BANG BEN (4)
Bukan hanya legendaris gambang kromong tapi juga bapak rap Indonesia.
OLEH: MF. MUKTHI
SUATU hari, Ben sangat ingin bertemu
Bing Slamet, artis pujaannya. Ben ingin lagu ciptaannya dinyanyikan
Bing. Ben putar otak. Akhirnya dia dapat akal: lewat Ateng Ben
dikenalkan pada Bing. Ben lalu menemui Bing di studionya, dan menawarkan
lagunya. “Ini Bang lagunya,” kata Ben.
Bing membaca sekilas, moncoret-coret sedikit dan mengubah syairnya. Ben tampak puas. Dan benar, setelah lagu berjudul Nonton Bioskop
itu dirilis –yang delapan tahun sebelumnya ditolak penyanyi Fenti
Effendi –langsung meledak. Ben senang bukan kepalang. Dia pun ketagihan
menulis lagu. Tapi, atas saran Bing Slamet, sebaiknya Ben menyanyikan
lagu-lagunya sendiri. Anjuran Bin terbukti manjur. “Titik awal karier
seni profesional Ben bermula dari band kecil bernama Melody Boys,” tulis
Ludhy Cahyana dalam biografi Benyamin, Muka Kampung Rezeki Kota.
Bersama Rachman A, Rahmat Kartolo, Pepen Effendi, Imam Kartolo, Saidi, Zainin, Suparlan, Timbul, dan Yoyok Jauhari, Ben terus ngider
dari satu klab ke klab lain, satu pentas ke pentas lainnya untuk
mengejar popularitas. Ketika peruntungan mulai mendekat, pemerintahan
Sukarno melarang segala yang berbau Barat. Daripada disetip peraturan, Melody Boys terpaksa berganti nama menjadi Melodi Ria.
Di tengah-tengah perjuangan bermusik itu, Ben juga nyambi ngelawak agar
asap dapurnya tetap mengepul. Ben pelawak alami. Darah kocak sudah
mengalir deras dalam dirinya sejak kecil. Kedekatannya dengan Letnan
Dading dari Kodam Jaya membawanya begabung dalam kelompok seni Kodam
Jaya. Bersama Edi Gombloh dan Dul Kamdi, Ben kemudian membentuk grup
lawak Trio Kambing. Mereka lalu tur ke berbagai daerah sesuai
permintaan.
Ben pun lebih terkenal sebagai pelawak
ketimbang penyanyi. Suatu hari di bulan Mei 1970, ia sempat ditolak
menyanyi dalam sebuah show di Cirebon, “karena nama Benyamin belum
terkenal, bahkan pernah ditolak menyanyi karena dianggap takut merusak show-nya
Frans Daromes,” tulis Ludhy. Tapi akhirnya Ben boleh menyanyi setelah
melobi kordinator pertunjukan dengan mengatakan bahwa dirinya sudah
rekaman lagu Om Senang. Saat itu lagu bertema senada, Tante Girang dan Tante Sun.
SEPULANG dari Cirebon, peruntungan Ben terus membaik. Tak lama kemudian, pada 1970, Ben mulai solo karier di dunia tarik suara. Si Jampang menjadi
debutnya. Dia terus mempertahankan ciri khasnya: lagu-lagunya bertema
humor dan nada yang enak di telinga, tapi sedikit mengabaikan susunan
kata. Dengan solo karir dia juga bebas bereksperimen. “Dia terbilang
sukses meramu spontanitas Betawi dengan celoteh, yang terkadang
menggerutu dan sering ngaco,” tulis Ludhy.
Buntutnya gelar bapak rap Indonesia pun
dialamatkan padanya. “Suatu ketika,” kenang Zainin, “Ben iseng memainkan
gambang kromong. Tiba-tiba yang lain (teman Ben-Red.) nyeletuk,
‘Kamu kan orang Betawi, kenapa tidak menyanyikan lagu Betawi?” Mulai
saat itulah Ben melirik dan serius menekuni gambang kromong. Namanya pun
kian meroket.
Sayang, Ben merasa jemu bersolo. Dia
kembali membuat terobosan, berduet. Tapi, beberapa kali ganti pasangan,
mulai Rossy hingga Rita Zahara, “prestasi” Ben kurang menggembirakan.
Sampai akhirnya dia menemukan penyanyi cilik Ida Royani, nama Ben di
pentas musik nasional baru benar-benar “menggelegar”.
Cing Kaji, kakak Ben, berjasa menduetkan
mereka berdua. Awalnya Ida tidak tertarik. “Bayangkan, penampilan Ida
yang modis dan funky, harus menyanyi bareng Benyamin yang penampilannya,
‘sudah item, dekil lagi,’” ujar Ida sebagaimana ditulis Ludhy.
Ida waktu itu sudah menjadi penyanyi top
remaja. Tapi, Ida terus dipengaruhi ibunya. “Sudah, kamu coba saja
dulu,” begitu ibunya menasihati Ida. Ida akhirnya menerima tawaran duet
itu. Meski kaset-kaset mereka laku keras, awalnya Ida merasa berat
menjalani duet itu. Teman-temannya mencap dia kampungan. Akibatnya, dia
kerap menumpahkan perasaan kesalnya ke Ben. Ben santai saja
menanggapinya, “Biarin Da, gue dikatain muka kampungan, tapi rezeki kita, rezeki kota.”
Duet itu terus menanjak dan kian
bersinar. Sampai-sampai penyanyi top saat itu, Lilis Suryani, merasa
tersaingi. Boleh jadi salah satu penyebabnya adalah kemampuan Ida nimpalin celetukan-celetukan Ben. “Kita tidak ada persiapan sama sekali. Pokoknya spontan saja,” ujar Ida.
TAK berbeda jauh dari dunia tarik suara, di dunia layar lebar pun Ben sukses tak tanggung-tanggung. Meski awalnya enggan nyemplung
ke dunia itu, Ben akhirnya tak kuasa menahan godaan bermain film.
Bahkan, di dunia yang satu ini dia rela melanggar nasihat emaknya, sebab
emaknya tak suka dengan gaya hidup para selebritas film. Ben mengalami
dilema awalnya, tapi dia tetap berkuat hati untuk berjuang di dunia
layar lebar. Abang angkatnya, Adung Saleh, turut mendukung pula. “Udahlah Min, jangan didenger emak, sengsara kita,” begitu nasihat Saleh kepada Benyamin.
Ben nurut nasehat abang tirinya. Debutnya dimulai saat membintangi Honey Money and Jakarta Fair (1970), yang disutradarai Misbach Djusa Biran. Kemudian tak lama setelah itu, melalui film besutan sutradara Turino Djunaidy, Intan Berduri,
Ben memenangkan Piala Citra (1973) untuk kategori pemeran pria terbaik.
Melalui film itu, menurut Gombloh, “langkah Benyamin dalam dunia seni
seperti langsung langkah kanan, kayaknya cepat sekali dan dengan filmnya
yang susul-menyusul, seperti Biang Kerok, Biang Kerok Beruntung,
dan lain-lain.” Saking larisnya, Ben sempat dikontrak dua perusahaan
film sekaligus. Tambah satu profesi, kesibukan Ben pun luar biasa. Mulai
saat itu pula Ben menjalani tiga profesi sekaligus: menyanyi, melawak,
dan main film.
Film-film Ben boleh dikata tak jauh dari
penggambaran pengalaman pribadinya. Perkelahian, kejailan, humor dan
lain sebagainya, hampir selalu mewarnai sebagian besar film-film yang
Ben bintangi. Judul-judul film itu pun banyak yang memiliki kaitan
dengan masa lalunya, semisal Biang Kerok atau Tarzan Kota.
Tapi, justru dengan kesederhanaan itulah film-film Ben memiliki corak
yang berbeda dari film-film pada umumnya kala itu. Banyak orang
mencari-cari film-film Ben, bahkan hingga saat ini. Dengan film-film
yang menggambarkan keseharian masyarakat itulah nama Ben makin melambung
dan menjadi ikon etnis Betawi.
Kekuatan film-film Ben terutama terletak pada karakter Betawinya. Asal goblek, kocak, jail, tempramen, dan lain sebagainya, hampir selalu melekat pada tokoh yang Ben perankan. Dan Ben sangat gape
melakoninya. Itulah yang menyebabkan kekuatan karakter seorang tokoh
muncul, yang tanpa disadari turut membentuk pandangan pemirsanya.
Improvisasi menjadi salah satu andalan Ben dalam berakting. “Betul-betul
rajanya dalam berimprovisasi,” kata Putu Wijaya.
___________________
Sumber : http://www.historia.co.id/artikel/persona/859/Majalah-Historia/Ngider-Ngelenong-Ngerap
Tidak ada komentar:
Posting Komentar