Ditulis oleh Sastri Sunarti
Kritik Sastra Marxist dalam kesusasteraan mempunyai sejarah yang
panjang. Kritik teori Marxist ini berawal dari tiga teks besar dan
terkenal. Dua diantaranya terdapat dalam surat-surat pujian dari Engels
dan ketiga terdapat dalam esei pendek yang ditulis oleh Lenin, (Steiner
1967).
Ajaran Marxis sendiri berawal dari pemikiran Karl Marx dan Frederick
Engels. Pada tahun 1848 kedua tokoh pemuda Jerman yang revolusioner ini
mengeluarkan pernyataan-pernyataan umum mengenai kebudayaan yang besar
sekali pengaruhnya kemudian terhadap sejarah pemikiran manusia. Pikiran
mereka itu terbit dalam suatu dokumen yang dikenal dengan Manifesto Komunis. Karl Marx sendiri sebelumnya sudah menulis sebuah buku yang berjudul Das Kapital yang akhirnya diselesaikan oleh Engels.
Dua tema pokok dalam tulisan-tulisan Marx dan Engels yang mula-mula
adalah pengaruh sosial ideologi dan pembagian kerja. Dalam hubungannya
dengan konsep ideologi ini dijelaskan bahwa semua pikiran yang
berbeda-beda, baik yang bersifat falsafah, ekonomi, dan historis,
menampilkan tak lebih dari suatu perspektif yang berkaitan dengan posisi
kelas pengarang.
Marx dan Engels juga menyadari bahwa pembagian kerja memegang peranan
penting dalam kehidupan sosial. Hal itu disebabkan oleh perkembangan
perdagangan dan industri; adanya kelompok masyarakat yang bergeser dari
taraf produksi material ke taraf produksi mental. Pembagian kerja ini
menghasilkan sebuah teori murni seperti halnya filsafat, teologi dan
secara tersirat sastra dan seni. Di bawah kekuasaan ekonomi kapitalisme,
sastra semakin lama semakin dianggap sebagai barang industri.
Dalam tulisan Eagleton, (1977:3) dijelaskan bahwa Marx sesungguhnya
terpengaruh oleh dialektika filsafat Hegel dalam memandang seni. Namun
menurut Eagleton, kemurnian pikiran Marx tidak terdapat dalam
pendekatan sastra, melainkan terletak pada pemahaman yang revolusioner
terhadap sejarah itu sendiri.
Dalam suatu laporannya, Marx menjelaskan tentang Base 'dasar' dan Superstructur
'superstruktur'. Superstruktur yaitu ideologi dan politik yang bertumpu
pada 'dasar' (hubungan-hubungan soiso-ekonomi). Marx menjelaskan bahwa
kebudayaan bukanlah suatu kenyataan bebas, melainkan kebudayaan itu
tidak terpisahkan dari kondisi-kondisi kesejarahan. Di dalam kesejarahan
itu, manusia menciptakan hidup kebendaannya. Hubungan-hubungan antara
penguasaan, penindasan, atau ekploitasi yang menguasai tata sosial dan
ekonomi dari suatu fase sejarah manusia akan ikut menentukan seluruh
kehidupan kebudayaan masyarakatnya.
Dalam Ideologi Jerman (1846), Marx dan Engels berbicara pula mengenai moralitas, agama, dan filsafat sebagai momok-momok yang dibentuk dalam otak manusia yang
merupakan refleks dan gema dari proses kehidupan yang nyata. Dalam
serangkaian surat-surat terkenal (1890), Engels menekankan bahwa ia dan
Marx selalu memandang aspek perekonomian masyarakat sebagai akhir dari
aspek-aspek lain. Jadi, seni menurut pandangan Marxis merupakan bagian
dari superstruktur dari lingkungan sosial. Dengan demikian, menurut
Marxis, untuk memahami sastra berarti memahami seluruh proses sosial.
Status kesusasteraan yang khusus, diakui oleh Marx dalam sebuah bagian terkenal dalam bukunya Grundrisse.
Di dalamnya ia menjelaskan tentang ketidakcocokan yang nyata antara
perkembangan ekonomi dan kesenian. Ia menganggap bahwa tragedi Yunani
sebagai puncak dari perkembangan kesusasteraan dan tragedi itu bersamaan
waktunya dengan sistem kemasyarakatan dan sebuah bentuk ideologi; yang
tidak lagi sahih bagi masyarakat modern.
Dalam pembicaraan mengenai sebuah lakon Shakespeare, Timono of Athens,
Marx mengatakan bahwa uang tidak hanya mengontrol manusia tetapi juga
merupakan lambang keterpencilan manusia dari dirinya sendiri dan
masyarakat. Marx memuji Shakespeare yang telah menggambarkan esensi uang
sebagai suatu yang berada di luar manusia, mengatur tindakannya, dan
merupakan sesuatu yang diciptakan manusia agar dapat digunakan.
Gagasan Marx bukan merupakan hal yang penting dalam pengembangan
sosiologi sastra. Tulisan -tulisan Engelslah yang banyak manfaaatnya
bagi pengembangan pendekatan itu. Ada dua pokok penting dalam pikiran
Engels yaitu pertama mengenai sastra. Tendensi politik penulis haruslah
disajikan secara tersirat saja. Semakin tersembunyi pandangan si
penulis, semakin bermutulah karya sastra yang ditulisnya. Ideologi
politik bukanlah merupakan masalah utama bagi si seniman. Oleh karenanya
karya sastra akan menjadi lebih baik apabila ia berhasil membuat
ideologi itu tetap tersembunyi.
Pokok kedua dalam gagasan pikiran Engels lebih bersifat dogmatis. Ia
menjelaskan bahwa setiap novelis yang berusaha mencapai realisme harus
mampu menciptakan tokoh-tokoh yang representatif dalam karya-karyanya.
Hal itu disebabkan oleh adanya pengertian realisme yang meliputi
reproduksi tokoh-tokoh yang merupakan tipe dalam peristiwa yang khas
pula.
Bapak realisme sosial di Uni Sovyet itu sendiri adalah Maxim Gorky
yang sangat berhasil menggambarkan realisme dalam karyanya berjudul Ibu dan Anak
yang dianggap sukses menerapkan ajaran realisme sosial di USSR. Namun,
sebagai kritikus Marxis yang besar adalah George Lukacs, seorang
Hongaria.
Karya-karya Lukacs terutama menyoroti masalah-masalah realisme, walaupun
pandangannya kemudian banyak bersinggungan dengan paham realisme
sosialis resmi. Pada usia 25 tahun, Lukacs merampungkan naskah bukunya
yang setebal 1000 halaman yang berjudul Soul and Form yakni
tentang perkembangan drama modern. Pada tahun 1918 ia bergabung dengan
Partai Komunis Hongaria. Tulisan-tulisannya mulai dipengaruhi oleh
pemikiran Marxis sezaman. tulisan-tulisannya dalam periode Marxis banyak
bicara tentang masalah filsafat, seperti alienasi, fetishism,
reifikasi yang menjadi sumbangan penting bagi teori Marxis tentang
kesadaran, ideologi, dan kebudayaan. Karya Lukacs yang penting dari
kurun ini adalah History and Class Consciusness yang terbit 1923.
Ia menyerang gerakan modernisme yang muncul di Eropa Barat. Ia
mengatakan bahwa modernisme hanya mampu melihat manusia sebagai makhluk
putus asa yang terasing, bahwa modernisme sengaja mengingkari kenyataan
seutuh-utuhnya, bahwa modernisme merupakan gerakan artistik yang steril.
Dalam bidang seni dan sastra, Lukacs bicara mengenai bentuk (form)
yang dianggap sangat menonjol dan berpengaruh. Sistem kapitalis
menurutnya menciptakan pemisahan bidang-bidang kehidupan begitu parahnya
dan pemujaan terhadap komoditas yang membutakan manusia dari
jatidirinya. Dalam Studies in European Realism dan Historical Novel,
ia melihat fungsi itu dipenuhi dalam karya-karya penulis realis seperti
Shakespeare, Balzac, Tolstoy dan seniman Yunani kuno. Lukacs sangat
terpengaruh oleh pikiran Thomas Mann.
Pengunggulan realisme dalam karya-karyanya sempat merangsang perdebatan
panjang dengan Bertolt Brecht. Bagi Brecht, realisme mendamaikan
kontradiksi di dalam totalitas yang merupakan sikap reaksioner.
Sebaliknya Lukacs berpendapat bahwa kontradiksi semacam itu justru perlu
diungkap lebih tajam dalam kesenian yang akan meransang manusia untuk
membebaskan diri dari kontradiksi itu dalam dunia nyata.
Lukacs menggunakan istilah refleksi yang merupakan ciri
khusus keseluruhan karyanya. Dengan menolak naturalisme bersahaja novel
baru Eropa waktu itu, ia kembali ke pandangan realis lama bahwa novel
mencerminkan realitas. Pencerminan itu bukan melalui pelukisan wajah
yang tampak dari permukaan saja, melainkan memberikan pada kita sebuah
pencerminan realitas yang lebih benar, lebih lengkap, dan lebih hidup.
Menurut Lukacs, pencerminan itu bisa saja lebih atau kurang konkret.
Sebuah novel mungkin akan membawa pembaca ke arah pandangan yang lebih
konkret kepada realitas. Sebuah karya sastra tidak hanya mencerminkan
fenomena individual secara terasing, tetapi proses hidup yang penuh.
Pembaca selalu sadar bahwa karya sastra itu bukan realitas sendiri
melainkan merupakan bentuk khusus yang mencerminkan realitas. Oleh sebab
itu menurut Lukacs, sebuah pencerminan realita yang benar memerlukan
lebih dari sekedar perwujudan luar.
Selain Lukacs, kritikus Marxis yang lain adalah Lucien Goldmann yang
terkenal dengan rumusan model strukturalisme genetik. Goldmann menolak
bahwa teks-teks adalah ciptaan jenius individual melainkan bahwa
teks-teks sastra merupakan struktur-struktur mental trans-individual;
milik kelompok-kelompok tertentu yang kemudian menghasilkan suatu pandangan dunia.
Goldmann percaya bahwa penemuannya tentang homolog (persamaan bentuk)
struktural diantara bermacam-macam bagian tata masyarakat, membuat
teori kemasyarakatannya khas Marxis. Dalam hal ini, karyanya merupakan
kelanjutan teori Lukacs dari aliran Marxisme Hegel.
Kritikus Marxis yang lain adalah Walter Benjamin dari aliran
Frankfurt. Pertemuan singkatnya dengan Adorno, memberi alasan untuk
menyebutnya sebagai Marxsis meski pun cap itu sangat pribadi sifatnya.
Eseinya yang terkenal adalah Karya Seni dalam Abad Reproduksi Mekanis
yang memperlihatkan sebuah pandangan kebudayaan modern yang
bertentangan dengan Adorno. Benjamin berpendapat bahwa inovasi tehnik
modern telah mengubah secara mendalam status karya seni yang waktu dulu
hanya dapat dinikmati oleh elit borjuis. Adorno melihat hal tersebut
sebagai perendahan nilai seni oleh komersialisasi.
Sebelumnya telah disinggung mengenai efek alienasi dalam sastra yang
sebenarnya dikembangkan oleh Bertold Brecht. Drama-drama awal Brecht
radikal, anarkistik, anti borjuis tetapi tidak anti kapitalis. Sesudah
membaca Marx, jiwa remajanya berubah menjadi keterlibatan politik . Pada
tahun 1930 ia menulis drama yang ditujukan pada kelas pekerja tetapi ia
terpaksa meninggalkan Jerman ketika kaum Nazi berkuasa.
Brecht menolak jenis kesatuan bentuk formal yang dipuji oleh Lukacs. Menurutnya, tidak ada bentuk yang bagus yang dapat bertahan selamanya dengan kata lain, tidak ada hukum estetik yang abadi.
Berdasarkan pandangan Engels mengenai hubungan sastra dan masyarakat yang menjelaskan bahwa dalam karya sastra besar, maksud pengarang tersembunyi. Sebaliknya Lenin mempunyai pandangan bahwa sastra harus sejalan dengan garis partai. Perbedaan pandangan ini menimbulkan adanya dua jalur dalam kritik sastra Marxis yaitu kritik para Marxis yang berpegang pada pendapat Engels dan kritik kaum Ortodoks yang perpegang pada Lenin (Steiner, 1967:305--324).
Perkembangan teori Marxis di Rusia akhirnya menjadi bagian yang tak terpisahkan dari ideologi dan pemerintahan Komunis. Di bawah Stalin, kritik di Rusia tidak bisa berbuat apa-apa. Lukacs pun dicerca oleh partai dan pandangan Engels ditolak oleh anggota partai. Akhirnya sastra diredusir menjadi sekrup dalam mekanisme negara totaliter dan sangat sesuai dengan pandangan Lenin yang menyatakan bahwa tugas kritik hanya dua yaitu sebagai penafsir dogma partai dan pengganyang kaum murtad.
Brecht menolak jenis kesatuan bentuk formal yang dipuji oleh Lukacs. Menurutnya, tidak ada bentuk yang bagus yang dapat bertahan selamanya dengan kata lain, tidak ada hukum estetik yang abadi.
Berdasarkan pandangan Engels mengenai hubungan sastra dan masyarakat yang menjelaskan bahwa dalam karya sastra besar, maksud pengarang tersembunyi. Sebaliknya Lenin mempunyai pandangan bahwa sastra harus sejalan dengan garis partai. Perbedaan pandangan ini menimbulkan adanya dua jalur dalam kritik sastra Marxis yaitu kritik para Marxis yang berpegang pada pendapat Engels dan kritik kaum Ortodoks yang perpegang pada Lenin (Steiner, 1967:305--324).
Perkembangan teori Marxis di Rusia akhirnya menjadi bagian yang tak terpisahkan dari ideologi dan pemerintahan Komunis. Di bawah Stalin, kritik di Rusia tidak bisa berbuat apa-apa. Lukacs pun dicerca oleh partai dan pandangan Engels ditolak oleh anggota partai. Akhirnya sastra diredusir menjadi sekrup dalam mekanisme negara totaliter dan sangat sesuai dengan pandangan Lenin yang menyatakan bahwa tugas kritik hanya dua yaitu sebagai penafsir dogma partai dan pengganyang kaum murtad.
Ideologi Marxist-Leninis ini kemudian juga pernah diterapkan di
Indonesia oleh kelompok Lembaga Kebudayaan Rakyat (lebih populer dengan
sebutan LEKRA) pada masa-masa 60-an sebelum meletusnya gerakan 30
September 1965. Pada masa itu muncul sebuah jargon di kalangan seniman
dan penulis yang menyatakan bahwa sastra adalah panglima. Dan
pengganyangan terhadap kelompok yang berseberangan dengan ideologi Lekra
terhadap kelompok Manifestasi Kebudayaan juga sempat terjadi pada masa
itu.
DAFTAR PUSTAKA
Eagleton, Terry. 1977. Marxism and Literary Criticism, London: Methuen and Co
Limited.
George, Steiner. 1967."Marxism And The Literary Critic" New York: Atheneum.
Joko Damono, Sapardi. 1984. Sosiologi Sastra Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa
Karyanto, Ibe. 1996. Realisme Sosialis. Jakarta: Gramedia
Selden, Raman. 1985. Panduan Pembaca Teori Sastra Masa Kini.
Jogya:Universitas Gajah Mada Press.
____________________
Sumber : http://horisononline.or.id/id/esai/169-kritik-marxist-dalam-sastra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar