Cerpen A.S. Laksana (Jawa Pos, 11 Mei 2014)
IA menyukai lagu itu, yang sering ia dengar dari
radio semasa kecil dan ia nyanyikan di dahan pohon mangga depan rumah,
dan ia tetap menyukainya hingga bertahun-tahun kemudian. Di telinganya,
penyanyi di radio itu seperti berteriak apuseeee… dan ia menyanyikannya begitu. Ia pikir ada juga lagu Barat yang berjudul Apuse, sama dengan judul sebuah lagu daerah. Baru nanti, setelah semuanya terjadi, ia tahu judul lagu itu House for Sale.
Itu lagu yang abadi di dalam benaknya. Kapan pun ia menyanyikannya
sekarang, ingatannya akan selalu surut ke suatu sore di masa lalu saat
ia duduk di balkon depan kamarnya memandangi gumpal-gumpal awan.
Semuanya jernih seperti belum lama terjadi. Ia menikmati rokoknya di
balkon itu, satu kakinya dinaikkan ke kursi. Istrinya, dengan gerak
kalem dan paras sedih, datang mendekat dan duduk di kursi sampingnya. Ia
menoleh ke arah perempuan itu, memandangi beberapa saat paras sedihnya.
Istrinya tampak lebih cantik ketika sedih.
Pada pagi harinya, saat ia baru membuka mata dan dunia masih
samar-samar, ia dengar sayup-sayup suara istrinya: ”Kepala saya sakit
sekali, Pak. Mohon izin tidak masuk hari ini. Surat-surat yang harus
Bapak tanda tangani ada di lemari berkas, saya taruh di tumpukan paling
atas. Ya, ada tiga. Kunci lemari ada di laci paling atas meja saya.”
Korden jendela kamar sudah tampak terang ketika ia tersadar
sepenuhnya. Istrinya sudah selesai bicara dan kembali menarik selimut
dan tidur lagi meringkuk dengan punggung menghadap ke arahnya. Perempuan
itu jarang sekali tidur telentang dan hari itu seharian dia meringkuk
saja di ranjang dan hanya dua kali keluar kamar, ialah pada siang hari
ketika meminta pengasuh bayi membelikan obat sakit kepala dan pada sore
hari ketika mandi.
Ia melihat istrinya menuruni tangga ke lantai satu dan masuk ke kamar
mandi. Saat itu ia baru keluar dari ruang kerjanya, meninggalkan
komputer yang tetap menyala, dan berjalan menuju balkon. Perempuan itu
menyusulnya duduk di balkon setelah selesai mandi.
”Bisa bicara sebentar, Mas?” tanya perempuan itu.
”Silakan,” sahutnya.
”Sudah beberapa waktu aku memikirkan ini. Aku tahu cepat atau lambat aku pasti menyampaikannya kepadamu.”
”Sampaikanlah. Aku suamimu. Kalau kau ada masalah, aku orang pertama yang mendengarkanmu.”
”Mestinya begitu.”
”Maksudmu?”
”Ya, mestinya begitu. Hanya selama ini aku sering merasa sia-sia menyampaikan apa pun kepadamu. Rasanya…”
”Kupikir kita akan menikmati sore hari dengan percakapan yang menyenangkan. Rupanya kau berniat menghakimiku?”
”Tidak, tidak. Tapi tak apa jika kau merasa begitu. Setidaknya sekarang kau tahu seperti apa rasanya.”
”Itu yang ingin kau sampaikan?”
”Bukan. Itu yang selama ini kurasakan, Mas. Setiap kali aku mencoba
berbagi masalah denganmu, aku merasa kau selalu menyudutkanku –atau
menghakimi menurut istilahmu. Rasa-rasanya tak pernah satu kali pun kau
mau merasakan apa yang kurasakan, tak pernah satu kali pun kau berpihak
kepadaku jika sesekali aku punya masalah dengan orang lain.”
”Aku tak ingin kau punya masalah dengan orang lain.”
”Aku juga tak ingin. Tapi setiap orang hidup pasti punya masalah dan
aku tidak mau menjadi orang yang lari dari masalah. Sudah kuceritakan
banyak hal kepadamu sebelum kita menikah tentang bagaimana masalah demi
masalah datang kepadaku dan bagaimana aku sendirian menghadapi semuanya.
Kemudian kita menikah dan aku tetap merasa sendirian menghadapi
masalah-masalahku.”
Ia menyimak semua kalimat istrinya, tetapi sulit menduga ke mana arah
pembicaraan. Di bawah mereka ada tiga anak kecil dan seorang perempuan
yang menyuapi bayinya dan penjual balon gas yang sedang melayani pembeli
kanak-kanaknya. Ia ingat pernah membeli tujuh balon gas lima tahun
lalu, pada hari-hari bulan madu pernikahan mereka, tiga berwarna merah
empat berwarna kuning.
”Tuhan menyukai hitungan ganjil,” katanya. Lalu ia menulis doa yang sama di tujuh lembar kertas — Tuhan, lancarkanlah rezeki kami dan jagalah keutuhan rumah tangga kami– dan masing-masing kertas ia ikatkan dengan benang pada balon-balon tersebut.
Pada malam hari, ia dan istrinya melepaskan balon-balon itu ke langit
dan Tuhan, pengabul doa-doa yang diucapkan maupun kecemasan yang
disembunyikan, menyambut baik ketujuh balon mereka. Pada tahun kedua
pernikahan, istrinya melahirkan dan, pada tahun ketiga, mereka sanggup
membeli rumah kecil dua lantai yang sekarang mereka tempati. Lantai
bawah ia biarkan lapang saja untuk ruang tamu dan dapur dan kamar mandi.
Semua kamar tidur ada di lantai atas: satu kamar ia gunakan sebagai
ruang kerja, satu kamar untuk anak mereka dan pengasuhnya, dan satu lagi
yang paling besar adalah kamar tidur untuk ia dan istrinya. Di balkon
depan kamar itulah mereka duduk bersebelahan, dua hari sebelum ia
memasang tanda rumah dijual.
”Sasi tidur?” tanyanya.
”Jalan-jalan,” kata istrinya. ”Kuminta Ririn membawanya keluar jalan-jalan.”
”Ia pengasuh yang baik. Sasi beruntung mendapatkan pengasuh yang baik.”
”Sekarang ia mulai pacaran dan pacarnya hampir tiap hari datang kemari.”
”Kau ke kantor tiap hari…”
”Mbak tukang cuci yang memberitahuku.”
”Sebetulnya wajar saja. Ia sudah cukup umur untuk punya pacar.”
”Aku tidak mau anakku ditelantarkan. Pengasuh yang mulai pacaran biasanya menjadi teledor.”
Kalimat kedua itu dalil. Sejak pernikahan, istrinya kerap
mengeluarkan dalil. Ia hanya mengangkat bahu dan menunjukkan isyarat
tangan yang bisa saja diartikan ”sesukamulah” atau ”entahlah” atau
terserah istrinya mau menafsirkan apa. Lalu ia susuli isyarat itu dengan
kalimat: ”Ia sudah mengasuh Sasi sejak bayi dan pekerjaannya bagus.
Jika kau memberhentikannya, pengasuh baru belum tentu sebaik anak itu.”
”Belum tentu lebih buruk juga. Mungkin lebih baik.”
”Jadi, sebenarnya apa yang hendak kau sampaikan?”
Perempuan itu mengambil rokok yang terselip di jari-jari suaminya dan
menyelipkan ke bibirnya sendiri dan mengisapnya kuat-kuat. Suaminya
melolos lagi sebatang rokok dan menyalakannya. Kini mereka masing-masing
memegang sebatang rokok. Perempuan itu baru bicara lagi setelah isapan
keempat.
”Kurasa lebih baik kita berpisah saja, Mas,” katanya. Matanya menatap lantai ketika ia bicara.
”Seringan itu kau menyampaikannya?” kata suaminya.
Sungguh, lelaki itu tak pernah bisa memahami perasaannya. Sama sekali
tidak ringan baginya untuk mengucapkan hal itu. Ia sudah menyiapkan
diri cukup lama dan berusaha sangat keras untuk tetap tenang saat
menyampaikannya. Selama berbulan-bulan sebelum akhirnya ia bisa bicara,
sesungguhnya sudah berkali-kali ia menetapkan hati untuk
menyampaikannya, namun berkali-kali pula ia mengurungkan kembali
niatnya. Sepertinya tak pernah ada waktu yang tepat untuk sebuah kalimat
yang singkat saja: kita bubar.
”Aku tak bisa mencintaimu lagi,” katanya.
”Lalu?” tanya suaminya.
”Kupikir lebih baik kita bercerai.”
”Kau membuatku sedih.”
”Mestinya kau merasa senang.”
”Oya? Kau mengatakan lebih baik kita bercerai dan menurutmu seharusnya aku merasa senang. Apa maksudmu?”
”Entahlah. Kupikir begitu.”
”Kau selalu berpikir begitu…”
”Hubungan kita semakin menyedihkan, Mas. Mari kita mengakui itu. Kalau boleh jujur, aku tak pernah merasa bahagia selama ini.”
”Oh, aku tahu itu tanpa kau bilang. Kulihat kau memang langsung
sengsara sejak hari pertama kita menikah. Jadi, tidak satu kali pun kau
pernah bahagia?”
Ia menggeleng pelan.
”Ya, ya, aku bisa paham,” kata suaminya. ”Kau menginginkan
perceraian, maka yang kau lihat dalam hubungan kita hanya kegelapan. Aku
yakin kau lupa betapa bahagianya dirimu saat memberitahuku bahwa kau
hamil. ‘Mas, aku hamil, Mas! Aku akan menjadi ibu untuk anak yang lahir
dari rahimku sendiri!’ Atau itu tidak termasuk kebahagiaan menurutmu?”
”Ya, Mas, aku sangat bahagia bisa hamil, bahagia sekali. Tapi aku
tidak yakin kau juga bahagia. Kau tidak ingin punya anak dari aku. Kau
tahu, aku sedih sekali malam itu ketika kau bilang, ‘Nanti kita
mengadopsi anak saja.’ Sejak itu aku bertekad untuk hamil, tak peduli
kau menghendaki anak dariku atau tidak.”
”Ya, Tuhan. Alangkah ajaibnya. Kau istriku dan kita tidur di ranjang
yang sama tiap malam dan aku tak pernah menyadari kau menyimpan pikiran
sejahat itu tentangku. Tapi itu salahku. Aku hanya mampu mengingat hal
yang mungkin tak penting sama sekali bagimu, yaitu saat kau menangis dan
menciumku dan bertanya malam itu: ‘Jadi kau tidak kecewa kalau aku tak
bisa punya anak, Mas?’
”Lalu aku menggeleng dan berkata secara jujur kepadamu, ‘Kita pasti
punya anak jika kita sudah siap menjadi orang tua. Ia bisa lahir dari
rahimmu, bisa juga anak orang lain yang kita rawat sepenuh hati sebagai
anak kita sendiri. Dan memang ia anak kita, yang berbeda hanya cara ia
hadir dalam kehidupan kita. Selanjutnya sama saja.’
”Terima kasih, Mas,” katamu. ‘Aku takut sekali kalau nantinya aku
tidak bisa punya anak, aku takut itu mengecewakanmu. Sungguh kau tidak
akan kecewa? Kau akan tetap mencintai aku?’
”Tetap mencintaimu,’ kataku.
”Lalu kau mendesakku agar mengucapkannya sekali lagi. ‘Aku ingin
mendengarnya sekali lagi,’ katamu. Dan aku mengucapkannya lagi, ‘Tetap
mencintaimu.’
”Selamanya?’
”Selamanya.’
”Kupikir kau bahagia malam itu. Rupanya aku keliru.”
***
Tidak ada yang keliru malam itu; ia memang bahagia. Gerimis turun
agak lebat dan ia turun tiba-tiba pada sore hari musim kemarau dan
matahari masih memancar terang saat gerimis turun tiba-tiba. Mereka
menepi bersama beberapa pejalan kaki yang lain di sebuah halte depan
toko barang-barang kerajinan. Suaminya menggandengnya masuk ke toko itu
dan mereka melihat-lihat apa saja yang dijual di sana dan ia berpindah
ke toko sebelah yang menjual perlengkapan bayi saat lelaki itu berdiri
lama di depan segerombol kucing kayu. ”Yang hijau itu bagus, Mas,”
katanya. ”Eh, aku ke sebelah dulu, ya. Fatima melahirkan bulan lalu dan
aku belum sempat menengoknya.”
”Nanti kususul,” kata suaminya.
Di dalam taksi yang membawa mereka pulang, ia duduk merapat di pintu,
seperti ingin melipat diri sekecil mungkin. Pakaian bayi yang baru ia
beli, yang akan ia bawa nanti saat menjenguk Fatima, ada di pangkuan.
Suaminya menanyakan apakah ia sakit. Ia bilang tidak apa-apa, hanya
sedikit pening karena tertimpa gerimis, tapi itu tak akan lama. ”Kalau
hujannya lebat sekalian malah tidak apa-apa,” katanya.
Dua jam kemudian, saat mereka sampai di rumah setelah perjalanan yang
merambat, ia barulah menyampaikan rasa takutnya soal kemungkinan tidak
punya anak. Jawaban suaminya malam itu membuatnya lega dan ia mencium
lelaki itu dengan pipi yang basah oleh rasa bahagia.
Itu percakapan yang tak pernah ia lupakan. Itu percakapan yang
memberinya perasaan tenteram. Namun itu bukan satu-satunya percakapan.
Ada banyak percakapan lain di antara mereka yang diam-diam menyusupkan
ke dalam pikirannya perasaan cemas yang tak terhapuskan.
”Aku harus kontrol ke dokter malam ini, Mas. Sudah janjian nanti pukul delapan. Kau bisa menjemputku di kantor?”
”Aduh, aku telanjur ada janji dengan orang.”
”Ya, sudah. Kau janjian di mana?”
”Kuningan.”
”Pulangnya larut?”
”Aku usahakan tidak terlalu larut.”
”Nanti pulang lewat Buncit, kan? Ada toko asinan di kanan jalan… Halo… halo…! Pulangnya…”
Percakapan terputus. Ia menelepon lagi, gagal, menelepon lagi, gagal,
menelepon lagi, gagal. Mereka baru terhubung lagi saat ia hampir habis
kesabaran.
”Selalu begini kalau telepon denganmu. Sudah kubilang, kau harus ganti pesawat.”
”Sinyalnya buruk di sini.”
”Kurasa teleponmu yang sudah butut.”
”Eh, sampai di mana tadi?”
”Kalau nanti lewat Buncit, tolong belikan asinan. Ada toko asinan di
kanan jalan setelah Mampang, dekat lampu merah. Setahuku ia buka sampai
pukul sebelas. Tapi kalau sudah tutup, belikan martabak saja.”
”Manis atau telor?”
”Telor.”
”Baiklah.”
”Oya, kalau aku sudah tidur waktu kau pulang, bangunkan saja.”
Janin di dalam perutnya memasuki usia empat bulan saat itu. Suaminya
pulang tanpa asinan dan lupa membeli martabak dan lelaki itu entah
pulang pukul berapa. Mereka ribut kecil pada pagi hari sebelum ia
berangkat ke kantor.
Sejumlah percakapan yang nyaris sama akan terulang lagi di saat-saat
berikutnya. Ia merasa suaminya selalu begitu. Ia merasa, pada akhirnya,
bahwa suaminya mungkin tidak menghendaki punya anak dari dirinya. Itu
sebabnya lelaki itu dengan enteng menanggapi ketakutannya kalau-kalau ia
tidak bisa punya anak.
***
Ia menarik dan menghembuskan napasnya panjang sekali. Matanya
memandang sesuatu di kejauhan. Di langit ada segumpal awan besar yang
membentuk mulut raksasa menganga. Di sampingnya, istrinya tampak sangat
tenang, seperti sudah benar-benar yakin dengan keputusannya. Perempuan
itu menikmati isapan terakhir rokoknya dan kemudian mematikan baranya di
asbak.
”Aku capek, Mas. Kita terlalu sering ribut,” kata perempuan itu.
”Bukan aku yang menginginkannya,” katanya.
”Jadi selalu aku yang memulainya?”
”Aku tak mengatakan seperti itu. Aku sedih kita sering ribut. Kadang
itu membuatku sangat putus asa. Kadang terpikir olehku untuk melompat
dari jendela kamar dan mati seketika. Mungkin lebih baik bagimu jika aku
tak ada.”
”Sama, Mas. Aku juga sering berpikir seperti itu.”
Mereka lima tahun menikah. Istrinya semakin fasih mengembalikan apa
pun yang ia sampaikan dan ia pikir setiap percakapan di antara mereka
tak pernah menghasilkan jalan keluar.
”Apa yang kau bicarakan dengan Tante Sita minggu lalu?” ia membelokkan pembicaraan.
”Aku tak mengerti maksudmu,” kata istrinya.
”Kau melakukan konsultasi hukum?”
”Aku tidak bertemu dengannya.”
”Kemarin ada teman meneleponku. Ia bilang, ‘Aku bertemu istrimu di
rumah Om Bram minggu lalu. Ia bicara dengan Tante Sita dan kelihatannya
mereka membicarakan urusan yang sangat serius.”’
”Hanya ngobrol-ngobrol biasa.”
”Oke, jadi kau ke rumahnya.”
”Aku memerlukan teman bicara.”
”Aku tak bisa menjadi teman bicaramu?”
”Apakah kau bisa?”
”Jika kau menganggapku ada.”
”Aku merasa sebaliknya, Mas. Aku yang tak pernah ada bagimu. Kau
hanya peduli pada teman-temanmu dan pada urusanmu sendiri dan pada apa
saja yang tidak ada hubungannya denganku. Semula kupikir kau benar-benar
mencintaiku…”
”Sampai sekarang aku mencintaimu.”
”Terima kasih. Dan maafkan aku tak bisa lagi mencintaimu. Karena itu kusampaikan apa yang terbaik bagi kita.”
”Hanya bagimu. Aku akan kehilangan dua orang yang kucintai, kau dan
Sasi, dan kau hanya kehilangan satu orang yang kau tidak bisa lagi
mencintainya.”
***
Si suami mengatakan malam itu, sebelum mengakhiri percakapan, bahwa
rumah yang mereka tempati sebaiknya dijual saja sebab semuanya sudah
berakhir. ”Sekalian dengan perabot-perabotnya,” kata lelaki itu. ”Kalau
bisa, sekalian dengan seluruh kenangan di dalamnya. Kau tidak
membutuhkannya lagi, aku juga tidak membutuhkannya.”
Dan lelaki itu segera menjalankan apa yang dikatakannya. Dua hari
setelah percakapan, pada pagi yang basah oleh hujan saat si istri keluar
rumah hendak ke kantor, ia membaca tanda pada pagar: Rumah Dijual. Ia
tidak tahu kapan suaminya memasang plakat itu.
Perempuan itu berdiri mematung di depan pagar, memandangi plakat, dan
di dalam benaknya muncul sebuah percakapan yang berlangsung saat usia
perkawinan mereka masih muda. Pada malam yang bahagia, ia dan suaminya
pernah saling mencocokkan kesukaan masing-masing di masa kecil. Ia
menyukai lagu House for Sale, yang sering ia nyanyikan di kamar
mandi semasa kecil, dan sebenarnya ia suka menyanyikan apa saja di
kamar mandi. Ia merasa suaranya terdengar lebih merdu di kamar mandi.
”Tuhan memberi kita pasangan yang memiliki kesukaan yang sama,” kata suaminya.
”Lebay,” katanya.
Butir-butir air sisa hujan membasahi rambut dan wajahnya. Perempuan
itu masuk lagi ke dalam rumah, naik ke kamar, menjumpai suaminya masih
lelap di ranjang. Diambilnya telepon genggam dari dalam tasnya: ”Sakit
kepala saya kambuh lagi, Pak. Mohon izin tidak masuk hari ini.” ***
_____________________
Sumber : http://lakonhidup.wordpress.com/2014/05/11/dijual-rumah-dua-lantai-beserta-seluruh-kenangan-di-dalamnya/#more-4869
Tidak ada komentar:
Posting Komentar