Wafatnya seorang sastrawan Tiongkok lebih dari 2000 tahun silam itu diperingati di seantero jagad. Bagaimana warga Cina Benteng mengenang leluhurnya?
Tepian Sungai Cisadane di Tangerang, sehamparan
kawasan tempat bermukim warga Cina Benteng. Tanggal 2 Juni 2014
bertepatan dengan Perayaan Pehcun: hari kelima bulan
kelima penanggalan Imlek, sudut Kota Tangerang tampak sibuk sejak malam
sebelumnya. Perayaan ini biasanya identik dengan “bacang” dan “perahu naga”. Di Indonesia, tidak semua pecinan merayakan Pehcun dengan kedua ikon tersebut.
Kata
“Pehcun” merupakan dialek Amoi (Minan) yang berarti "(men)dayung perahu
ba chuan" ( 把船). Dalam Bahasa Mandarin hari raya ini disebut Duanwujie
(端午节).
Perayaan ini pada mulanya dimaksudkan untuk memperingati
meninggalnya seorang sastrawan Tiongkok bernama Qu Yuan (340-278 SM)
dari negara Chu di zaman Negara-Negara Berperang Zhanguo Shidai (475-221
SM).
Konon Qu Yuan yang juga seorang pejabat di kerajaan Chu
mati bunuh diri menceburkan diri ke sungai Milo pada tanggal 5 bulan 5,
karena pemikiran kritisnya dianggap membahayakan negara, ia diasingkan
jauh dari ibu kota negara.
Rakyat yang sangat menyayangi Qu Yuan
berusaha mencari mayatnya dengan menggunakan perahu panjang yang
biasanya dapat diduduki oleh 60 orang pendayung. Karena kuatir mayat Qu
Yuan dimakan ikan, maka dibuatlah makanan yang dibungkus daun bambu,
berbentuk limas, lalu diberikan kepada ikan dengan tujuan supaya
ikan-ikan tidak memakan tubuh Qu Yuan. Makanan tersebut dikenal dengan
(ba/babi) cang zong.
Perahu naga di negeri asalnya biasanya memiliki ukuran panjang hampir
40 meter. Bagian ujung depan kapal dihiasi ukiran kepala naga dan
bagian belakang kapal dihiasi ornamen ekor naga.
Lambat-laun, kegiatan mendayung perahu naga pun menjadi sebuah
kegiatan rutin dan tak jarang diperlombakan. Ornamen naga yang
mengihiasi perahu tersebut merupakan simbol bahwa naga dapat membawa
keberuntungan bagi masyarakat dengan menurunkan hujan yang berguna untuk
tumbuhan.
Hal serupa pun terjadi di Tangerang. Dayung perahu
naga telah ada sejak tahun 1930-an dan terus berkembang menjadi
perlombaan semarak yang menjadi ikon perayaan Pehcun di Tangerang.
Sampai 1960-an, perlombaan perahu naga masih diselenggarakan di Sungai
Cisadane yang terletak di dekat Klenteng Bun Tek Bio.
Uniknya
perayaan Pehcun di Tangerang selalu dimulai dengan ritual memandikan
perahu keramat Pehcun yang terletak di Klenteng Keramat Pehcun seberang
Klenteng Bun Tek Bio. Upacara tersebut biasanya dilakukan tengah malam
menjelang hari perayaan Pehcun.
Setelah upacara pemandian
tersebut, perahu-perahu kecil yang akan digunakan untuk lomba dayung
perahu naga tak luput dari tebaran berkah keselamatan. Malam hari warga
menikmati sajian makanan malam serta musik gambang kromong. Gambang
Kromong merupakan musik tradisi di Tangerang yang di dalamnya pun
merupakan sinergi antara alat musik tradisional Indonesia dan alat musik
tradisional Cina seperti tehyan, langgamnya pun tak jarang terpengaruh
oleh nada-naga khas alunan musik tradisional Tiongkok.
Pada hari perayaan Pehcun, terkenal pula upacara sembahyang Pehcun
yang dipimpin pemuka agama di tepi Sungai Cisadane. Usai upacara, Pehcun
makin semarak dengan kegiatan mendirikan telur. Warga meyakini, titik
matahari sedang berada dalam titik tertingginya sehingga telur bulat pun
dapat berdiri. Dalam kepercayaan pengobatan tradisional herbal
Tiongkok, hari ini pun dianggap sebagai hari terbatik untuk memetik
tumbuhan bahan obat tradisional.
Bacang merupakan makanan khas kuliner Tiongkok. Sejatinya bacang
memang harus disajikan pada saat perayaan Pehcun. Bacang yang awalnya
terbuat dari beras ketan diisi daging babi tumis manis pun saat ini
telah mengalami modifikasi menu. Isian bacang tak lagi daging bagi,
namun sudah bervariasi dari telur asin sampai daging ayam.
(Agni Malagina, Sinolog FIB Universitas Indonesia/MYT)
____________________
Sumber : http://nationalgeographic.co.id/berita/2014/06/merayakan-pehcun-bersama-warga-cina-benteng
Tidak ada komentar:
Posting Komentar