Jumat, 11 Juli 2014

(Seluk Beluk Sastra) - Kritik Sastra dalam Dua Kubu


Kritik sastra di Indonesia setidaknya telah berkembang sejak 1930-an ketika para sastrawan generasi Pujangga Baru mengerjakannya di beragam media saat itu. Dalam perkembangannya kritik sastra yang ada memang bukan melulu memperkenalkan karya kepada khalayak pembaca, seraya mencari kaitannya dengan kehidupan si pengarang dan konteks zamannya, tetapi juga medan bagi penerapan teori-teori sastra yang ada.


Sosok dan Pokok dalam Sastra


Kritik sastra yang bersifat analitis atau menelaah unsur-unsur intrinsik karya sastra sudah menjadi kencenderungan umum di kalangan akademis, terlebih-lebih para dosen sastra di Fakultas Sastra Universitas Indonesia, yang saat itu masih bertempat di Rawamangun, Jakarta Timur.  Tetapi sekelompok seniman dan kaum intelektual merasa tidak puas terhadap cara kerja mereka. Mereka dianggap terlampau asyik  dengan struktur karya sastra, mengabaikan faktor pengarang dan konteks zamannya. Yang pertama dijuluki “Aliran Rawamangun”, sementara penentangnya dikenal dengan sebutan “Metode Ganzheit”. Yang terkahir ini lebih menekankan kebulatan sebuah karya dan mencoba menjalankan telaah psikologis yang mengaitkan karya dengan pengarangnya.

Sabtu (19/10) pekan lalu dua kecenderungan kritik sastra yang pernah tumbuh di Indonesia pada akhir 1960-an dan awal 1970-an ini menjadi pokok pembahasan Jamal D. Rahman dan Ahmad Yulden Erwin. Kuliah Umum bertajuk “Sosok dan Pokok dalam Sastra” ini adalah seri ketiga ketika Kuliah Umum Pemikiran di Seputar Sastra yang menjadi bagian dari Bienal Sastra Salihara 2013. Setelah menjejak perjalanan kritik sastra Indonesia dari awal kehadirannya, dua pemateri itu menyentuh pembicaraan tentang kritik di era kini yang bersentuhan dengan perkembangan-perkembangan baru.

Perdebatan dua kelompok ini memang sempat terwujud dalam serangkaian diskusi di Jakarta pada waktunya, tetapi kemudian berkembang menurut kecenderungan masing-masing. Jika Metode Ganzheit dianggap tidak mengalami perkembangan berarti, kecuali lewat jenis kritik sastra yang dikembangkan oleh penyair-kritikus sastra Subagio Sastrowardoyo. Sementara Aliran Rawamangun yang mendasarkan diri pada strukturalisme terus berkembang hingga hari ini, terlebih-lebih di kampus-kampus yang memilik Fakultas Sastra, yang kini berubah menjadi Fakultas Ilmu Budaya.

Di luar perdebatan dua kubu itu, dalam diskusi tersebut juga muncul perdebatan tentang kritik sastra yang berwatak politis. Jamal dan Erwin sependapat bahwa pada zaman kini, kritik sastra tak harus keluar dari sebuah lembaga sastra. Dewan juri perlombaan, redaktur media massa, hingga pembaca bisa menjadi kritikus-kritikus tajam bagi sebuah karya sastra. Kritik lantas bergeser dari kajian teoretis menjadi kritik bersifat terapan atau praktis yang sama-sama bermuara pada penilaian tanpa harus taat dan kaku, bahkan lepas, dari teori. “Kritik dalam relasi sosial akan menjadi politis karena juri, redaktur, berada dalam relasi sosial, maka keputusannya pun politis. Termasuk yang melakukan kritik dengan orientasi obyektif, itu pun politis,’’ kata Jamal D. Rahman

Kritik-kritik dari akademisi sastra di kampus kerap berakhir sebagai karya ilmiah yang tidak bisa dinikmati oleh kalangan awam secara tidak langsung ikut menumbuhsuburkan kritik politis. Di tempat yang sama, Erwin mengamini kritik politis pada karya sastra yang tak kini berkembang di Indonesia. “Unsur politis tak perlu dihindari, yang penting dalam relasi politis itu kita saling menghormati dan menghargai,” kata Erwin. Ia menyinggung, model kritik politis kerap pula muncul dari kelompok mana kritik itu muncul, dari kritikus yang berkawan dengan siapa kritik hadir, dan lainnya.

Kritik semacam itu, menurut Erwin, tidak akan banyak berguna bagi perkembangan sastra itu sendiri. Di lain pihak, kritik yang bertolak dari teori tidak selamanya bisa menjadi ukuran baku. Sebuah karya sastra yang ditelaah dengan teori tertentu bisa dianggap baik, sementara di saat bersamaan sama sekali tidak baik bila memakai teori berbeda. Ujungnya, publik menjadi pihak yang dibingungkan. Erwin menyorong pendapat bahwa kritik idealnya tetap bertolak dari pendekatan strukturalis. ’’ Dasarnya memang harus struktural, bukan karena kecenderungan politis,’’ kata Erwin. (*)




___________________

Sumber : http://salihara.org/community/2013/10/26/kritik-sastra-dalam-dua-kubu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar