Dalam studi antropologi, disebutkan bahwa untuk menampung
kebutuhannya yang beragam, kehendak-kehendak manusia harus diwadahi
dalam bentuk institusi. Salah satu kehendak manusia adalah ingin
menguasai orang lain; demi mewadahi hasrat itu maka dibentuklah politik.
Manusia juga cenderung untuk melampiaskan kehendak seksualnya, oleh
karenanya dibuat lembaga pernikahan. Sama halnya dengan kehendak manusia
untuk mengetahui segala hal, manusia butuh suatu sekolah untuk
memenuhinya. Dengan logika yang sama, karena adanya kebutuhan manusia
untuk berkomunikasi dengan sesamanya sebagai mahluk sosial, manusia
menciptakan simbol-simbol yang bersifat konvensional yang kemudian kita
sebut bahasa.
Bahasa adalah kesepakatan (convention). Kita bisa berkomunikasi
dengan orang lain di sekitar karena kita bersepakat dengan mereka akan
suatu konsep yang sama. Seekor binatang merah kecil penyuka gula yang
bila merasa terusik maka akan menggigit kita bersepakat dengan orang
lain untuk menyebutnya semut. Konsep hujan di kepala kita sama konsep
hujan di kepala orang lain. Mau tak mau, hasrat manusia untuk
mengungkapkan apa saja yang mereka indrai mereka salurkan dalam bentuk
bahasa.
Konon, dahulu bahasa hanya berupa bunyi-bunyi yang mereka dengar dari
alam. Dalam perkembangannya, simbol-simbol itu mengalami evolusi sesuai
dengan peradaban yang manusia ciptakan. simbol-simbol tersebut tidak
bisa terus-menerus menjadi dirinya sendiri karena penggunanya ( language
users) cenderung untuk mengeksploitasi bahasa menurut kepentingan
masing-masing. Itulah mengapa dalam ilmu bahasa (linguistics) dikenal
kajian pragmatik (pragmatic). Pragmatik merupakan salah satu unsur
trikotomi semiotika.
Trikotomi Semiotika
Trikotomi semiotika memuat tiga isltilah yang tentu saja masih
merupakan studi tanda (science of sign). Yang pertama adalah sintaktik
semiotik (syntactic semiotic). Kalau Anda mempelajari bahasa sebagai
ilmu murni, istilah syntax memahamkan Anda bahwa setiap kelas kata punya
aturan-aturan tersendiri perihal bagaimana mereka berhubungan membentuk
pola-pola frasa-klausa-kalimat yang bermakna. Misalnya, Kata sifat
berpasangan dengan kata benda, kata kerja berpasangan dengan kata
keterangan, dan seterusnya.
Ketika sebuah konsep yang kita serap dari dunia sekitar melalui panca
indera disimbolkan dengan bentuk kata, disanalah apa yang kita lihat,
dengar, raba, cium, kecap itu memeroleh makna. Tempat duduk yang entah
itu terbuat dari kayu atau selain kayu kalau melihatnya pasti selalu
kita sebut kursi; disinilah peran semantik semiotik (semantic semiotic).
Jadi secara sederhana semantik adalah kajian tentang makna kata.
Yang menarik adalah tidak melulu kursi berarti properti yang
digunakan untuk duduk. Dalam konteks politik, kursi bisa berarti
kekuasaan. Ilmu bahasa yang mengaji makna kontekstual dari suatu simbol
ini disebut pragmatik. Kalau semantik mengaji makna tekstual, pragmatik
mengaji makna kontekstual. Simbol atau bahasa tak hanya bunyi, tapi bisa
juga dalam wujud gerak, warna, dan apasaja yang bisa menjadi media bagi
manusia untuk berfikir.
Selain berdasarkan akalnya, manusia berbeda dari hewan berdasarkan
tingkat kebutuhan. Sejak lahir, seekor ayam sampai meregang nyawa
memiliki kebutuhan yang konstan. Tidak berubah dari waktu ke waktu. Tak
jauh-jauh dari persoalan pemenuhan kebutuhan biologis. Sedangkan manusia
kebutuhannya kian tua kian abstrak. Pada waktu bayi, kita akan
mengangis bila keharusan seputar mulut seperti susu terlambat disanggupi
ibu. Menginjak usia sekolah, manusia butuh bukan sekedar makanan dan
minuman semata, namun juga teman untuk bersosialisasi, sepeda, mainan
robot, dan banyak lagi.
Setelah beranjak remaja, kebutuhan semakin banyak hingga mencapai
suatu level tertentu dimana kita selalu merasa butuh untuk dihormati,
dimengerti, suaranya selalu didengarkan, dan berbagai keabstrakan
lainnya. Jadi kebutuhan manusia semakin abstrak seiring usia hidupnya.
Setidaknya dilingkaran kita orang indonesia, penghormatan adalah
sesuatu yang sangat penting. Sedapat mungkin orang lain mengatakan
sesuatu yang dapat memuaskan hati kita pendengarnya. Sejarah kelam
indonesia sebagai bangsa yang pernah dijajah bangsa lain dan penguasa
feodal ini terasa sangat kental. Relasi tuan dan hamba terasa menyatu
dalam kehidupan sosial di manapun.
Taruhlah di tataran masyarakat Bugis. Kita mengenal istilah puang dan
ata. Namun mari ambil istilah umum saja; bos dan bawahan. Bawahan
selalu terposisikan sebagai pihak yang setiap waktu harus menaruh hormat
bila bertemu bosnya.
“Bos” adalah sebuah kata biasa yang kemudian dilekatkan nilai-nilai
kekuasaan padanya sedemikian rupa sehingga kata itu bisa mengatur sekian
banyak bawahan yang kalau tidak menghormatinya atau menyenangkannya
maka bisa semena-mena menindak mereka yang melanggar aturan.Faktor
kekuasaan itu ditentukan oleh kepemilikan uang, darah biru, dan
tingginya jabatan. Suka tak suka, faktor tersebut menentukan seberapa
berkuasanya simbol bos. Kekuatan simbolik (symbolic power) nyatanya
adalah sesuatu, boleh jadi sengaja dimapankan, yang banyak menciptakan
jarak di antara kita umat manusia. Jarak yang semestinya samar dengan
adanya status sosial justru kian lebar.
Di lingkungan perguruan tinggi, pola-pola atasan-bawahan juga sering
ditemukan. Senior merupakan simbol yang mesti berkuasa atas dan bisa
melakukan kekerasan pada junior dalam, beberapa kasus. Dalam beberapa
pemberitaan banyak kasus perpeloncoan mengorbankan mereka yang berada
pada status pendatang baru di institusi pendidikan itu. Atau dalam skala
yang lebih luas banyak sekali tenaga kerja yang teraniaya “tangan besi”
tuannya di negeri orang.
Kata-kata yang menempati posisi atasan, umpama bos, secara semantik
berarti majikan, kepala, atau ketua. Namun dalam situasi tertentu, bos
begitupula simbol-simbol atasan lainnya memainkan peran yang ekstrim
sebagai penindas dan penganiaya mereka yang berposisi sebagai bawahan
tergantung siapa terlibat, di mana terjadi, dan pola-pola hubungan
seperti apa yang bermain di konteksnya.
Syukurlah dalam banyak kesempatan, kita melihat banyak rakyat di
negeri ini yang semakin memiliki kepekaan semiotik. Rakyat tak lagi mau
jadi boneka penguasa yang semena-mena. Banyak mahasiswa telah mencoba
melakukan itu meski dalam beberapa kasus berujung anarki. Hampir semua
protes yang terjadi kalangan akar rumput mencerminkan ketidak-puasan
atas ketidak-pekaan penguasa di negeri ini dalam turut membaca
penderitaan mereka. Pemegang kendali negeri ini besar kemungkinan belum
memiliki kepekaan semiotik itu.
Berabad-abad silam, ada sosok pemimpin yang telah mengajari kita
bagaimana menyikapi perbedaan status dengan amat memukau. Seorang
jenderal perang yang pengaruhnya lintas negara di suatu kesempatan
menjadi orang yang paling mengerti keadaan orang yang secara status jauh
berada di bawahnya.
Suatu hari, seorang laki-laki menghampiri suatu majelis ilmu hendak
bergabung. Barisan telah dipenuhi umat yang tengah mendengarkan sang
jenderal berdakwah. Ketika mencoba merapatkan diri di barisan, dia tidak
menemukan sedikitpun celah untuk duduk. Majelis hanya saling tatap satu
sama lain menyadari kedatangannya dan enggan merenggangkan tempat
duduk. Rasululah, sang pemimpin dunia itu, tiba-tiba membuka sorban dan
menghamparkannya di sebelahnya lalu menawari si laki-laki itu untuk
duduk bersebelahan. Si laki-laki ini pun tak kuasa menahan keharuan
menyadari betapa rendah hati sosok di sampingnya itu. Rasulullah
menyikapi kesenjangan itu dengan kepekaan konteks yang tinggi. Seperti
itulah kira-kira penguasa negeri ini harus menyikapi kekuasaannya dan
bersikap terhadap rakyat yang dikuasainya.
sumber: kompasiana
Oleh: Andi Syurganda
Penggiat kajian Humaniora. Tinggal di Makassar
___________________
Sumber : http://indonesiasastra.org/2013/06/sastra-indonesia-kuasa-di-balik-bahasa/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar