Sabtu, 01 November 2014

(Serba-Serbi) - Kritik Sosial Lewat Mural







Lewat gambar, ekspresi kemarahan, kritik sosial, dan sindiran bagi penguasa tersampaikan tegas. Terkesan guyon, tapi terasa satir. Itulah mural



Lukisan wajah Wiji Tukul sedang membacakan puisi terpampang besar di kolong jembatan Menara BNI Sudirman. Di samping gambar, tertulis besar puisi sang aktivis HAM yang belum ketahuan rimbanya ini. Bunyinya, :Jangan kau penjarakan ucapanmu, jika kau menghamba pada ketakutan, kita akan memperpanjang barisan perbudakan."

Mural Wiji Tukul menggelitik siapapun yang melintas di jalan tersebut. Semua pihak diingatkan untuk melawan lupa atas tragedi kemanusiaan di masa silam. Mural ini menyindir keras penguasa yang tak kunjung menuntaskan perkara, dan mengingatkan kita untuk lantang bersuara ketika kebenaran dibungkam.

Pada saat pemilu lalu, mural juga menjadi media ajakan agar warga berpartisipasi saat pemilu. Seperti yang tampak di kawasan Senayan. Mural pria menggunakan jas, tapi wajahnya hanya tampak setengah. Yang setengah sisanya bertulis, "Kritis pilih, tagih janjinya". Mural ini menjadi seruan agar warga cerdas memilih saat pemilu.

Selain jakarta, mural-mural cerdas dan menggelitik juga memenuhi tembok-tembok kota Yogyakarta. Saking banyaknya, kota ini sempai mendapat julukan sebagai City of Mural. Dinding-dinding kota Yogya seperti ajang galeri mural massal. Di sana, mural menjadi seni jalanan yang tidak terpisahkan.

Salah satunya mural yang terletak di bawah jembatan layang Lempuyangan. Dalam mural terpampang tulisan "Ajal Adol Negoro" (Jangan jual negara) dan digambarkan tokoh punakawan petruk sedang bertransaksi dengan Limbuk. Di lain tempat, ada juga mural bergambar polisi menggunakan masker yang tertera logo mata uang dolar dan disamping gambar tertulis, " Terima 20.000an".

Kritik-kritik lewat mural di Yogya sekalipun  menggelitik, tapi terbilang berani. Sampai-sampai, tahun lalu, mural bertulis "Jogka Ora Didol" membuat si seniman harus dibui selama tujuh hari. Mural ini dianggap mengkritik kinerja walikota yogya ketika itu.







Mural Bahasa Protes

Sejatinya, mural memang menjadi bagian dari media komunikasi visual. Mural tidak hanya mengandung unsur estetika. Lebih jauh, mural dengan apik mencitrakan kondisi sosial budaya, ekonomi, politik, sampai jadi jembatan ungkapan simpati dan empati.

Secara sejarah pula, mural dulunya digunakan sebagai media pemberontakan dan bahasa protes pada isu sosial, Seperti ketika Pablo Picasso membuat mural untuk memperingati pengeboman tentara Jerman di sebuah desa kecil dengan mayoritas masyarkat Spanyol saat perang sipil berkecamuk pada 1937.

Di Indonesia sendiri, pada masa perjuangan kemerdekaan, mural menjadi media pemberontakan. Coba ingat di film-film dokumenter perjuangan Indonesia, di mana tembok-tembok kota atau gerbong-gerbong kereta dipenuhi pekik kemerdekaan dengan gambar-gambar yang mengobarkan semangat perjuangan.

Sayangnya, belum ada regulasi yang secara spesifik mengatur tetntang mural dan graffiti. Bahkan di Yogyakrta sekalipun, di mana mural tumbuh subur di sana. Perda No. 8 Tahun 1998 tentang izin penyelenggaraan reklame hanya mengatur dua belas jenis reklame kecuali reklame mural. Pun Perda Pemrov DKI Jakarta No. 8 Tahn 2007 tentang ketertiban umum yang pada salah satu pasalnya melarang mencorat-coret, melukis, menempel iklan di dinding atau tembok, jembatan, halte, dan beberapa tempat lain. Jika tidak direvisi, aturan ini tentu akan jadi boomerang bagi seniman jalanan.

Sekalipun begitu, geliat seni jalanan termasuk mural terus meningkat. Berbagai festival mural kerap diadakan. Mural tidak hanya mempercantik kota, tapi juga mengedukasi masyarakat. (JO)




___________________

Sumber : Majalah Blue Bird Group, Mutiara Biru, edisi September 2014, h. 52-54

Tidak ada komentar:

Posting Komentar