Selasa, 24 Juni 2014

(Artikel Sastra) - SONNY H. SAYANGBATI DAN PUISI-PUISI DINDINGNYA








SONNY H. SAYANGBATI DAN PUISI-PUISI DINDINGNYA
Oleh Muhammad Rois Rinaldi





Sonny H. Sayangbati bukan orang baru bagi saya, perkenalan selama lima tahun dan komunikasi yang cukup intens, baik melalui telpon atau pun jejaring sosial membuat saya tidak akan repot untuk mengaitkan dirinya dengan puisi-puisi yang ditulis. Ia yang selalu enggan menyentuh ranah-ranah konflik dan lebih memilih menyuarakan keindahan semesta, baik semesta makro atau pun semesta mikro—meski pada perkara tertentu saya tidak sepaham dengan apa yang ia yakini, bukan jadi soal bagi saya untuk memahami keberadaannya sebagai seorang manusia di tengah manusia atau sebagai puisi di antara milyaran puisi—puisi-puisinya tidak akan berpindah ke mana-mana selain pada keindahan. Banyak sekali ode, banyak sekali pujian, banyak sekali cinta, banyak sekali sayang, dan sekelasnya. Begitu kesan yang saya tangkap setiap membaca karyanya, baik di media cetak, maupun di media online. Hal serupa juga menjadi kesan pertama saat saya membaca antologi puisi tunggalnya bertajuk “Tulisan di Dinding” yang ia kirimkan beberapa bulan lalu.

Apakah sebenarnya yang melatarbelakangi tema-tema puisinya, barangkali cinta? Bisa jadi, cinta yang ia tawarkan di tengah huru-hara kehidupan yang kian meruncing dan mengancam. Kemungkinan tersebut sebenarnya sudah diperjelas di dalam puisinya yang bertauk “My Style” pada halaman 92:

Langgamku gayaku
Menari ciptaan sendiri
Ritme blues dan tanjidor
Bergerak bebas dengan nilai
Not-notnya beralur simetris
Dirigen menaikkan tongkat
Ke kiri, kanan, atas dan bawah
Bahkan menyilang
Menimbulkan
Bunyia yang semarak
Tetap saja aku menari dan menyanyi
Dengan langgamku sendiri
Tembang cinta.

Selain berbicara soal cinta yang ia kukuhkan sebagai muasal puisi, tanpa tedeng aling-aling dapat dilihat mengenai gaya “style” yang diusung oleh Sonny H. Sayangbati (kemudian saya singkat SSH) dalam puisi-puisinya. Orang-orang boleh saja membuat gerak dan nyanyi, tapi SSH mempunyai cara tersendiri. Tentu sikap ini perlu dan sangat penting dimiliki oleh setiap penyair, karena jika tidak, karya-karyanya akan terombang-ambing dalam wacana perpuisian dewasa ini, yang tidak karuan junstrunganya. Terlebih lagi tidak ada yang benar-benar istiqamah di jalan kritik sastra. Semua seperti sengaja hilir-mudik tidak bertempat dan tidak berwaktu. Kadang kemunculan kritikus sastra di kekinian disambut dengan olok-olok dari para penggiat sastra, lengkap dengan perdebatan-perdebatan kusir yang tidak mendidik. Terlepas dari keadaan itu, apakah puisi “My Style” sebagai isyarat pernyataan bahwa puisi-puisi SSH menawarkan warna baru untuk kesusastraan Indonesia?

Pada dasarnya, warna itu spektrum cahaya, yang dapat menangkap warna adalah mata (dalam puisi, matabaca dan matabatin pembaca). Untuk mengklasifikasikan warna mudah saja jika melihat dari aspek warna sebenarnya, yang bergantung pada jarak panjang gelombang cahaya dengan mata. Menjadi sulit ketika yang dipertanyakan adalah warna puisi. Warna primer puisi adalah puisi itu sendiri, sedangkan warna sekundernya adalah bentuk, rupa, aroma, dan rasa puisi. Dalam puisi, warna adalah identitas mutlak. Sama seperti penyanyi, warna suara penyanyi adalah identitas mutlak. Jika seorang penyair tidak memiliki warna maka habislah sudah riwayat karyanya (walau tidak habis begitu saja, paling tidak akan disimpan oleh dirinya sendiri dan disimpan secara berlanjut oleh keturunannya, itu pun jika tidak teradi hal-hal tak terduga, seperti banjir atau bukunya dimakan rayap), hal tersebut yang menjadi alasan utama bagi setiap penyair untuk terus menggali dari dalam dan luar dirinya untuk menemukan warna yang khas. Meski tidak jarang, eksperimen-eksperimen kekaryaan menjebloskan penyair pada kesesatan karya tidak berujung. Kemudian, bagaimana dengan puisi-puisi SSH?





Tidak ada hal yang benar-benar selesai begitu saja—keyakinan ini juga yang kerap membuat saya tidak sependapat dengan para akedemisi yang terlalu tergesa-gesa menamai, menandai, dan membuat kotak-kotak teori perpuisian sehingga puisi-puisi hari ini cenderung rigit, karena harus dihadapkan pada puisi yang baik dan bena menurut teori A dan B. Terlebih lagi, penyair yang lahir dari dunia akademisi, berkecendrungan membuat karya-karya aman tanpa lompatan kreatif yang berarti—karena hidup ini adalah proses. Bahkan saya tidak meyakini adanya kesimpulan dalam kehidupan ini karena kehidupan semata hipotesa. Begitu pun dengan SSH, ia tengah menjalani sebuah proses kekaryaan dari puisi liris, sebagaimana lazim dalam perpuisian Indonesia modern menuju sesuatu yang lain. Tentu saja tergantung pada ketekunannya nanti. Ia terus beranjak dan meninggalkan jejak yang layak dilacak. Tergantung bagaimana cara memandangnya, sebagaimana ia juga menuliskan:

Bagaimana Cara Memandangmu

Kursi itu dibuat duduk
Bagaimana cara kita memandangnya?
...

Demikian juga puisi “Manisku” menyatakan betapa perbedaan adalah hal paling penting dalam kehidupan ini (tidak terkecuali puisi), sementara menuntut jadi sama merupakan cara paling aneh yang pernah dilakukan manusia:

...
Mungkin jika aku berbeda darimu, barulah engkau sayang
Bukankah kita lain jenis yang memadu kasih?
...

Puisi-puisi SSH dalam “Tulisan di Dinding” yang diterbitkan oleh PEDAS Publishing, Maret 2014 ini lebih banyak mengeksplor dari kedalaman dirinya sebagai satu-satunya objek yang digali. Meski kenampakannya seolah memotret pengalaman batin individunya, lantaran ini puisi, secara tersirat selalu saja sanggup menunjukkan human interest SSH sebagai penyair. Dalam beberapa puisi SSH menyematkan pesan-pesan kemanusiaan:

...
Pahamilah hal ini sebagai bahasa kasih yang universal, bahasa cinta
Bahasa jiwa yang hidup, sebuah kehidupan yang bahagia
...

(Cinta dan Air Kehidupan, hal 63)

...
Oh, engkau manusia di bumi yang cerdas berhikmat
Melebihi apapun
Dapatkah engkau menjadi teman istimewaku
...

(Manisku, hal 48)
...
Berhati-hatilah dengan perubahan tahun-tahun manusia,
Tanpa kita sadari ada tanda-tanda zaman terbaca
Untuk menggenapi sebuah nubuat yang sejak dahulu dikatakan
Dengan jelas dan tanpa ada tabir penutup
...

(Waktu dan Tanda-tandanya, hal 14)


Dalam segala hal dengarkanlah apa yang Ia katakan,
sebab Ia menuntunmu ke arah kehidupan

(Harapan, hal 74)

SEKADAR CATATAN KECIL

Banyak sekali karya sastra lahir, bahkan produktivitas karya sastra satu dekade belakangan ini boleh dikatakan merupakan produktivitas tertinggi sepanjang abad keberadan manusia (meski pernyataan ini tidak didasari dengan penelitian yang ketat). Hal ini dikarenakan hampir setiap komunitas berlomba-lomba mencetak buku sastra sekaligus memasarkannya sendiri. Kemudian perkembangan satu sisi itu dihadapkan satu pertanyaan penting dan genting dari sisi yang lain: “Bagaimana dengan perkembangan kualitas kesusastraan Indonesia?”.





Untuk menjawab pertanyaan itu, meski genting dan penting, tidaklah perlu terburu-buru. Karena metode penemuan jawabannya bukan perkara mudah. Harus dilakukan penelitian serius serta pengkajian yang berimbang. Paling tidak, hari ini hingga hari yang tidak dapat ditentukan, perkembangan dari segi kuantitas sudah memberikan kabar gembira bagi dunia sastra itu sendiri. Betapa tidak, gairah kesusastraan Indoesia telah memasuki babak baru, yakni demokratisasi penyair dan meruntuhkan hegemoni kanon sastra yang selama ini seperti lemari es yang membekukan.

Berbicara mengenai kualitas, saya juga tidak atau enggan tergesa-gesa menghakimi kualitas puisi-puisi SSH. Adapun sedikit hasil pembacaan saya, ada beberapa yang mungkin layak dicatat oleh SSH. Betapa puisi merupakan karya seni, dan karya seni yang menarik biasanya (dikatakan biasanya, karena bisa saja ada yang tidak masuk dalam hitungan “biasanya” itu, dengan kata lain hal-hal yang diluar kelaziman) berada antara ketegasan konvensi dan inovasi, antara bentuk bahasa dan subtansi atau antara rangkaian kata dengan muatan makna. Melarikan diri dari konvensi yang sudah ada memang bukanlah pilihan terbaik dari suatu karya sastra, tapi mengikuti konvensi yang ketat tanpa ada celah bagi inovasi juga merupakan ancaman besar kematian karya. Artinya harus ada keseimbangan, dengan mengikuti konvensi sembari berinovasi dapat melahirkan konvensi baru, yang jika diamini oleh kebanyakan orang akan dibukukan sebagai pembakuan baru, kemudian muncul lagi konvensi baru yang menentang atau sederhananya melengkapi konvensi lama begitu dan begitulah semestinya yang dilakukan seorang penyair. Sementara, SSH sepertinya lebih memilih berada di titik aman, tidak melakukan lompatan-lompatan konvensional yang signifikan. Meski ada juga di beberapa puisi ia menerapkan kaidah Licentia Poetica (penyimpangan bahasa yang dilakukan oleh seorang penyair dengan tujuan mencapai estetika tertentu).





Seberapa penting perlawanan seorang penyair terhadap konvensi yang sudah ada dan dibakukan? Bukankah para akademisi lebih menyarankan agar puisi diciptakan dari keteraturan bahasa dan ketaatan-ketaatannya? Entah dianggap penting atau tidak soal-soal perlawanan itu, hanya saya kerap menganalogikan begini: jika penyair tidak melakukan gebrakan dengan menciptakan konvensi-konvensi baru maka konvensi yang hari ini digunakan akan digunakan juga oleh penyair-penyair yang lahir 100 tahun mendatang. Jika penyair 100 tahun mendatang masih menggunakan konvensi lama maka ada yang salah dengan penyair 100 tahun sebelumnya. Apa kesalahannya? Yakni membiarkan berkembangan karya sastra berjalan di tempat. Untuk tidak membiarkan hal tersebut terjadi, perlu dilakukan penyeimbangan. Dengan kata lain, keterbukaan antara keduanya (konvensi dan inovasi) menjadi tanah yang benar bagi perkembangan, pertumbuhan, dan kehidupan karya sastra.

Hal menarik di puisi-puisi SSH dalam “Tulisan di Dinding” adalah ketenteraman. Pembaca tidak akan dibuat pusing atau merasa tertekan saat membaca puisi-puisi SSH. Begitu banyak upaya pencerahan yang dilakukan SSH. Sebagaimana dikatakan di awal, puisi-puisinya berasal dari cinta maka yang ingin ia sampaikan adalah cinta dan tentu yang sampai pada matabaca, matajiwa, matarasa pembaca juga sebentuk cinta.
Demikian, sekilas pembacaan puisi-puisi SSH. Seorang penyair yang rendah hati, gemar belajar, dan terbuka kepada siapa saja. Penyair yang memiliki kekuatan cinta dalam tubuh dan jiwanya. Semoga “Tulisan di Dinding” menjadi ruang refleksi pembacanya di abad ini dan abad-abad selanjutnya.




____________________

Sumber : Info For Us
Artikel Karya Muhammad Rois Rinaldi (Penyair Cilegon, Banten)

1 komentar:

  1. Wah, ulasan yang keren sekali.. sangat menarik untuk disimak, apalagi setelah menikmati keseluruhan puisi-puisi romantis di buku kumpulan puisi dan sketsa 'Tulisan di Dinding' nya Sonny H.Sayangbati. salam kreatif.

    BalasHapus