Rabu, 05 November 2014

(Seluk Beluk Sastra) - Kritik Sastra Indonesia Tereropakan vs Reflektif







Muh Arif Rokhman – Forum Sastra Banding FIB UGM


Kritik sastra adalah tindak dari salah satu, dua atau tiga dari tiga kemungkinan: menghakimi, menjelaskan dan membacanya secara paradigmatik. Sedangkan kritik sastra Indonesia adalah praktik kritik yang dilakukan bisa di Indonesia, terhadap karya yang ditulis orang Indonesia, atau karya berbahasa Indonesia.

Fakta yang ada di Indonesia menunjukkan bahwa kritik sastranya tereropakan . Artinya, semua karya sastra dilihat dengan teori sastra yang berasal dari Eropa.  Bagaimana dengan kritik sastra Indonesia yang reflektif?

Nah, apa arti reflektif? reflektif adalah pemikiran yang muncul dalam rangka evaluasi diri ketika berhadapan dengan suatu objek di luar kita. apakah kritik sastra Indonesia bisa melakukan hal tersebut? Saya kira tergantung para kritikusnya. Kalau kritikus hanya menggunakan teori-teori dari negara lain saja tanpa ada sikap mengevaluasi diri sendiri, sikap semacam itu kurang reflektif. Reflektif membuat kita selalu bertanya, setelah berhadapan dengan teori sastra dari negara lain, lalu bagaimana dengan teori negeri kita sendiri? 

Reflektif adalah cara kita melihat diri kita melalui komparasi dengan orang lain, kemudian mempertanyakan apa yang kurang pada kita sehingga kita bisa memperbaiki dan meningkatkan diri kita sendiri. Dalam sosiologi dikenal teori glass-looking yang kira-kira bermakna sama dengan refleksi. Bandingkan juga misalnya dengan mirror stage menurut Jacques Lacan.

Teori-teori sastra Eropa berkembang dengan pesat sementara jika kita melihat teori-teori sastra Indonesia, barangkali kita perlu bertanya. Teori-teori sastra Indonesia mana yang bisa bersaing dengan teori-teori sastra Eropa? Dengan model komparatif, kita bisa mulai melihat bahwa teori-teori sastra Eropa tidak bisa dilepaskan dari konteks kultur, ideologi yang ada, dsb yang sifatnya lokal dan kemudian dipromosikan melalui media massa dan buku ke seluruh dunia dengan bahasa Inggris sehingga seolah-olah teori-teori sastra Eropa adalah satu-satunya teori yang jitu untuk melihat karya sastra dibelahan dunia manapun.

Karena teori-teori sastra dan kritik sastra tidak dapat lepas dari konteks budaya, mungkinkah kita merumuskan teori-teori sastra nasional berdasar konteks budaya masing-masing negara? Eropa telah memulainya, dan kita selalu menjadi beo yang baik dengan selalu menirunya sehingga kritik sastra Indonesia menjadi terbaratkan yang merupakan lawan dari kritik sastra Indonesia yang reflektif (kasus semacam ini bisa juga menjadi pola dalam semua bidang kebudayaan, seperti teori sosiologi, politik, ekonomi, hukum, psikologi dsb). Kapan kita bisa buat sendiri? Bagaimana caranya?

Cara yang barangkali bisa dilakukan adalah dengan menghubungkan kritik sastra (dan aspek budaya) dengan konteks budaya, ideologi negara, nilai-nilai budaya lokal. Pernahkah terpikir oleh para pemikir sastra Indonesia bahwa dimungkinkan melahirkan sebuah teori sastra Indonesia? Setidaknya usaha Forum Sastra Banding FIB UGM untuk melakukan refleksi teori tersebut akan dilakukan dengan event tanggal 20-22 November 2014




http://forumsanding.wordpress.com/2014/06/11/call-for-participants-kritik-sastra-non-eropa-20-22-november-2014-forum-sastra-banding-fakultas-ilmu-budaya-ugm/




____________________

Sumber : http://forumsanding.wordpress.com/2014/10/31/kritik-sastra-tereropakan-vs-reflektif/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar