Kritik sastra di Indonesia setidaknya telah berkembang sejak 1930-an
ketika para sastrawan generasi Pujangga Baru mengerjakannya di beragam
media saat itu. Dalam perkembangannya kritik sastra yang ada memang
bukan melulu memperkenalkan karya kepada khalayak pembaca, seraya
mencari kaitannya dengan kehidupan si pengarang dan konteks zamannya,
tetapi juga medan bagi penerapan teori-teori sastra yang ada.
Kritik
sastra yang bersifat analitis atau menelaah unsur-unsur intrinsik karya
sastra sudah menjadi kencenderungan umum di kalangan akademis,
terlebih-lebih para dosen sastra di Fakultas Sastra Universitas
Indonesia, yang saat itu masih bertempat di Rawamangun, Jakarta Timur.
Tetapi sekelompok seniman dan kaum intelektual merasa tidak puas
terhadap cara kerja mereka. Mereka dianggap terlampau asyik dengan
struktur karya sastra, mengabaikan faktor pengarang dan konteks
zamannya. Yang pertama dijuluki “Aliran Rawamangun”, sementara
penentangnya dikenal dengan sebutan “Metode Ganzheit”. Yang terkahir ini
lebih menekankan kebulatan sebuah karya dan mencoba menjalankan telaah
psikologis yang mengaitkan karya dengan pengarangnya.
Sabtu
(19/10) pekan lalu dua kecenderungan kritik sastra yang pernah tumbuh di
Indonesia pada akhir 1960-an dan awal 1970-an ini menjadi pokok
pembahasan Jamal D. Rahman dan Ahmad Yulden Erwin. Kuliah Umum bertajuk
“Sosok dan Pokok dalam Sastra” ini adalah seri ketiga ketika Kuliah Umum
Pemikiran di Seputar Sastra yang menjadi bagian dari Bienal
Sastra Salihara 2013. Setelah menjejak perjalanan kritik sastra
Indonesia dari awal kehadirannya, dua pemateri itu menyentuh pembicaraan
tentang kritik di era kini yang bersentuhan dengan
perkembangan-perkembangan baru.
Perdebatan dua kelompok ini memang
sempat terwujud dalam serangkaian diskusi di Jakarta pada waktunya,
tetapi kemudian berkembang menurut kecenderungan masing-masing. Jika
Metode Ganzheit dianggap tidak mengalami perkembangan berarti, kecuali
lewat jenis kritik sastra yang dikembangkan oleh penyair-kritikus sastra
Subagio Sastrowardoyo. Sementara Aliran Rawamangun yang mendasarkan
diri pada strukturalisme terus berkembang hingga hari ini,
terlebih-lebih di kampus-kampus yang memilik Fakultas Sastra, yang kini
berubah menjadi Fakultas Ilmu Budaya.
Di luar perdebatan dua kubu
itu, dalam diskusi tersebut juga muncul perdebatan tentang kritik sastra
yang berwatak politis. Jamal dan Erwin sependapat bahwa pada zaman
kini, kritik sastra tak harus keluar dari sebuah lembaga sastra. Dewan
juri perlombaan, redaktur media massa, hingga pembaca bisa menjadi
kritikus-kritikus tajam bagi sebuah karya sastra. Kritik lantas bergeser
dari kajian teoretis menjadi kritik bersifat terapan atau praktis yang
sama-sama bermuara pada penilaian tanpa harus taat dan kaku, bahkan
lepas, dari teori. “Kritik dalam relasi sosial akan menjadi politis
karena juri, redaktur, berada dalam relasi sosial, maka keputusannya pun
politis. Termasuk yang melakukan kritik dengan orientasi obyektif, itu
pun politis,’’ kata Jamal D. Rahman
Kritik-kritik dari akademisi
sastra di kampus kerap berakhir sebagai karya ilmiah yang tidak bisa
dinikmati oleh kalangan awam secara tidak langsung ikut menumbuhsuburkan
kritik politis. Di tempat yang sama, Erwin mengamini kritik politis
pada karya sastra yang tak kini berkembang di Indonesia. “Unsur politis
tak perlu dihindari, yang penting dalam relasi politis itu kita saling
menghormati dan menghargai,” kata Erwin. Ia menyinggung, model kritik
politis kerap pula muncul dari kelompok mana kritik itu muncul, dari
kritikus yang berkawan dengan siapa kritik hadir, dan lainnya.
Kritik
semacam itu, menurut Erwin, tidak akan banyak berguna bagi perkembangan
sastra itu sendiri. Di lain pihak, kritik yang bertolak dari teori
tidak selamanya bisa menjadi ukuran baku. Sebuah karya sastra yang
ditelaah dengan teori tertentu bisa dianggap baik, sementara di saat
bersamaan sama sekali tidak baik bila memakai teori berbeda. Ujungnya,
publik menjadi pihak yang dibingungkan. Erwin menyorong pendapat bahwa
kritik idealnya tetap bertolak dari pendekatan strukturalis. ’’ Dasarnya
memang harus struktural, bukan karena kecenderungan politis,’’ kata
Erwin. (*)
___________________
Sumber : http://salihara.org/community/2013/10/26/kritik-sastra-dalam-dua-kubu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar