oleh Fredric Jameson*
Konsep pascamodernisme tidak diterima atau bahkan dimengerti secara
luas saat ini. Resistensi terhadapnya bisa jadi disebabkan oleh
ketidakpahaman atas karya-karya yang dilahirkannya dalam semua cabang
seni: puisi John Ashbery, misalnya, tapi juga puisi cakap (talk poetry)
yang jauh lebih sederhana yang muncul sebagai reaksi terhadap puisi
modernis yang kompleks, ironis dan akademis di tahun 60an; reaksi
terhadap arsitektur modern dan khususnya terhadap bangunan-bangunan
monumental kaum International Style, bangunan-bangunan pop dan decorated sheds yang dirayakan Robert Venturi dalam manifestonya, Learning from Las Vegas;
Andy Warhol dan Pop Art, tapi juga Fotorealisme baru-baru ini; di
musik, momen John Cage dan juga sintesa terakhir dari gaya klasik dan
“populer” komposer-komposer seperti Philip Glass dan Terry Riley, dan
juga musik punk dan new-wave rock dari grup-grup seperti Clash, Talking
Heads dan Gang of Four; dalam film, semua yang dihasilkan Godard―film
dan video avantgarde kontemporer—tapi juga film-film komersial atau
fiksi gaya baru, yang tandingannya terdapat dalam novel-novel
kontemporer, dimana karya-karya William Burroughs, Thomas Pynchon dan
Ishmael Reed di satu sisi dan novel baru Perancis di sisi lain, mesti
juga dimasukkan sebagai variasi-variasi dari apa yang bisa disebut
sebagai pascamodernisme.
Daftar ini akan menjelaskan dua hal sekaligus: pertama, kebanyakan
dari pascamodernisme-pascamodernisme yang disebut di atas muncul sebagai
reaksi-reaksi khusus atas bentuk-bentuk mapan dari modernisme tinggi
(high modernism), atas modernisme tinggi dominan ini atau itu yang telah
menaklukkan universitas, museum, jaringan galeri seni dan
yayasan-yayasan. Gaya-gaya yang dulu subversif dan
menantang—Ekspresionisme Abstrak; puisi modernis Pound, Eliot atau
Wallace Steven; International Style (Le Corbusier, Frank Lloyd Wright,
Mies); Stravinsky; Joyce, Proust dan Mann—yang dianggap mengejutkan oleh
kakek kita, bagi generasi yang sampai di panggung di tahun 1960an
dirasakan sebagai sang kemapanan dan musuh—tonggak-tonggak reifikasi
yang sudah mati, menyesakkan, keramat, yang mesti dihancurkan kalau
sesuatu yang baru ingin diciptakan. Ini berarti terdapat banyak bentuk
yang berbeda-beda dari pascamodernisme sebanyak modernisme tinggi yang
ada, karena bentuk-bentuk tersebut paling tidak pada awalnya merupakan
reaksi-reaksi lokal dan khusus melawan model-model yang ada. Ini
tentu saja tidak membuat pekerjaan menjelaskan pascamodernisme sebagai
sesuatu yang koheren menjadi lebih mudah, karena kesatuan dari impuls
baru ini—kalau memang ada—hanya terdapat dalam modernisme yang ingin
digantikannya.
Ciri kedua dari daftar pascamodernisme-pascamodernisme di atas adalah
kekaburan di dalamnya mengenai beberapa batasan penting, yang paling
menyolok adalah erosi dari perbedaan lama antara budaya tinggi dan
yang-disebut budaya massa atau populer. Ini mungkin merupakan
perkembangan yang paling meresahkan dilihat dari sudut pandang kaum
akademis, yang secara tradisional memiliki kepentingan sendiri (vested interest)
dalam melestarikan sebuah dunia budaya tinggi atau elite yang terpisah
dari lingkungan sekitarnya yang penuh dengan kebodohan (philistinism), schlock dan kitsch, budaya sinetron dan Reader’s Digest,
dan dalam mewariskan keahlian membaca, mendengar dan melihat yang sulit
dan kompleks kepada calon-calon anggota baru kelompok elite mereka.
Tapi banyak dari pascamodernisme-pascamodernisme terbaru malah terpesona
dengan keseluruhan landskap dari dunia periklanan dan motel-motel,
strip Las Vegas, tontonan tengah malam dan film picisan Hollywood,
dengan apa-yang-disebut sebagai parasastra (paraliterature) dengan
cerita-cerita gothik dan roman airport paperback-nya, biografi
populer, misteri pembunuhan dan novel fiksi ilmiah (science fiction)
atau fantasi. Mereka tidak lagi “mengutip” dari “teks-teks” seperti yang
mungkin dilakukan oleh seorang Joyce, atau seorang Mahler; mereka
menggabungkan semuanya sampai ke titik dimana garis pemisah antara seni
tinggi dan bentuk-bentuk komersial nampak makin sulit untuk dibuat.
Sebuah indikasi yang agak berbeda mengenai pengaburan kategori-kategori lama antara genre dan discourse
dapat ditemukan dalam apa yang kadang-kadang disebut sebagai teori
kontemporer (contemporary theory). Satu generasi yang lalu masih
terdapat sebuah wacana teknis (technical discourse) dari filsafat
profesional—sistem-sistem besar filsafat Sartre atau kaum fenomenologis,
karya Wittgenstein atau filsafat bahasa atau analitik—yang bisa
dibedakan dari wacana disiplin-disiplin akademis lainnya—dari ilmu
politik, misalnya, atau sosiologi atau kritik sastra. Sekarang kita
makin lama makin banyak membaca sebuah jenis tulisan yang cuma disebut
“teori” yang merupakan keseluruhan dari tapi sekaligus juga bukan
hal-hal yang disebut di atas. Jenis wacana baru ini, biasanya
dihubungkan dengan Perancis dan dengan apa-yang-disebut sebagai teori
Perancis, makin bertambah luas pengaruhnya dan menandai berakhirnya
filsafat sebagai filsafat. Apakah karya Michel Foucault, misalnya, akan
disebut filsafat, sejarah, teori sosial atau ilmu politik? Hal ini tak
bisa diputuskan, begitulah kata orang sekarang ini; dan saya usulkan
agar “wacana teoritis” (theoretical discourse) seperti ini juga
dimasukkan sebagai manifestasi dari pascamodernisme.
Sekarang saya mesti menjelaskan tentang pemakaian yang sepantasnya
dari konsep ini: ia bukanlah sekedar sebuah kata lain untuk menjelaskan
sebuah gaya yang khusus. Ia juga, setidaknya dalam pemakaian saya,
merupakan sebuah konsep periodesasi yang berfungsi untuk menghubungkan
munculnya bentuk-bentuk formal baru dalam kebudayaan dengan kelahiran
sebuah tipe kehidupan sosial baru dan sebuah orde ekonomi yang baru—apa
yang secara eufemistis disebut sebagai modernisasi, masyarakat
pascaindustri atau konsumer, masyarakat media atau tontonan, atau
kapitalisme multinasional. Momen baru kapitalisme ini bisa ditelusuri
dari masa boom pascaperang di Amerika Serikat di akhir tahun
1940an dan awal 1950an atau, di Perancis, dari berdirinya Republik
Kelima di tahun 1958. Tahun 1960an dalam banyak hal merupakan periode
transisi penting, periode dimana orde internasional yang baru
(neokolonialisme, Revolusi Hijau, komputerisasi dan informasi
elektronik) secara sekaligus tercipta dan tersapu serta tergoncang oleh
kontradiksi-kontradiksi internalnya sendiri dan oleh perlawanan
eksternal. Di sini saya ingin menggaris-besari beberapa cara
pascamodernisme baru ini mengekspresikan kebenaran dalam (inner truth)
dari orde sosial kapitalisme akhir yang baru muncul tersebut, tapi saya
akan membatasi penjelasan saya dengan dua dari bentuk-bentuknya yang
penting saja, yang akan saya sebut pastiche dan schizophrenia:
keduanya akan memberikan kita kesempatan untuk melihat kekhasan dari
pengalaman pascamodernis atas ruang dan waktu secara berurutan.
Salah satu bentuk atau praktek terpenting dalam pascamodernisme saat ini adalah pastiche.
Saya harus jelaskan dulu maksud istilah ini, yang umumnya cenderung
dikacaukan ataupun diasimilasikan dengan gejala bahasa yang disebut
parodi. Baik pastiche maupun parodi merupakan peniruan atau bahkan
mimikri (mimicry) atas gaya-gaya lain dan terutama atas mannerisme dan
loncatan-loncatan stilistik dari gaya-gaya lain. Sastra modern pada
umumnya memang menyediakan kesempatan yang luas untuk parodi karena
sastrawan-sastrawan modern besar semuanya menciptakan atau menghasilkan
gaya-gaya yang cukup unik: lihatlah kalimat-kalimat panjang Faulkner,
atau imaji-imaji alam khas D.H. Lawrence; Wallace Stevens dengan
keunikan pemakaian abstraksi-abstraksinya; perhatikan juga mannerisme
para filosof, Heidegger misalnya, atau Sartre; juga gaya musik Mahler
atau Prokofiev. Semua gaya ini, bagaimanapun berbedanya satu dari yang
lainnya, adalah sama dalam satu hal yakni: kekhasannya; kalau sebuah
gaya sudah terpahami, tak mungkin akan terkacaukan lagi dengan gaya yang
lain.
Parodi memanfaatkan keunikan gaya-gaya ini dan memakai idiosinkrasi
dan keeksentrikan gaya-gaya tersebut untuk menghasilkan tiruan yang
mengejek karya yang asli. Saya tidak mengatakan bahwa impuls satire
memang disengaja dalam semua bentuk parodi. Bagaimanapun, seorang
parodis yang baik harus memiliki rasa simpati terpendam atas karya asli,
sama seperti seorang peniru (mimic) yang baik harus mampu memahami
orang yang ditirunya. Namun, efek umum dari parodi—baik yang bersimpati
atau yang bermusuhan—adalah mengejek keunikan khas dari mannerisme
stilistik tersebut serta kemubaziran dan keeksentrikannya bila
dibandingkan dengan cara orang biasanya menulis atau berbicara. Jadi di
balik semua parodi terdapat semacam keyakinan bahwa ada norma linguistik
yang berbeda dari gaya-gaya para modernis besar dan yang bisa dipakai
untuk mengejek gaya-gaya tersebut.
Tapi apa yang akan terjadi bila kita tak percaya lagi pada eksistensi
bahasa normal, bahasa sehari-hari, norma linguistik (katakanlah semacam
jenis bahasa yang jelas dan memiliki kekuatan komunikatif seperti yang
diunggulkan Orwell dalam eseinya yang terkenal itu, misalnya)? Kita bisa
membayangkannya begini: mungkin fragmentasi dan privatisasi sastra
modern yang begitu besar—ledakannya ke dalam segudang gaya pribadi dan
mannerisme yang berbeda-beda—melatar-depani kecenderungan-kecenderungan
yang lebih dalam dan umum dari kehidupan sosial seluruhnya. Sekiranyalah
seni modern dan modernisme—jauh daripada sekedar semacam rasa
ingin-tahu estetik yang khusus—memang mengantisipasi perkembangan sosial
dalam garis-garis ini; sekiranyalah dalam beberapa dekade sejak
munculnya gaya-gaya modern yang besar masyarakat sendiri memang mulai
terpecah-pecah seperti ini, setiap kelompok mulai berbicara dalam bahasa
pribadi anehnya masing-masing, setiap profesi mengembangkan kode atau
idiolek masing-masing, dan akhirnya setiap individu menjadi semacam
pulau linguistik, terpisah dari yang lainnya? Tapi kemudian kalau memang
demikian halnya maka kemungkinan terdapatnya sebuah norma linguistik
yang bisa dipakai untuk mengejek bahasa-bahasa pribadi dan gaya-gaya
idiosinkratik akan lenyap, dan yang tinggal bagi kita hanyalah gaya-gaya
yang bermacam ragam belaka.
Di saat seperti inilah pastiche muncul dan parodi jadi tak
mungkin lagi. Pastiche, seperti parodi, adalah tiruan dari sebuah gaya
tertentu atau unik, pemakaian sebuah topeng stilistik, bicara dalam
sebuah bahasa mati: tapi ini merupakan sebuah hal biasa dari peniruan
macam begini, tanpa adanya maksud lain seperti pada parodi, tanpa impuls
satire, tanpa tawa, tanpa adanya anggapan bahwa sesuatu yang normal
memang benar-benar ada dan yang kalau dibandingkan dengan karya yang
sedang ditiru maka yang ditiru itu jadi nampak agak lucu. Pastiche
adalah parodi kosong, parodi yang telah kehilangan rasa humornya:
pastiche bagi parodi adalah sama seperti praktek modern dari semacam
ironi kosong (blank irony) bagi, apa yang oleh Wayne Booth disebut
sebagai, ironi stabil dan komik dari abad 18 misalnya.
Tapi sekarang kita perlu memperkenalkan sesuatu yang baru ke dalam
teka-teki ini untuk membantu menjelaskan mengapa modernisme klasik
adalah sesuatu dari jaman tempo doeloe dan mengapa pascamodernisme
memang mesti menggantikannya. Komponen baru ini adalah sesuatu yang
secara umum disebut sebagai “matinya sang subjek” atau, dalam bahasa
yang lebih konvensional, berakhirnya individualisme sebagai
individualisme. Modernisme-modernisme besar, seperti yang telah kita
katakan, terjadi karena terciptanya sebuah gaya pribadi, unik dan khas
seperti sidik jari atau tubuh kita. Ini berarti bahwa estetika modernis
secara organis terkait dengan konsep diri dan identitas pribadi yang
unik, kepribadian dan individualitas yang unik, yang menghasilkan visi
dunianya sendiri yang unik serta membentuk gaya khasnya sendiri yang
juga unik.
Ternyata saat ini, dilihat dari berbagai perspektif yang
berbeda-beda, para teoritikus sosial, psikoanalis, bahkan para linguis,
belum lagi kita yang bekerja dalam bidang kebudayaan serta perubahan
budaya dan formal, semuanya sedang membahas pendapat bahwa
individualisme dan identitas pribadi seperti di atas adalah sesuatu yang
sudah kadaluwarsa; bahwa individu atau subjek individualis yang lama
itu sudah “mati”; dan bahkan kita bisa mengatakan bahwa konsep individu
yang unik dan dasar teori dari individualisme tersebut bersifat
ideologis. Nyatanya memang terdapat dua posisi atas hal ini, dimana yang
satu lebih radikal daripada yang lainnya. Posisi pertama sudah puas
hanya berkata: ya, pada jaman dahulu kala, pada jaman kapitalisme
kompetitif klasik, pada masa jaya-jayanya keluarga inti (nuclear family)
dan munculnya kaum borjuis sebagai kelas sosial yang dominan, memang
ada sesuatu yang disebut sebagai individualisme, sebagai subjek
individual. Tapi sekarang, di jaman kapitalisme korporasi, jaman
yang-disebut sebagai jaman manusia organisasi, jaman birokrasi baik
dalam bisnis maupun pemerintahan, jaman ledakan penduduk—sekarang ini,
subjek individual borjuis lama itu sudah tak ada lagi.
Kemudian ada posisi kedua, yang paling radikal dari keduanya, yakni
apa yang bisa kita sebut sebagai posisi pascastrukturalis. Disamping
setuju dengan posisi pertama di atas, posisi pascastrukturalis ini juga
menambahkan bahwa: bukan saja subjek individual borjuis itu merupakan
sesuatu yang sudah berlalu, tapi juga hanya sebuah mitos; pada dasarnya
subjek tersebut memang tak pernah ada; tidak pernah ada
subjek-subjek otonom seperti itu. Konstruk ini hanyalah sebuah
mistifikasi filsafat dan budaya belaka untuk membuat kita yakin bahwa
kita “memiliki” subjek-subjek individual dan identitas pribadi yang
unik.
Untuk maksud esei ini tidaklah begitu penting untuk memutuskan mana
dari kedua posisi tersebut yang benar (atau mana yang paling menarik dan
produktif). Apa yang kita dapat dari semua ini adalah sebuah dilema
estetik: karena kalau pengalaman dan ideologi dari diri yang unik itu,
sebuah pengalaman dan ideologi yang mendasari proses kreatif modernisme
klasik, memang sudah berlalu dan tak berlaku lagi, maka sekarang jadi
tak jelas apa yang para seniman kontemporer mesti lakukan. Yang jelas
hanyalah bahwa model-model lama—Picasso, Proust, TS Eliot—tidak terpakai
lagi (atau sudah bersifat merusak), karena tak ada lagi orang yang
memiliki dunia pribadi dan gaya yang unik seperti itu untuk
diekspresikan. Dan ini mungkin bukan sekedar sebuah persoalan
“psikologis” semata: kita juga mesti memperhitungkan bobot luar biasa
dari tujuhpuluh atau delapanpuluh tahun modernisme klasik itu sendiri.
Ada juga hal lain kenapa para seniman kontemporer tidak akan mampu lagi
menciptakan gaya-gaya dan dunia-dunia baru—semuanya sudah diciptakan;
hanya sejumlah kecil kombinasi gaya yang mungkin; kombinasi-kombinasi
yang paling unik malah sudah dilakukan. Jadi bobot dari keseluruhan
tradisi estetik modernis—sekarang sudah mati—juga “membebani seperti
sebuah mimpi buruk dalam kepala orang-orang yang masih hidup,” seperti
kata Marx dalam konteks yang lain.
Makanya, sekali lagi, pastiche: di dunia dimana inovasi gaya sudah
tak mungkin lagi, yang tinggal hanyalah peniruan gaya-gaya mati, bicara
lewat topeng-topeng dan dengan suara-suara dari gaya-gaya dalam museum
imajiner (imaginary museum). Tapi ini berarti bahwa seni kontemporer
atau pascamodernis akan menjadi mengenai seni itu sendiri dalam sebuah
cara yang baru; bahkan, ini berarti bahwa salah satu pesan utamanya akan
berkaitan dengan perlunya kegagalan seni dan estetika, kegagalan dari
yang baru, keterpenjaraan dalam masa lalu.
Karena ini mungkin nampaknya sangat abstrak, saya ingin memberikan
beberapa contoh, yang mana salah satunya begitu akrabnya dengan kita
hingga jarang kita hubungkan dengan jenis-jenis perkembangan dalam seni
tinggi seperti yang dibahas di sini. Praktek khusus dari pastiche ini
bukan budaya tinggi tapi budaya massa dan umumnya dikenal sebagai “film
nostalgia” (apa yang dengan tepat disebut orang Perancis sebagai la mode rétro―gaya
retrospektif). Kita mesti mengartikan kategori ini dalam pengertiannya
yang seluas-luasnya, kalau tidak, tak syak lagi, hanya akan menunjuk
pada film-film tentang masa lampau dan tentang masa-masa tertentu dalam
masa lampau tersebut. Salah satu film awal dari “genre” (kalau memang
bisa dibilang begitu) baru ini adalah American Graffiti oleh
Lucas, yang dalam tahun 1973 berusaha menggambarkan segala suasana dan
kekhasan Amerika Serikat tahun 1950an, Amerika Serikat di era
Eisenhower. Film Polanski Chinatown melakukan hal yang sama atas tahun 1930an, sama seperti The Conformist
oleh Bertolucci untuk konteks Itali dan Eropa dari periode yang sama,
era fascis di Itali; dan seterusnya. Kita bisa meneruskan daftar ini
lebih panjang lagi; mengapa menyebutnya pastiche? Bukankah
film-film tersebut lebih merupakan karya dalam genre yang lebih
tradisional yang dikenal sebagai film sejarah―karya yang bisa dengan
lebih sederhana diteorikan dengan membandingkannya dengan bentuk
terkenal lainnya yaitu novel sejarah?
Saya punya alasan mengapa kita memerlukan kategori-kategori baru
untuk film-film demikian. Tapi baiklah terlebih dulu saya tambahkan
beberapa anomali: seandainya saya sarankan bahwa Star Wars pun
adalah sebuah film nostalgia. Apa artinya ini? Saya percaya kita bisa
setuju bahwa film ini bukanlah sebuah film sejarah tentang masa lalu
intergalaksi kita. Baiklah saya menjelaskannya dengan cara lain: salah
satu pengalaman budaya terpenting generasi-generasi tahun ‘30an sampai
‘50an adalah acara serial tv hari Sabtu sore tipe Buck
Rogers―tokoh-tokoh alien yang jahat, pahlawan-pahlawan sejati
Amerika, tokoh perempuan dalam bahaya, sinar maut atau kotak penyebab
kiamat, dan ketakpastian cerita (cliffhanger) di akhir episode yang
jawabannya baru bisa diketahui Sabtu sore berikutnya. Star Wars
menciptakan kembali pengalaman ini dalam bentuk pastiche: yaitu bahwa
tak ada lagi alasan untuk memparodi serial-serial jenis ini karena
mereka sudah lama mati. Star Wars, jauh dari sekedar sebuah
satire tak berarti atas bentuk-bentuk yang sekarang sudah mati ini,
memuaskan rasa ingin yang dalam (haruskah saya katakan yang tertekan?)
untuk mengalaminya kembali: ini merupakan sebuah objek yang kompleks
dimana pada tingkat awal anak-anak dan remaja bisa langsung terlibat
dalam ceritanya, sedangkan penonton yang lebih tua bisa memuaskan rasa
nostalgia yang lebih dalam untuk kembali ke periode lampau tersebut dan
untuk mengalami artefak estetiknya yang lama sekali lagi. Jadi film ini
secara metonim adalah sebuah film sejarah atau nostalgia: tidak seperti American Graffiti, Star Wars
tidak menciptakan kembali sebuah gambaran masa lalu dengan totalitas
kehidupan sehari-harinya; tapi, dengan menciptakan kembali rasa dan
bentuk dari objek-objek seni khas masa yang sudah lalu (serial-serial tv
di atas tadi), film ini bertujuan membangkitkan sebuah suasana tempo
doeloe yang diasosiasikan dengan objek-objek tersebut. Sementara itu Raiders of the Lost Ark menduduki posisi tengah di sini: pada satu level film ini adalah tentang
tahun ‘30an dan ‘40an, tapi pada realitasnya juga mengungkapkan periode
tersebut secara metonim melalui cerita-cerita petualangan ciri-khasnya
(yang tak ada lagi sekarang).
Sekarang baiklah saya diskusikan sebuah anomali menarik lainnya yang
akan membawa kita lebih jauh lagi untuk memahami film nostalgia
khususnya dan pastiche umumnya. Yang ini menyangkut sebuah film yang dibuat baru-baru ini berjudul Body Heat yang, seperti telah berulang kali ditunjukkan para kritikus, merupakan semacam pembuatan-kembali yang tak langsung atas film The Postman Always Rings Twice atau film Double Indemnity. (Plagiarisme yang jelas maupun tidak dari plot-plot lama tentu saja juga merupakan sebuah ciri dari pastiche.) Body Heat
secara teknis bukanlah film nostalgia karena mengambil tempat di sebuah
setting kontemporer, di sebuah kampung kecil Florida, dekat Miami. Di
sisi lain, kekinian teknis ini sangat bersifat ambigu: daftar nama dalam
film (credits)—biasanya petunjuk pertama kita—memakai huruf-huruf dan
ditulis dalam gaya Art-Deco tahun 30an yang mau tak mau membangkitkan
rasa nostalgia (pertama-tama kepada Chinatown tentu saja, dan
lalu kepada referen yang lebih bersejarah). Kemudian gaya tokoh utamanya
sendiri pun bersifat ambigu: William Hurt adalah seorang bintang baru
tapi tidak memiliki gaya khas superstar laki-laki generasi sebelumnya
seperti Steve McQueen atau bahkan Jack Nicholson, atau malah, persona-nya
di sini adalah semacam gabungan karakteristik keduanya dengan sebuah
peran-lakon yang agak lebih tua dari tipe yang umumnya diasosiasikan
dengan Clark Gable. Jadi di sini pun terdapat sebuah suasana masa lampau
dalam semuanya ini. Penonton mulai bertanya-tanya mengapa cerita ini,
yang bisa ditempatkan di mana saja, mengambil tempat di sebuah kota
kecil Florida, walau referensinya bersifat kontemporer. Selang beberapa
waktu barulah kita sadari bahwa setting kota kecil ini memiliki sebuah
fungsi strategis yang penting: ini memungkinkan film untuk dibuat tanpa
terikutnya signal-signal dan referensi-referensi yang akan kita
asosiasikan dengan dunia kontemporer, dengan masyarakat
konsumer—peralatan rumahtangga dan artefak-artefak, gedung pencakar
langit, dunia objek dari kapitalisme akhir. Jadi secara teknis
objek-objeknya (mobil-mobilnya, misalnya) adalah produk tahun 1980an,
tapi hal-hal lainnya dalam film merupakan semacam usaha pengaburan atas
referensi kontemporer itu sendiri agar memungkinkannya diterima sebagai
film nostalgia—sebagai sebuah naratif yang dibuat di sebuah masa silam
yang tak terdefinisikan, masa 30an abadi, atau katakanlah, di luar
sejarah. Saya lihat bahwa gejala merembet dan menguatnya gaya film
nostalgia bahkan dalam film-film sekarang yang jelas punya setting
kontemporer sudah keterlaluan: seolah-olah, karena bermacam alasan, kita
tak mampu lagi sekarang memfokus kekinian kita, tak mampu lagi
menghasilkan representasi estetis pengalaman-pengalaman sehari-hari kita
sendiri. Jika memang demikian kenyataannya maka ini merupakan sebuah
tuduhan luar biasa terhadap kapitalisme konsumer itu sendiri—atau paling
tidak, sebuah simptom patologis yang mengkhawatirkan dari masyarakat
yang telah jadi tidak mampu lagi berurusan dengan waktu dan sejarah.
Sekarang kita kembali ke persoalan mengapa film nostalgia atau pastiche
harus dipandang berbeda dari novel atau film sejarah yang lama. (Saya
juga akan masukkan dalam diskusi ini contoh karya sastra utama dari
gejala ini, yakni novel-novel E.L. Doctorow—Ragtime, dengan suasana akhir abad 19-nya, dan Loon Lake,
yang sebagian besar tentang era 1930an kita. Bagi saya, novel-novel ini
hanya penampilannya saja yang merupakan novel-novel sejarah. Doctorow
adalah seorang seniman serius dan salah satu dari sedikit novelis Kiri
atau radikal tulen yang berkarya saat ini. Tapi tidaklah merugikan
baginya kalau saya mengatakan bahwa naratif-naratifnya tidak mewakili
masa lalu kita tapi merupakan ide-ide stereotif budaya kita tentang masa
lalu tersebut.) Produk budaya telah digiring balik ke dalam pikiran, ke
dalam subjek monadik: tak ada lagi kesanggupan untuk melihat langsung
ke dunia nyata tapi mesti, seperti dalam gua Plato, menelusuri
imaji-imaji mental dunia pada dinding-dinding tertutupnya. Kalau masih
ada realisme tersisa di sini, maka “realisme” ini merupakan hasil dari
rasa terkejut dalam menerima kungkungan tadi dan dalam menyadari bahwa,
karena alasan khusus apapun, kita nampaknya dikutuk untuk mengerti masa
lalu kita melalui imaji-imaji pop dan stereotif kita sendiri tentang
masa lalu yang selamanya di luar jangkauan kita itu.
Sekarang saya ingin beralih ke apa yang saya lihat sebagai bentuk
dasar kedua dari pascamodernisme, yakni hubungan khasnya dengan
waktu—apa yang bisa disebut sebagai “tekstualitas” atau “écriture” tapi
yang saya anggap lebih baik didiskusikan dengan memakai teori-teori schizophrenia
saat ini. Tapi saya mesti terlebih dulu menjelaskan maksud dari
pemakaian saya atas istilah ini untuk mencegah terjadinya kesalahpahaman
arti: yaitu lebih bersifat deskriptif dan bukan diagnostik. Saya
sendiri tak percaya kalau ada dari seniman-seniman pascamodernis
terpenting—seperti John Cage, John Ashbery, Philippe Sollers, Robert
Wilson, Andy Warhol, Ishmael Reed, Michael Snow, bahkan Samuel Beckett
sendiri—yang skizofrenik. Juga bukanlah bermaksud sebagai diagnosis
budaya-dan-kepribadian dari masyarakat dan seni kita: banyak hal yang
lebih jelek lagi yang bisa dikatakan tentang sistem sosial kita
dibanding apa yang bisa ditawarkan oleh psikologi pop. Saya bahkan tidak
begitu yakin kalau pandangan saya tentang skizofrenia yang akan saya
paparkan—sebuah pandangan yang kebanyakan dikembangkan dalam karya
psikoanalis Perancis Jacques Lacan—secara klinik akurat; tapi hal itu
pun tidak jadi soal bagi tujuan saya.
Orisinalitas pemikiran Lacan dalam bidang ini adalah kesimpulannya
bahwa skizofrenia pada dasarnya adalah sebuah kekacauan bahasa dan dalam
menghubungkan pengalaman skizofrenia dengan keseluruhan pandangan
tentang kemampuan penguasaan bahasa sebagai missing-link
fundamental dalam konsep Freud tentang pembentukan jiwa yang dewasa. Ini
dilakukannya dengan memberikan kita sebuah versi linguistik dari
Oedipus Complex di mana persaingan Oedipus dideskripsikan bukan dalam
bentuk individual biologis yang merupakan saingan atas perhatian sang
ibu, tapi dalam apa yang disebutnya sebagai Nama-Sang-Bapak (the
Name-of-the-Father), otoritas paternal yang sekarang dijadikan sebagai
fungsi linguistik. Apa yang mesti kita ambil dari sini adalah ide bahwa
psikosis, dan lebih khususnya lagi skizofrenia, timbul dari kegagalan
sang anak untuk masuk dengan utuh ke dalam dunia ujaran dan bahasa (the
realm of speech and language).
Model bahasa Lacan adalah model strukturalis yang sudah ortodok saat
ini, yang didasarkan pada konsep bahwa sebuah tanda linguistik memiliki
dua (atau mungkin tiga) komponen. Sebuah tanda, sebuah kata, sebuah
teks, di sini dijadikan model dari hubungan antara sebuah signifier—sebuah objek material, bunyi kata, naskah teks—dan sebuah signified, yaitu arti
dari kata atau teks material tadi. Komponen ketiga adalah
apa-yang-disebut “referent”, objek “sebenarnya” dari dunia “sebenarnya”
yang jadi rujukan dari tanda—kucing sebenarnya sebagai lawan dari konsep
tentang kucing atau bunyi “kucing”. Tapi bagi strukturalisme umumnya
ada kecenderungan untuk melihat referensi itu sebagai semacam mitos,
bahwa kita tidak bisa lagi bicara tentang yang “sebenarnya” secara
eksternal atau objektif seperti itu. Jadi tinggal tanda itu sendiri dan
kedua komponennya. Sementara itu gebrakan lain dari strukturalisme
adalah usaha untuk menghilangkan konsep lama tentang bahasa sebagai
penamaan (misalnya, Tuhan memberikan Adam bahasa untuk dipakai dalam
menamai binatang-binatang dan tumbuhan di Taman Eden), yang melibatkan
sebuah korespondensi satu-satu antara sebuah signifier dan sebuah signified.
Memakai pandangan struktural kita tidak salah kalau menganggap bahwa
kalimat-kalimat tidak bekerja seperti itu: kita tidak menerjemahkan signifier individual atau kata-kata yang membentuk sebuah kalimat ke dalam signifiednya satu-per-satu. Tapi kita baca keseluruhan kalimatnya dan dari hubungan antar kata-kata atau signifiernya barulah sebuah arti yang lebih menyeluruh—sekarang disebut “efek-arti”—diperoleh. Signified—mungkin juga bahkan ilusi atau bayang-bayang dari signified dan dari arti pada umumnya—adalah sebuah efek yang dihasilkan oleh hubungan intern dari signifier material.
Semuanya ini menunjukkan skizofrenia sebagai putusnya hubungan antara signifier.
Bagi Lacan, pengalaman temporalitas, waktu, masa lalu, masa kini,
memori, berlanjutnya identitas pribadi atas bulan dan tahun―kesadaran
akan eksistensi atau pengalaman atas waktu itu sendiri―adalah juga
sebuah efek dari bahasa. Karena bahasa memiliki masa silam dan masa
depan, karena kalimat bergerak dalam waktu, maka kita bisa memiliki apa
yang nampaknya bagi kita sebagai sebuah pengalaman waktu yang konkrit
dan langsung. Tapi karena seorang skizofrenik tidak mengerti artikulasi
bahasa seperti ini, dia tidak memiliki pengalaman kontinyuitas waktu
seperti kita, dan ditakdirkan untuk hidup dalam masa kini abadi, tak
mengerti masa lalu maupun masa depannya. Dengan kata lain, pengalaman
skizofrenik adalah sebuah pengalaman signifier material yang
terisolasi, terputus, tak berlanjut, yang gagal untuk membentuk sebuah
sikuens yang koheren. Seorang skizofrenik jadinya tak memiliki identitas
pribadi seperti kita, karena kesadaran identitas kita tergantung pada
kesadaran kita atas berlanjutnya sang “saya” dan “aku” (the “I” and the
“me”) atas waktu.
Di sisi lain, seorang skizofrenik jelas memiliki pengalaman masa kini
yang lebih intens daripada kita, karena masa kini kita selalu merupakan
bagian dari kesatuan skema yang lebih besar yang memaksa kita untuk
secara selektif memfokus persepsi kita. Dengan kata lain, kita tidak
begitu saja secara global menerima dunia luar sebagai sebuah visi yang
seragam: kita selalu terlibat dalam penggunaannya, dalam menelusuri
jalan-jalan tertentu di dalamnya, dalam berhubungan dengan objek atau
orang ini atau itu di dalamnya. Seorang skizofrenik tidak hanya “bukan
siapa-siapa” dalam arti tidak memiliki identitas pribadi tapi juga tidak
berbuat apa-apa, karena untuk memiliki sebuah rencana berarti ada
kemampuan untuk melibatkan diri kepada sebuah kontinyuitas tertentu atas
waktu. Jadi seorang skizofrenik memiliki visi dunia yang seragam dalam
waktu masa kini, sebuah pengalaman yang jelas tidak menyenangkan:
“Saya ingat jelas sekali hari terjadinya. Kami menginap di luar kota
dan saya sedang jalan-jalan sendirian seperti yang kadang-kadang saya
lakukan. Tiba-tiba, waktu saya melewati sekolah itu, saya mendengar
sebuah lagu Jerman; murid-murid sedang belajar menyanyi. Saya berhenti
untuk mendengar, dan pada saat itu sebuah perasaan aneh menyergap saya,
sebuah perasaan yang sulit untuk dimengerti tapi dekat dengan sesuatu
yang kelak akan sangat saya pahami―sebuah perasaan ketaknyataan
(unreality) yang mengganggu. Rasanya saya tak lagi mengenali sekolah
itu, yang sudah jadi sebesar barak; anak-anak yang bernyanyi itu adalah
para tahanan, dipaksa untuk bernyanyi. Rasanya seakan-akan sekolah dan
nyanyian anak-anak itu terpisah dari dunia sekitarnya. Dalam waktu yang
bersamaan mata saya tertumbuk pada sebuah ladang gandum yang
batas-batasnya tak bisa saya lihat. Kekuningan yang luas, menyilaukan
diterpa matahari, ditambah dengan nyanyian anak-anak yang terpenjara
dalam barak-sekolah dari batu mulus licin itu, membangkitkan rasa cemas
yang dahsyat dalam diri saya hingga saya menangis terisak-isak. Saya
berlari pulang ke kebun kami dan mulai bermain “untuk membuat segalanya
nampak seperti biasanya”, yakni kembali ke realitas. Itulah kemunculan
awal elemen-elemen yang selalu hadir dalam sensasi-sensasi unreality di
kemudian hari: keluasan yang tak terbatas, cahaya terang-benderang,
serta kelicinan dan kemulusan benda-benda material.” (Marguerite
Séchehaye, Autobiography of a Schizophrenic Girl.)
Perhatikanlah bahwa begitu kontinyuitas waktu terputus, pengalaman
kekinian menjadi benar-benar nyata dan bersifat “material”: bagi si
skizofrenik dunia jadi lebih tinggi intensitasnya, menimbulkan semacam
kesan yang misterius dan menekan, bersinar dengan energi khayalan. Tapi
apa yang bagi kita nampak sebagai sebuah pengalaman yang
diinginkan―menguatnya persepsi kita, intensifikasi libidinal atau hallucinogenic atas lingkungan kita yang biasanya akrab dan monoton―di sini dirasakan sebagai sebuah kehilangan, sebuah “ketaknyataan”.\
Apa yang ingin saya tekankan adalah bagaimana signifier yang terisolasi jadi makin material―atau lebih tepat lagi, lebih literal―jadi
lebih nyata sensasinya, walau pengalaman baru tersebut menyenangkan
atau menakutkan. Kita bisa menunjukkan hal yang sama dalam dunia bahasa:
apa yang diakibatkan oleh peristiwa terputusnya bahasa secara
skizofrenik atas kata-kata individual yang ada adalah me-reorganisasikan
subjek atau pembicara kepada semacam pemahaman yang lebih literal
terhadap kata-kata tersebut. Lagi, dalam ujaran yang normal, kita
mencoba melihat melalui materialitas kata-kata (bunyi-bunyi aneh dan
ujud cetaknya, nada suara dan aksen khas saya, dan sebagainya) untuk
sampai pada artinya. Begitu arti hilang, maka materialitas kata-kata
jadi bersifat obsesif, seperti dalam kasus di mana anak-anak
mengulang-ulang sebuah kata terus-menerus hingga artinya hilang dan kata
tersebut jadi sebuah mantera yang tak bisa dimengerti. Kembali ke
deskripsi awal kita di atas, sebuah signifier yang telah kehilangan signifiednya jadinya berubah menjadi sebuah imaji.
Pengelanturan yang panjang tentang schizophrenia ini memungkinkan kita untuk menambah sebuah feature yang
dalam deskripsi awal di atas belum betul-betul kita bahas―yaitu waktu
itu sendiri. Kita jadinya mesti memindahkan diskusi pascamodernisme kita
sekarang dari seni visual ke yang bersifat temporal―ke musik, puisi dan
jenis-jenis teks naratif tertentu seperti karya-karya Beckett. Siapa
saja yang pernah mendengar musik John Cage mungkin saja mengalami
hal-hal yang baru saja dibicarakan di atas: frustrasi dan resah―musik
yang hanya terdiri dari sebuah chord atau note tunggal
diikuti oleh kebisuan yang begitu lama hingga kita tak bisa lagi
mengingat apa yang terjadi sebelumnya, kebisuan yang kemudian menghilang
terlupakan oleh bunyi hingar-bingar aneh yang baru yang kemudian juga
menghilang. Pengalaman begini bisa diilustrasikan melalui banyak bentuk
produksi budaya saat ini. Di bawah ini saya pilih sebuah teks dari
seorang penyair muda, sebagian karena “grup” atau “aliran”-nya―dikenal
sebagai Language Poets―dalam banyak hal membuat pengalaman terputusnya
waktu―pengalaman yang dideskripsikan dalam esei ini dalam pengertian
bahasa skizofrenik―sebagai hal utama bagi eksperimen-eksperimen bahasa
mereka dan bagi apa yang biasanya mereka namakan “Kalimat Baru”. Sajak
ini berjudul “Cina” karya Bob Perelman (bisa ditemukan dalam koleksi
barunya Primer, terbitan This Press di Berkeley, California):
“Kita hidup di dunia ketiga dari matahari. Nomor tiga. Tak ada yang memberitahu kita apa yang mesti kita lakukan.
Orang-orang yang mengajar kita menghitung sedang berbaik hati.
Ini selalu waktunya untuk pergi.
Jika turun hujan, kau mungkin membawa payung mungkin tidak.
Angin menerbangkan topimu.
Matahari terbit juga.
Bagiku lebih baik bintang-bintang tidak menjelaskan kita pada sesama kita; bagiku lebih baik kita sendiri yang melakukannya.
Larilah ke depan bayanganmu.
Seorang adik perempuan yang menunjuk ke langit setidaknya sekali satu dekade adalah seorang adik yang baik.
Landskap dimotorisasi.
Kereta api membawamu ke mana dia pergi.
Jembatan-jembatan di antara air.
Orang-orang berjalan tak teratur sepanjang lapangan semen yang luas, menuju ke pesawat.
Jangan lupa bagaimana topi dan sepatumu kelihatannya nanti waktu kau tak bisa ditemukan.
Bahkan kata-kata yang terapung di udara membuat bayangan-bayangan biru.
Kalau rasanya enak akan kita makan.
Daun-daun berguguran. Menunjukkan segalanya.
Pilihlah hal-hal yang tepat.
Hei coba terka? Apa? Aku sudah belajar bagaimana berbicara. Bagus.
Orang yang kepalanya tak lengkap itu menangis.
Begitu jatuh, apa yang bisa dilakukan boneka itu? Tak ada.
Pergilah tidur.
Kau nampak gagah pakai celana pendek. Dan bendera itu pun nampak bagus.
Setiap orang menyukai letusan-letusan itu.
Waktunya untuk bangun.
Tapi lebih baik jadi terbiasa dengan mimpi.”
Sekarang mungkin ada yang keberatan, bahwa ini bukanlah tulisan
skizofrenik yang sebenarnya dalam pengertian kliniknya; tidak begitu
tepat kalau dikatakan bahwa kalimat-kalimat ini adalah signifier material yang berdiri sendiri yang signifiednya
telah hilang. Nampaknya memang ada semacam arti global di sini. Memang,
sejauh karya ini secara aneh merupakan sebuah sajak politik, sajak ini
nampaknya berhasil menangkap kesan-kesan dari eksperimen sosial raksasa
yang tak terselesaikan oleh negeri Cina baru, yang tak tertandingi dalam
sejarah dunia: kemunculan yang tak terduga-duga, di antara dua superpower,
dari “nomor tiga”; kesegaran dari sebuah dunia-objek yang benar-benar
baru yang dihasilkan manusia-manusia yang memegang kontrol baru atas
nasib kolektifnya sendiri; peristiwa pertanda, khususnya, tentang sebuah
kolektivitas yang telah menjadi sebuah “subjek sejarah” baru dan yang,
setelah begitu lama di bawah feodalisme dan imperialisme, bicara dalam
suaranya sendiri, untuk dirinya sendiri, untuk pertama kalinya (“Hei
coba terka? … Aku sudah belajar bagaimana berbicara.”). Namun arti yang
demikian melayang di atas teks atau di belakangnya. Kita tak bisa, saya
pikir, membaca teks ini menurut kategori-kategori New Critic yang lama
dan berusaha mencari hubungan-dalam dan tekstur kompleks yang jadi
ciri-khas “universal konkrit” lama modernisme-modernisme klasik seperti
dalam karya Wallace Stevens.
Karya Perelman, dan Language Poetry umumnya, berhutang kepada
Gertrude Stein dan kepada aspek-aspek tertentu dari Flaubert. Jadi bukan
tidak pada tempatnyalah kalau pada titik ini untuk menyisipkan sebuah
pendapat lama tentang kalimat-kalimat Flaubert dari Sartre, yang
menunjukkan kekuatan rasa dari gerakan kalimat-kalimat dimaksud:
“Kalimatnya bergerak mengitari objeknya, menangkapnya,
mengimmobilisasinya, dan mematahkannya, melilitnya, berubah jadi batu
dan mematikan objeknya bersama dirinya. Kalimatnya buta dan tuli, tak
berdarah, tak memiliki napas hidup; sebuah kebisuan yang dalam
memisahkannya dari kalimat berikutnya; jatuh ke dalam kehampaan,
selamanya, dan membawa korbannya bersamanya. Tiap realitas, sekali
dijelaskan, jadi terhapus dari daftar.” (Jean-Paul Sartre, What Is Literature?)
Deskripsi ini merupakan deskripsi yang antagonistik, dan kekuatan
Perelman secara historis agak berbeda dari praktek Flaubertian yang
merusak ini. (Bagi Mallarmé, seperti yang pernah diobservasi Barthes
dalam kasus yang sama, kalimat, kata, adalah sebuah cara untuk membunuh
dunia luar.) Namun hal ini mengungkapkan misteri kalimat yang jatuh
dalam kehampaan kebisuan yang begitu besar hingga untuk sementara waktu
kita sangsi apa kalimat yang baru mungkin timbul untuk menggantikannya.
Tapi sekarang rahasia sajak ini mesti diungkapkan. Sajak ini sedikit
mirip Fotorealisme, yang nampaknya seperti sebuah proses kembali ke
representasi setelah abstraksi-abstraksi anti-representasi dari
Ekspresionisme Abstrak, sampai orang mulai sadar bahwa lukisan-lukisan
ini juga tidak benar-benar realistis, karena apa yang direpresentasikan
bukanlah dunia luar atau, dengan kata lain, imaji dunia luar. Sebagai
realisme yang salah, lukisan-lukisan tersebut sebenarnya adalah seni
tentang seni lain, imaji dari imaji lain. Dalam kasus kita, objek yang
direpresentasikan bukanlah Cina sama sekali: apa yang terjadi adalah
bahwa Perelman melihat sebuah buku foto di sebuah toko alat-tulis di
Chinatown, sebuah buku yang captions dan huruf-hurufnya jelas
cuma kata-kata tak terpahami (atau akan kita sebut signifier material?)
baginya. Kalimat-kalimat sajaknya adalah captions-nya untuk gambar-gambar tersebut. Referen-nya adalah imaji-imaji lain, teks lain, dan “kesatuan” sajak tersebut bukan di dalam teksnya sama sekali tapi di luarnya di dalam kesatuan sebuah buku yang absen.
Sekarang saya akan coba dengan cepat sebagai kesimpulan untuk
menjelaskan sifat hubungan produksi budaya macam begini dengan kehidupan
sosial (di Amerika Serikat) saat ini. Ini juga waktunya untuk
memberikan keberatan utama atas konsep-konsep pascamodernisme dari jenis
yang sudah saya sketsakan di sini: yakni bahwa semua hal yang telah
kita sebutkan tidaklah baru tapi berlimpah terdapat dalam modernisme
atau apa yang saya namakan modernisme tinggi. Bukankah Thomas Mann juga
tertarik dengan ide pastiche, dan bukankah bab-bab tertentu dari Ulysses merupakan
realisasinya yang paling nyata? Bukankah kita menyebut Flaubert,
Mallarmé dan Gertrude Stein dalam pembicaraan kita tentang temporalitas
pascamodernisme? Apa yang baru dari semua ini? Apakah kita benar-benar
memerlukan konsep dari sebuah pascamodernisme?
Satu jenis jawaban atas pertanyaan ini akan mengangkat keseluruhan
isu dari periodesasi dan bagaimana seorang sejarawan (sastra atau yang
lainnya) menentukan pemisahan radikal antara dua periode yang berbeda
ini. Saya harus membatasi diri pada usulan bahwa pemisahan radikal
antara periode umumnya tidak melibatkan perubahan isi yang komplet tapi
lebih merupakan restrukturasi dari jumlah elemen tertentu yang sudah
diberikan: hal-hal yang pada periode atau sistem sebelumnya tidak
dominan sekarang jadi dominan, dan yang sebelumnya dominan jadi kurang
begitu penting lagi. Dalam pengertian ini semuanya yang telah kita
deskripsikan di sini bisa ditemukan dalam periode-periode sebelumnya dan
terutama dalam modernisme: maksud saya adalah bahwa sampai saat ini
hal-hal tersebut adalah sifat-sifat minor atau nomor dua saja dari seni
modernis, lebih marjinal daripada sentral, dan kita akan memiliki
sesuatu yang baru kalau ini menjadi sifat-sifat utama dari produksi
budaya.
Tapi saya bisa mengargumentasikannya lebih jelas lagi dengan berbalik
ke hubungan antara produksi budaya dan kehidupan sosial umumnya.
Modernisme yang lama atau klasik adalah sebuah seni oposisional; muncul
dalam masyarakat bisnis jaman Guild (Eropa) sebagai bersifat skandal dan
ofensif bagi publik kelas-menengahnya―buruk, kasar, bohemian,
mengejutkan secara seksual. Sesuatu yang bisa dimain-mainkan (kalau
polisi belum dipanggil untuk menyita buku-buku atau menutup pameran):
sebuah penghinaan atas selera baik dan pikiran sehat, atau, seperti apa
yang mungkin dikatakan Freud dan Marcuse, sebuah tantangan provokatif
atas prinsip-prinsip realitas dan pertunjukan yang menguasai kalangan
masyarakat kelas-menengah abah 20 awal. Modernisme secara umum tidak
cocok dengan perabotan jaman Victoria yang berlebihan, dengan tabu-tabu
moral jaman Victoria, atau dengan konvensi-konvensi masyarakat sopan.
Ini maksudnya adalah bahwa apapun kandungan politik eksplisit modernisme
tinggi utama, dalam cara-caranya yang biasanya implisit selalu saja ia
berbahaya dan eksplosif, subversif bagi orde yang mapan.
Kalau kemudian kita kembali ke masa kini, kita bisa mengukur besarnya
perubahan budaya yang telah terjadi. Bukan saja Joyce dan Picasso tidak
lagi aneh dan memuakkan, mereka telah menjadi klasik dan sekarang
manpak agak realistis bagi kita. Sementara itu sedikit sekali baik
bentuk maupun isi dari seni kontemporer yang dianggap tak bisa diterima
dan bersifat skandal oleh masyarakat kontemporer. Bentuk-bentuk paling
ofensif dari seni ini―sebutlah punk rock, atau apa yang disebut
materi seks yang eksplisit―semuanya diterima begitu saja oleh
masyarakat, dan sukses secara komersial, tidak seperti produksi-produksi
dari modernisme tinggi yang lama. Tapi ini berarti bahwa kalau seni
kontemporer memiliki semua sifat yang sama dengan modernisme yang lama,
seni kontemporer masih belum tegar posisinya dalam kebudayaan kita.
Dalam satu hal produksi komoditi dan khususnya pakaian, perabotan,
gedung-gedung dan artefak-artefak lainnya sekarang ini terkait erat
dengan perubahan-perubahan stilistik yang diakibatkan oleh
eksperimentasi artistik; dunia iklan, misalnya, penuh dengan
pascamodernisme dari semua cabang seni dan tak terbayangkan tanpanya.
Dalam hal lain, karya-karya klasik modernisme tinggi sekarang jadi
bagian dari yang-disebut canon dan diajarkan di sekolah-sekolah
dan universitas-universitas―yang segera mengempeskannya dari kekuatan
subversifnya yang lama. Memang, satu cara untuk menandai pemisahan
antara periode-periode tersebut dan untuk memberikan tanggal munculnya
pascamodernisme terdapat di sini: di saat (awal tahun 1960an, kira-kira)
di mana posisi modernisme tinggi dan estetika dominannya jadi mapan di
dunia akademis dan karenanya dianggap bersifat akademis oleh keseluruhan
generasi baru penyair, pelukis dan pemusik.
Tapi kita bisa juga menentukan pemisahan tersebut dari sisi lain, dan
menjelaskannya dalam konteks periode-periode kehidupan sosial baru-baru
ini. Seperti yang telah saya usulkan, kaum non-Marxis dan Marxis
sama-sama yakin bahwa pada selang waktu tertentu setelah Perang Dunia II
telah muncul sebuah masyarakat yang baru (dengan bermacam-macam sebutan
seperti masyarakat pascaindustri, kapitalisme multinasional, masyarakat
konsumer, masyarakat media, dan lain-lain). Tipe-tipe konsumsi yang
baru; pemborosan terencana; perubahan-perubahan fashion dan style
yang terus bertambah cepat; penetrasi tak tertandingi oleh iklan,
televisi dan media umumnya atas keseluruhan masyarakat; bertukarnya
pertentangan lama antara kota dan desa, pusat dan provinsi, dengan suburb dan dengan standarisasi universal; bertambahnya jaringan kerja superhighway dan
munculnya kebudayaan otomobil―ini adalah beberapa hal yang nampaknya
akan menandai pemisahan radikal dengan masyarakat pra-Perang Dunia II di
mana modernisme tinggi masih merupakan sebuah kekuatan bawah tanah.
Saya yakin bahwa munculnya pascamodernisme berkaitan erat dengan
munculnya momen baru kapitalisme konsumer atau multinasional akhir ini.
Saya juga yakin bahwa ciri-ciri formalnya dalam banyak hal merupakan
ekspresi logis lebih dalam dari sistem sosial khusus tersebut. Walau
begitu saya hanya bisa menunjukkan hal ini untuk satu tema utama: yaitu
hilangnya kesadaran sejarah, cara bagaimana keseluruhan sistem sosial
kontemporer kita sedikit demi sedikit mulai kehilangan kemampuannya
untuk mempertahankan masa lalunya, mulai hidup dalam kekinian abadi dan
dalam perubahan abadi yang memusnahkan jenis-jenis tradisi yang
keseluruhan formasi sosial sebelumnya berusaha dengan berbagai cara
untuk melestarikannya. Ambil saja sebagai contoh usangnya berita oleh
media: bagaimana Nixon dan, bahkan lebih lagi, Kennedy sekarang jadi
figur-figur dari masa lalu yang jauh. Kita jadi tergoda untuk mengatakan
bahwa fungsi sebenarnya dari media berita adalah mencampakkan
pengalaman-pengalaman sejarah baru seperti itu secepat mungkin ke masa
lalu. Fungsi informasi media jadinya adalah membantu kita untuk lupa,
untuk jadi agen dan mekanisme amnesia historis kita.
Tapi dalam kasus tersebut kedua ciri pascamodernisme yang telah saya
bicarakan di sini―transformasi realitas ke dalam imaji-imaji,
fragmentasi waktu ke dalam seri-seri masa kini abadi―secara luar biasa
konsisten dengan proses ini. Kesimpulan saya di sini mesti berbentuk
sebuah pertanyaan tentang nilai seni baru ini. Ada semacam persetujuan
bahwa modernisme yang lama berfungsi melawan masyarakatnya dengan
cara-cara yang secara bervariasi disebut sebagai kritis, negatif,
bersaing, subversif, oposisional dan sebagainya. Bisakah hal yang sama
dinyatakan atas pascamodernisme dan momen sosialnya? Kita telah saksikan
bahwa ada cara di mana pascamodernisme mereplika atau
mereproduksi―menguatkan―logika kapitalisme konsumer; pertanyaan yang
lebih penting lagi adalah apa juga ada cara bagi pascamodernisme untuk
melawan logika tersebut. Tapi pertanyaan ini mesti kita biarkan
terbuka.***
____________________
*Fredric Jameson, kritikus dan teoritikus sastra Marxis Amerika,
terkenal atas analisisnya atas kecenderungan-kecenderungan budaya
kontemporer
The Anti-Aesthetic: Essays On Postmodern Culture, (Ed) Hal Foster, Bay Press 1985, Port Townsend, Washington
____________________
Sumber : http://boemipoetra.wordpress.com/2014/02/23/pascamodernisme-dan-masyarakat-konsumer/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar