Jumat, 11 Juli 2014

(Serba-Serbi) - Street Photography Bukan Foto Jalanan




Jakarta dan Street Photography


Di dunia fotografi belakangan ini street photography menjadi sebuah pembicaraan hangat. Muncul aneka rupa imaji tangkapan optik kamera yang oleh pembidiknya disebut sebagai street photography. Sebagai sebuah genre, street photography juga memicu perdebatan di kalangan penggemar fotografi. Di Galeri Salihara, Selasa (10/06) lalu, street photography menjadi sajian diskusi yang menampilkan Erik Prasetya dan Irma Chantily sebagai pemateri.


Erik Prasetya adalah fotografer yang telah 25 tahun berkonsentrasi pada fotografi jalanan. Invisible Photographer Asia menahbiskan dirinya sebagai satu dari “30 Fotografer Paling Berpengaruh di Asia” pada 2014. Ia telah menerbitkan buku Street Photo (KPG, 2014), Street Wear (KPG, 2014), dan Jakarta Estetika Banal (2011). Sementara Irma Chantily adalah pengamat dan pengajar fotografi di Institut Kesenian Jakarta. Dua pemateri menyampaikan centang perentang street photography di Indonesia dengan menelusuri jejak historis jenis fotografi yang satu ini dan keberadaannya sekarang.

Erik dan Irma menegaskan bahwa sesungguhnya street photography sendiri sampai kini masih belum benar-benar jelas batasannya. Ada banyak sekali definisi dari beragam pelaku dan pengamat fotografi tentang jenis fotografi yang satu ini. Batasan yang tak jelas itu pada akhirnya menjadikan street photography tidak beku dalam tafsir tunggal. Namun begitu, Erik menyebut sejumlah tanda-tanda street photography.


Street photography bukan sekadar foto yang diambil di jalanan,” kata Erik. Itu sebabnya street photography tak bisa dengan sendirinya dialihbahasakan menjadi “fotografi jalanan”. Menurutnya, street photography setidaknya memiliki semangat mengungkap apa yang ada di balik citraan imaji hasil bidikan kamera. Ada emosi yang mestinya terekam dalam sebuah gambar hasil bidikan seorang fotografi di genre ini. Street photography kemudian bukan sebuah pendekatan yang melulu membidik pemandangan jalanan belaka.


Street photography tidak haram memotret alam benda yang ada di ruang publik, bukan ruang privat tak terjangkau umum. Ruang publik sebagai medan jelajah street photography ditekankan Erik punya posisi vital untuk membedakannya dari genre fotografi lainnya. “Street photography juga semestinya hadir tanpa ada unsur penyutradaraan yang dirancang sedemikian rupa,” Erik menegaskan. Soal batasan apakah foto harus diambil secara candid atau sembunyi-sembunyi, tanpa menggunakan lampu kilat kamera, bagi Erik ini masih bisa diperdebatkan.


Erik menampik street photography tidak berbeda dari foto jurnalistik yang lazim dihasilkan oleh para pewarta foto. Menurutnya, ada sejumlah hal yang menjadi perbedaan mendasar antara street photopraphy dengan foto jurnalistik. Perbedaan itu setidaknya terletak pada kesan atau makna di balik gambar. Foto jurnalistik sudah pasti menyaratkan terpenuhinya unsur-unsur jurnalistik pada sebuah gambar. Tentang siapa atau apa obyek dan pengaruhnya pada orang banyak, unsur dramatik, obyektivitas dan kelengkapan informasi adalah syarat mutlak sebuah foto berkategori foto jurnalistik.

Sebaliknya, street photography justru tidak mementingkan itu semua. Street photography tidak haram dan lazim mengabadikan fenomena banal sekitar kehidupan manusia di ruang publik. Fenomena banal yang remeh, informasi obyek-subyek yang tidak rinci, hingga subyektivitas ada di ranah street photography. Aspek lain yang penting dalam street photopragphy namun tak penting-penting amat bagi foto jurnalistik adalah estetika. Foto jurnalistik mementingkan foto sebagai sebuah bentuk keterwakilan atau representasi. Pendekatannya pragmatik sementara street photography lebih menekankan pendekatan sintagmantik yang banyak menimbang estetika tanpa jauh menengok soal gambar sebagai representasi.


Soal estetika street photography, Erik mengakui seni foto pada mulanya merujuk pada tanda-tanda estetik khas seni rupa. “Pada perkembangannya batasan estetik seni rupa tak cukup mampu menjelaskan konsep estetika street photography,” kata Erik. Estetika street photography tidak berhenti pada keindahan komposisi warna, garis, maupun kait-mengkait antara subyek-obyek-ruang. Lebih dari itu, rekaman akan emosi dan unsur pengungkapan sesuatu adalah bagian penting pada estetika street photography.


Bila Erik banyak membahas rinci street photography, Irma lebih berfokus pada perjalanan fotografi hingga kemudian street photography muncul sebagai sebuah genre. “Kalau melihat sejarah pada gaya visual dan estetisnya, street photography sebenarnya sudah lahir jauh sebelum istilahnya marak,” katanya. Irma menyodorkan foto-foto klasik karya fotografer mula-mula Louis Daguerre yang merekam suasana jalanan Boulevard du Temple Paris pada 1838. Menurut Irma, bila kemudian street photography diberi batasan sebagai foto di ruang publik dengan membidik alam benda maupun mahkluk hidup, foto karya Daguerre tersebut menjadi bukti genre itu sudah ada sejak fotografi lahir. (*)




____________________

Sumber : http://salihara.org/community/2014/06/17/street-photography-bukan-foto-jalanan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar