Manusia lahir dan hidup, tentu dengan tujuan. Baik atau buruknya
tujuan itu, hanyalah soal pilihan. Pilihan-pilihan itu pun sudah barang
pasti memiliki konsekuensi tertentu dari masing-masingnya. Hematnya, tak
ada hidup tanpa tujuan, tak ada tujuan tanpa pilihan , dan tak ada
pilihan tanpa konsekuensi atasnya.
Berbicara tentang tujuan, seorang manusia sudah dari sono-nya
tercipta untuk menjadi khalifah fil ardh (pengurus dunia). Bedanya
dengan mahluk dunia yang lain, hanya manusia yang memiliki “akal sehat”.
Dan dengan karunia akal itulah, manusia bisa berlaku, bertindak,
sebagai wujud tanggungjawabnya sebagai “pengurus” beragam urusan
kehidupan di mana ia berpijak. Bahwa segala hal yang terjadi di dunia,
aktornya hanya ada pada satu: manusia.
Berucap bahwa satu-satunya tugas manusia hidup tak lain untuk
membangun peradaban “seindah” mungkin bagi kehidupannya adalah ungkapan
yang absah. Malahan, peradaban adalah sebuah hal yang wajib dicapai
dalam kehidupan manusia. Kehidupan tanpa peradaban, ibarat “binatang tak
berbaju”. Istilah peradaban dapatlah kiranya diklaim sebagai sebuah
upaya manusia untuk memakmurkan dirinya dan kehidupannya. Pertanyaannya
kemudian, bagaimana peradaban itu dapat diwujudkan? Dengan cara apa
manusia dapat mewujudkan peradabannya?
Pernah ada ungkapan yang berkata bahwa peradaban manusia hanya akan
dicapai melalui kerja-kerja intelektual. Pelakunya? Jelas manusia itu
sendiri. Manusia memiliki akal, dan dengan akal itulah si manusia dapat
mengatur hidup dan kehidupannya.
Apa saja yang termasuk kerja-kerja intelektual itu? Bahwa semua hal
yang secara langsung atau tidak langsung mengembangkan potensi dan
kemampuan si manusia, dengan tujuan utama memakmur-sejahterahkan hidup
dan kehidupannya, demikian itulah kerja-kerja intelektual. Di antaranya
itu, yakni melalui pembangunan wilayah teoritis dalam diri, seperti
membaca dan menulis. Hal ini bukan berarti meniadakan kerja-kerja
praktisnya. Praktek itu penting sebagai akhir dari upaya pencapaian
tujuan si manusia. Namun perlu diperhatikan bahwa kuat-lemahnya suatu
teori dalam diri si manusia, tak lain adalah penentu ke mana arah
penentu perealisasian tujuan nantinya, dalam hal ini pembangunan
peradaban manusia. Paling tidak, berpikir dulu sebelum bertindak, bukan
bertindak dulu baru berpikir; bahwa penyesalan selalu berada di akhir
cerita si manusia.
Mengapa manusia harus membaca dan menulis? Bagaimana manusia
memulainya? Untuk apa ia melakukannya? Pertanyaan pertama, kurang lebih
sudah dijelaskan di paragraf sebelumnya. Untuk membaca dan menulis,
paling tidak dimulai dengan keyakinan bahwa membaca ataupun menulis
adalah perihal utama bagaimana manusia menjalani pola dan tujuan
kehidupannya di dunia ini. Dengan keyakinan itu, maka manusia akan
senantiasa menyerukan hidupnya untuk kedua kerja-kerja di atas.
Setelah keyakinan itu mulai tertanam kokoh dalam diri masing-masing
manusia, barulah kemudian menerapkannya dalam pola kebiasaan
sehari-hari. Dengan kata lain, membaca dan menulis mesti menjadi tradisi
hidup. Mengapa? Karena tradisi itu sendiri tak lain adalah cikal-bakal
suatu peradaban manusia. Jelas, bahwa membaca dan menulis adalah dua di
antaranya yang terpenting bagi hidup. Malahan (bagi saya), keduanya
adalah suatu hal utama yang harus diupayakan setiap manusia, di mana dan
kapanpun ia berada selagi akal masih mampu menjadi alat dalam pekerjaan
tersebut. Tak ada alasan untuk mengabaikan kerja-kerja yang demikian
ini.
Sebab manusia yang mati tanpa karya tulis hanya memiliki nama di
nisan kapan lahir dan mati. Sedangkan anak cucu dan keturunannya tidak
mengenal sama sekali bahwa ia pernah ada. Berbeda mereka yang dengan
kesungguhan meninggalkan jejak karya lewat membaca kemudian
menuliskannya. Matinya pun menjadi sebuah karya bagi orang lain.
Jejak-jejaknya masih hidup seperti Ibrahim Tan Malaka, Soe Hok Gie,
Ahmad Wahib, Prof. Dr. HAMKA, Bung Hatta, Bung Karno dan Bung Pram yang
menulis roman Rumah Kaca.
Apakah kita tidak bisa menyusul mereka dan malampauinya, atau mungkin
kita akan lebih jelek dari manusia purba yang hanya menulis
simbol-simbol sederhana?
Oleh: Maman Suratman
Mahasiswa Filsafat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
___________________
Sumber : http://indonesiasastra.org/2013/09/manusia-purba-dan-modern-antara-jejak-tulisan-mengapa/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar