Muh Arif Rokhman – Forum Sastra Banding FIB UGM
Kritik sastra adalah tindak dari salah satu, dua atau tiga dari tiga
kemungkinan: menghakimi, menjelaskan dan membacanya secara paradigmatik.
Sedangkan kritik sastra Indonesia adalah praktik kritik yang dilakukan
bisa di Indonesia, terhadap karya yang ditulis orang Indonesia, atau
karya berbahasa Indonesia.
Fakta yang ada di Indonesia menunjukkan bahwa kritik sastranya
tereropakan . Artinya, semua karya sastra dilihat dengan teori sastra
yang berasal dari Eropa. Bagaimana dengan kritik sastra Indonesia yang
reflektif?
Nah, apa arti reflektif? reflektif adalah pemikiran yang muncul dalam rangka evaluasi diri ketika berhadapan dengan suatu objek di
luar kita. apakah kritik sastra Indonesia bisa melakukan hal tersebut?
Saya kira tergantung para kritikusnya. Kalau kritikus hanya menggunakan
teori-teori dari negara lain saja tanpa ada sikap mengevaluasi diri
sendiri, sikap semacam itu kurang reflektif. Reflektif membuat kita
selalu bertanya, setelah berhadapan dengan teori sastra dari negara
lain, lalu bagaimana dengan teori negeri kita sendiri?
Reflektif adalah cara kita melihat diri kita melalui komparasi dengan
orang lain, kemudian mempertanyakan apa yang kurang pada kita sehingga
kita bisa memperbaiki dan meningkatkan diri kita sendiri. Dalam
sosiologi dikenal teori glass-looking yang kira-kira bermakna sama
dengan refleksi. Bandingkan juga misalnya dengan mirror stage menurut
Jacques Lacan.
Teori-teori sastra Eropa berkembang dengan pesat sementara jika kita
melihat teori-teori sastra Indonesia, barangkali kita perlu bertanya.
Teori-teori sastra Indonesia mana yang bisa bersaing dengan teori-teori
sastra Eropa? Dengan model komparatif, kita bisa mulai melihat bahwa
teori-teori sastra Eropa tidak bisa dilepaskan dari konteks kultur,
ideologi yang ada, dsb yang sifatnya lokal dan kemudian dipromosikan
melalui media massa dan buku ke seluruh dunia dengan bahasa Inggris
sehingga seolah-olah teori-teori sastra Eropa adalah satu-satunya teori
yang jitu untuk melihat karya sastra dibelahan dunia manapun.
Karena teori-teori sastra dan kritik sastra tidak dapat lepas dari
konteks budaya, mungkinkah kita merumuskan teori-teori sastra nasional
berdasar konteks budaya masing-masing negara? Eropa telah memulainya,
dan kita selalu menjadi beo yang baik dengan selalu menirunya sehingga
kritik sastra Indonesia menjadi terbaratkan yang merupakan lawan dari
kritik sastra Indonesia yang reflektif (kasus semacam ini bisa juga
menjadi pola dalam semua bidang kebudayaan, seperti teori sosiologi,
politik, ekonomi, hukum, psikologi dsb). Kapan kita bisa buat sendiri?
Bagaimana caranya?
Cara yang barangkali bisa dilakukan adalah dengan menghubungkan
kritik sastra (dan aspek budaya) dengan konteks budaya, ideologi negara,
nilai-nilai budaya lokal. Pernahkah terpikir oleh para pemikir sastra
Indonesia bahwa dimungkinkan melahirkan sebuah teori sastra Indonesia?
Setidaknya usaha Forum Sastra Banding FIB UGM untuk melakukan refleksi
teori tersebut akan dilakukan dengan event tanggal 20-22 November 2014
____________________
Sumber : http://forumsanding.wordpress.com/2014/10/31/kritik-sastra-tereropakan-vs-reflektif/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar