Anton Kurnia
Aku hanya memiliki ingatan
samar-samar tentang kabut yang menyelimuti minggu itu. Saat itu aku baru saja
genap enam tahun. Ada suara telepon berdering. Ayahku bergegas mengangkatnya. Ia
tak berbicara sepatah pun, tapi ia tampak begitu tegang, darah seolah-olah
membeku di wajahnya. Ayahku masuk ke dalam kamar dan segera kudengar ibuku mulai
menjerit-jerit. Telepon itu kembali berdering dan terus berdering. Rumah kami
segera dipenuhi oleh para karib dan kerabat dan ibuku terus-menerus menjerit.
Orang-orang bergerak tanpa arah, wajah mereka tampak sedih.
Aku sedang berada dalam kamar,
mengintip dari celah-celah pintu yang terbuka sedikit. Aku melihat wajah
orang-orang dan mendengar suara jeritan ibu. Kurasakan tubuhku beku dan gemetar.
Sesuatu telah terjadi pada ibu. Aku tak tahan mendengar jeritan itu. Suara
jeritan itu membuatku tersayat-sayat—bagaikan rasa perih saat pecahan kaca suatu
kali melukai tanganku, seperti rasa sakit saat kerikil tajam menggores lututku.
Jeritan itu terdengar kian menyayat.
Orang-orang menjadi hiruk pikuk. Aku
mendengar suara tangisan meraung. Lalu, tiba-tiba, keributan itu lenyap. Aku
mengintip ke ruang tengah. Hening mencekam. Tak terdengar lagi suara jeritan.
Aku merasa pasti ibuku telah meninggal dunia. Aku berbaring di lantai kamar,
menangis diam-diam.
Kemudian,
seseorang teringat padaku. Aku dibawa ke rumah seorang tetangga. Baru keesokan
harinya aku dipulangkan. Ibuku ternyata tidak meninggal dunia. Dia sedang
berbaring di ranjangnya, tapi aku tak diizinkan menemuinya. Paman Jundi
meninggal dunia, ayahku menjelaskan. Dalam sebuah pertempuran jihad di Maluku.
Aku tak terlalu paham maksud kalimat-kalimat itu, tapi aku merasa pasti tentang
satu hal: aku tak akan bisa lagi bermain dengan Paman
Jundi.
Paman
Jundi-ku adalah satu-satunya saudara ibuku. Usia mereka hanya terpaut dua tahun.
Kedua orang tua mereka telah tiada. Ia baru saja mengunjungi rumah kami lima
hari yang lalu. Dulu namanya Herjuno, tapi kemudian ia mengganti nama menjadi
Jundullah. Aku tak tahu mengapa. Katanya itu nama yang gagah dan mulia: Tentara
Tuhan. Aku juga tak tahu untuk apa Tuhan punya tentara. Dan aku memanggilnya
Paman Jundi.
Ia
tinggal bersama kawan-kawannya tak jauh dari rumah kami. Mereka semua orang
baik, pintar mengaji dan memelihara jenggot. Tubuh Paman Jundi tinggi dan
ramping. Rambutnya ikal, dengan sepasang mata berwarna coklat dan bibir tipis.
Jenggotnya jarang-jarang. Ia mirip sekali dengan ibuku. Paman Jundi baik padaku.
Ia sering mengajakku bermain dan mengajariku mengaji. Kini ia meninggal dunia
dalam usia dua puluh tiga tahun.
Hari
berikutnya, ibuku dibawa ke rumah sakit. Malam harinya, kami—ayahku, karib
kerabat, para tetangga dan aku—berkumpul di rumahku, duduk melingkar di atas
karpet. Ada keheningan yang terasa mencekam. Dan kemudian, ayahku mulai memimpin
kami melantunkan sebuah irama yang aneh dalam bahasa yang tak kumengerti. Aku
baru sekali itu mendengarnya. Irama itu seperti doa yang sering diajarkan
padaku, tapi mirip nyanyian.
Ada
semacam kekuatan gaib dalam caranya mendendangkan irama itu—seolah-olah ia
tengah melayang-layang melintasi dunia antah berantah untuk mencari sumber
kekuatan di luar dirinya. Matanya terpejam dan sesekali terpaku menatap ke
depan. Ada semacam keindahan dalam nada yang sedih, semacam rasa sakit dan
kerinduan sekaligus dalam suaranya—lembut, bergetar, mendaki dan tiba-tiba
menukik jatuh, lalu mendaki lagi. Dan setelah semuanya usai, terasa keheningan
kembali mencekam—dalam keheningan itu aku merasa seolah-olah mendengar suara
jeritan di kejauhan dan aku merasa takut.
Larut
malam, aku terjaga dari mimpiku dan mendengar irama itu lagi. Tadinya kukira aku
sedang berada di alam mimpi. Tapi saat benar-benar sadar bahwa aku terjaga,
irama itu masih juga terdengar. Itu suara ayahku dari ruang tamu.
Aku
melihatnya di depan jendela. Tirai lebar tersibak, tergantung di antara dua
bingkai jendela. Seberkas cahaya mungil di sudut ruangan berpendar samar—lampu
satu-satunya yang kami biarkan menyala di ruangan itu. Benda itu menyebabkan
bayangan temaram di sepanjang lantai dan menyisakan kilatan kemerah-merahan di
wajah ayahku.
Ia
berdiri memandang keluar jendela, perlahan-lahan menyenandungkan irama itu.
Cambangnya terserak tak rapi di sepanjang pipinya. Ruangan itu cukup gelap di
bawah penerangan cahaya suram. Aku berdiri di belakangnya dan melihat bayangan
wajahnya yang terpantul di jendela. Aku menatap pantulan kilatan matanya dan
melihat bibirnya bergerak perlahan-lahan. Berdiri di sana, ia bagaikan sedang
menjelajahi malam yang kelam, mencoba merengkuh dan menutupinya dengan irama
itu.
*
* *
Ibuku
akhirnya pulang dari rumah sakit. Ada semacam hubungan khusus antara ibuku dan
adik lelakinya, dan kematiannya nyaris menghancurkan
ibuku.
Ibuku
memang bertubuh kurus; tapi dia pulang dari rumah sakit nyaris hanya tinggal
belulang saja. Pada mulanya aku hampir tak mengenalinya. Kukira ada sebuah
kekeliruan sehingga mereka mengembalikan orang yang salah.
Selama
beberapa hari, ibuku hanya berdiam diri di ranjang. Lalu pada suatu pagi dia
keluar dan berjalan-jalan di sekitar halaman rumah tanpa mengenakan kerudung,
matanya yang gelap tampak cekung, rambutnya berantakan. Dia tak pernah berbicara
pada siapa pun, sampai akhirnya pada suatu siang aku mendengar sebuah suara di
ruang tamu. Ternyata ibuku sedang bicara sendirian.
“Kenapa
kau pergi?” katanya. “Kenapa kau harus pergi?”
Aku
merasa beku saat mendengarnya.
Malam
itu aku berkata pada ayahku saat ia menemaniku ke tempat tidur. “Apakah ibu akan
segera meninggal dunia?”
Dia
menghela napas panjang. “Tidak, Alif. Tidak. Ibumu tak akan segera meninggal
dunia.”
“Apakah
ibu sakit parah?”
“Ya.”
“Apakah
ibu akan segera sembuh?”
“Ya.
Insya Allah.”
“Aku
ingin ibu segera sembuh. Aku ingin membuat gambar yang indah untuknya.”
Menggambar
adalah hobiku. Ayah mendekapku erat-erat pada tubuhnya. Aku merasakan jenggotnya
di wajahku. “Sekarang tidurlah, Alif. Ayo, ucapkan doa sebelum
tidur.”
Ibuku
jadi mudah menangis. Mudah lelah. Dia tak peduli pada keadaan rumah, pada
makanan, pada semua hal yang mestinya dilakukan oleh seseorang untuk terus
bertahan hidup.
Seorang
perempuan datang ke rumah kami setiap hari untuk membersihkan rumah dan memasak.
Aku memanggilnya Mbok Kerto. Dia adalah seorang janda dengan anak-anak yang
sudah menikah, bertubuh pendek, gemuk dan berwatak tegas. Dia hanya bisa berbicara dalam bahasa Jawa.
Ibuku menghindarinya. Ibuku menghindari karib dan kerabat. Ibuku juga
menghindariku, menghindari ayahku. Dia tampak ngeri dengan kehadiran orang
lain.
Suatu
hari, saat duduk sendirian di ruang tamu, dia menyenandungkan sebuah irama.
Ibuku menirukan sebuah irama lembut yang biasa disenandungkan pamanku. Paman
Jundi menyebutnya nasyid.
“Kenapa
ibu bernyanyi seperti itu?” tanyaku pada ayah malam
harinya.
“Seperti
apa?”
“Seperti
suara Paman Jundi.”
Ayahku
terpaku sejenak. Tangannya gemetar. “Ibumu sedang teringat pada adiknya. Semoga
pamanmu beristirahat dengan tenang.”
“Ayah,
kau teringat pada Paman Jundi?”
“Ya.”
“Tapi
kau tak bersenandung seperti itu, Ayah.”
Ia
menoleh sesaat, lalu berkata, “Sudah waktunya tidur, Alif. Ayo, bacalah doa mau
tidur.”
*
* *
Pada
suatu siang, aku melihat ibuku sedang sendirian di ruang tamu sekitar seminggu
setelah kepulangannya dari rumah sakit. Aku bertanya padanya, “Ibu, apakah ibu
sudah sembuh?”
Dia
menatapku sejenak dengan pandangan kosong. Lalu tiba-tiba aku melihat secercah
cahaya di matanya.
“Alif?”
“Ya,
Bu?”
“Alif,
apakah kau menggambar hal-hal yang indah? Apakah kau menggambar hal-hal yang
manis dan indah?”
Aku
tak pernah menggambar hal-hal yang indah. Aku lebih suka menggambar bola-bola
bergulung dan berpusar, berwarna hijau dan merah dan kuning. Aku tak menjawab
pertanyaan ibuku.
“Alif,
apakah kau menggambar burung-burung dan bunga-bunga dan benda-benda yang
indah?”
“Aku
bisa menggambar hal-hal yang indah buatmu, Ibu.”
“Kau
mestinya menggambar hal-hal yang indah, Alif.”
“Apakah
aku mesti menggambar seekor burung yang lucu untukmu,
Ibu?”
“Kau
mesti membuat dunia ini tampak indah, Alif. Buatlah dunia ini terlihat manis dan
indah. Betapa menyenangkannya tinggal di sebuah dunia yang
indah.”
“Aku
akan menggambar untukmu bunga-bunga yang indah dan burung-burung, Ibu. Aku akan
menggambarnya untukmu sekarang juga.”
“Lupakanlah,”
katanya tajam, tiba-tiba. Dia menatap keluar jendela. “Apa bedanya? Katakan
padaku, apa bedanya kini?”
Dan
pandangan hampa kembali terlihat di matanya.
Dia
tak pernah lagi datang ke kamarku. Dia lebih suka berbaring di ranjangnya, tidur
atau menatap ke arah langit-langit, atau duduk di atas sofa di ruang tamu,
memandang keluar jendela, ke arah jalan raya.
Dua
minggu setelah ibuku kembali dari rumah sakit, aku datang ke kamar tidur
orangtuaku di pagi hari. Ayahku telah berangkat kerja dan kulihat ibuku berada
di atas ranjang. Dia berbaring di bawah selimut berwarna coklat. Wajahnya pucat.
Tangannya yang kurus tersembul dari balik lengan gaun tidurnya. Dia tampak
seperti orang mati saat aku masuk, tapi kemudian kelopak matanya terbuka dan dia
mendongakkan kepalanya dari atas bantal, menatap ke arahku. Ibuku mencoba
berbicara, lalu berbaring kembali di atas bantal. Sepasang matanya yang terpejam
tampak seperti tombol kelabu dalam relung gelap berwarna
biru.
Aku
berdiri di sana cukup lama. Dia tampak sulit bernapas. Ada semacam aroma aneh
tercium di udara.
Aku
datang untuk menunjukkan padanya sebuah gambar yang baru selesai kubuat pagi
ini. Gambar dua ekor burung. Yang satu berada dalam sarangnya, yang lainnya
terbang berkitar di dekatnya, sayapnya terpentang lebar dan bergoyang-goyang.
Sarang itu berwarna kuning pucat, sementara burung-burung itu berwarna jingga
dan biru tua. Ada dedaunan berwarna hijau dan bunga-bunga berwarna merah
bertebaran di mana-mana. Juga ada langit berwarna biru pucat dan awan putih dan
burung-burung di kejauhan. Burung dalam sarang memiliki sepasang mata hitam yang
bulat dan lebar.
Aku
berdiri di samping ranjang dan menatap ibuku yang bernapas
perlahan-lahan.
“Ibu,”
kataku.
Matanya
bergerak-gerak perlahan, tapi tetap terpejam.
“Ibu,”
kataku lagi.
Tangannya
bergerak perlahan dan dia menoleh padaku. Dia membuka
matanya.
Aku
memegang gambar itu. Dia menatapnya dengan pandangan
hampa.
“Ini
gambar burung-burung dan bunga-bunga, Ibu.”
Dia
mengerjapkan matanya.
“Aku
membuat dunia ini tampak indah, Ibu.”
Ibuku
memalingkan kepala dan memejamkan matanya.
“Ibu,
apakah kau sudah sembuh?”
Dia
diam tak bergerak.
“Aku
sudah membuat dunia ini tampak indah, Ibu.”
Dia
masih tak bergerak.
“Aku
akan membuat lebih banyak burung dan bunga untukmu, Ibu.”
Di
belakangku seseorang datang dengan cepat ke dalam kamar. Aku merasakan sebuah
tangan di atas bahuku.
“Apa
yang kau lakukan?” Mbok Kerto berbisik galak dalam bahasa
Jawa.
“Aku
membuat gambar untuk ibuku. Aku ingin membuat ibuku
sembuh.”
“Pergilah.”
Wajahnya yang gemuk bergetar. Dia tampak ketakutan kalau-kalau ibuku
terbangun.
“Ibuku
menyuruhku membuat gambar.”
“Pergilah.”
Dia memaksaku berputar. Aku merasakan tangannya mendorongku keluar kamar. “Anak
macam apa yang tega mengganggu ibunya yang sedang sakit? Seorang anak yang baik
tak melakukan hal semacam ini.” Dia membawaku ke kamarku.
Aku
duduk di ranjang dan menatap gambar itu. Tiba-tiba saja aku merasa takut dan
tubuhku gemetar, aku belum pernah merasa seperti itu sebelumnya. Aku beringsut
ke arah meja kecil di dekat ranjang. Perlahan-lahan tanganku meraih
pensil.
Lama
setelahnya, Mbok Kerto berseru memanggilku untuk makan siang. Aku tiba-tiba
tersadar di depan sebuah gambar yang penuh dengan bola-bola kusut berwarna merah
dan hitam. Dalam gambar itu, aku melihat sepasang mata kelabu dan burung-burung
yang mati.
Bandung, 21 April 2000
____________________
Sumber : http://www.sastradigital.com/anton-kurnia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar