INGATLAH aku sebagai Kae yang bertemu denganmu
ratusan tahun lalu. Di masa itu, aku seorang penjual bunga kesedihan
dan selalu mengenakan syal merah di leher. Seperti apakah bunga
kesedihan? Kelopaknya mirip mawar warna darah. Dan bunga itu memikat orang-orang yang terluka.
Setiap orang yang terluka pasti mencariku. Sepanjang hari aku berdiri di pinggir jalan, tepatnya di sebuah simpang, tengah kota, menunggui keranjang bungaku yang terbuat dari jalinan rotan sekecil kelingking berbentuk segi empat. Kadang-kadang aku cuma berhasil menjual dua atau tiga tangkai bunga kesedihan saja dalam sehari. Namun, di hari lain, aku pulang dengan keranjang kosong.
Bagaimanapun aku tak berharap seluruh orang di kota patah hati setiap harinya. Hal macam apa yang bisa kita rasakan di kota yang penuh kesedihan selain kegelapan?
Tentang bunga kesedihan itu—tentang kenapa bunga dalam keranjangku bernama sedemikian kelam—suatu kali, menjelang siang, belum setangkai pun bungaku terjual, ketika seorang lelaki bertanya, apakah kau menjual bunga kesedihan? Sebelumnya, aku sama sekali tak memikirkan bahwa bunga dalam keranjangku juga harus punya nama seperti kembang lainnya.
Kukatakan, tidak. Aku bahkan tidak tahu jenis bunga itu.
Ia mengaku benar-benar menginginkan bunga kesedihan.
Tubuh lelaki itu sangat kurus. Tulang-tulangnya menonjol dalam balutan kulit tipisnya yang tampak transparan. Matanya cekung. Aku menduga bahwa ia tengah menderita suatu penyakit yang pelan-pelan menggerogotinya. Mungkin karena itulah ia menginginkan bunga kesedihan. Barangkali ia tengah menyiapkan kematiannya.
”Kau bisa menanyakannya kepada orang lain,” kataku tiba-tiba haru, ”Ada banyak orang yang tahu soal bunga di kota ini.” Aku menyesal sekali tidak bisa membantunya. Ah, aku ingat orang-orang yang suka menaburkan bunga di hari pemakaman. Dulu aku selalu suka membantu orang-orang mencari bunga pada tiap kematian. Bukan semua kematian, melainkan hanya kematian seorang gadis atau lelaki muda yang ditaburi bunga sedemikian rupa sebagai luapan kecintaan orang-orang. Tapi, lelaki itu mencari sendiri bunga kematian untuk dirinya.
”Bukan. Bukan itu.” Ia mengembuskan napas berat, ”Bunga yang kucari benar-benar bernama bunga kesedihan. Bunga yang menggenapkan luka.”
Aku tetap saja tidak mengerti. Aku penjual bunga di pinggir jalan, orang singgah untuk membelinya, setangkai atau dua, dan tak pernah bertanya apa nama bunga itu. Orang-orang yang datang padaku memang jarang sekali berwajah semburat merah, tidak berwajah jatuh cinta. Kebanyakan pucat atau murung. Saat datang padaku mereka seakan langsung menemukan bunga yang tepat dan cepat saja berlalu. Baru kali itu aku bertemu pembeli yang mencari bunga khusus, dan sayang sekali aku tak bisa membantunya.
Karena merasa bersalah, kuambilkan satu tangkai bunga dalam keranjangku. Kuberikan pada seseorang itu. Bunga paling merah darah dari yang lainnya. Aku harap bunga pemberianku itu dapat menghiburnya.
Ia menerima bunga dari tanganku. Memperhatikannya lama-lama, dan lirih berkata, ”Bukankah ini bunga kesedihan itu?”
Lelaki itu menggenggam kuat-kuat setangkai bunga merah darah. Ia terus bicara. Bersamaan dengan itu, air matanya menetes, jatuh ke kelopak bunga di tangannya. Aku menyaksikan sendiri warna bunga itu makin hidup, makin menjelma darah. Warna darah itu lalu mencair, mengalir dari sela-sela kelopak bunga, jatuh dan membasahi jemarinya.
Tak lama, lelaki itu mengangkat wajah. Aku melihat kehidupan baru sudah tumbuh di sana. Sejak itu aku setuju, setiap luka memang harus dituntaskan dalam bentuk kesedihan paling dalam, paling deras.
Barangkali orang itulah yang menyebarkan pada orang-orang kota tentang gadis bersyal merah yang menjual bunga kesedihan. Sebab setiap kali orang datang padaku, mereka memastikan kalau aku benar-benar mengenakan syal merah sebelum membeli bungaku. Sebelum mereka meratap. Sebelum air mata mereka mengubah warna bunga sehidup darah. Sebelum bunga itu mencair dan membasahi jemarinya.
Kau pasti tahu kalau sesungguhnya bunga yang kelopaknya mirip mawar itu—bunga yang awalnya tak bernama—kupotong di halaman rumah. Aku tidak tahu siapa yang menanam bunga itu pertama kali. Atau mungkin saja bunga itu tumbuh sendiri. Tuhan yang melakukannya agar aku sampai pada takdirku terlahir sebagai penjual bunga kesedihan.
Apakah kau ingat, kau bahkan yang menganjurkan padaku untuk menjual bunga-bunga itu sebagaimana kau yang memberiku syal merah—bukan sebagai hadiah, katamu, kau memintaku untuk memakainya agar aku tidak berdiri dengan leher kedinginan di tepi jalan, terutama musim hujan.
Kita tinggal dalam satu kota. Aku tidak pernah tahu rumahmu. Lebih tepatnya aku tidak terlalu peduli kau tinggal di mana. Bagiku, kau cukup sebagai seseorang yang suatu hari kutemukan berdiri di halaman, memperhatikan bunga merah darah. Setelah hari itu kau sering datang dan berbincang denganku. Kau bilang senang melukis. Kau pernah menunjukkan lukisan bunga raksasa. Katamu, bunga itu tumbuh di hutan. Kau juga melukis jenis pakis. Juga tumbuhan hutan lainnya. Tapi, kau tidak pernah menunjukkan lukisan bunga yang hidup di halaman rumahku. Padahal aku tahu kau pasti telah melukisnya diam-diam.
Celakanya, aku jatuh cinta padamu. Barangkali bukan jatuh cinta yang tiba-tiba. Seperti biasa, setiap hari, aku membawa keranjangku ke tepi jalan. Seperti biasa kau menolongku membawa keranjang itu. Kau berjalan di sisiku. Bicara sesekali. Sejak pagi—tepatnya setiap pagi—kau memang sudah berada di halaman rumahku demi memandangi bunga-bunga merah darah. Katamu setiap kali kau melihat bunga itu, warnanya semakin merah. Aku tidak memperhatikannya. Bagiku warna bunga itu sama saja. Dan aku segera pula memotongnya dan memasukkannya dalam keranjang.
”Bunga-bunga ini seperti mengisap kesedihan dan luka di dada seseorang,” kau berkata.
Aku mendeham tanpa menoleh. Kueratkan syal merah di leher. Udara pagi lebih dingin. Semalam badai. Kota kita memang sering diserang badai dari laut. Badai yang banyak memakan korban—kebanyakan menggulung kapal-kapal yang sedang berlayar—selain serangan malaria.
Kita terus berjalan. Kau bicara dua tiga kalimat. Aku sibuk dengan pikiran sendiri. Menunduk, menatapi jalan. Aku selalu suka jalan. Di jalan itu seakan aku melihat kehidupan yang panjang. Di mana akhir dari sebuah jalan? Beberapa jalan akan mengantarkan pada ujung yang buntu, tapi selalu ada jalan lain yang membentang, mengantar orang-orang ke tempat-tempat tujuan.
Aku belum pernah menyusuri jalan selain dalam kota.
”Sudah sampai,” bisikmu dekat sekali ke telingaku. Aku bisa merasakan udara dari mulutmu yang dingin. Lembap. Menempel di daun telingaku.
Kuambil keranjang bunga dari tanganmu.
”Besok kau harus mulai lagi membawa keranjang bungamu sendiri,” katamu.
Untuk kali pertama aku menatap matamu dengan sungguh-sungguh. Untuk pertama kali aku tahu kalau kau memiliki mata dengan jaring-jaring merah tipis di sekitar pupil.
”Kau pasti tahu aku menyukai Landra,” katamu lagi.
Tentu saja aku tidak tahu. Perempuan itu tinggal bersama suaminya di kompleks permukiman Inggris. Sepasang guru musik dari kota Worcester. Mereka mengajar anak-anak Eropa di sekolah. Aku jarang sekali bertegur sapa dengan mereka. Aku hanya sering melihatnya saat aku berangkat membawa bunga. Perempuan itu suka berada di depan rumahnya, pada pagi hari.
Dan kau jatuh cinta pada perempuan itu?
”Landra pindah ke kota lain besok. Aku akan terus mengikutinya.”
Aku akan terus mengikutinya. Kalimat itu sudah menerangkan sesuatu yang panjang padaku. Kau berada di kota ini demi perempuan itu. Setiap pagi kau berada di halaman rumahku, membawakan keranjang bungaku, juga demi dia. Lalu kau pun akan pergi untuk terus mengikuti di mana pun perempuan itu berada nanti.
Pada detik itulah aku tahu kalau aku jatuh cinta padamu. Tepat saat kau tidak akan lagi kutemukan berdiri di depan rumahku untuk melihat bunga merah darah (atau melihat Landra saat kita lewat di depan rumahnya?). Saat aku tahu kau meninggalkan aku demi perempuan yang kaucintai. Apa sesungguhnya cinta itu? Apa mungkin semacam letupan rasa marah atau harga diri yang sedikit robek, meninggalkan bekas, menjelma candu atas sesuatu yang sakit?
Kupandangi bagian belakang tubuhmu yang bergerak meninggalkanku, berganti-ganti dengan bunga merah dalam keranjang. Bunga-bunga itu perlahan menjelma darah. Kuntum-kuntumnya juga membesar. Kemudian aku disambar kelopak-kelopaknya.
Setelah hari itu, di kota kita tak pernah ada lagi seorang penjual bunga bersyal merah berdiri di tepi jalan. Setelah hari itu aku tidak tahu bagaimana cara orang-orang kota menggenapkan luka, lalu meluruhkannya, agar kehidupan baru tumbuh di wajah mereka. Setelah hari itu, aku tahu, aku sedang menyusuri sebuah jalan lain.
Kini aku telah terlahir kembali, untuk kesekian kali, bukan sebagai penjual bunga, melainkan penulis yang banyak bercerita tentang bunga dan warna merah. Sementara itu, kau terlahir lagi sebagai pelukis botani yang dunianya tak pernah bisa kumasuki.
Kau tergelak. Dasar pengarang, ujarmu sambil membuka kertas pembungkus lukisanmu.
Kita duduk saling berhadapan. Kita bertemu karena kau ingin memberikan satu lukisanmu: Bunga Kesedihan. Lukisan itu kulihat di pameran satu bulan lalu di mana untuk pertama kali aku mengenalimu lagi. Aku mencari tahu tentangmu. Dari sanalah kita sering berbincang lewat telepon atau Blackberry sampai membuat janji ketemu hari ini.
”Kae, itu namaku di masa lalu,” bisikku sambil melepas syal merah di leher, ”Dan di masa lalu itu pula kau mencintai perempuan bernama Landra. Ingat?”
Kau nyaris tertawa lagi, tapi urung. Wajahmu berubah serius. Kau melihat ke dalam mataku, sedikit meringis, ”Satu minggu lalu, tepat saat kau meneleponku, aku baru saja bertemu seorang perempuan yang suka duduk di kafe. Namanya Landra.”
Hening. Tak ada suara kendaraan. Tak ada suara orang berbincang atau berjalan. Tak ada suara apa pun. Kita masih saling pandang. Kemudian mata kita beralih pada lukisan Bunga Kesedihan. Kelopak-kelopak bunga merah darah itu meleleh. Merah sekali. (*)
Setiap orang yang terluka pasti mencariku. Sepanjang hari aku berdiri di pinggir jalan, tepatnya di sebuah simpang, tengah kota, menunggui keranjang bungaku yang terbuat dari jalinan rotan sekecil kelingking berbentuk segi empat. Kadang-kadang aku cuma berhasil menjual dua atau tiga tangkai bunga kesedihan saja dalam sehari. Namun, di hari lain, aku pulang dengan keranjang kosong.
Bagaimanapun aku tak berharap seluruh orang di kota patah hati setiap harinya. Hal macam apa yang bisa kita rasakan di kota yang penuh kesedihan selain kegelapan?
Tentang bunga kesedihan itu—tentang kenapa bunga dalam keranjangku bernama sedemikian kelam—suatu kali, menjelang siang, belum setangkai pun bungaku terjual, ketika seorang lelaki bertanya, apakah kau menjual bunga kesedihan? Sebelumnya, aku sama sekali tak memikirkan bahwa bunga dalam keranjangku juga harus punya nama seperti kembang lainnya.
Kukatakan, tidak. Aku bahkan tidak tahu jenis bunga itu.
Ia mengaku benar-benar menginginkan bunga kesedihan.
Tubuh lelaki itu sangat kurus. Tulang-tulangnya menonjol dalam balutan kulit tipisnya yang tampak transparan. Matanya cekung. Aku menduga bahwa ia tengah menderita suatu penyakit yang pelan-pelan menggerogotinya. Mungkin karena itulah ia menginginkan bunga kesedihan. Barangkali ia tengah menyiapkan kematiannya.
”Kau bisa menanyakannya kepada orang lain,” kataku tiba-tiba haru, ”Ada banyak orang yang tahu soal bunga di kota ini.” Aku menyesal sekali tidak bisa membantunya. Ah, aku ingat orang-orang yang suka menaburkan bunga di hari pemakaman. Dulu aku selalu suka membantu orang-orang mencari bunga pada tiap kematian. Bukan semua kematian, melainkan hanya kematian seorang gadis atau lelaki muda yang ditaburi bunga sedemikian rupa sebagai luapan kecintaan orang-orang. Tapi, lelaki itu mencari sendiri bunga kematian untuk dirinya.
”Bukan. Bukan itu.” Ia mengembuskan napas berat, ”Bunga yang kucari benar-benar bernama bunga kesedihan. Bunga yang menggenapkan luka.”
Aku tetap saja tidak mengerti. Aku penjual bunga di pinggir jalan, orang singgah untuk membelinya, setangkai atau dua, dan tak pernah bertanya apa nama bunga itu. Orang-orang yang datang padaku memang jarang sekali berwajah semburat merah, tidak berwajah jatuh cinta. Kebanyakan pucat atau murung. Saat datang padaku mereka seakan langsung menemukan bunga yang tepat dan cepat saja berlalu. Baru kali itu aku bertemu pembeli yang mencari bunga khusus, dan sayang sekali aku tak bisa membantunya.
Karena merasa bersalah, kuambilkan satu tangkai bunga dalam keranjangku. Kuberikan pada seseorang itu. Bunga paling merah darah dari yang lainnya. Aku harap bunga pemberianku itu dapat menghiburnya.
Ia menerima bunga dari tanganku. Memperhatikannya lama-lama, dan lirih berkata, ”Bukankah ini bunga kesedihan itu?”
Lelaki itu menggenggam kuat-kuat setangkai bunga merah darah. Ia terus bicara. Bersamaan dengan itu, air matanya menetes, jatuh ke kelopak bunga di tangannya. Aku menyaksikan sendiri warna bunga itu makin hidup, makin menjelma darah. Warna darah itu lalu mencair, mengalir dari sela-sela kelopak bunga, jatuh dan membasahi jemarinya.
Tak lama, lelaki itu mengangkat wajah. Aku melihat kehidupan baru sudah tumbuh di sana. Sejak itu aku setuju, setiap luka memang harus dituntaskan dalam bentuk kesedihan paling dalam, paling deras.
Barangkali orang itulah yang menyebarkan pada orang-orang kota tentang gadis bersyal merah yang menjual bunga kesedihan. Sebab setiap kali orang datang padaku, mereka memastikan kalau aku benar-benar mengenakan syal merah sebelum membeli bungaku. Sebelum mereka meratap. Sebelum air mata mereka mengubah warna bunga sehidup darah. Sebelum bunga itu mencair dan membasahi jemarinya.
Kau pasti tahu kalau sesungguhnya bunga yang kelopaknya mirip mawar itu—bunga yang awalnya tak bernama—kupotong di halaman rumah. Aku tidak tahu siapa yang menanam bunga itu pertama kali. Atau mungkin saja bunga itu tumbuh sendiri. Tuhan yang melakukannya agar aku sampai pada takdirku terlahir sebagai penjual bunga kesedihan.
Apakah kau ingat, kau bahkan yang menganjurkan padaku untuk menjual bunga-bunga itu sebagaimana kau yang memberiku syal merah—bukan sebagai hadiah, katamu, kau memintaku untuk memakainya agar aku tidak berdiri dengan leher kedinginan di tepi jalan, terutama musim hujan.
Kita tinggal dalam satu kota. Aku tidak pernah tahu rumahmu. Lebih tepatnya aku tidak terlalu peduli kau tinggal di mana. Bagiku, kau cukup sebagai seseorang yang suatu hari kutemukan berdiri di halaman, memperhatikan bunga merah darah. Setelah hari itu kau sering datang dan berbincang denganku. Kau bilang senang melukis. Kau pernah menunjukkan lukisan bunga raksasa. Katamu, bunga itu tumbuh di hutan. Kau juga melukis jenis pakis. Juga tumbuhan hutan lainnya. Tapi, kau tidak pernah menunjukkan lukisan bunga yang hidup di halaman rumahku. Padahal aku tahu kau pasti telah melukisnya diam-diam.
Celakanya, aku jatuh cinta padamu. Barangkali bukan jatuh cinta yang tiba-tiba. Seperti biasa, setiap hari, aku membawa keranjangku ke tepi jalan. Seperti biasa kau menolongku membawa keranjang itu. Kau berjalan di sisiku. Bicara sesekali. Sejak pagi—tepatnya setiap pagi—kau memang sudah berada di halaman rumahku demi memandangi bunga-bunga merah darah. Katamu setiap kali kau melihat bunga itu, warnanya semakin merah. Aku tidak memperhatikannya. Bagiku warna bunga itu sama saja. Dan aku segera pula memotongnya dan memasukkannya dalam keranjang.
”Bunga-bunga ini seperti mengisap kesedihan dan luka di dada seseorang,” kau berkata.
Aku mendeham tanpa menoleh. Kueratkan syal merah di leher. Udara pagi lebih dingin. Semalam badai. Kota kita memang sering diserang badai dari laut. Badai yang banyak memakan korban—kebanyakan menggulung kapal-kapal yang sedang berlayar—selain serangan malaria.
Kita terus berjalan. Kau bicara dua tiga kalimat. Aku sibuk dengan pikiran sendiri. Menunduk, menatapi jalan. Aku selalu suka jalan. Di jalan itu seakan aku melihat kehidupan yang panjang. Di mana akhir dari sebuah jalan? Beberapa jalan akan mengantarkan pada ujung yang buntu, tapi selalu ada jalan lain yang membentang, mengantar orang-orang ke tempat-tempat tujuan.
Aku belum pernah menyusuri jalan selain dalam kota.
”Sudah sampai,” bisikmu dekat sekali ke telingaku. Aku bisa merasakan udara dari mulutmu yang dingin. Lembap. Menempel di daun telingaku.
Kuambil keranjang bunga dari tanganmu.
”Besok kau harus mulai lagi membawa keranjang bungamu sendiri,” katamu.
Untuk kali pertama aku menatap matamu dengan sungguh-sungguh. Untuk pertama kali aku tahu kalau kau memiliki mata dengan jaring-jaring merah tipis di sekitar pupil.
”Kau pasti tahu aku menyukai Landra,” katamu lagi.
Tentu saja aku tidak tahu. Perempuan itu tinggal bersama suaminya di kompleks permukiman Inggris. Sepasang guru musik dari kota Worcester. Mereka mengajar anak-anak Eropa di sekolah. Aku jarang sekali bertegur sapa dengan mereka. Aku hanya sering melihatnya saat aku berangkat membawa bunga. Perempuan itu suka berada di depan rumahnya, pada pagi hari.
Dan kau jatuh cinta pada perempuan itu?
”Landra pindah ke kota lain besok. Aku akan terus mengikutinya.”
Aku akan terus mengikutinya. Kalimat itu sudah menerangkan sesuatu yang panjang padaku. Kau berada di kota ini demi perempuan itu. Setiap pagi kau berada di halaman rumahku, membawakan keranjang bungaku, juga demi dia. Lalu kau pun akan pergi untuk terus mengikuti di mana pun perempuan itu berada nanti.
Pada detik itulah aku tahu kalau aku jatuh cinta padamu. Tepat saat kau tidak akan lagi kutemukan berdiri di depan rumahku untuk melihat bunga merah darah (atau melihat Landra saat kita lewat di depan rumahnya?). Saat aku tahu kau meninggalkan aku demi perempuan yang kaucintai. Apa sesungguhnya cinta itu? Apa mungkin semacam letupan rasa marah atau harga diri yang sedikit robek, meninggalkan bekas, menjelma candu atas sesuatu yang sakit?
Kupandangi bagian belakang tubuhmu yang bergerak meninggalkanku, berganti-ganti dengan bunga merah dalam keranjang. Bunga-bunga itu perlahan menjelma darah. Kuntum-kuntumnya juga membesar. Kemudian aku disambar kelopak-kelopaknya.
Setelah hari itu, di kota kita tak pernah ada lagi seorang penjual bunga bersyal merah berdiri di tepi jalan. Setelah hari itu aku tidak tahu bagaimana cara orang-orang kota menggenapkan luka, lalu meluruhkannya, agar kehidupan baru tumbuh di wajah mereka. Setelah hari itu, aku tahu, aku sedang menyusuri sebuah jalan lain.
Kini aku telah terlahir kembali, untuk kesekian kali, bukan sebagai penjual bunga, melainkan penulis yang banyak bercerita tentang bunga dan warna merah. Sementara itu, kau terlahir lagi sebagai pelukis botani yang dunianya tak pernah bisa kumasuki.
Kau tergelak. Dasar pengarang, ujarmu sambil membuka kertas pembungkus lukisanmu.
Kita duduk saling berhadapan. Kita bertemu karena kau ingin memberikan satu lukisanmu: Bunga Kesedihan. Lukisan itu kulihat di pameran satu bulan lalu di mana untuk pertama kali aku mengenalimu lagi. Aku mencari tahu tentangmu. Dari sanalah kita sering berbincang lewat telepon atau Blackberry sampai membuat janji ketemu hari ini.
”Kae, itu namaku di masa lalu,” bisikku sambil melepas syal merah di leher, ”Dan di masa lalu itu pula kau mencintai perempuan bernama Landra. Ingat?”
Kau nyaris tertawa lagi, tapi urung. Wajahmu berubah serius. Kau melihat ke dalam mataku, sedikit meringis, ”Satu minggu lalu, tepat saat kau meneleponku, aku baru saja bertemu seorang perempuan yang suka duduk di kafe. Namanya Landra.”
Hening. Tak ada suara kendaraan. Tak ada suara orang berbincang atau berjalan. Tak ada suara apa pun. Kita masih saling pandang. Kemudian mata kita beralih pada lukisan Bunga Kesedihan. Kelopak-kelopak bunga merah darah itu meleleh. Merah sekali. (*)
____________________
Sumber : Cerpen Kompas (https://www.facebook.com/360719200703670/photos/a.360721720703418.1073741828.360719200703670/616783341763920/?type=1&theater)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar