Ilustrasi: MRP
Ulama dan pujangga termasyhur tanah Sunda. Terkenal dengan dangding-nya yang mengandung mistisisme Islam.
OLEH: ANNISA MARDIANI
HAJI Hasan Mustapa kerap disebut sebagai haji mahiwal atau kontroversial. Dia dianggap sebagai penganut ajaran wahdatul wujud lantaran karya-karyanya yang terkenal berkaitan dengan hubungan menyatunya manusia (kawula) dengan Tuhan (Gusti). Sebagai ulama, dia menggunakan dangding atau guguritan
 untuk mengekspresikan pemikiran dan renungan tentang ajaran Islam, 
tasawuf, kebudayaan Sunda, dan kejadian yang dialami sehari-hari.
Hasan Mustapa lahir pada 3 Juni 1852 di 
Cikajang, Garut, Jawa Barat. Ketika berusia sembilan tahun dia bersama 
ayahnya, Mas Sastramanggala, pergi ke Tanah Suci menunaikan ibadah haji.
 Hingga dewasa dia menghabiskan hari-harinya di pesantren di Tatar 
Sunda, Jawa, ataupun Madura. Hasan Mustapa kembali lagi ke Tanah Suci 
dan sekira delapan tahun belajar dan mengajar di sana. Ketika terjadi 
perselisihan paham antarulama di Garut, Hasan Mustapa dipanggil pulang 
untuk menyelesaikan persoalan.
Pada 1882 Hasan Mustapa mulai memberikan
 pengajaran agama di mesjid agung Garut. Tujuh tahun setelahnya, dia 
berkeliling Jawa dan Madura membantu pekerjaan Snouck Hurgronje yang dia
 kenal semasa di Arab Saudi. Atas usul Hurgronje, Hasan Mustapa diangkat
 menjadi hoofd penghoeloe (kepala penghulu) Aceh, dan dua tahun kemudian pindah menjadi hoofd penghoeloe di Bandung sampai pensiun dari jabatannya pada 1910-an.
Hasan Mustapa yang meninggal pada 13 
Januari 1930, tidak hanya dikenal sebagai ulama, tapi juga sebagai 
sastrawan yang termasyhur dengan dangding-nya. Dangding atau guguritan adalah jenis puisi klasik yang dikenal dalam kesustraan Sunda sebagai tulisan berpola dan melodis. Penggunaan istilah dangding pun
 dipilih karena pengucapannya yang terdengar melodis. Karya sastra ini 
biasanya juga disebut sebagai nyanyian puitis. Tak sekadar tulisan, 
naskah dangding pun ditembangkan.
Susastra Sunda mengenal pupuh, 
yakni irama lelaguan yang memiliki ciri khas masing-masing jenisnya dan 
memiliki aturan. Lirik lelaguan inilah yang dikenal sebagai dangding. Ia terikat aturan baku. Guru wilangan adalah aturan jumlah suku kata setiap larik dan jumlah larik dalam setiap bait. Sedangkan guru lagu adalah aturan bunyi rima akhir yang harus sesuai dengan jenis pupuh-nya.
Nyanyian puitis atau dangding ini terbagi ke dalam 17 jenis pupuh,
 yaitu asmarandana, balakbak, dangdanggula, durma, gambuh, gurisa, 
jurudemung, kinanti, ladrang, lambang, magatru, maskumambang, mijil, 
pangkur, pucung, sinom dan wirangrong. Setiap pupuh memiliki aturan dan 
karakteristik suasana masing-masing. Melalui dangding inilah Hasan Mustapa menyampaikan pemikirannya. Dia menulis dangding dengan menggunakan huruf pegon, yakni huruf Arab dengan bahasa Sunda atau Jawa.
Pujangga sekelas Hasan Mustapa, yang 
mungkin sudah tidak memiliki kesulitan lagi dalam  hal pembuatan puisi 
dengan keterikatan aturan, dalam tempo dua hingga tiga tahun mampu 
menghasilkan dangding lebih dari 10 ribu bait. Mistisime Islam kental terasa dalam dangding atau guguritan
 karyanya yang banyak memperlihatkan renungannya tentang tasawuf atau 
ketuhanan. Karena pandangannya tentang hubungan masnusia dengan Tuhan 
yang dia ibaratkan seperti rebung dengan bambu, dia dinilai sebagai Haji
 “mahiwal” atau kontroversial penganut wahdatul wujud.
"Setiap kali membaca dangding-dangding
 Haji Hasan Mustapa, saya merasa seperti mendekati arus sungai besar. 
Betapapun dalam diri saya ada dorongan untuk menyentuh arus yang deras 
itu, tapi pada saat yang sama saya merasa takut hanyut karena saya 
merasa belum mampu atau sanggup mengarunginya," kata Hawe Setiawan dalam
 kuliah umum “Islam dan Mistisisme Nusantara: Dangding Mistis Haji Hasan
 Mustapa,” di Salihara, Jakarta, 4 Agustus lalu.
Dangding karya Haji Hasan Mustapa, diantaranya Puyuh
 Ngungkung dina Kurung, Hariring nu Hudang Gering, Dumuk Suluk Tilas 
Tepus, Sinom Pamaké Nonoman, Amis Tiis Pentil Majapait, Kinanti 
Kulu-kulu, Sinom Barangtaning Rasa, Sinom Wawarian, Asmarandana nu Kami,
 dan Dangdanggula Sirna Rasa.
___________________
Sumber : http://historia.co.id/artikel/persona/1054/Majalah-Historia/Haji_Mahiwal_Hasan_Mustapa
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar