Kamis, 29 Agustus 2013

Sajakku (Artikel Sastra)

Artikel Sastra





Sajakku




". . . sajakku adalah kebisuan yang sudah kuhancurkan sehingga aku bisa mengucapkan dan engkau mendengarkan, sajakku melawan kebisuan"

#WijiThukul (Satu mimpi satu barisan)


"Jika tak ada mesin ketik aku akan menulis dengan tangan, jika tak ada tinta hitam aku akan menulis dengan arang, jika tak ada kertas aku akan menulis pada dinding, jika aku menulis dilarang aku akan menulis dengan tetes darah!"

#WijiThukul (Penyair)


Sumber : Quotes Tokoh



Tahukah Anda bahwa sajak-sajak Wiji Thukul ini yang membuat dirinya 'menghilang', sejak tahun 2000 statusnya dinyatakan : 'Daftar Orang Hilang'. Rupanya sang sastrawan dan aktivis ini lebih memilih hidupnya dijalan 'sajak', sebuah pilihan hidup.

Banyak penyair dari berbagai negara yang memiliki situasi yang sama dengan Wiji Thukul ini. Sajak atau puisi ditulis untuk menyampaikan sebuah pesan. Dan pesan bisa menentukan arah hidup selanjutnya.

Banyak penyair berjuang melalui tulisan sastra atau puisinya dengan cara yang murni dan tidak berpolitik, pandangannya lurus dan humanis, tapi banyak pula penyair yang berpolitik sehingga banyak penyair juga teraniaya karena memiliki konsep yang berbeda dengan penguasanya. Banyak motif yang melandasi sebuah karya sastra atau puisi, dan ini merupakan hal yang umum terjadi di belahan dunia mana pun, sebagai sesuatu yang lumrah terjadi.

Ada perbedaan cara mengungkapkan antara seorang penyair dan seorang demonstran. Penyair suka menulis puisi-puisi keprihatinan melalui cara yang paling berbudaya yaitu melalu syair-syair, hanyalah kata-kata himbauan, nasihat, dan masukkan moral, hanya itu yang bisa dilakukan penyair sejatinya. Tentunya sikap sehari-harinya tercermin dalam tulisannya, ini bukan sesuatu yang anarkis, merusak atau merugikan baik materi maupun pribadi-pribadi pengusa.


Suara-suara itu tak bisa dipenjarakan
di sana bersemayam kemerdekaan
apabila engkau memaksa diam
aku siapkan untukmu: pemberontakkan !!!


Wiji Thukul

Sumber : Quote Tokoh



Syair Orang Lapar

Lapar menyerang desaku
Kentang dipanggang kemarau
Surat orang kampungku
Kuguratkan kertas           
Risau
Lapar lautan pidato
Ranah dipanggang kemarau
Ketika berduyun mengemis
Kesinikan hatimu           
Kuiris
 Lapar di Gunungkidul
Mayat dipanggang kemarau
Berjajar masuk kubur
Kauulang jua           
Kalau               
1964

Penyair Taufik Ismail (Tirani dan Benteng)

Sumber : Republik Sastra


Tidak ada yang perlu ditakuti dengan puisi-puisi seperti ini, ia hanya sebuah 'himbauan moral', sebuah nasihat melalui tulisan, hanya sajak, puisi bukan senjata beramunisi atau pun hasutan berlebihan untuk mengobarkan semangat perang saudara, bukan itu. Ini hanyalah sebuah tulisan, bukan perkara kriminal yang berlebihan.

Demonstran dan Penyair

Sering kita amati melalui media, kecenderungan para penyair dan seniman melakukan aksi 'keprihatinannya' itu hanya sebatas tindakan pembacaan puisi di ruang terbuka melalui berbagai bentuk karya sastra: monolog, pantomin, puisi musikal, drama dan karya-karya seni lainnya.

Biasanya tindakan anarkis terjadi atau pemberontakan bersenjata dilakukan oleh orang-orang politik, atau melakukan politik praktis, bisa jadi seorang pengkhianat atau kolaborasi dengan kekuatan asing, dan faktanya juga seringkali penyair berpolitik.

Dalam tulisan ini saya membatasi diri hanya kepada para penyair yang tulus dalam berjuang dengan cara damai dengan cara yang beradab, hanya melakukan gerakkan keprihatinan melalui seni 'berpuisi', saya tidk mengomentari jika ada penyair yang berpolitik dan juga berpartisipasi dalam gerakkan demonstran dan anarkis serta memiliki agenda yang lain di luar kemurnian sebuah puisi.

Baru-baru ini kita dengar beberapa penyair menggabungkan diri dalam gerakkan 'Puisi Menolak Korupsi' yang digagas oleh penyair sosiawan Leak beserta 180 penyair, itulah yang bisa dilakukan penyair dalam karyanya yang dicatat sejarah, apa pun hasilnya, di dengar atau tidak, inilah sebuah ungkapan dalam tulisan.

Inilah sebuah jalan bagi penyair dan hanya itu yang bisa dia lakukan, melalui tulisan, 'sajakku'. Entahlah suatu puisi itu didengar atau pun tidak di dengar, menghasilkan perubahan nyata atau pun tidak, sepanjang sejarah manusia hal itu dilakukan dengan konsisten baik penyair maupun penguasa, selalu bersiteru, sepanjang zaman.


"Ada banyak orang terkenal yang merasa bahwa memprotes sistem yang menindas itu kewajiban moral. Misalnya, mendiang Vaclav Havel, mantan presiden Cheska yang dipenjarakan bertahun-tahun karena kegiatan hak asasi manusia, menulis pada 1985, 'Si pembangkang paling-paling hanya bisa mempertaruhkan lehernya--dan ia melakukannya semata-mata karena tidak punya cara lain lagi untuk menyerukan kebenaran yang ia bela."

Sumber : Sedarlah! Edisi Juli 2013, h. 8. (Apakah Aksi Protes Solusinya?)


Ada perbedaan mendasar antara penyair dan demonstran yang ditunggangi, penyair lebih menggunakan jalan damai lewat tulisan, sedangkan demonstran memiliki kecenderungan 'mengganggu ketertiban umum' dan tidak jarang tindakannya anarkis, walaupun memang di sana juga ada para aktivis dan mungkin juga para penyair, bisa saja itu terjadi.

Tulisan puisi lebih memiliki daya dobrak yang tinggi ketimbang kekerasan, sebab kita semua tahu bahwa api harus dilawan air, marah dihadapi dengan sabar, jika kita perang dengan penguasa sudah pasti kita kalah, dan seringkali pergolakkan demikian memakan korban yang banyak, dan orang-orang tidak bersalah menjadi korban. dan lagi perlawanan dengan puisi memiliki rekam jejak yang baik dan tahan lama, karena sebuah buku yang mencatat puisi keprihatinan akan dibaca berulang-ulang, bahkan menjadi referensi-referensi tertulis yang baik.

Sajak-sajak Wiji Thukul memiliki nilai tersendiri dalam menghadapi sebuah perlawanan yang panjang, dan tentu dia dicatat sebagai penyair yang berjuang lewat tulisan, dan tulisannya banyak dibaca dan merupakan referensi bagi penguasa yang zalim :


"puisiku bukan puisi tapi kata-kata gelap yang berkeringat dan berdesakan mencari jalan. ia tak mati-mati meski bola mataku diganti. ia tak mati-mati meski bercerai dengan rumah ia tak mati-mati telah kubayar apa yang dia minta umur-tenaga-luka"

#WijiThukul, AKU MASIH UTUH DAN KATA-KATA BELUM BINASA

Sumber : Quote Tokoh


Mengapa Penyair Berani Membuat Sajak 'Keprihatinan' ?


Atas dasar apa seorag penyair berani menantang maut dengan menulis sajaknya, apakah hal yang dia lakukan adalah sensasi semata, atau jalan pintas untuk cepat populer atau memiliki agenda tersembunyi dalam hatinya, mungkin juga dari hati yang murni, siapa yang bisa tahu ?

Ingat manusia adalah makhluk sosial yang memiliki perasaan sosial, keadilan dan kasih sayang dalam dirinya, bahkan seorang penjahat sadis pun tidak mau memberikan anak kandungnya sendiri dengan batu bukan? Perasaan-perasaan seperti inilah yang membuat hati penyair teriris dalam apabila ia melihat orang-orang disekelilingnya mengalami ketidakadilan, kezaliman.

Oleh sebab itu penyair bereaksi terhadap ketidakadilan ini dengan caranya yang paling beradab dan sopan santun, menggugah hati dari sang penguasa untuk mendengarkan suara hati mereka yang teraniaya oleh sebab ketimpangan ekonomi, kebutuhan akan sandang pangan dan papan serta fasilitas kesehatan yang layak bagi mereka, ataupun korupsi yang merajalela di DPR, di pemerintahan, otonomi daerah yang membuat masyarakat semakin marjinal, terkotak-kotak dengan semangat kedaerahan yang kental, rasa persatuan yang hilang, budaya yang terabaikan, dan lain sebagainya.

Jika bicara kontrol sosial memang dalam hal ini seorang jurnalis adalah yang paling depan menghadapi pemerintah secara langsung, karena media mereka langsung dibaca secara harian oleh pemerintah, beda dengan sastrawan atau penyair yang menulis sesuatu dengan bergaya puitis yang jarang dibaca, walaupun juga dimuat di media yang sama, hal ini merupakan 'sensasi tersendiri'. Menarik sekali seorang jurnalis dan sastrawan mengatakan dalam sebuah kata-kata mutiaranya :


"Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara."


― Seno Gumira Ajidarma, Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara
Sumber : Goodreads


Seperti diakui oleh seorang sastrawan besar Seno Gumira Ajidarma, nampaknya penyair ditempatkan pada posisi 'second opinion' dari pengamatan seorang jurnalis, kenyataannya memang demikian, tentu ini merupakan pekerjaan rumah bagi para sastrawan, walaupun banyak juga jurnalis memiliki predikat sastrawan dan penyair juga.

Kita tidak mempersoalkan siapa yang paling keras dan berjasa dalam menyuarakan keprihatinan ini, siapa saja boleh, baik itu jurnalis, penyair, ibu-ibu di pasar, tukang sayur boleh-boleh saja menyuarakan tidak terbatas profesinya atau predikat yang ia sandang. Memang penyair membutuhkan media dalam menyalurkan aspirasinya, dan media penyair itu sangat amat terbatas sekali.

Jika medianya saja terbatas dan penyebarluasannya pun bisa juga terbatas, apa yang harus ditakuti dari mereka, sampai-sampai seorang penyair harus dilenyapkan dari bumi, dipenjara bahkan dimiskinkan, dikucilkan oleh penguasa yang zalim seperti manusia kardus itu.

Writing is not a crime !!! Sekiranya penguasa, politikus mendengarkan bahasa yang indah ini tentu mereka akan bersyukur dan mencium tangan penyair, seperti ia mencium orang tua kandungnya sendiri, semoga saja.



Manusia Kotak



Koruptor jarang membaca puisi
saat dibaca tubuhnya gemetar
itu baru judul belum isi
selera makannya hilang, mual

Puisi tidak membuatnya jera
sel besi yang dingin
dianggap sepi angin lalu
disulap jadi hotel berbintang

Koruptor tak takut hukum
baginya hanya sebuah selai
untuk makan roti sarapan
hukum berada dalam sakunya

Koruptor makhluk yang pemberani
berani hidup takut mati
baginya dunia ini sorga
harta, tahta, wanita miliknya



20 Juli 2013
© Originally written by Sonny H. Sayangbati


NEGERI BERHATI HEWANI


Adalah hati nurani yang mengawal negeri ini
menempatkan manusia sebagai manusia
mendudukkan peduli sebagai rasa sesama

Namun nafsu angkara mengeruhkan segalanya
mata tak lagi menggetar rasa
hati tak lagi berjiwa manusia

Diri bagai hewan yang lepas kendali
menanduk menyeruduk ke sana kemari

Bagi jiwa yang lemah kenikmatan sesaat jadi pilihan
Bagi hati yang lengah saudara sesama pun dimamah
Makin panjang barisan pemangsa sesama
tak jelas lagi mana hak sendiri
keserakahan telah menjadi kendali
manusia hanya ucapan tanpa arti
karena hewani bersemayam di hati


singkawang, 2 agustus 2013
Karya : Pradono Singkawang

Sumber : Catatan Pradono Singkawang




Jakarta, 03 Agustus 2013 
Sonny H. Sayangbati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar