Jumat, 09 Januari 2015

(Prosa) - Penulis Tua Mengelus Dada, Mengorek Makna yang Makin Sepi



indonesiasastra.org/dvd




indonesiasastra.org/dvd






Bersandar pada kursi kayu tua setua dirimu. Membaca aksara dalam jarak yang tak biasa karena rabun yang mengiring usia. Teh manis dalam cangkir seng sudah sedia, aroma teh Pandhawa kesukaanmu sedari muda.

Anakmu sudah lima, dua yang sudah menikah, sementara tiga masih kuliah. Istri setia tak pernah lelah mengerti, mengabdi padamu sesuai janji ketika menikah dulu.

Sedari dulu kau telah memilih menjadi juru tulis bagi kehidupan, menjadi saksi dan bersumpah menulis kebenaran. Memilah kata demi kata dan menjadi cerita yang bermakna. Cerita tentang berbagai bathin yang gamang, lelah, dan pasrah oleh segala polah penguasa tiran.

Memang, tubuhmu telah rapuh dimakan waktu, namun aku heran matamu belum rabun melihat kebenaran. Tanganmu telah keriput dan makin lunglai, namun kau masih menggapai yang menurutmu layak kau perjuangkan. Kaki sudah enggan melangkah dan mulai goyah, namun kau tetap berjalan menuju kebenaran yang selalu kau impikan.

Hari-hari kini punggungnya semakin nyeri, demikian pula pikiran dan harapannya pada yang muda. Penulis tua mengelus dada, mengorek makna yang makin sepi. Ia kecewa, pelajaran darinya telah dilupakan anak-anaknya.



Oleh: Sura Dananjaya




_____________________

Sumber :  http://indonesiasastra.org/2013/03/penulis-tua/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar