I.Latar Belakang
Terdapat semacam pandangan yang menilai bahwa puisi-puisi Indonesia tahun 1930-an merupakan puisi yang sarat dengan pengungkapan yang romantis dan mendayu-dayu, misalnya sajak-sajak Amir Hamzah, J.E. Tatengkeng, dan Armijn Pane. Demikian kentalnya romantisisme dalam puisi-puisi Indonesia tahun 1930-an tersebut sehingga akhirnya dianggap sebagai salah satu ciri yang melekat pada puisi zaman Pujangga Baru itu. Ciri itu pula yang kemudian dijadikan sebagai pembeda antara puisi yang lahir pada tahun-tahun tersebut dengan puisi yang lahir sesudahnya.
Pembicaraan tentang puisi-puisi tahun 1930-an ini sesungguhnya sudah banyak dilakukan oleh peneliti sastra seperti, Perkembangan Puisi Indonesia Tahun 20-an Hingga Tahun 40-an oleh Yus Badudu dkk. (1984), Puisi Indonesia dan Melayu Modern oleh Umar Junus (1970), dan Pengakajian Puisi oleh Rahmat Djoko Pradopo (1975).
Namun, setakat ini masih belum ditemukan pembicaraan yang secara
khusus mengupas romantisisme di dalam puisi-puisi Indonesia modern tahun
1935--1939.
Romantisisme dalam puisi-puisi tahun 1935--39 ini dipelopori oleh
sekelompok pengarang tahun 20-an yang menyebut diri mereka sebagai
penyair pra romantik seperti M. Yamin, Rustam Effendi, Am.Dg. Mijala,
dan dilanjutkan oleh Amir Hamzah, J.E. Tatengkeng, Armijn Pane, Sanusi
Pane, Yogi, Selasih Selaguri, dan beberapa penyair lainnya. Penyair dari
kelompok kedua ini termasuk penyair yang produktif dalam menghasilkan
karya-karyanya pada tahun 30-an. Mereka semuanya dikenal juga dengan
nama Angkatan Pujangga Baru Indonesia.
Penyair-penyair yang menulis puisi pada tahun-tahun tersebut hanyalah
segelintir golongan intelektual Indonesia yang beruntung dapat mengecap
pendidikan Belanda. Pada zaman itu, kaum intelektual Indonesia banyak
yang mengonsumsi bacaan berbahasa Belanda, seperti bacaan sastra dunia
dan sastra Belanda. Para pujangga muda Indonesia itu berkenalan dengan
kesusasteraan Belanda melalui pelajaran bahasa Belanda yang diberikan di
sekolah-sekolah perguruan. Hasil sastra Belanda yang sebagian besar
terdapat dalam bentuk antologi itu, kemudian menjadi bacaan wajib untuk
para siswa Indonesia yang bersekolah di sekolah tersebut. Dalam
buku-buku antologi tersebut, terdapat pula karya penyair Belanda dari Angkatan 80 yang
merupakan pelopor aliran romantik dalam sastra Belanda, khususnya dalam
bidang puisi. Melalui buku-buku tersebut, para siswa mulai mengenal dan
bahkan mempengaruhi pikiran, serta kekaguman mereka terhadap Angkatan 80 dan
karyanya. Dari sinilah kemudian berkembang kesadaran romantik dalam
diri penyair Indonesia yang memang sesuai dengan gejolak jiwa muda para
penyair Indonesia pada saat itu.
Teeuw (1980:34) menyatakan bahwa angkatan Pujangga Baru Indonesia menjadikan Angkatan 80
ini sebagai sumber inspirasi dalam menciptakan karya-karya mereka.
Tokoh-tokoh romantik dari Belanda seperti, Perk, Kloos, Van Deyssel, dan
Van Eeden adalah dewa revolusioner yang semangat dan jiwanya dihidupkan
kembali oleh penulis dari Angkatan Pujangga Baru Indonesia.
Selain itu, Teeuw (1980:43) juga memberikan contoh yang lebih nyata
tentang bagaimana romantisisme dari Belanda ini telah mempengaruhi salah
seorang penyair Angkatan Pujangga Baru Indonesia, yaitu J.E.
Tatengkeng. Contoh yang sangat baik tentang pengaruh itu dapat dilihat
di dalam sebuah soneta yang dipersembahkannya kepada Willem Kloos
(1938). Dalam karya tersebut dia mengenang kehidupan penyair yang sangat
dikaguminya itu; semangat remajanya, penuhanan dirinya, dan tidak lama
kemudian padamnya api itu serta undurnya dia ke dalam binnengedachten.
II. Sejarah Romantisisme Di Indonesia: Batasan Antara Romantik dan Klasik
Untuk mengetahui pengertian romantik, kita terlebih dahulu harus
mengetahui perbedaan antara romantik dan klasik karena sebab timbulnya
aliran romantik merupakan antitesis dari aliran klasik yang berkembang
di Eropa pada masa lampau. Boleh dikatakan bahwa Renne Descarteslah
sebagai pelopor aliran klasik di Eropa (1650—1750) yang mencanangkan
semboyan Cogito ergo Sum, aku berpikir maka aku ada. Berawal
dari kebanggaan terhadap akal pikiran inilah yang kemudian menjadi ciri
pembeda yang mendasar antara klasik dan romantik. Akal dan rasio yang
sangat menonjol di zaman pencerahan ini menjadi tanda pengenal yang
khas dan dimiliki oleh setiap orang yang normal. Akal tersebut
merupakan penuntun yang dapat dipercaya untuk mencapai
kebenaran-kebenaran universal yang berlaku untuk semua individu. Dari
sudut pandangan rasional itu, penganut aliran klasik menganggap alam
sebagai keteraturan, keseimbangan, dan tunduk kepada hukum-hukum yang
dapat dijelaskan. Sesuatu yang dapat dibandingkan dengan sebuah mesin
yang dikonstruksi dengan cerdik, tetapi sama sekali tidak misterius.
Ketertiban dan keteraturan ini pula yang menguasai cara berpikir
penganut paham klasik di bidang kesenian. Orang menciptakan suatu sistem
genre yang dibatasi dengan ketat, ditata secara hierarki dan diliputi
oleh norma-norma yang berpegang teguh pada prinsip Aristoteles yang
menyatakan bahwa kesenian meliputi dan mencontohi alam (van Den Berg,
1990:9). Aliran klasik juga menggunakan kesenian sebagai cermin,
mencurigai khayalan, dan menghormati suatu ideal keindahan yang
diseleksi dengan menggunakan nilai-nilai universal, sejenis, manusiawi
secara umum, serta menutup kemungkinan bagi sesuatu yang bersifat
pribadi, khusus, dan kebetulan.
Dengan mengutip istilah Hadimaja (1972:40) yang menyatakan bahwa
akhirnya seni klasik itu menemui dekadensi, sumber-sumbernya kering, dan
tidak memberi daya kehidupan maka timbullah aliran romantik yang
merupakan antitesis dari aliran klasik yang mengutamakan rasio. Dalam
periode romantik, cara berpikir yang demikian itu berubah secara
mendasar. Sekarang akal itu dicurigai. Sebaliknya, perasaan, intuisi,
dan khayalanlah yang dapat menentukan segala sesuatu. Gambaran dunia
mekanis (alam sebagai mesin) harus mundur dan memberi tempat untuk suatu
gambaran dunia yang organistis; alam yang berkembang bagaikan suatu
tanaman (Van den Berg, 1990:10). Pada zaman ini terjadi pertumbuhan,
perubahan, dan dinamika. Orang tidak lagi mencari keseragaman tetapi
lebih terpesona dengan keanekaragaman bentuk, diversitas, dan unisitas.
Kepekaan khas romantik adalah persepsi yang tajam tentang keindahan
alami yang terwujud dalam pengalaman emosional dan imajinatif makna
pribadi dirinya (Oemarjati,1990:2). Dalam dunia seni, kepekaan khas
romantik tersebut dinyatakan oleh Coleridge (1800) dengan semboyannya
sebagai berikut: poetry as the spontaneous overflow of powerfur feelings
dan kemudian menjadi semacam manifesto kaum romantik Inggris. Bagi
penganut aliran romantik, hal yang bersifat pribadi, individu, dan
subjektif bukan lagi menjadi norma untuk suatu kepujanggaan yang otentik
dan perintis kemurnian dalam berkarya.
Dalam pandangan dunia romantik, “aku” selalu menjadi pusat; sehingga
yang diutamakan adalah perasaan, reaksi, dan persepsi. Si aku (khusus
bagi seniman), memberikan gambaran baru tentang dunia; ia menciptakan
kembali dunia berdasarkan daya khayalnya. Peniruan kenyataan diganti
dengan pengungkapan pandangan diri sendiri. I describe what I imagine (aku menggambarkan apa yang aku khayalkan), demikian pernyataan penyair Inggris Keats (Luxemburg, 1989:166).
Menurut Noyes (dalam Mahayana, 1976), sedikitnya ada lima ciri yang
muncul dari karya-karya romantisisme yakni. (1) Kembali ke alam seperti
tampak pada karya Coleridge, Keats, Biyron, dan Wordsworth; (2)
melankolisme juga berhubungan dengan karya Coleridge, Keats, dan
Shelley; (3) primitivisme yang ciri-cirinya muncul lebih awal,
sebagaimana tampak pada puisi-puisi Thomas Gray, Oliver Goldsmith,
William Cowper; (4) sentimentalisme yang belum begitu menonjol pada
karya-karya Pope dan jelas pada karya Edward Young; (5) individualisme
dan eksotisme seperti yang diungkapkan oleh Rosseau: “Jika saya bukan
yang terbaik dibandingkan orang lain maka sedikit banyaknya saya
berbeda”.
Romantik juga digunakan sebagai istilah untuk mengungkapkan
kekaguman manusia terhadap pemandangan alam. Bahkan, Jean Jacques
Rousseau (1712—1788) sebagai peletak dasar romantisisme mengajukan
ajakan untuk kembali ke alam, sebagai landasan falsafahnya.
Keanekaragaman pengertian romantisisme juga dapat dilihat dalam buku karya F. Lucas, The Decline and Fall of Romantic Ideal (1948).
Dalam buku tersebut terhimpun 11.396 definisi romantisisme (Weiberg
1974 dalam Oemarjati, 1990). Pada saat ini, romantisisme berfungsi
menguraikan sifat-sifat pasca klasik yang modern dan ditempatkan
berhadapan secara antitesa dengan kesenian klasik (Van den Berg,
1990:4).
III. Tachtigers dan Pujangga Baru Indonesia
Sebagaimana telah dijelaskan dalam bagian sebelumnya bahwa, apabila
kita berbicara tentang romantisisme dalam sastra Indonesia modern,
khususnya romantisisme di dalam puisi-puisi Indonesia yang terbit dalam
majalah-majalah sastra, seperti Pujangga Baru tahun 1935—1939, sangat berkaitan erat dengan suatu angkatan dari negeri Belanda yang dikenal juga dengan nama De Tachtigers ‘Angkatan 80’.
De Tactigers sendiri merupakan suatu perlawanan dari sekelompok sastrawan muda Belanda yang bersatu dalam De Niuwe Gids
‘Pandu Baru’ 1885. Nama ini mengindikasikan bahwa gerakan tersebut
merupakan reaksi terhadap majalah sastra yang terpenting ketika itu di
Belanda, yakni De Gids yang dibentuk tahun 1837 dan mewakili pandangan golongan tradisional (Jassin, 1980:67).
De Niuwe Gids didirikan oleh Willem Kloos, Frederik van
Eeden, dan Albert Verwey dan mereka ini merupakan tokoh-tokoh terkenal
dari gerakan tersebut. Kemudian datang Herman Gorter yang merupakan
wakil pergerakan tersebut yang sangat gigih memperjuangkan gerakan
kesusasteraan itu bersama-sama dengan Lodewijk van Deyssel yang aktif
sebagai penulis prosa.
Pergerakan Angkatan 80 ini disebut demikian karena muncul
pertama kali pada tahun 1880. Gerakan ini memberi warna kesusasteraan
yang sesuai dengan semangat zaman dan oleh sebab itu diterima dengan
mudah di seluruh negeri Belanda, serta memiliki pengikut yang banyak
dari pujangga muda. Namun, persatuan pujangga De Niuwe Gids
tersebut tidak bertahan lama. Ketegangan dalam jiwa yang ditimbulkan
oleh individualisme ternyata ada batasnya. Albert Verwey tidak suka
hanya menyembah keindahan. Ia mau tahu akan dasar dan tujuan kehidupan
yang membawanya memahami filsafat lebih jauh dalam kesusasteraan.
Frederik van Eeden mencari kebenaran dan kebahagian melalui agama
atau reliji. Ia mempelajari ilmu-ilmu gaib dan ilmu sihir serta
membawanya ke dalam gereja katolik. Keduanya menentang Lodewijk van
Deyssel yang hanya memuji perasaan dan mengabaikan segala ukuran
filsafat, kesusilaan serta meninggalkan Willem Kloos di puncak
individualisme.
Antara Willem Kloos dan Van Deyssel timbul pula perbedaan karena Van
Deyssel makin cenderung ke naturalisme. Van Deyssel dan Verwey mula-mula
sama-sama memimpin Tweemaandelijkcsh Tijdschrift yang kemudian bernama De Twintigste Eeuw. Verwey menerbitkan De Eeweging yang menjadi majalah Pujangga dan bersifat filosofis. Beberapa tahun setelah itu Van Deyssel aktif kembali sebagai redaktur di Niuwe Gids dan meneruskan kegiatannya di sana sampai akhir hayatnya.
Herman Gorter yang pada awalnya mewujudkan pikiran gerakan 80
tersebut, kemudian mencela gerakan itu dan menjadi pengikut aliran
sosial demokrat ketika terjadi perpecahan dalam kalangan Marxisme. Ia
kemudian menjadi pengikut komunisme bersama-sama dengan pujangga wanita
Belanda yang termasyur yakni Henriette Rolland Holst. Willem Kloos dan
Lodewijk van Deyssel mendapat gelar doktor kehormatan dari Universitas
Amsterdam. Gelar yang sama juga telah lebih dahulu diperoleh oleh Albert
Verwey dari perguruan tinggi Groningen.
Pujangga Baru merupakan suatu angkatan sastra di Indonesia
yang terkemuka sebagai gerakan pembaru di bidang sastra sebagaimana yang
dilakukan juga oleh angkatan 45 yang muncul setelah perang revolusi di
Indonesia. Jassin menyebut Angkatan Pujangga Baru sebagai
gerakan yang membawa angin pembaruan dalam jiwa, pandangan hidup, dan
dalam gaya. Namun, yang lebih terkemuka menurut Jassin dari angkatan ini
adalah semangat kebangsaan dan romantik (Jassin, 1963:21 dan 9).
Semangat romantisisme Angkatan Pujangga Baru ini pada awalnya menunjukkan kesejajaran dengan semangat De Tachtigers Belanda yang bertolak dari anggapan bahwa manusia adalah pencipta, bukan sekedar homo artifex
yakni yang hanya dapat meniru proses penciptaan Tuhan. Munculnya
romantisisme di Indonesia sebenarnya telah dimulai dari kehadiran
puisi-puisi karya M. Yamin, Rustam Effendi, dan Or. Mandank tahun
1920—1930. Mereka menyebut dirinya sebagai kaum pra romantik dan
romantik (Damono, 1995:8). Ia juga menyebutkan bahwa aliran romantik ini
sebagai suatu aliran yang muncul begitu tiba-tiba tanpa ada kaitan sama
sekali dengan perkembangan puisi Melayu yang telah berakar dalam
tradisi kesusasteraan Melayu di Nusantara. Dalam hal ini saya kurang
sependapat dengan beliau (Damono) karena jika dicermati dengan seksama
dapat dilihat suatu alasan yang kuat bagaimana romantisisme cepat
diterima oleh penyair-penyair modern Indonesia pada waktu itu. Hal
tersebut dapat dibuktikan dengan pilihan terhadap soneta sebagai bentuk
puisi modern yang digemari di kalangan penyair romantik Indonesia.
Pemilihan soneta sebagai bentuk puisi barat oleh penyair Indonesia pada
masa itu disebabkan adanya kemiripan bentuk antara soneta dengan pantun
yang sama-sama mengikat yakni memiliki sampiran dan isi.
Selain itu, pengaruh modernisme yang dibawa oleh Belanda ke Indonesia
telah membantu terjadinya perkembangan kebudayaan; seperti dari
masyarakat agraris menjadi masyarakat industri. Berdirinya kota-kota
besar seperti Batavia tempo dulu telah melahirkan masyarakat kota yang
individual yang merupakan salah satu ciri romantisisme. Seiring dengan
perkembangan kebudayaan itu, berkembang pula sistem pendidikan di tanah
jajahan yang tentu saja harus mengambil materi pendidikan dari negeri
penjajah yakni Belanda. Melalui jalur pendidikan di sekolah-sekolah
menengah inilah penyair-penyair tersebut berkenalan dengan buku-buku
bacaan dan senarai tentang pujangga-pujangga Belanda seperti, Angkatan 80 tersebut.
Namun, satu hal yang harus diingat adalah perkembangan romantisisme di
Indonesia tetap berakar dari kebudayaan asing sebagai wujud dari
keterbukaan terhadap perkembangan kebudayaan universal.
IV. Tema dalam Puisi-Puisi Romantik Pujangga Baru
Untuk melihat pengaruh yang paling berkesan dalam kajian sastra
bandingan adalah melihat pengaruh dalam bentuk intrinsik sebuah karya
sastra. Ia dapat dilihat pada gaya, imaji, watak, tema, perilaku,
pemikiran, dan gagasan (Shaw, 1990:70).
Tema atau subject matter menurut Tarigan (1986:10), selalu
dikandung oleh sebuah puisi untuk ditonjolkan kepada pembaca dengan gaya
yang beragam. Tema ini juga tergantung kepada beberapa faktor seperti
falsafah, lingkungan hidup, agama, pekerjaan, dan pendidikan sang
penyair.
Untuk memudahkan kita memahami tema atau subject matter dari puisi-puisi romantik Pujangga Baru yang
terbit dalam majalah Pujangga Baru tahun 1935—1939, dapat digunakan
ciri-ciri romantisisme yang telah dibicarakan sebelum ini. Berdasarkan
data yang ada, ternyata tema-tema karya puisi Pujangga Baru yang terdapat dalam majalah Pujangga Baru dari tahun 1935—1939 dapat pula dikelompokkan dalam beberapa tema, seperti tema ketuhanan, cinta dan persahabatan, semangat kebangsaan, dan naturalisme.
A. Ketuhanan
Salah satu tema kaum romantik dalam majalah Pujanga Baru
1935--1939 adalah menyinggung masalah ketuhanan. Ada yang hanya sekedar
mempertanyakan tentang keberadaan sang pencipta tetapi ada pula yang
menggugat kebenaran sang pencipta seperti pemikiran yang dikembangkan
oleh Niethze yang kemudian melahirkan sikap anarkisme dan nihilisme.
Tema ketuhanan dalam sajak yang diterbitkan oleh majalah Pujangga Baru,
banyak ditulis oleh Amir Hamzah dan J.E. Tatengkeng. Amir Hamzah
digelari sebagai penyair Indonesia yang religius. Puisi-puisi Amir
Hamzah yang bertemakan ketuhanan ini pernah diterbitkan oleh Majalah Pujangga Baru
nomor 5, tahun V, November 1937. Setelah itu, puisi-puisi tersebut
mengalami cetak ulang sebagai kumpulan puisi Amir Hamzah yang berjudul Nyanyi Sunyi. Berikut ini marilah kita lihat salah satu puisi Amir Hamzah yang terkenal dengan tema ketuhanan di dalamnya.
Nyanyi Sunyi
Habis kikis
Segala cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu
Kaulah kandil kemerlap
Pelita jendela di malam gelap
Melambai pulang perlahan
Sabar, setia selalu
(Majalah Pujangga Baru Nomor 5, Th.V. November 1937)
Setelah kita baca puisi di atas, dapat ditemukan bahwa yang menjadi tema atau subject matter
yang hendak ditonjolkan oleh Amir Hamzah dalam puisi itu adalah masalah
pencarian dan pendekatan diri aku lirik terhadap Tuhan. Pencarian
tersebut disampaikan dengan cara monolog si aku lirik dengan khaliknya
yang dilambangkan sebagai kekasihnya. Pengungkapan seperti itu,
merupakan cara lazim yang dilakukan oleh penganut sufi dalam melakukan
pendekatan terhadap Tuhan.
Untuk mengongkretkan pencarian terhadap Tuhan, Amir Hamzah
menggunakan beberapa citraan seperti, citra penglihatan dan perabaan.
Contoh citraan tersebut dapat dilihat dari bait ketiga yang berbunyi
sebagai berikut /Satu kekasihku/Aku manusia/Rindu rasa/Rindu rupa/. Baris sajak yang berbunyi /Satu kekasihku/,
merupakan citra penglihatan yang digunakan oleh penyair untuk
mengonkretkan hubungannya dengan Tuhan. Ia berusaha menggambarkan Tuhan
sebagai kekasih yang dapat dirindukan dan dilihat rupanya melalui baris
sajak yang berbunyi /Aku manusia/ Rindu rasa/Rindu rupa/.
Pengungkapan sajak yang menggunakan citra penglihatan tersebut juga
dapat dilihat dalam sajaknya yang berjudul “Karena Kasih Mu” yang juga
berisikan kerinduan untuk berjumpa dengan sang khalik seperti, baris
sajak berikut ini / Karena kasihmu/ Engkau tentukan waktu/Sehari
lima kali kita bertemu/Aku inginkan rupamu/ Kulebihi sekali/sebelum
cuaca menali sutera/ (PB.N0.5. Th. V.November 1937, hal 111)
Sajak-sajak Amir Hamzah lain yang bertemakan ketuhanan, dapat dilihat dalam kumpulan puisinya yang berjudul Nyanyi Sunyi yang juga pernah diterbitkan oleh majalah Pujangga Baru yang masing-masing berjudul “Hanyut Aku”, “Doa”, “Taman Dunia”, “Karena KasihMu”, dan “Sebab Dikau”.
Selain Amir Hamzah kita, juga dapat melihat sajak yang bertemakan ketuhanan yang dimuat dalam majalah Pujangga Baru di
tahun 1930-an yang merupakan karya pengarang lain seperti J.E.
Tatengkeng, Yogi, Armijn Pane, Sanoesi Pane, dan Sabran. Tema ketuhanan
yang ditulis oleh J.E. Tatengkeng dalam sajak-sajaknya merupakan sajak
yang bernafaskan nilai-nilai kristiani yang merupakan kebalikan dari
sajak-sajak Amir Hamzah yang bernafaskan nilai Islami. Tatengkeng juga
merupakan penyair Indonesia yang sangat terpengaruh oleh kelompok De Tachtigers Belanda. Kekaguman Tatengkeng terhadap De Tachtigers diungkapkannya dengan mempersembahkan sebuah puisi yang berjudul nama salah seorang tokoh aliran tersebut yakni Willem Kloos.
Meskipun Tatengkeng sangat memuja De Tachtigers bersama para
tokohnya, bukan berarti ia menerima semua pandangan mereka dalam dunia
kepenyairannya. Hal tersebut dapat dilihat dari sikap Tatengkeng yang
tetap konsisten dalam menjalankan keyakinan agamanya tanpa terpengaruh
oleh sikap beberapa tokoh pengarang De Tachtigers yang radikal.
Misalnya, beberapa penyair dari kelompok tersebut, pernah menulis sajak
yang isinya menentang keberadaan sang pencipta dan anarkis. Tatengkeng
justru sebaliknya karena ia termasuk penyair yang sering mengungkapkan
sajak-sajak pemujaan kepada sang pencipta, perasaan cinta, dan
kepasrahan jiwa terhadap Tuhannya. Perasaan cinta terhadap Tuhan yang
dimiliki oleh Tatengkeng, tercermin dalam puisinya berikut ini.
Didalam kerinduan hati, Tuhan,
Yang datang membingungkan daku,
Dimana hatiku memang terpaku,
Didalam hasrat yang ta, tertahan,
Melihat banyak yang gilang-gumilang,
Dengar bujukan lagu kemerduhan,
Cahya makota-dunia cerlang,
O, Tuhan,
Ajarkan daku
Berhasrat dan merindu
Akan Tuhan,
(J.S. Tatengkeng: Hasrat Hati, PB.N0.6 Th.6, 11 Desember 1943, hal. 167)
Sedemikian kuatnya perasaan cinta terhadap Tuhan tersebut sehingga
kemilau dunia yang sangat menggoda pun tiada mampu meruntuhkan keimanan
yang terpatri dalam dada si aku lirik untuk berpaling dari Tuhannya. Ia
bahkan meminta dan memohon setiap saat agar terus diajarkan untuk
berhasrat dan merindu kepada Tuhan. Hal tersebut dapat dilihat dalam
bait kedua larik ketiga dan keempat dari sajak Tatengkeng tersebut.
Nilai religius dalam sajak-sajak Tatengkeng terlihat dari pilihan kata
yang digunakannya seperti baris berikut ini /O, Tuhan/Ajarkan daku/Berhasrat dan merindu/Akan Tuhan/.
Berdasarkan larik sajak tersebut, kita dapat melihat sikap relijiusitas
dalam diri penyair. Ia mengungkapkan secara terang benderang kepada
pembaca mengenai rasa cinta dan takwanya kepada Penciptanya.
Dalam sajaknya yang lain yang masih mengemukakan tema kecintaan
kepada Tuhan, Tatengkeng mulai menggunakan cara penyampaian yang lebih
puitik dengan menggunakan beberapa citraan. Ia menggunakan beberapa
citraan seperti, citra penglihatan, citra cecapan, citra pendengaran,
dan citra perasaan untuk menggambarkan hubungannya dengan Tuhan. Hal
tersebut dapat kita temukan pada sajak yang berjudul “KataMu Tuhan”,
berikut ini.
KataMu Tuhan, yang kau benamkan
Dalam kandungan sukmaku,
O, Tuhan telah kulemaskan
Dalam lautan dosaku,
Bukan cayaMu memancar
Dalam laguku
Bukan rohman yang mengantar
Jalan sajakku
Kini Tuhan,
‘kan tertutup Mata – air nyanyianku,
Tersendiri kususah hidup
Jauh dari Tuhanku
Sekali lagi Kau benamkan
Dalam aku kataMU;
Dan tubuhku Kau kuatkan
Mema’lumkan sabdaMu,
Kudiam...berserulah Tuhan
Menerusi laguku!
Mendengunglah berkelimpahan
Dalam sayup bisikku!
(J.E. Tatengkeng, KataMu Tuhan, PB. N0.2, Th. V, Mei 1938, hal.32)
Ketakberdayaan mendera si aku lirik di saat ia berada jauh dari Tuhannya yang digambarkan melalui citraan penglihatan /Tersendiri kususah hidup/Jauh dari Tuhanku/.
Citra pendengaran juga digunakan oleh penyair untuk menggambarkan
hubungan yang mesra dengan Tuhannya seperti yang terlihat dalam
larik-larik sajak berikut ini /Kudiam berserulah Tuhan/ menerusi laguku/ mendengunglah berkelimpahan/dalam sayup bisikku/.
Untuk menggambarkan betapa dekat hubungannya dengan Tuhan, penyair
mengibaratkan Tuhan sebagai manusia yang dapat mendengar dan berbicara
kepada umatNya (penyair). Pengabdian penyair yang totalitas kepada Tuhan
juga disampaikan dengan menyerahkan tubuhnya sebagai alat untuk
menyampaikan sabda dan perintah Tuhan yang tergambar dalam larik sajak
berikut ini; /Dan tubuhku Kau kuatkan/Mema’lumkan sabdaMu/.
Selain Tatengkeng dan Amir Hamzah, sajak yang bertemakan ketuhanan
juga dapat ditemukan dalam karya Yogi dan Sabran. Yogi menggambarkan
pencarian terhadap Tuhan. Penyair menggambarkan pengembaraannya dari
Daksina hingga ke Paksina untuk menemukan Tuhan. Padahal Tuhan yang
ingin dijumpainya itu justru berada dekat sekali dengan dirinya seperti
yang terlihat dalam kutipan puisinya berikut ini.
O, kekasih,
Lamalah sudah aku mencari,
Aku’lah mengembara kesana-sini,
Dari Daksina ke Paksina,
Semua penjuru dunia telah kujalani,
Jalan yang benar tiada kudapati
Sekarang insaflah aku...
Adinda tak hindar dari sisiku,
Sedang yang dicari, disisi pencari!
(PB. N0.1, Th.I, Juli 1933; hal. 16--17).
Dalam sajak “Kepada Tuhanku”, Sabran mengakui bahwa tiada kekuatan
lain yang dapat membimbing dan mengusir kegelisahan yang berada di
jiwanya, kecuali kekuasaan dan kekuatan Tuhan yang mahatinggi. Meskipun
kesadaran itu datangnya terlambat dalam diri penyair, hal itu tidak
menjadi penghalang baginya untuk memohon ampun dan menyerah pasrah pada
kehendak Ilahi, sebagaimana yang terlukis dalam sajak Sabran berikut
ini.
Aku menoleh ke belakang
Melihat sejarahku lalu
Berlapis-lapis berselang
Bermasa ria berwaktu pilu
Masa silam berganti zaman
Melintas coba dalam angan
Datang pula kala celaka
Dahsyat hebat gelap-buta
Aku termenung kukenang
Kuhitung-hitung kutimbang
Otakku yang teruju patah
Jiwaku lemah aku berserah
Kepada-Mu hai Tuhanku
Aku sujud menyembah
Menyerah kalah mengaku
Bimbingan semangat jiwa- rebah.
(Sabran: KepadaMu Tuhan, PB.N0.3, Th.VI, September 1938, halaman 57)
Takdir dalam majalah Pujangga Baru (N0.3, Th.VI, September
Juni 1939 : 217--221), menulis artikel tentang puisi Indonesia Zaman
Baru yang bernafaskan keagamaan ini. Dalam tulisannya tersebut, Takdir
menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan puisi keagamaan tersebut adalah
puisi yang menjelmakan perasaan keagamaan. Perasaan keagamaan yang
suci ini, merupakan motivasi bagi pengarang dalam melahirkan puisi yang
bertemakan ketuhanan.
Artikel yang ditulis oleh Takdir mengenai puisi keagamaan dalam puisi Indonesia zaman baru yang termuat dalam majalah Pujangga Baru
tahun 1939, membuktikan pada kita bahwa tema-tema ketuhanan ternyata
merupakan salah satu tema yang cukup menonjol dalam puisi-puisi romantik
Pujangga Baru.
B.Tema Cinta dan Persahabatan Dalam Sajak Pujangga Baru
Tema cinta dan persahabatan dalam sajak-sajak PB menurut Takdir (PB.
N0.19 Th.III, Januari 1936:127) merupakan manifestasi dari kemudaan jiwa
para penyair Indonesia Zaman Baru yang rata-rata berusia di bawah tiga
puluh. Sesuai dengan semangat muda mereka maka masalah cinta dan
persahabatan sangatlah akrab dengan kehidupan mereka sehari-hari
sehingga tidaklah mengherankan apabila tema percintaan mewarnai
sajak-sajak mereka.
Takdir juga menilai bahwa gerak jiwa muda yang terlukis dalam
sajak-sajak penyair Indonesia Zaman Baru tersebut adalah gerak jiwa muda
yang penuh ketulusan dan kasih sayang yang sanggup berkorban untuk
orang yang sangat mereka kasihi. Perasaan kasih sayang tersebut
diungkapkan dengan pernyataan kekaguman dalam memandang alam
lingkungannya. Perasaan yang meluap-luap itulah yang menjadi motivasi
bagi mereka dalam melahirkan puisi. Takdir menggambarkan perasaan cinta
pengarang muda Indonesia Zaman Baru tersebut sebagai berikut.
“Dalam alam masa kemesraan gerak hidup yang demikian berupa
memperagakan rona yang gilang-gemilang, bau yang wangi semerbak. Pada
manusia masa cinta berahi itu (berarti) terjelma (dan) terbukanya jiwa
bagi segala yang indah dan permai: nikmat rasa detikan jantung, nikmat
segala bunyi dan rupa yang terdengar dan terlihat kata. Yang
sebiasa-biasanya menjadi lagu yang merdu dan indahlah nampaknya seluruh
dunia dalam sinar pengharapan yang cemerlang. Sanggup segala rasanya
diri muda remaja: mengerahkan jiwa dan badan kepada yang dikasihi setia
selama hayat dikandung badan.”
(PB.N0.19,Th.III, Januari 1936: 197)
Pandangan Takdir terhadap puisi penyair Pujangga Baru atau disebutnya juga dengan penyair Indonesia Zaman Baru
yang penuh percintaan tersebut, relevan sekali dengan ciri romantisisme
yang sangat menonjolkan kebebasan pengungkapan perasaan individu, dan
bersifat ego kultus yang tinggi (Lodewijk dkk. 1983:338). Kebebasan
dalam mengungkapkan perasaan tersebut dapat dilihat dari puisi
bertemakan cinta seorang pemuda kepada kekasihnya yang tak kunjung padam
seperti, karya Armijn Pane berikut ini.
Bunga melati, adinda, bunga melati,
Tiadakah ingat, adinda, air melati,
Engkau berikan daku tanda bukti,
Kasih sayang tiadalah ‘kan mati.
Aduh, aduh air melati
Kupandang engkau hati terharu
Bagai terpandang jua jiwanya dia,
Suci kasih, kulepaskan jua
(“Tiada Habis-Habis”, PB. N0. 5 dan 6 Th. VII, November 1939:112-113)
Sajak Armijn Pane tersebut merupakan sajak dengan tema percintaan
yang menggambarkan ciri sebagai karya romantisisme. Ciri romantisisme
itu terlihat dari cara pengungkapan perasaan si aku lirik yang sangat
menonjolkan individualitas si penyair. Selain itu, juga terlihat
ungkapan pemujaan yang tinggi dari si aku lirik terhadap kekasihnya yang
menandakan sajak ini memiliki sifat ego kultus yang tinggi. Hal
tersebut dapat dilihat pada larik sajak berikut ini /Sepuluh tahun,
adinda, ‘lah lalu,/Kita bercerai nasib menghalau,/ Sedihnya hati, hati
merayu,/ Hati merayu, adinda, memanggil engkau/. Kutipan sajak
tersebut memperlihatkan sifat pemujaan yang tinggi dari si aku lirik
kepada kekasihnya yang telah berpisah selama sepuluh tahun tapi masih
lekat dalam ingatannya. Sikap yang penuh perasaan meluap-luap itu
menandakan ciri romantisisme dalam sajak tersebut. Ada kebebasan si
penyair untuk meluahkan perasaannya melalui sajak yang diciptakannya.
Keindividualis-an yang tercermin dalam sajak-sajak penyair Pujangga Baru
seperti contoh sajak Armijn Pane tersebut, ditanggapi oleh Takdir
sebagai sebuah pembeda yang nyata antara bentuk puisi lama dengan puisi
baru (Pujangga Lama dan Pujangga Baru). Sebagaimana yang diungkapkannya dalam kutipan berikut ini.
“Tetapi bagi penyair individualis yang baru, sepenuhnya hendak
menyerahkan isi kalbunya, irama, susunan, dan pilihan kata pantun yang
telah mempunyai acuan, cetakan yang tetap itu, tiadalah dapat memuaskan
sebenar-benarnya, liku dan gelung perasaannya yang sehalus-halusnya
hanya dapat sesempurna-sempurnanya dijelmakannya dengan irama, susunan
dan pilihan katanya sendiri.”
(PB.N0.19, Th.III, Januari 1936:200)
Tema cinta yang ditulis oleh penyair Pujangga Baru, memiliki
bentuk pengungkapan yang beragam pula. Perbedaan pengungkapan puisi
tersebut dapat dilihat pada karya Amir Hamzah dan Armijn Pane berikut
ini.
Daun Matamu
Hilang himbau air terjun
Bunga rimba bertudung lingkup
Kanda memangku sekar suhun
Lampai permai mata tertutup
Remuk redam duka didada
Dihanyutkan arus dewa kesumba
Menjelma kanda dibibir kesumba
Rasa menginyam madu swarga
(PB.No.19 Th.III, Januari 1936:200)
Sajak karya Amir Hamzah di atas merupakan sajak yang menilai
keindahan cinta sebagai sesuatu yang kudus dan suci. Kesucian cinta itu
terletak dalam ungkapan saling mempercayai yang disimpan dalam kalbu
yang paling dalam. Takdir menilai perasaan cinta yang demikian sebagai
perasaan yang tidak dapat diukur dengan ukuran biasa. Ia menyebutnya
sebagai perasaan cinta murni yang tidak memberi tempat bagi perasaan
yang sumbang melainkan perasaan yang layak diberikan tempat terhormat,
khidmat yang merupakan cikal bakal bagi seni yang luhur dan abadi (PB.
N0.19. Th.III, Januari 1936:200). Selain memuat sajak-sajak cinta kepada
kekasih, majalah Pujangga Baru juga memuat sajak cinta kepada
keluarga. Misalnya, sajak cinta seorang ibu kepada anak atau sebaliknya.
Sebagai contoh dapat dilihat dalam sajak-sajak penyair berikut.
Cinta bunda kepada beta,
Hanya memberi mencurahkan,
Tak mengharapkan pembalasan,
Bagai sang surya memancarkan cahayanya,
Menimpa bunga tak meminta upahnya,
(N. Adil: Cinta Bunda, PB. N0.1, Th.V, Juli 1937, hal. 14)
Kenal dikau
mana yang tidak boleh kau lupa,
diukup dupa.
kasih tak putus tak kan lupa
santun sayangku
ke inang ibu.
(Rustam Effendi: Pangkuan Bunda, PB.N0.1, Th.V, Juli 1937, hal.17--18)
Anakku tuanku remaja putri,
Buah hati cahaya mata;
Hari raya sebesar ini,
Mengapa tuan tak bangun jua
(Seleguri: Ratap Ibu, PB. N0.1, Th.V, Juli 1937, hal.17)
Pada dua sajak pertama, penyair masing-masing menceritakan kasih ibu
yang sangat besar kepada anaknya. Bagi N. Adil, kasih ibu dilambangkan
sebagai matahari yang senantiasa bersinar tanpa mengharapkan balasan.
Menurut Rustam Effendi, kenangan terhadap ibu adalah saat di pangkuannya
yang sulit dilupakan.
C.Tema Kebangsaan dan Cinta Tanah Air Dalam Sajak Pujangga Baru
Selain mengandung tema-tema cinta kepada kekasih dan ibu, sajak-sajak yang dimuat dalam majalah PB tahun 30-an juga berisikan tema cinta terhadap negara. Sajak-sajak yang bertemakan kecintaan terhadap negara dan bangsa ini sebetulnya hendak disampaikan oleh para penyair Indonesia pada masa itu meskipun penyampaiannya tidak secara terang-terangan. Pengawasan yang ketat dari pemerintah Belanda yang menjajah Indonesia saat itu tidak memberi kesempatan yang luas bagi penyair Indonesia untuk menulis sajak-sajak yang berisikan semangat kecintaan terhadap negara. Takdir (1978:70) menyebutkan dalam eseinya bahwa sajak yang bertemakan cinta tanah air tersebut sebagai sajak yang bertemakan kebangsaan. Sajak kebangsaan ini menurut Takdir merupakan puisi yang baru di timur sebab sajak kebangsan ini muncul dari perasaan kebangsaan bangsa timur sebagai reaksi terhadap penjajahan yang dilakukan oleh bangsa barat (Belanda) di Indonesia (1978:70).
Tema kebangsaan yang dimaksud dalam sajak Pujangga Baru
adalah bangsa dalam pengertian yang modern; nasion yang berkaitan dengan
makna politik yang bersandarkan pada sikap jiwa, kemauan, perasaan,
pikiran, dan cita-cita. Bukannya bangsa dengan pengertian perasaan rindu
ke kampung halaman, sanak, saudara, dan masalalu. Puisi dengan tema
kebangsaan ini benar-benar baru dalam Angkatan Pujangga Baru.
Bukan hanya baru menurut bentuk saja tetapi juga baru menurut isinya.
Dalam bentuk dan isinya yang baru itu, puisi kebangsaan berbagai-bagai
sifatnya, menurut susunan jiwa orang yang melagukan perasaan kebangsaan
itu. Hal tersebut sesuai sekali dengan pandangan romantik yang
dicanangkan oleh Baudelaire (1970:2) bahwa romantisisme tidak terletak
pada pilihan seniman ataupun pada kebenaran, melainkan pada cara
merasakan sehingga seniman memberlakukan haknya dan menentukan sendiri
kriteria keindahan; seniman muncul sebagai seorang konformis yang bebas
dari ikatan kemasyarakatan, membawa ciri kebaruan dan ketulusan.
Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan apabila timbul kritikan dan
bahkan cercaan terhadap karya-karya penyair Pujangga Baru di masa lalu.
Kritikan dan cercaan itu muncul terutama dari guru bahasa Melayu yang
menilai bahasa yang dipakai oleh penyair Angkatan Pujangga Baru menyalahi kaidah bahasa Melayu yang lazim saat itu.
D.Tema Keindahan Alam Dalam Sajak Pujangga Baru
Sebagaimana telah disebutkan sebelum ini bahwa salah satu tema dalam
puisi romantisisme adalah mengemukakan keindahan alam. Tema keindahan
alam dalam karya romantisisme juga didengungkan melalui pernyataan Bapak
Romantik Perancis, J.J. Rosseau yang menyerukan untuk kembali ke alam
dalam karyanya yang berjudul Nouvelle Heloise.
Tema keindahan alam yang didengung-dengungkan oleh Rosseau ini juga ditemukan dalam puisi-puisi yang dimuat dalam majalah Pujangga Baru.
Keindahan alam yang diceritakan dalam puisi-puisi tersebut biasanyan
menggambarkan keindahan alam di pedesaan, keindahan gunung, sawah,
suasana menjelang pagi, bahkan nyanyian dedaunan, dan batang-batang
pimping yang ditiup angin. Semua fenomena alam tersebut menjadi
inspirasi dalam penciptaan sajak-sajak Pujangga Baru. Sebagai contoh dapat dilihat dalam sajak berikut ini.
Fajar di timur datang menjelang,
Membawa permata ke atas dunia;
Seri berseri sepantun mutia,
Berbagai warna, bersilang-silang.
(M. Yamin: Pagi-Pagi, PB, N0. 7, Th.II, Januari 1935, Hal. 283).
Sawah di bawah emas padu
Padi melalmbai, melalai terkulai,
Naik Suara salung serunai
Sejuk didengar, mendamaikan kalbu.
(Sanusi Pane: Sawah, PB. N0.7.Th.II.Januari1935.hal.282)
Wahai gembala di segara hijau
Mendengar puputmu, menurutkan kerbau
Maulah aku menurutkan dikau
(M. Yamin: Gembala , PB.N0.7.Th.II.Januari 1935, hal.279)
Dalam cahaya bulan purnama,
Anak dara menumbuk padi,
Alu arah lesung bersama,
Naik turun berganti-ganti.
(Sanusi Pane: Menumbuk Padi, PB.N0.7.Th.II, Januari 1935, hal.278)
Sajak-sajak dengan tema keindahan alam sebagaimana yang dikemukakan
oleh penyair-penyair PB tersebut, semuanya mengagumi alam ciptaan Tuhan
yang dapat menyejukkan hati dan perasaan bagi yang melihat dan
menikmatinya misalnya, sajak “Sawah” karya Sanusi Pane. Pemandangan
indah yang terbentang di tengah sawah yang dilihat oleh Sanusi Pane
telah menggerakkan hatinya untuk dituliskan kembali menjadi sajak.
Dalam sajak Gembala M. Yamin, terlihat kekaguman si penyair kepada
alam dan anak gembala yang meniup seruling di atas kerbau. Pemandangan
tersebut menarik keinginan penyair untuk turut serta bersama si anak
gembala. Bagi Yamin, keindahan alam tersebut menarik dirinya untuk
mengikuti permainan si gembala dengan kerbaunya. Bagi Pane, keindahan
yang dilihatnya melahirkan suatu perasan yang lebih mendalam, suatu
proses gerak jiwa (STA menyebutnya dengan istilah stemming, 1978:47).
Keindahan alam juga dapat menimbulkan kesedihan di hati penyair
seperti, yang di ungkapkan oleh N. Adil dalam sajaknya yang berjudul
“Pimping”. Bagi Mozasa, keindahan alam dapat menjadi pelajaran yang
berharga seperti yang terlihat dalam sajaknya yang berjudul “Waktu”.
E.Tema Nostalgia Atau Masa Lalu Dalam Sajak Pujangga Baru
Ada beberapa sajak yang memuat tentang kerinduan terhadap kembalinya
kejayaan zaman kerajaan masa lalu di Nusantara. Munculnya sajak-sajak
seperti itu menurut Takdir (1978:50) merupakan sikap jiwa beberapa
penyair yang tidak kuat menghadapi tantangan zaman, terutama tantangan
masa depan. Pernyataan Takdir tersebut sesuai dengan pandangannya yang
mengagungkan kemegahan ilmu pengetahuan dari barat yang pada satu sisi
bermakna kemajuan dan masa depan. Sementara itu, sebagian penyair
Indonesia yang lain justru masih memuja warisan budaya bangsa yang
identik dengan ketimuran, masa lampau, dan kestatisan. Pandangan ini
menurut Takdir merupakan sikap yang terbelakang, suatu kemunduran dalam
cara berpikir. Oleh sebab itu, ia dengan beberapa penyair yang
sepahamnya dengannya sempat berpolemik mengenai aliran barat dan timur
ini. Tidaklah mengherankan jika ia kemudian cenderung mencela dan
mengecilkan nilai puisi dari penyair yang masih mengangkat tema mengenai
keagungan masa lalu seperti kutipan berikut ini.
“Jiwa yang menyesal yang gemar memandang ke belakang dan meratapi
yang sudah lampau, melayangkan angan-angan ke masa silam, menjauhi
kegelapan, kemunduran, kesedihan, atau kenistaan yang dirasakannya.”
(1978:74).
Kritikan tersebut merupakan tanggapan Takdir terhadap puisi yang
menggambarkan kerinduan terhadap masa lalu seperti, sajak berikut ini.
Sunyi senyap
Gaduh lenyap
Perasaan hati ibarat mati
Maulah kita balik kembali
Kalau terkenang zaman bahari
(Imam Supardi: “Kemegahan Kita Di Zaman Bahari”)
Aku mengembara seorang diri
Antara bekas Majapahit,
Aku bermimpi, terkenang dulu
Dan teringat waktu sekarang
O, Dewata, pabila gerang
Akan kembali kemegahan
Dan keindahan tanah airku?
(Sanusi Pane: “Majapahit”, PB)
Ingat aku pada zaman nan silam
Di sini bekas tempat kesatriaku
Berjuang menangkis segala serangan
(S. Yudho: “Ziarah di Selarong”, PB)
Sajak-sajak tersebut merupakan sajak yang mengetengahkan tema-tema
tentang kemegahan Indonesia masa lalu. Munculnya sajak-sajak tersebut,
erat kaitannya dengan sejarah Indonesia pada waktu itu. Kesulitan hidup
di bawah penjajahan menyebabkan sebagian orang melakukan perbandingan
situasi saat itu dengan kemegahan masa lalu. Berdasarkan perbandingan
tersebut muncullah kerinduan terhadap kejayaan masa lampau yang
dituangkan dalam bentuk puisi oleh beberapa penyair Indonesia Angkatan Pujangga Baru.
Kadangkala si penyair menyadari bahwa kejayaan masa lalu bukanlah
pilihan yang terbaik untuk keadaan dan situasi sekarang. Namun, perasaan
romantis melupakan kekurangan masa lampau sehingga mundurlah ia
sedalam-dalamnya kembali ke masa silam tersebut; kembali ke mimpi-mimpi
indah tentang negerinya. Beberapa penyair menyebut zaman kegemilangan
tersebut dengan ungkapan /zaman gemerlap masa permata/musim baiduri, zahar pelangi/, seperti yang terdapat dalam sajak “Cendera Durja” karya Hirahawan.
Penutup
Romantisisme dalam puisi-puisi majalah Pujangga Baru tahun 1935--1939 dipengaruhi oleh kelompok De Tachtigers
dari Belanda. Pengaruh itu diawali melalui perkenalan para penyair
Pujangga Baru dengan karya-karya penyair Belanda di bangku sekolah.
Pengaruh De Tachtigers terhadap penyair Pujangga Baru
tersebut, tercermin dari sajak-sajak yang muncul dalam majalah Pujangga
Baru yang banyak mengemukakan mengenai kecenderungan terhadap
romantisisme seperti yang juga terdapat dalam sajak-sajak penyair De Tachtigers.
Romantisisme dalam sajak-sajak Pujangga Baru memiliki
beberapa tema yang menonjol yang mengindikasikan kepada ciri yang
dimiliki oleh sajak-sajak romantik. Tema-tema tersebut adalah tema
ketuhanan, cinta dan persahabatan, semangat kebangsaan, dan naturalisme.
Kemunculan tema-tema seperti itu dalam puisi-puisi penyair Pujangga Baru tidak terlepas dari latar budaya, lingkungan sosial, situasi politik yang dihadapi oleh penyair pada saat itu.
Sekalipun penyair Pujangga Baru terpengaruh oleh aliran romantik De Tachtigers, mereka masih menunjukkan satu ciri khusus yang membedakannya dengan romantisisme yang melanda penyair Eropa seperti De Tachtigers.
Perbedaan tersebut terlihat dari kecenderungan tema yang muncul dalam
sajak-sajak mereka sebagaimana yang telah disampaikan di atas.
___________________
Daftar Pustaka
Alisyahbana, Sutan Takdir. 1978. Kebangkitan Puisi Baru Indonesia, Jakarta: PT. Dian Rakyat
Berg, van Den. 1990. “Romantik Dalam Kesusasteraan Eropa”, Seminar SastraRomantik;Perkembangan dan Pengaruh Aliran Romantik di Berbagai Negara
Jakarta:Fakultas Sastra Universitas Indonesia
Badudu, Yus dkk. 1984. Perkembangan Puisi Indonesia Tahun 20-an Hingga 40-an.
Jakarta:Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Baudelaire, 1970...
Damono, Sapardi Djoko. 1985.
Effendi, Rustam. 1937. “Pangkuan Bunda”, Majalah Pujangga Baru. N0. 1 Th. V. Juli 1937. Halaman 17-18. Batavia: Balai Pustaka.
Fowler, Roger. 1973. A Dictionary of Modern Critical Terms. London Henley and Boston:Routledge & Kegan Paul
Hadimaja, Aoh K.1972. Aliran-Aliran Klasik, Romantik, dan Realisme. Jakarta: Pustaka Jaya
Hamzah, Amir. 1936. “Daun Matamu” Majalah Pujangga Baru, N0.19. Th. III. Januari 1936, halaman. 200. Batavia: Pujangga Baru.
?????? 1937. “Nyanyi Sunyi”, Majalah Pujangga Baru, N0.5. Th. V. Novemver 1937. Batavia: Pujangga Baru.
??????1937. “Karena Kasihmu” Majalah Pujangga Baru, N0.5, Th. V. November 1937, halaman 167. Batavia: Pujangga Baru. Joko Pradopo, Rachmat. 1987. Pengkajian Puisi. Jakarta: Gajah Mada University Press.
Jassin, HB. 1980.
Komrij, Gerrit. 1992. De Nederlandse Poezie Van de 19de En 20ste Eeuw in 1000 En Enige Gedichten, Amsterdam:Uitgeverig Bert Bakker.
Knulverlder, Gerard, Dr. 1968. Benopt Handboek Tot De Geschiedenis Der Nederlandse Letterkunde. L.C.G. Malberg’s-Hertogembosch
Luxemburg, Jan Van. Mieke Bal, dan Willem G. Westeijn. 1984. Pengantar Ilmu Sastra. Diterjemahkan oleh Dick Hartoko. Jakarta: Gramedia.
Lodewijk, H.J.M.F dkk. 1983. Literatuur Geschiedenis en Bloemlesing. Niuwe Versie. Nederland: Malmberg Den Bosch.
Mahayana, MS. 1994. “Aliran Romantik”, Jakarta: Horison N0.6 th.XXVIII
Oemarjati, Boen S. 1990. “Romantisisme Dalam Sastra Indonesia”, Seminar Sastra
Romantik; Perkembangan dan Pengaruh Aliran Romantik di Berbagai Negara. Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Pane, Armijn. 1939. “Tiada Habis-Habis” Majalah Pujangga Baru, No.5 dan 6 Th. VII, November 1939. halaman 112—113. Batavia: Balai Pustaka
Pane, Sanusi. 1935. “Menumbuk Padi”, Majalah Pujangga Baru, N0.7, Th. II. Januari 1935. halaman 278. Batavia: Balai Pustaka.
Sabran. 1938. “KepadaMu Tuhan”, Majalah Pujangga Baru, N0.3, Th. VI, Sepetember 1938, halaman 57. Batavia: Balai Pustaka
Seleguri. 1937. “Ratap Ibu”, Majalah Pujangga Baru, N0.1, Th. V. Juli 1937. Halaman 17. Batavia: Balai Pustaka
Tatengkeng, J.E. 1943. “Hasrat Hati”, Majalah Pujangga Baru, No. Th. 6, 11 Desember 1943, halaman 167. Batavia: Balai Pustaka
??????1938. “Katamu Tuhan”, Majalah Pujangga Baru, N0. 2, Th. V, mei 1938. halaman 32. Batavia: Balai Pustaka
Teeuw, A. 1980. Sastra Baru Indonesia. Ende –Flores:Nusa Indah.
Yamin, Muhammad. 1935. “Pagi-Pagi”, Majalah Pujangga Baru, N0.7, Th. II, Januari 1935, halaman 283. Batavia: Balai Pustaka.
??????.1935. “Gembala” Majalah Pujangga Baru, N0.7, Th. II. Januari 1935. Halaman 279. Batavia: Balai Pustaka
____________________
Sumber : http://horisononline.or.id/id/esai/180-romantisisme-puisi-puisi-indonesia-tahun-1935-1939-dalam-majalah-pujangga-baru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar