Hanya karena pandai menjilat, sang jenderal logistik ditunjuk Napoléon jadi Gubernur Hindia di Jawa.
OLEH: HENDRI F. ISNAENI
PADA 9 Juli 1810
Belanda ditaklukan oleh Napoléon Bonaparte. Dengan demikian seluruh
daerah koloni Belanda juga berada di bawah kekuasaan Prancis sebagai
penakluk, tak terkecuali Jawa. Telah sejak lama Jawa dikenal sebagai
pulau yang subur nan kaya, namun Prancis sepertinya agak gegabah dalam
mempertahankan pulau ini. Alih-alih memerintahkan pertahanan total bagi
Jawa, Napoléon malah memilih seorang jenderal logistik: Jean-Guillaume
Janssens.
Janssens memulai karirnya di usia
sembilan tahun sebagai kadet pada 1771. Karena jujur dan cermat, dia
naik pangkat menjadi letnan di usia 15 tahun dan menjadi pejabat
logistik. Ketika terjadi pemberontakan kaum patriotik pada 1787, dia
memihak Stadtholder (raja).
Pada 1795, berdiri Republik Belanda yang
pro-Prancis, maka Janssens pensiun karena terluka di medan perang.
Sejak itu dia bekerja di administrasi, namun tetap bertugas menyediakan
makanan dan sandang kepada prajurit baru kiriman Prancis yang kelaparan
dan compang-camping. Ternyata Napoléon puas dengan perlakuan baik itu.
Pada 1802 Napoléon mengangkat Janssens
jadi gubernur jenderal di Tanjung Harapan, Afrika. Semua terkejut bukan
kepalang, karena di usia 39 tahun, setelah bekerja tujuh tahun di bagian
adminstrasi yang sepele, Janssens mendadak lompat pangkat dari kapten
menjadi jenderal divisi.
Ketika Inggris kembali menyatakan perang
terhadap Belanda pada 16 Mei 1803, Janssens diperintah mengirimkan
bantuan ke Jawa – yang dianggap lebih penting dari Tanjung Harapan. Dia
mengirim batalyon ke-23, kesatuan bandit dan preman yang lebih pandai
memerkosa dan berpesta daripada memanggul senjata, yang direkrut di
wilayah terkumuh di Prancis dan Belanda.
Tapi sial bagi Janssens saat Jendral
Baird, panglima pasukan Inggris tiba di Tanjung Harapan disertai 10.000
balatentaranya pada 4 Maret 1806. Karena tak sebanding jumlah pasukan,
Janssens menyerah dan direpatriasi ke Belanda pada Juni 1806. Saat itu
takhta diduduki Raja Louis, salah satu adik Napoléon. Janssens diangkat
menjadi Menteri Peperangan Kerajaan Belanda pada 7 Desember 1807.
Meskipun sukses meniti karier, ambisi Janssens yang belum terwujud yaitu
menjadi gubernur jenderal di Batavia, koloni terjauh namun termakmur.
Dia tahu sekali kalau kehidupan di Jawa jadi dambaan seorang gubernur
jenderal karena mempunyai istana, pasukan pelayan, penghibur –seluruh
kenyamanan yang dilukiskan oleh para musafir sebagai surga dunia. Dia
membayangkan kehidupan yang serba mewah itu dan menimbulkan rasa iri
kepada Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels.
Janssens segera menebar hujatan dan
fitnah yang dibocorkan oleh pejabat tinggi Belanda mengenai langkah
kejam yang diambil oleh Daendels yang otoriter. Berbagai gosip itu
berkesan bahwa Daendels memperlakukan pribumi secara tidak manusiawi.
Lebih buruk lagi, Daendels dianggap gila: “tiran yang berkuasa itu
menjadikan dirinya raja Jawa.”
Kesempatan untuk menggantikan Daendels
segera terwujud baginya saat Napoléon mengakuisisi Kerajaan Belanda ke
dalam Kekaisaran. Tak seorang pun berani menyerahkan surat pernyataan
tunduk kepada kaisar, kecuali Janssens. Hasilnya, Napoléon bukan saja
mengangkatnya sebagai jenderal divisi dalam angkatan bersenjata Prancis,
juga memberinya pangkat perwira tinggi legiun kehormatan. Pucuk dicinta
ulam tiba, Janssens pun diangkat sebagai gubernur jenderal menggantikan
Daendels.
Napoléon yang masih ingat lepasnya
Tanjung Harapan ke tangan Inggris berkata kepada Janssens, “Jangan lupa,
seorang jenderal Prancis tidak menyerah untuk kedua kalinya.”
Dalam novel sejarah ini, Jean Rocher,
mantan atase pertahanan Kedutaan Besar Prancis di Jakarta (1993-1997)
menceritakan kekalahan kedua yang memalukan Gubernur Jenderal Janssens
melawan Inggris dalam perang di daerah Meester Cornelis (sekarang
Jatinegara dan Matraman) pada Agustus 1811 –yang mungkin salah satu
perang terbesar di Jawa pada awal abad ke-19.
Sesuai petunjuk Pemerintah Inggris dan kepentingan the old Lady
atau East India Company (Serikat Dagang Hindia Timur Inggris)
saingannya VOC, komandan pasukan Inggris Lord Minto memutuskan untuk
menaklukkan wilayah terakhir yang masih dikuasai Prancis di Samudra
Hindia, yaitu Pulau Jawa. Minto menyadari tidak mudah merebut Jawa dari
Prancis. Sebab, Daendels telah membangun benteng Meester Cornelis dan
Jalan Raya Pos, yang menyusuri pesisir utara Jawa. Di mana pun Inggris
mendarat, Daendels memungkinkan untuk mengirim dengan cepat infanteri,
kavaleri, dan artileri yang mampu mengusir musuh kembali ke laut.
Sayangnya, sang “Marsekal Besi” meninggalkan Jawa pada 29 Juni 1811 dan
tiba di Prancis pada Oktober 1811. Janssens menggantikan Daendels pada
16 Mei 1811.
Ketidaksukaan Janssens kepada Daendels
membuatnya tak ingin memakai strategi yang telah dibangun Daendels. Dia
malah membuat taktik konyol, yaitu memusnahkan logistik yang disimpan di
gudang, sebelah utara Kota Batavia. Barang kebutuhan pokok itu
benar-benar harta berharga untuk menjamin pembayaran utang negara kepada
swasta.
Bagi Inggris, Janssens bukan Masséna,
Ney, ataupun Davout –jenderal-jenderal andalan Napoléon di Eropa. Yang
paling disukai Janssens adalah berlama-lama mendiskusikan urusan
remeh-temeh. Dia adalah perwira salon? “Tidak juga, lebih tepat kalau
dia disebut perwira logistik,” kata Lord Minto.
Sekitar 70 armada Inggris mendarat di
Cilincing pada 4 Agustus 1811, tanpa perlawanan. Mereka menguasai segala
posisi di Ancol. Janssens mengosongkan kota dan mundur ke Weltevreden,
sekitar empat kilometer ke selatan. Dia memerintahkan untuk membakar
gudang yang masih tegak beridiri. Inggris menguasai kota tua dan
menyebarkan pamflet berbahasa Belanda. Isinya bahwa tujuan pendaratan
Inggris adalah menghilangkan “akuisisi Pulau Jawa yang tidak adil oleh
pasukan Prancis dan penempatannya di bawah proteksi Britania Raya.”
Sejak pendaratan pasukan Inggris, perang
baru pecah pada 10 Agustus 1811, ketika 2.500 serdadu Inggris dari arah
Batavia masuk ke Cham de Mars (sekarang Lapangan Monas), kemudian
mengarah ke jalan utama menuju Bogor, yang melewati sepanjang kamp
Prancis. Meriam Prancis mulai memuntahkan peluru dan segera pasukan
Inggris menyebar di medan perang. Pasukan Prancis dipukul mundur.
Janssens juga mundur ke benteng berparit Meester Cornelis.
Alih-alih memompa semangat pasukan
Prancis dengan mengadakan pesta “Santo Napoléon” untuk kali pertama di
Jawa selama tiga hari, pesta tersebut malah membuat pasukan tidak
disiplin. Setelah apel pagi, mereka luntang-lantung ke warung. Sementara
itu, Inggris berada pada posisi on fire siap menyerang.
Serangan Inggris berhasil meledakkan gudang peluru Prancis dan menawan
dua jenderal, dua ajudan jenderal Janssens, kepala zeni, komisaris
jenderal, para menteri daerah jajahan, lima kolonel, 21 letnan kolonel,
empat mayor, 60 kapten, dan 134 letnan, serta 280 meriam disita.
Janssens disertai sepasukan kavalerinya
melarikan diri ke Bogor, lalu ke Semarang. Dia masih memiliki pasukan
garnisun di Surabaya dan Semarang. Dia juga memperoleh pasukan dari
Yogyakarta dan Surakarta, ditambah dari Pangeran Prang Wedono yang
disebut legiun Mangkunegaran II. Mereka telah menjanjikan bantuan dan
pasukan kepada Prancis pada masa Daendels. Menurut perwira penerangan
Inggris, jumlahnya mencapai 8.000 prajurit.
Perang kembali berkobar di Jatingaleh,
Semarang. Meski gabungan pasukan Prancis menjanjikan, namun tidak
memiliki tekad yang kuat, sehingga bisa dikalahkan oleh sekitar 1.700
pasukan Inggris. Akhirnya Janssens menandatangani pernyataan menyerah
dan bendera Prancis diturunkan pada 18 September 1811. Setelah dipenjara
satu tahun di Inggris, Janssens direpatriasi ke Prancis pada 11
November 1812.
_____________________
Sumber : http://historia.co.id/artikel/resensi/651/Majalah-Historia/Aksi_Jenderal_Salon
Tidak ada komentar:
Posting Komentar