Oleh:
El Nugraheni
El Nugraheni
Mataku hanya bisa menangkap dua
warna, hitam dan putih. Tentu saja bagiku rumahmu juga berwarna hitam
putih, ia luas seperti padepokan. Beberapa anak muda tinggal di sana
menjadi muridmu.
Rumah kayu dengan langit-langit tinggi
itu ada di lereng sebuah bukit, sembunyi, seperti rumah pendekar
penyendiri di cerita-cerita silat. Aku tidak yakin sedang musim apa
tetapi di sana selalu berkabut dan di halaman ada banyak gelondongan
kayu bakar yang menunggu dibelah.
Aku berantakan sekali. Aku tidak punya
sisir dan rasanya badanku apak dan lengket seperti sudah lama tidak
mandi. Satu-satunya yang selalu kubawa kemanapun adalah pemantik api
darimu. Aku sering mengusap saku bajuku dan memastikan ia ada dan aman
di sana. Aku rasa pemantik api itu membantuku jadi lebih tenang dan
waspada.
Kau punya tiga anak laki-laki. Usia anak
pertamamu sepertinya duapuluhan akhir, ia jangkung, tampan dan
penyendiri. Murid-muridmu yang perempuan selalu tersenyum malu setiap
berpapasan dengan si sulung ini, tapi ia dingin sekali dan jarang
bicara. Setiap pagi setelah memakai baju tebalnya dan menggosok-gosokkan
kedua telapak tangannya, ia pergi dengan sepedanya dan kembali saat
hari mulai gelap. Aku tidak pernah tahu dia kemana.
Pada pagi hari, di halamanmu selalu
berserakan surat ancaman, entah siapa yang mengirimnya setiap malam.
Kadang kami meronda bergantian, tetapi surat-surat kaleng itu selalu
tahu-tahu sudah ada begitu saja pagi harinya, seperti dikirim dengan
kekuatan gaib. Kasak-kusuk yang kudengar, ada sekelompok orang yang
menuduh perkumpulanmu sesat dan mengancam akan mencelakaimu jika kau
tetap mengajar murid-muridmu. Aku tidak tahu isi surat-surat itu, pun
orang-orang di rumahmu tak suka membicarakannya. Saking terbiasanya
dengan surat-surat itu lama kelamaan kau tidak pernah lagi memeriksa
isinya satu per satu, kau akan meminta seorang muridmu untuk
mengumpulkan dan langsung membakarnya saat itu juga.
Kau selalu pergi bersepeda ke pasar
pukul enam pagi dan menolak ditemani siapapun. Setelahnya kau akan
memasak semuanya sendiri. Kadang-kadang kau mengijinkanku membantu
menyiangi bawang atau membereskan dapur yang gelap oleh jelaga dan
berbau sangit karena asap tungkumu. Masakanmu enak sekali. Kau tidak
pernah percaya pada masakan orang lain. Tetapi aku ingat suatu hari
salah satu tetangga jauhmu mengirim ikan kukus dengan bunga pisang dan
cabai merah, kau ikut mencicipi lalu tertawa,
"Hahaha ini enak! Ini enak!"
Aku diam-diam percaya kau adalah titisan
dewa mabuk, matamu seperti selalu menatap ke kejauhan dan kau sering
tersenyum sendiri tanpa sebab. Kau suka sekali menertawakanku,
"Hei bocah, masih saja kau pakai bandana
yang coraknya buruk itu, mukamu makin seperti burung crocokan. Hahaha.
Jangan marah. Kau tahu aku cuma bercanda."
Aku tidak pernah tahu burung apa yang
kau maksud, tapi aku yakin burung itu pasti jelek dan mengenaskan. Aku
berusaha tersenyum dan aku tahu hasilnya hanyalah seringai menyedihkan.
Pada malam tertentu saat sering turun
hujan, entah bagaimana rumahmu berubah menjadi rumah ibadah. Orang-orang
berjubah panjang dan bertutup kepala berkumpul dan merapalkan doa-doa
rumit yang sesekali terdengar seperti gerutuan di telingaku sebab mereka
mengucapkannya dengan samar dan begitu buru-buru. Kau tidak ikut
berdoa. Kau memilih berkeliling dan mengomel karena atap yang bocor
menyebabkan air menggenang di mana-mana. Pada saat-saat demikian aku
akan berjalan berjingkat-jingkat sambil membawa kain jemuran yang masih
lembab karena kurang mendapat sinar matahari dan kau selalu membikinku
gugup dengan meneriakiku,
"Jangan lewat situ! Itu licin! Jangan
lewat situ juga! Lewat sana saja! Hei kau, sebelah sini! Aduh itu kain
jangan kau angkat-angkat menutupi mukamu, bagaimana kau bisa lihat jalan
kalau begitu? Kacau!"
Kau selalu memanggilku dengan "Hei
bocah!" atau "Hei kau!" Aku curiga kau tidak pernah tahu namaku. Dan
entah bagaimana pikiran ini membuatku sedikit sedih. Aku menunggumu
mengajariku sesuatu, menulis atau bercerita. Tapi kau selalu sibuk.
Menulis dongeng atau membawakannya di depan orang banyak, memasak,
mencari sayuran dan ikan segar ke pasar, mengawasi orang membelah kayu
atau duduk semeja bersama beberapa anak muda yang bergantian datang ke
beranda depan. Kalian sangat serius, hanya sesekali aku mendengar kalian
tertawa keras dan panjang, entah menertawakan apa. Aku selalu takut
kalian sedang menertawaiku.
Beberapa kali aku mendapati kalian
mencuri lihat padaku, dan bukannya kalian yang jadi sungkan karena
terpergok mencuri pandang, justru akulah yang sibuk menggosok-gosok
hidung dengan gugup. Tentu saja setelahnya aku segera beringsut pergi,
mencari hal untuk kukerjakan, membereskan lemari kitab-kitab tebalmu
yang sudah rapi atau mencuci ulang dandang yang sudah bersih.
Keadaan ini mengesalkan sekali. Aku tak
tahu apa yang dikatakan orangtuaku padamu saat mereka menitipkanku di
tempatmu. Aku kemari karena merasa barangkali aku bisa belajar sesuatu
darimu. Kau pencerita yang hebat, kata orang-orang. Kalaupun aku tak
bisa jadi pendongeng sepertimu, setidaknya kau akan mengajariku yang
buta aksara ini membaca dan menulis supaya aku bisa menceritakan kisah
perempuan yang tumbuh sulur di telinganya, pemabuk yang jatuh cinta pada
ember muntahnya atau kisah lain yang berputar-putar di kepalaku. Tetapi
bahkan setelah setahun lebih aku di tempatmu, kau hanya memanggilku
saat perlu diambilkan tembakau, atau saat perlu dibantu menyalakan
tungku, atau meminta diseduhkan teh limau.
Suatu sore kau memanggilku yang tengah menutup jendela depan,
"Hei, kau. Jangan lupa masukkan kayu bakar ke gudang belakang."
Aku mengangguk dan segera berjalan ke halaman. Langkah tergopohku melambat saat kudengar sulungmu yang baru saja tiba menegurmu,
"Ayah, sekali-kali cari tahulah namanya dan panggil dia dengan namanya, jangan 'Hei kau, hei kau.' terus begitu."
Kau terdiam sesaat sebelum menjawab,
"Kau benar. Aku betul-betul tidak tahu
namanya. Semua orang, bahkan orang tuanya saat mengantarnya kesini untuk
jadi pesuruh, memanggilnya Sumbing. Menurutmu apa ada orang tua yang
sengaja menamai anaknya Sumbing? Tapi kalaupun itu benar namanya aku
tidak tega memanggilnya begitu. Itu olok-olok yang kejam. Barangkali
nanti kupikirkan satu nama panggilan buatnya."
Sambil kembali melanjutkan berjalan ke arah tumpukan kayu bakar di halaman, aku membatin,
"Baiklah. Baiklah aku ini hanya seorang pesuruh. Baiklah. Tapi kalau sampai kau harus menemukan sebuah panggilan buatku, jangan sampai kau memanggilku 'burung crocokan', aku mohon jangan. Namaku Leira, paman Jatmika."
Tentu saja tidak satupun kata-kataku
tadi bisa terucap dari mulutku yang sejak lahir sudah terbelah parah
dari bibir sampai ke langit-langitnya.
Aku mengangkat setumpuk kayu bakar dan
memanggulnya di kepala, menaruhnya di gudang belakang, mengelap mataku
yang panas dan hidungku yang tiba-tiba beringus dengan lengan baju.
Masih perlu bolak-balik tiga kali untuk memindahkan semua kayu bakar.
Aku melakukannya dengan cepat, aku merasa tenagaku jadi berlipat-lipat,
seakan-akan aku bisa menjatuhkan seorang tukang kayu dengan satu pukulan
di rahang. Tidak ada seorang atau sesuatupun yang bisa kupukul
rahangnya, maka aku menghabiskan tenagaku dengan berusaha mengucapkan
namaku. Percayalah, untuk orang-orang tertentu, hal seremeh itu bisa
sangat menguras jiwa raga.
"Leira. Le-i-ra. Le...i...ra...! LE..I...RA!!"
Aku bisa mendengar benakku membentak-bentak, sementara mulutku hanya menghasilkan semacam dengusan yang menyedihkan,
"Weywah. Wey-wah. Weeiiyyw....wah..! WEEIIYYYW...WAAHHH!!"
Aku terus melakukannya sampai empat
puluh tahun kemudian. Tidak, aku bohong. Mana mungkin begitu. Kau selalu
mencari-cariku, seperti tahu kalau sendiri terlalu lama tidak baik
buatku. Tahu-tahu saja kau sudah menyusulku ke gudang, tanpa berkata
apa-apa mengulurkan dua buah lentera yang masih padam. Aku paham,
mengangguk, mengambil lentera dari kedua tanganmu dan mulai
menyalakannya dengan pemantik api yang selalu kusimpan di saku bajuku.
Kau mengawasiku dan setelah kedua lentera menyala, masih tanpa
mengatakan apa-apa, kau mengajakku masuk ke dalam rumah. Aku berjalan
mengikutimu dan memutuskan untuk memperhatikan punggungmu saja ketimbang
memikirkan perihal yang mungkin atau tidak mungkin kulakukan.
Aku masih satu-satunya orang yang kau
percayai untuk menyalakan pelita di seluruh rumah. Itu cukup
menenangkan. Kurasa dengan cara demikian aku akan bertahan.
____________________
Sumber : http://jakartabeat.net/prosa/konten/pemantik-api-di-saku-baju-leira
Sumber : http://jakartabeat.net/prosa/konten/pemantik-api-di-saku-baju-leira
Tidak ada komentar:
Posting Komentar