SONNY
H. SAYANGBATI DAN PUISI-PUISI DINDINGNYA
Oleh
Muhammad Rois Rinaldi
Sonny H. Sayangbati bukan orang baru bagi saya, perkenalan selama lima tahun dan komunikasi yang cukup intens, baik melalui telpon atau pun jejaring sosial membuat saya tidak akan repot untuk mengaitkan dirinya dengan puisi-puisi yang ditulis. Ia yang selalu enggan menyentuh ranah-ranah konflik dan lebih memilih menyuarakan keindahan semesta, baik semesta makro atau pun semesta mikro—meski pada perkara tertentu saya tidak sepaham dengan apa yang ia yakini, bukan jadi soal bagi saya untuk memahami keberadaannya sebagai seorang manusia di tengah manusia atau sebagai puisi di antara milyaran puisi—puisi-puisinya tidak akan berpindah ke mana-mana selain pada keindahan. Banyak sekali ode, banyak sekali pujian, banyak sekali cinta, banyak sekali sayang, dan sekelasnya. Begitu kesan yang saya tangkap setiap membaca karyanya, baik di media cetak, maupun di media online. Hal serupa juga menjadi kesan pertama saat saya membaca antologi puisi tunggalnya bertajuk “Tulisan di Dinding” yang ia kirimkan beberapa bulan lalu.
Apakah
sebenarnya yang melatarbelakangi tema-tema puisinya, barangkali
cinta? Bisa jadi, cinta yang ia tawarkan di tengah huru-hara
kehidupan yang kian meruncing dan mengancam. Kemungkinan tersebut
sebenarnya sudah diperjelas di dalam puisinya yang bertauk “My
Style” pada halaman 92:
Langgamku
gayaku
Menari
ciptaan sendiri
Ritme
blues dan tanjidor
Bergerak
bebas dengan nilai
Not-notnya
beralur simetris
Dirigen
menaikkan tongkat
Ke
kiri, kanan, atas dan bawah
Bahkan
menyilang
Menimbulkan
Bunyia
yang semarak
Tetap
saja aku menari dan menyanyi
Dengan
langgamku sendiri
Tembang
cinta.
Selain
berbicara soal cinta yang ia kukuhkan sebagai muasal puisi, tanpa
tedeng aling-aling dapat dilihat mengenai gaya “style” yang
diusung oleh Sonny H. Sayangbati (kemudian saya singkat SSH) dalam
puisi-puisinya. Orang-orang boleh saja membuat gerak dan nyanyi, tapi
SSH mempunyai cara tersendiri. Tentu sikap ini perlu dan sangat
penting dimiliki oleh setiap penyair, karena jika tidak,
karya-karyanya akan terombang-ambing dalam wacana perpuisian dewasa
ini, yang tidak karuan junstrunganya. Terlebih lagi tidak ada yang
benar-benar istiqamah di jalan kritik sastra. Semua seperti sengaja
hilir-mudik tidak bertempat dan tidak berwaktu. Kadang kemunculan
kritikus sastra di kekinian disambut dengan olok-olok dari para
penggiat sastra, lengkap dengan perdebatan-perdebatan kusir yang
tidak mendidik. Terlepas dari keadaan itu, apakah puisi “My Style”
sebagai isyarat pernyataan bahwa puisi-puisi SSH menawarkan warna
baru untuk kesusastraan Indonesia?
Pada
dasarnya, warna itu spektrum cahaya, yang dapat menangkap warna
adalah mata (dalam puisi, matabaca dan matabatin pembaca). Untuk
mengklasifikasikan warna mudah saja jika melihat dari aspek warna
sebenarnya, yang bergantung pada jarak panjang gelombang cahaya
dengan mata. Menjadi sulit ketika yang dipertanyakan adalah warna
puisi. Warna primer puisi adalah puisi itu sendiri, sedangkan warna
sekundernya adalah bentuk, rupa, aroma, dan rasa puisi. Dalam puisi,
warna adalah identitas mutlak. Sama seperti penyanyi, warna suara
penyanyi adalah identitas mutlak. Jika seorang penyair tidak memiliki
warna maka habislah sudah riwayat karyanya (walau tidak habis begitu
saja, paling tidak akan disimpan oleh dirinya sendiri dan disimpan
secara berlanjut oleh keturunannya, itu pun jika tidak teradi hal-hal
tak terduga, seperti banjir atau bukunya dimakan rayap), hal tersebut
yang menjadi alasan utama bagi setiap penyair untuk terus menggali
dari dalam dan luar dirinya untuk menemukan warna yang khas. Meski
tidak jarang, eksperimen-eksperimen kekaryaan menjebloskan penyair
pada kesesatan karya tidak berujung. Kemudian, bagaimana dengan
puisi-puisi SSH?
Tidak
ada hal yang benar-benar selesai begitu saja—keyakinan ini juga
yang kerap membuat saya tidak sependapat dengan para akedemisi yang
terlalu tergesa-gesa menamai, menandai, dan membuat kotak-kotak teori
perpuisian sehingga puisi-puisi hari ini cenderung rigit, karena
harus dihadapkan pada puisi yang baik dan bena menurut teori A dan B.
Terlebih lagi, penyair yang lahir dari dunia akademisi,
berkecendrungan membuat karya-karya aman tanpa lompatan kreatif yang
berarti—karena hidup ini adalah proses. Bahkan saya tidak meyakini
adanya kesimpulan dalam kehidupan ini karena kehidupan semata
hipotesa. Begitu pun dengan SSH, ia tengah menjalani sebuah proses
kekaryaan dari puisi liris, sebagaimana lazim dalam perpuisian
Indonesia modern menuju sesuatu yang lain. Tentu saja tergantung pada
ketekunannya nanti. Ia terus beranjak dan meninggalkan jejak yang
layak dilacak. Tergantung bagaimana cara memandangnya, sebagaimana ia
juga menuliskan:
Bagaimana
Cara Memandangmu
Kursi
itu dibuat duduk
Bagaimana
cara kita memandangnya?
...
Demikian
juga puisi “Manisku” menyatakan betapa perbedaan adalah hal
paling penting dalam kehidupan ini (tidak terkecuali puisi),
sementara menuntut jadi sama merupakan cara paling aneh yang pernah
dilakukan manusia:
...
Mungkin
jika aku berbeda darimu, barulah engkau sayang
Bukankah
kita lain jenis yang memadu kasih?
...
Puisi-puisi
SSH dalam “Tulisan di Dinding” yang diterbitkan oleh PEDAS
Publishing, Maret 2014 ini lebih banyak mengeksplor dari kedalaman
dirinya sebagai satu-satunya objek yang digali. Meski kenampakannya
seolah memotret pengalaman batin individunya, lantaran ini puisi,
secara tersirat selalu saja sanggup menunjukkan human
interest SSH sebagai penyair.
Dalam beberapa puisi SSH menyematkan pesan-pesan kemanusiaan:
...
Pahamilah
hal ini sebagai bahasa kasih yang universal, bahasa cinta
Bahasa
jiwa yang hidup, sebuah kehidupan yang bahagia
...
(Cinta
dan Air Kehidupan, hal 63)
...
Oh,
engkau manusia di bumi yang cerdas berhikmat
Melebihi
apapun
Dapatkah
engkau menjadi teman istimewaku
...
(Manisku,
hal 48)
...
Berhati-hatilah
dengan perubahan tahun-tahun manusia,
Tanpa
kita sadari ada tanda-tanda zaman terbaca
Untuk
menggenapi sebuah nubuat yang sejak dahulu dikatakan
Dengan
jelas dan tanpa ada tabir penutup
...
(Waktu
dan Tanda-tandanya, hal 14)
Dalam
segala hal dengarkanlah apa yang Ia katakan,
sebab
Ia menuntunmu ke arah kehidupan
(Harapan,
hal 74)
SEKADAR
CATATAN KECIL
Banyak
sekali karya sastra lahir, bahkan produktivitas karya sastra satu
dekade belakangan ini boleh dikatakan merupakan produktivitas
tertinggi sepanjang abad keberadan manusia (meski pernyataan ini
tidak didasari dengan penelitian yang ketat). Hal ini dikarenakan
hampir setiap komunitas berlomba-lomba mencetak buku sastra sekaligus
memasarkannya sendiri. Kemudian
perkembangan satu sisi itu dihadapkan satu pertanyaan penting dan
genting dari sisi yang lain: “Bagaimana dengan perkembangan
kualitas kesusastraan Indonesia?”.
Untuk
menjawab pertanyaan itu, meski genting dan penting, tidaklah perlu
terburu-buru. Karena metode penemuan jawabannya bukan perkara mudah.
Harus dilakukan penelitian serius serta pengkajian yang berimbang.
Paling tidak, hari ini hingga hari yang tidak dapat ditentukan,
perkembangan dari segi kuantitas sudah memberikan kabar gembira bagi
dunia sastra itu sendiri. Betapa tidak, gairah kesusastraan Indoesia
telah memasuki babak baru, yakni demokratisasi penyair dan
meruntuhkan hegemoni kanon sastra yang selama ini seperti lemari es
yang membekukan.
Berbicara
mengenai kualitas, saya juga tidak atau enggan tergesa-gesa
menghakimi kualitas puisi-puisi SSH. Adapun sedikit hasil pembacaan
saya, ada beberapa yang mungkin layak dicatat oleh SSH. Betapa puisi
merupakan karya seni, dan karya seni yang menarik biasanya (dikatakan
biasanya, karena bisa saja ada yang tidak masuk dalam hitungan
“biasanya” itu, dengan kata lain hal-hal yang diluar kelaziman)
berada antara ketegasan konvensi dan inovasi, antara
bentuk bahasa dan subtansi atau antara rangkaian kata dengan muatan
makna. Melarikan diri dari konvensi yang sudah ada memang bukanlah
pilihan terbaik dari suatu karya sastra, tapi mengikuti konvensi yang
ketat tanpa ada celah bagi inovasi juga merupakan ancaman besar
kematian karya. Artinya harus ada keseimbangan, dengan mengikuti
konvensi sembari berinovasi dapat melahirkan konvensi baru, yang jika
diamini oleh kebanyakan orang akan dibukukan sebagai pembakuan baru,
kemudian muncul lagi konvensi baru yang menentang atau sederhananya
melengkapi konvensi lama begitu dan begitulah semestinya yang
dilakukan seorang penyair. Sementara, SSH sepertinya lebih memilih
berada di titik aman, tidak melakukan lompatan-lompatan konvensional
yang signifikan. Meski ada juga di beberapa puisi ia menerapkan
kaidah Licentia Poetica (penyimpangan bahasa yang dilakukan oleh
seorang penyair dengan tujuan mencapai estetika tertentu).
Seberapa
penting perlawanan seorang penyair terhadap konvensi yang sudah ada
dan dibakukan? Bukankah para akademisi lebih menyarankan agar puisi
diciptakan dari keteraturan bahasa dan ketaatan-ketaatannya? Entah
dianggap penting atau tidak soal-soal perlawanan itu, hanya saya
kerap menganalogikan begini: jika penyair tidak melakukan gebrakan
dengan menciptakan konvensi-konvensi baru maka konvensi yang hari ini
digunakan akan digunakan juga oleh penyair-penyair yang lahir 100
tahun mendatang. Jika penyair 100 tahun mendatang masih menggunakan
konvensi lama maka ada yang salah dengan penyair 100 tahun
sebelumnya. Apa kesalahannya? Yakni membiarkan berkembangan karya
sastra berjalan di tempat. Untuk tidak membiarkan hal tersebut
terjadi, perlu dilakukan penyeimbangan. Dengan kata lain, keterbukaan
antara keduanya (konvensi dan inovasi) menjadi tanah yang benar bagi
perkembangan, pertumbuhan, dan kehidupan karya sastra.
Hal
menarik di puisi-puisi SSH dalam “Tulisan di Dinding” adalah
ketenteraman. Pembaca tidak akan dibuat pusing atau merasa tertekan
saat membaca puisi-puisi SSH. Begitu banyak upaya pencerahan yang
dilakukan SSH. Sebagaimana dikatakan di awal, puisi-puisinya berasal
dari cinta maka yang ingin ia sampaikan adalah cinta dan tentu yang
sampai pada matabaca, matajiwa, matarasa pembaca juga sebentuk cinta.
Demikian,
sekilas pembacaan puisi-puisi SSH. Seorang penyair yang rendah hati,
gemar belajar, dan terbuka kepada siapa saja. Penyair yang memiliki
kekuatan cinta dalam tubuh dan jiwanya. Semoga “Tulisan di Dinding”
menjadi ruang refleksi pembacanya di abad ini dan abad-abad
selanjutnya.
____________________
Sumber : Info For Us
Artikel Karya Muhammad Rois Rinaldi (Penyair Cilegon, Banten)
____________________
Sumber : Info For Us
Artikel Karya Muhammad Rois Rinaldi (Penyair Cilegon, Banten)
Wah, ulasan yang keren sekali.. sangat menarik untuk disimak, apalagi setelah menikmati keseluruhan puisi-puisi romantis di buku kumpulan puisi dan sketsa 'Tulisan di Dinding' nya Sonny H.Sayangbati. salam kreatif.
BalasHapus