Puisi dari Sampah Digital
Spam adalah sampah di masa digital. Tapi ada juga yang bisa mengungkap
keindahan dalam surat elektronik berisi iklan. Sehingga dari sampah
digital tercipta SPAMpoetry.
Varvara Guljajeva dan Mar Canet membongkar-bongkar sampah, tepatnya sampah digital atau spam. Sampah digital itu lalu mereka pakai untuk karya seni mereka.
Jutaan surat digital berisi iklan semacam ini tersebar di dunia setiap
harinya. Sebagian besar spam mendarat di tempat sampah elektronik tanpa
dibaca. Tetapi Estin Guljajeva ingin mendaur ulang sampah digital itu.
Digitalisasi Bertemu Materi
Guljajeva dan mitranya Mar Canet dari Spanyol kemudian memulai proyek
SPAMpoetry. Bersama-sama mereka menubah teks sampah digital menjadi
puisi. Tetapi itu tidak mereka tuangkan ke atas kertas. Untuk puisi baru
itu mereka mendesain pulover yang dirajut sendiri. "Ini menekankan beda
dunia digital dan kerja tangan tradisional dalam bentuk rajutan,“ kata
Guljajeva. Yang satu sangat cepat, sementara yang lainnya lambat. Pada
pulover rancangan mereka, bagian lengan, dada dan punggung dihiasi
kalimat-kalimat sepert ini:
We are really the
Products. I know that will be
Selected as one.
Products. I know that will be
Selected as one.
Tetapi rancangan mereka tidak bisa dikenakan. Beberapa pulover itu
berlengan sangat panjang. Selain itu ada juga dua pulover yang di bagian
lengan dan lehernya dirajut menjadi satu. Guljajeva menjelaskan,
"Pakaian ini sama tidak berfungsinya seperti halnya spam.“ Ia
menambahkan, "Orang bisa mengenali bahwa itu pulover, tapi tidak bisa
menggunakannya.“
Terjemahan Memukau
Surat berisi iklan massal dikirim pertama kali tahun 1978. Tapi siapa
yang mulai membuat puisi tidak ada yang tahu. Salah satu petunjuknya
adalah "poetry slam" pada situs Satirewire. Tahun 2000 situs itu memilih
puisi-puisi yang sukses, yang dibuat dari sampah digital. Sejak itu
orang banyak mengubah sampah masyarakat yang biasa dengan dunia digital
menjadi karya sastra.
Banyak puisi berbahasa Inggris. Tetapi yang berbahasa asing juga
menarik. Demikian pendapat penulis Thomas Palzer. Ia terkesan pada spam
terutama jika pesan itu mengandung banyak kesalahan tata bahasa, atau
jika di dalam kalimat ada sebuah kata yang tidak tepat sama sekali,
hingga mengubah makna kalimat. Itu sering terjadi pada spam, karena
banyak program langsung menerjemahkan teksnya.
Satu setengah tahun lamanya Thomas Palzer mengumpulkan sampah digital.
Cuplikan-cuplikan terbaik ia publikasikan dalam sebuah buku digital.
Tetapi apakah teks-teks yang disusun mesin bisa disebut puisi, dan
ditempatkan setara dengan karya-karya pujangga besar
seperti Goethe atau Rilke? Palzer berargumentasi demikian: "Apa
sebenarnya puisi? Puisi bukan bahasa informasi, melainkan menyebabkan
sesuatu terjadi dalam diri kita." Dan itu juga bisa disebabkan spam.
Setidaknya jika orang membuka diri untuk itu, dan tidak hanya mencari
maknanya, maka membaca teks spam bisa menyenangkan karena kadang lucu,
kata Palzer.
Bentuk Seni Tanpa Penikmat?
Bagi banyak orang, spam tetap sampah, baik dituangkan dalam bentuk puisi
atau tidak. "Kami tidak punya banyak pembaca,“ kata Nikola Richter dari
penerbitan Mikrotext yang mempublikasikan karya Palzer. Penulis blog Inés Gutiérrez juga mengatakan, tidak semua penonton bisa menerima puisi jenis ini dengan mudah.
Bersama tiga blogger perempuan lainnya, tahun 2012 Gutiérrez menampilkan
beberapa teks dari sampah digital dalam re:publica, sebuah konferensi
jejaring sosial di internet. "Kami sadar dalam spam sering tercipta
kalimat-kalimat, yang tanpa diinginkan, menjadi lucu,“ katanya. Dalam
re:publica ketika itu mereka juga bisa menampilkan lelucon itu kepada
publik.
Tetapi situasi beberapa pekan setelahnya berbeda. Penonton tidak
mengerti dan tidak memberikan reaksi sama sekali, sehingga mereka tidak
mau mencobanya lagi. Kadang memang lebih baik membiarkan spam di
tempatnya, di keranjang sampah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar