekarang adalah bahwa pada periode paruh
pertama tahun 1960an terjadi “konflik ideologi berkesenian” antara dua
kelompok sastrawan Indonesia. Kedua ideologi estetika tersebut adalah
ideologi seni yang percaya bahwa seni/sastra itu bersifat historis,
sosial dan kontekstual terhadap lingkungan dari mana dia lahir yang
direpresentasikan oleh Lekra dan ideologi seni yang percaya bahwa
seni/sastra itu sebaliknya justru a-historis, a-sosial dan universal
yang direpresentasikan para sastrawan yang menandatangani maupun yang
tidak ikut menandatangani tapi menyetujui Manifes Kebudayaan. Secara singkat bisa kita katakan bahwa yang terjadi adalah konflik berkesenian antara Marxisme Lekra versus Liberalisme Manifes Kebudayaan. Dan HB Jassin adalah salah seorang penandatangan Manifes Kebudayaan yang diumumkan pada Oktober 1963 itu.
Tapi “bahasa” esei HB Jassin yang berjudul “Bangkitnya Satu Generasi”
itu sama sekali tidak menunjukkan fakta historis ini! Jassin justru
menggambarkan seolah-olah “Angkatan 66”-nya itu sama seperti “Angkatan
45” (diwakili nama “Chairil Anwar” dalam eseinya itu) memberontak
terhadap Kekuasaan Asing “yang tidak wajar dan tidak sesuai dengan
kepribadian bangsa” yang telah sekian lama menjajah jiwa Indonesia!
Apakah “tidak wajar dan tidak sesuai dengan kepribadian bangsa” kutipan
dari isi “Mukaddimah” Lekra dari tahun 1950 di bawah ini:
Lekra bekerdja chusus dilapangan kebudajaan, dan untuk masa ini
terutama dilapangan kesenian dan ilmu. Lekra menghimpun tenaga dan
kegiatan seniman-seniman, sardjana-sardjana, pekerdja-pekerdja
kebudajaan lainnja. Lekra membantah pendapat bahwa kesenian dan ilmu
bisa terlepas dari masjarakat. Lekra mengadjak pekerdja-pekerdja
kebudajaan untuk dengan sadar mengabdikan daja-tjipta, bakat serta
keahlian mereka guna kemadjuan Indonesia, kemerdekaan Indonesia,
pembaruan Indonesia.
Lekra mengandjurkan untuk mempeladjari dan memahami
pertentangan-pertentangan jang berlaku di dalam masjarakat maupun di
dalam hati manusia, mempeladjari dan memahami gerak perkembangannja
serta hari depannja. Lekra mengandjurkan pemahaman jang tepat atas
kenjataan-kenjataan di dalam perkembangan jang madju, dan mengandjurkan
hal itu, baik untuk tjara-kerdja dilapangan ilmu, maupun untuk
pentjiptaan dilapangan kesenian. Dilapangan kesenian Lekra mendorong
inisiatif, mendorong keberanian kreatif, dan Lekra menjetudjui setiap
bentuk, gaja dsb., selama ia setia kepada kebenaran dan selama ia
mengusahakan keindahan artistik jang setinggi-tingginja.
Saya sengaja mengutip “kredo kesenian” Lekra di atas dengan cukup
panjang untuk menunjukkan bahwa dalam berkesenian Lekra pun sangat
mementingkan “keberanian kreatif” dalam “setiap bentuk, gaja dsb.”
selama “setia kepada kebenaran dan selama… mengusahakan keindahan
artistik jang setinggi-tingginja”, disamping “pertentangan-pertentangan
jang berlaku di dalam masjarakat”! Jadi tidak seperti propaganda kaum
Manifes Kebudayaan selama ini yang menyatakan tanpa henti kalau Lekra
itu cuma berkesenian menurut garis Partai Komunis Indonesia belaka.
Dalam sebuah studinya yang sangat bagus tentang Lekra, kritikus
sastra Indonesia asal Australia Keith Foulcher menelusuri tradisi
penulisan anti-Kiri dalam sastra Indonesia ini ke seseorang yang,
menurutnya, bersama dengan HB Jassin merupakan pengaruh sangat penting
dalam pembentukan pemikiran tentang apa itu sastra Indonesia, yaitu A
Teeuw. Keberadaan Teeuw sebagai pengajar di Universitas Indonesia di
awal tahun 1950an (yang kemudian menghasilkan sebuah buku berjudul Pokok dan Tokoh dalam Kesusastraan Indonesia Baru yang diterbitkan pada tahun 1952) dan bukunya yang berjudul Modern Indonesian Literature,
yang pertama kali diterbitkan tahun 1967 dan kemudian diterbitkan-ulang
dalam bentuk yang diperluas pada tahun 1979, merupakan salah satu
faktor penting dalam politik kanonisasi sastra Indonesia seperti yang
kita kenal sekarang. Konsepsi tentang “humanisme universal” sebagai
sebuah prinsip kreatif dan kritik dimana “kebudayaan” dianggap bersifat
universal dan seni dan sastra diyakini sebagai a-historis dan a-sosial
dan dimana perkembangan budaya dan sastra Indonesia akan terjadi
seperti, dan harus dipahami dalam kerangka pemikiran, budaya Eropa
modern yang diproklamasikan para seniman Gelanggang dalam Surat Kepercayaan Gelanggang mereka pada Oktober 1950 merupakan konsep dasar dari politik kanonisasi sastra Indonesia ini. Manifes Kebudayaan hanyalah reinkarnasi mutakhirnya di kalangan sastrawan yang lebih muda yang disebut Jassin sebagai “Angkatan 66” itu.
Politik kanonisasi sastra yang oleh Keith Foulcher disebut sebagai
“Mazhab Teeuw-Jassin” itu adalah sebuah “humanisme universal” yang
menolak menerima tipe karya sastra yang pemahaman atasnya harus
dilakukan dalam sebuah kerangka pemahaman historis dan politis. Dalam
tradisi pemikiran seperti ini, karya sastra yang dihasilkan para
sastrawan Kiri Indonesia tidak akan pernah dianggap sebagai subjek studi
sastra yang serius. Makanya absenlah narasi tentangnya, dan
contoh-contoh karyanya, dalam sejarah sastra Indonesia modern
pasca-G-30-S/1965.
Fakta dari “politik menghilangkan dengan sengaja sebagian dari
sejarah dan produk sastra Indonesia” ini bisa kita lihat misalnya dalam
buku-buku sastra yang diterbitkan sejak mulai berkuasanya rejim Orde
Baru di Indonesia, baik dalam antologi-antologi karya yang dianggap
“penting” seperti Djakarta Dalam Puisi Indonesia, Laut Biru Langit Biru, dan Tonggak, maupun dalam buku-buku (baik kumpulan esei-lepas maupun studi khusus) yang khusus membicarakan tentang sastra Indonesia modern seperti Puisi Indonesia Modern, Sejumlah Masalah Sastra, dan Hamba-hamba Kebudayaan.
Maka absenlah sastra kita, atau sangat minimlah sastra kita dari
karya-karya yang tidak peduli pada eksperimen bentuk, karya-karya yang
mementingkan isi, karya-karya yang “terlibat” dengan persoalan
sosial-politik masyarakatnya.
Maka tidak kenallah kebanyakan kita akan karya-karya para pengarang
Lekra, para pengarang yang berbeda “estetika”, berbeda “ideologi” sastra
dari para pengarang Horison, para pengarang Manikebuis itu.
Maka rendahlah penilaian kita atas karya-karya yang Lekrais,
karya-karya yang mementingkan isi ketimbang eksperimen bentuk,
karya-karya yang “terlibat” dengan persoalan kontemporer masyarakatnya,
karya-karya yang realis.
Selama rejim militer Orde Baru Suharto berkuasa, berpolitik adalah
kata haram dalam segala kegiatan masyarakat, termasuk dalam kegiatan
sastra kita. Seni haram berpolitik karena akan mengingatkan pada periode
Polemik Lekra-Manikebu. Karena “politik bukan lagi panglima kehidupan”
termasuk kehidupan sastra, maka a-politik sekarang menjadi panglima.
Dalam konteks teks sastra, bermain-main dengan eksperimen bentuk
merupakan perwujudan paling ideal dari konsep seni apolitis ini.
Ketimbang melakukan “seni untuk kehidupan” maka sastrawan Indonesia yang
menjadi sastrawan Horison, yang menjadi kanon sastra, memilih ideologi berkesenian “seni untuk seni”, art for art’s sake, l’art pour l’art.
Dalam kata lain, “Estetisisme adalah Panglima”. Cirinya: Sastra (seni)
adalah yang paling adiluhung nilainya di antara semua produk manusia
karena otonom mandiri dan tidak mempunyai relevansi (moral dan
praktikal) dan referensi di luar dirinya sendiri. Kesempurnaan bentuk
adalah segalanya.
Fetishisme atau pemberhalaan pada (eksperimen) bentuk inilah yang
menyebabkan Dami N Toda dengan sangat terkenal membaptis Sutardji
Calzoum Bachri sebagai setara dengan Chairil Anwar dalam kebesarannya,
yaitu dengan membuat pernyataan metaforis “kalau Chairil adalah mata
kanan, maka Sutardji adalah mata kiri puisi Indonesia”. (Saut Situmorang
mungkin cuma jerawat puisi Indonesia!) Makanya dianggap tidak sedahsyat
“eksperimen bentuk” puisi-mantra Sutardji-lah pencapaian epik Rendra
dalam Blues untuk Bonnie yang dipublikasikannya dalam periode yang sama dengan sajak-sajak Sutardji!
Inilah “tradisi” kritik sastra Indonesia selama rejim militer Orde
Baru Suharto berkuasa. Selama rejim sastra apolitis Horison Manikebu
berkuasa. Inilah zaman keemasan ideologi estetisisme dalam sejarah
sastra Indonesia. Inilah ideologi politik kanonisasi sastra Indonesia.
Dan efeknya masih terus dengan kuat mencengkram isi kepala para
sastrawan Indonesia sampai sekarang ini! Buktinya adalah keyakinan para
sastrawan bakat alam kita seperti Hudan Hidayat seperti yang saya
singgung di awal esei saya ini: bahwa sastra itu otonom, bebas nilai,
hanya tergantung pada “substansi”nya saja untuk menjadi baik atau buruk,
dan universal. Seperti yang sudah saya buktikan di atas, politik
kanonisasi sastra kita selama berkuasanya rejim sastra Horison Manikebu
tidak seobjektif, senetral seperti yang disiratkan ideologi estetisisme
Hudan Hidayat di atas. Politik seleksi sangat mempengaruhi
diakui-tidaknya sebuah karya sastra sebagai karya yang berhasil atau
bermutu. Sosok HB Jassin sebagai standar selera utama rejim sastra
Horison Manikebu telah mengakibatkan hilangnya pluralitas “estetika” dan
mendominasinya sastra non-realis dalam sastra kontemporer kita.
Makanya mendominasilah saat ini apa yang oleh media massa disebut
sebagai “Sastrawangi”. Sastra yang ditulis oleh perempuan-perempuan muda
yang konon juga cantik menurut media massa tersebut dan yang cuma
bicara tentang apa-apa saja yang dilakukan oleh para perempuan muda yang
konon juga cantik menurut media massa. Seksualitas, konon, adalah isu
yang paling menghantui kepala-kepala jelita para perempuan muda urban
Indonesia, para perempuan muda yang konon berpendidikan tinggi dan
mandiri secara ekonomi. Seksualitas dalam prosa para Sastrawangi ini
bahkan diklaim merupakan aksi pembebasan dari penindasan yang dialami
perempuan Indonesia yang terkutuk hidup dalam masyarakat patriarkal
bernama Indonesia. Tubuh adalah Jalan Keselamatan Perempuan Indonesia,
menurut para Sastrawangi ini. Makanya berseTubuh melululah mereka dalam
prosa mereka! BerseTubuh adalah Pembebasan! Perempuan adalah sama di
mana-mana, universal, teriak mereka. Karena itulah seksualitas yang
mungkin memang persoalan perempuan muda di kota-kota besar merupakan
juga persoalan perempuan (muda dan tua) di mana-mana termasuk di
desa-desa. Tubuh, seksualitas dan perempuan adalah satu bagi para
Sastrawangi ini. Seperti teks sastra para Estetis, para Horison
Manikebuis, dan para bakat alam Hudanis maka bagi para Sastrawangi tidak
ada hal lain di luar Tritunggal Tubuh-Seksualitas-Perempuan. Tidak ada
persoalan kemiskinan, tidak ada persoalan pendidikan yang rendah, tidak
ada persoalan jumlah anggota keluarga yang terlalu besar, bahkan tidak
ada persoalan tubuh yang jelek gembrot berjerawat bagi para Sastrawangi
yang konon cantik menurut media-massa ini.
Non-realisme prosa para Sastrawangi ini dapat kita lihat dari betapa
sempitnya dunia “perempuan” diartikan dalam teks mereka. Betapa sunyinya
teks mereka dari para perempuan yang tiap hari kita temui di pasar ikan
sayur mayur becek berlumpur, di toko-toko kelas bawah, di
pabrik-pabrik, di rumah-rumah gedongan kelas menengah ke atas, di
sekolah-sekolah menengah di kota-kota kecil dan pedesaan. Siapakah yang
paling “perempuan” antara para Sastrawangi dan para perempuan (muda dan
tua) yang menjadi tetangga rumah kita (the women next door) ?
Apolitisme prosa para Sastrawangi ini, ironisnya, justru dianggap
sangat politis oleh para sastrawan laki-laki tua Horison Manikebuis!
Para apolitis tua, para Patriark inilah yang pertama-tama mengklaim
betapa “sadar politik gender” para Sastrawangi tersebut! Cuma karena
para Sastrawangi ini berani buka-bukaan dalam prosa mereka, juga dengan
pakaian mereka!
Makanya tidak dianggap “artistik” atau “bermutu” atau “dahsyat” karya
sastra para perempuan muda lain, yang mungkin bahkan jauh lebih
“cantik” dan muda dibanding kaum Sastrawangi tersebut, yang menolak
untuk buka-bukaan dalam fiksi mereka, dengan pakaian mereka, yang
memilih untuk menulis tentang kehidupan Islami misalnya. Pernahkah kita
membaca ada “kritikus” sastra membahas fiksi para pengarang perempuan
Forum Lingkar Pena yang berjilbab itu? Begitu jelekkah fiksi mereka?
Kenapa jelek? Apa ukuran yang dipakai untuk menjelekkannya?
Kalau fiksi para perempuan muda Forum Lingkar Pena diukur dengan
standar buka-bukaan Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu tentu saja jelek amat
hasil karya kelompok Forum Lingkar Pena itu. Tapi bagaimana kalau
sebaliknya? Bagaimana kalau standar “estetika” Forum Lingkar Pena yang
jadi kriteria penilaian prosa Ayu dan Djenar dkk? Apakah lucu
membayangkan Ayu Utami dan Djenar memakai jilbab? Kok bisa
lucu? Apa yang menyebabkan timbulnya rasa lucu yang lebih bersifat
mengejek jilbab itu? Apakah jilbab bukan simbol “perempuan” dibanding
bunga Kantong Semar yang bernama laki-laki itu atau Rafflesia yang bau
itu?
Internalisasi ideologi “seni untuk seni”, seni yang apolitis, seni
Horison Manikebuis, seni Humanisme Universal, telah begitu kuat dalam
diri mayoritas sastrawan dan pembaca sastra kontemporer Indonesia.
Makanya terasa wajarlah, normallah ideologi tersebut bagi kita. Seniman
tidak perlu berpolitik, tapi berkaryalah! Seolah-olah berkarya itupun
bukan sebuah sikap politik. Tak ada faktor di luar teks sastra yang
mempengaruhi baik-buruknya mutu teks tersebut, celoteh Hudan Hidayat.
Tapi, pada saat yang sama misalnya, dia dengan sengaja menciptakan
“polemik” di antara sesama kenalannya penulis di sebuah koran nasional
terbitan Jakarta setiap kali dia menerbitkan buku baru, cuma agar publik
sastra tahu penerbitan prosa terbarunya itu. Cuma biar dia
“dibicarakan” dan dibaca publik sastra Indonesia di luar Jakarta
sekitarnya. Cuma biar mudah-mudahan bisa masuk prosanya dalam kanon
sastra Indonesia.
Politik sastra yang dilakukan Hudan Hidayat ini juga dilakukan oleh koran Kompas dengan seri-antologi Cerpen Pilihan Kompas dan kelompok Teater Utan Kayu (TUK). Penerbitan tahunan seri-antologi Kompas
tersebut telah berhasil membentuk opini publik sastra yang positif
atasnya. Saat ini seri-antologi tersebut sudah berhasil masuk dalam
kanon cerpen Indonesia dan para cerpenisnya pun sudah dianggap cerpenis
“bermutu” Indonesia. Dua faktor yang paling mempengaruhi interpretasi
dan resepsi atas seri-antologi tersebut adalah pertama, reputasi Kompas
sendiri sebagai koran nasional yang paling besar oplahnya dan paling
banyak dibaca kaum intelektual kota besar kita. Faktor jurnalistiknya
sebagai koran kaum intelektual nasional tidak bisa tidak diperhitungkan.
Kedua adalah strategi pemakaian (kritik) Kata Pengantar dan Kata
Penutup yang rata-rata ditulis oleh nama-nama yang dianggap “otoritas”
sastra Indonesia. Keberadaan Kata Pengantar dan Kata Penutup oleh para
otoritas sastra tersebut telah mempengaruhi bagaimana pembacanya harus
membaca seri-antologi itu. “Kesastraan” (literariness) dari seri-antologi itu terjamin sudah oleh keberadaan tulisan para otoritas sastra tersebut.
***
TUK atau Teater Utan Kayu adalah satu-satunya kelompok “Teater” di
sastra kontemporer kita yang paling serius berambisi untuk mendominasi
dunia sastra kita. Bukanlah sebuah kebetulan belaka bahwa embrio
kelompok Teater yang tidak pernah mementaskan produksi teater ini lahir
setelah memudarnya zaman keemasan majalah Horison (dan Taman
Ismail Marzuki (TIM) Jakarta), setelah pecahnya Kelompok Horison
Manikebuis antara Kelompok Goenawan Mohamad dan Mochtar Lubis dkk. Kita
tentu masih ingat bahwa Kelompok Goenawan Mohamad sempat menerbitkan
satu edisi majalah Horison versi mereka sebelum akhirnya memulai penerbitan majalah Kalam yang kemudian menjadi ikon TUK itu.
“Kemenangan” dan publikasi novel Saman “karya” konon salah
seorang anggota TUK yaitu Ayu Utami merupakan peristiwa bersejarah
pertama dalam politik sastra TUK. “Kemenangan” naskah “fragmen” novel
ini sendiri di sayembara roman Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 1998 masih
bisa dipersoalkan “kebenaran”nya. Lalu, manipulasi komentar Pramoedya
Ananta Toer di sampul belakang novel yang diterbitkan itu, yang menjadi
seolah-olah memuji tinggi novel tersebut. Terakhir, “kemenangan” Ayu
Utami – “karena karyanya dianggap meluaskan batas penulisan dalam
masyarakatnya” seperti tertulis di halaman belakang novel keduanya Larung
– atas Prince Claus Award di Belanda pada tahun 2000, padahal
terjemahan bahasa Belanda (atau bahasa lainnya) novel satu-satunya yang
pernah ditulisnya saat itu, Saman, belum ada sehingga sangat
masuk akal kalau menimbulkan pertanyaan bagaimana para juri Prince Claus
Award “tahu” tentang kehebatan novel tersebut. Siapakah yang menjadi
“narasumber” kehebatan novel tersebut? Kalau komentar pengarang
sekaliber Pram saja tidak malu-malu mereka manipulasi di dalam negeri
sendiri, bagaimana di luar negeri sana lagi?!
Politik sastra TUK makin dipercanggih dengan berhasilnya TUK “memindahkan” festival (lebih tepat disebut “expo
sastra kolonial”!) bernama Winternachten di Den Haag, Belanda ke
Indonesia yang akhirnya diganti namanya menjadi “Utan Kayu International
Literary Biennale”.
Promosi tentang “internasionalisme” acara baca-sastra mereka ini
ternyata ampuh dalam mempesona kebanyakan sastrawan muda Indonesia yang,
bisa dipahami, berambisi besar untuk cepat-cepat go international.
Seandainya saja para pengarang muda kita ini tidak begitu buta akan
peta sastra internasional kontemporer yang sebenarnya, tentu mereka
tidak akan begitu saja terpedaya dengan klaim “internasional” pada nama
acara sastra TUK ini dan sadar bahwa yang “internasional” hanyalah nama
dan asal pesertanya saja. Di luar itu, tak ada yang “internasional” di
acara Utan Kayu International Literary Biennale tersebut.
Seperti pada kasus Cerpen Pilihan Kompas, Biennale
Sastra TUK pun akhirnya dianggap menjadi jalan menuju kanon sastra
Indonesia. Seperti yang dengan penuh percaya diri pernah diungkapkan
Direkturnya, Sitok Srengenge, bahwa sastrawan Indonesia baru dianggap
sebagai sastrawan Indonesia setelah diundang dalam acara sastra TUK
semacam Biennalenya yang “internasional” itu. Kita memang dianggap
sangat kampungan pergaulan kita oleh Sitok Srengenge sampai legitimasi
kita sebagai sastrawan Indonesia pun harus berijasah “TUK” dulu baru sah
diakui mereka.
Politik sastra TUK tidak berhenti hanya pada penyelenggaraan Biennale
Sastra yang merupakan legitimasi kesastraan sastrawan Indonesia (bagi
para sastrawan “internasional”nya itu tentu saja, dan terutama bagi
sastrawan lokal yang diundang) seperti yang dinyatakan Sitok Srengenge
di atas tapi juga meluas ke penguasaan media massa yang punya posisi
penting dalam percaturan sastra kontemporer kita. Kompas pun
akhirnya berhasil dirangkul melalui Hasif Amini yang menggantikan
Sutardji Calzoum Bachri sebagai redaktur rubrik puisinya. Kita tentu
saja bisa bertanya: Kok Hasif Amini? Apa kredensial orang ini
tentang puisi padahal dia tidak dikenal sebagai penyair atau sastrawan
malah? Seperti Sutardji, dia bukan wartawan Kompas, tapi
“diundang” dari luar. Fakta inilah yang membuat kita berhak
mempertanyakan alasan pemilihan Hasif Amini yang orang TUK itu dibanding
orang lain, dan fakta bahwa reputasi jurnalistik Kompas akan sangat mempengaruhi resepsi pembaca atas puisi yang dimuat tiap Minggu, seperti pada kasus cerpen Kompas.
Politik kanonisasi sastra TUK memiliki dua wajah. Di dalam Indonesia,
TUK berusaha membentuk jaringan ideologis dimana pusat pengaruh
legitimasi identitas kesastrawanan pengarang Indonesia ada di tangannya,
disadari atau tidak oleh sastrawan yang terjaring di dalamnya. Biennale
Sastra TUK, posisi Hasif Amini di Kompas Minggu sampai
keterlibatan TUK dalam seleksi siapa sastrawan lokal yang pantas ikut
acara Ubud Writers and Readers Festival di Ubud, Bali, merupakan
prakteknya.
Sementara ke luar Indonesia, TUK berusaha menciptakan identitas-diri
sebagai satu-satunya institusi (sastra) yang paling representatif
mewakili sastra(wan) Indonesia, demi berbagai maksud dan tujuan.
Pembentukan jaringan pengaruh atau politik kanonisasi sastra di dalam
Indonesia tadi sangat penting artinya bagi strategi “hubungan
internasional” TUK ini.
Sekarang timbul pertanyaan: Kenapa TUK harus melakukan semua ini?
Apakah demi tujuan luhur untuk (di dalam Indonesia) mengangkat mutu dan
(di luar Indonesia) derajat sastra(wan) Indonesia? Sejarah yang akan
membuktikan saya benar atau salah.
***
Pada umumnya politik kanonisasi sastra diyakini lebih banyak
dipengaruhi oleh politik kekuasaan demi kepentingan ideologis, politik
dan nilai-nilai ketimbang sekedar karena kedahsyatan artistik karya.
Pada saat yang sama politik kanonisasi sastra juga membuktikan betapa
naifnya, betapa ahistorisnya, betapa tidak membuminya, para sastrawan
yang masih yakin bahwa teks sastra adalah segalanya, bahwa tidak ada
apa-apa di luar teks sastra, apalagi yang bisa mempengaruhi
eksistensinya, bahwa “substansi” sastra adalah ukuran mutu karya sastra
karena “substansi” sastra adalah “estetika” sastra yang “sublim”, sastra
yang menjadi itu.
Marilah kita mulai belajar dewasa dalam bersastra.
Jogja, Oktober 2007-2009
________________
Daftar Bacaan
- E Ulrich Kratz (ed.), Sumber Terpilih: Sejarah Sastra Indonesia Abad XX, Jakarta 2000
- Frank Lentricchia dan Thomas McLaughlin (ed.), Critical Terms for Literary Studies, Chicago dan London 1990
- Katrin Bandel, Sastra, Perempuan, Seks, Yogyakarta 2006
- Keith Foulcher, Social Commitment In Literature And The Arts: The Indonesian “Institute Of People’s Culture” 1950-1965, Monash University, Clayton, Victoria 1986
- MH Abrams, A Glossary Of Literary Terms, Eight Edition, Boston 2005
- Saut Situmorang, Politik Sastra, Yogyakarta 2009
Sumber : http://boemipoetra.wordpress.com/2010/08/18/politik-kanonisasi-sastra-dalam-sastra-indonesia/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar