Bersandar pada kursi kayu tua setua dirimu. Membaca aksara dalam
jarak yang tak biasa karena rabun yang mengiring usia. Teh manis dalam
cangkir seng sudah sedia, aroma teh Pandhawa kesukaanmu sedari muda.
Anakmu sudah lima, dua yang sudah menikah, sementara tiga masih
kuliah. Istri setia tak pernah lelah mengerti, mengabdi padamu sesuai
janji ketika menikah dulu.
Sedari dulu kau telah memilih menjadi juru tulis bagi kehidupan,
menjadi saksi dan bersumpah menulis kebenaran. Memilah kata demi kata
dan menjadi cerita yang bermakna. Cerita tentang berbagai bathin yang
gamang, lelah, dan pasrah oleh segala polah penguasa tiran.
Memang, tubuhmu telah rapuh dimakan waktu, namun aku heran matamu
belum rabun melihat kebenaran. Tanganmu telah keriput dan makin lunglai,
namun kau masih menggapai yang menurutmu layak kau perjuangkan. Kaki
sudah enggan melangkah dan mulai goyah, namun kau tetap berjalan menuju
kebenaran yang selalu kau impikan.
Hari-hari kini punggungnya semakin nyeri, demikian pula pikiran dan
harapannya pada yang muda. Penulis tua mengelus dada, mengorek makna
yang makin sepi. Ia kecewa, pelajaran darinya telah dilupakan
anak-anaknya.
Oleh: Sura Dananjaya
_____________________
Sumber : http://indonesiasastra.org/2013/03/penulis-tua/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar