Sajakku
". . . sajakku adalah kebisuan yang sudah kuhancurkan sehingga aku bisa mengucapkan dan engkau mendengarkan, sajakku melawan kebisuan"
#WijiThukul (Satu mimpi satu barisan)
"Jika tak ada mesin ketik aku akan menulis dengan tangan, jika tak ada tinta hitam aku akan menulis dengan arang, jika tak ada kertas aku akan menulis pada dinding, jika aku menulis dilarang aku akan menulis dengan tetes darah!"
#WijiThukul (Penyair)
Sumber : Quotes Tokoh
Tahukah
Anda bahwa sajak-sajak Wiji Thukul ini yang membuat dirinya
'menghilang', sejak tahun 2000 statusnya dinyatakan : 'Daftar Orang
Hilang'. Rupanya sang sastrawan dan aktivis ini lebih memilih hidupnya
dijalan 'sajak', sebuah pilihan hidup.
Banyak penyair dari
berbagai negara yang memiliki situasi yang sama dengan Wiji Thukul ini.
Sajak atau puisi ditulis untuk menyampaikan sebuah pesan. Dan pesan
bisa menentukan arah hidup selanjutnya.
Banyak penyair
berjuang melalui tulisan sastra atau puisinya dengan cara yang murni dan
tidak berpolitik, pandangannya lurus dan humanis, tapi banyak pula
penyair yang berpolitik sehingga banyak penyair juga teraniaya karena
memiliki konsep yang berbeda dengan penguasanya. Banyak motif yang
melandasi sebuah karya sastra atau puisi, dan ini merupakan hal yang
umum terjadi di belahan dunia mana pun, sebagai sesuatu yang lumrah
terjadi.
Ada perbedaan cara mengungkapkan antara seorang
penyair dan seorang demonstran. Penyair suka menulis puisi-puisi
keprihatinan melalui cara yang paling berbudaya yaitu melalu
syair-syair, hanyalah kata-kata himbauan, nasihat, dan masukkan moral,
hanya itu yang bisa dilakukan penyair sejatinya. Tentunya sikap
sehari-harinya tercermin dalam tulisannya, ini bukan sesuatu yang
anarkis, merusak atau merugikan baik materi maupun pribadi-pribadi
pengusa.
Suara-suara itu tak bisa dipenjarakan
di sana bersemayam kemerdekaan
apabila engkau memaksa diam
aku siapkan untukmu: pemberontakkan !!!
Wiji Thukul
Sumber : Quote Tokoh
Syair Orang Lapar
Lapar menyerang desaku
Kentang dipanggang kemarau
Surat orang kampungku
Kuguratkan kertas
Risau
Lapar lautan pidato
Ranah dipanggang kemarau
Ketika berduyun mengemis
Kesinikan hatimu
Kuiris
Lapar di Gunungkidul
Mayat dipanggang kemarau
Berjajar masuk kubur
Kauulang jua
Kalau
1964
Penyair Taufik Ismail (Tirani dan Benteng)
Sumber : Republik Sastra
Tidak
ada yang perlu ditakuti dengan puisi-puisi seperti ini, ia hanya sebuah
'himbauan moral', sebuah nasihat melalui tulisan, hanya sajak, puisi
bukan senjata beramunisi atau pun hasutan berlebihan untuk mengobarkan
semangat perang saudara, bukan itu. Ini hanyalah sebuah tulisan, bukan
perkara kriminal yang berlebihan.
Demonstran dan Penyair
Sering
kita amati melalui media, kecenderungan para penyair dan seniman
melakukan aksi 'keprihatinannya' itu hanya sebatas tindakan pembacaan
puisi di ruang terbuka melalui berbagai bentuk karya sastra: monolog,
pantomin, puisi musikal, drama dan karya-karya seni lainnya.
Biasanya
tindakan anarkis terjadi atau pemberontakan bersenjata dilakukan oleh
orang-orang politik, atau melakukan politik praktis, bisa jadi seorang
pengkhianat atau kolaborasi dengan kekuatan asing, dan faktanya juga
seringkali penyair berpolitik.
Dalam tulisan ini saya
membatasi diri hanya kepada para penyair yang tulus dalam berjuang
dengan cara damai dengan cara yang beradab, hanya melakukan gerakkan
keprihatinan melalui seni 'berpuisi', saya tidk mengomentari jika ada
penyair yang berpolitik dan juga berpartisipasi dalam gerakkan
demonstran dan anarkis serta memiliki agenda yang lain di luar kemurnian
sebuah puisi.
Baru-baru ini kita dengar beberapa penyair
menggabungkan diri dalam gerakkan 'Puisi Menolak Korupsi' yang digagas
oleh penyair sosiawan Leak beserta 180 penyair, itulah yang bisa
dilakukan penyair dalam karyanya yang dicatat sejarah, apa pun hasilnya,
di dengar atau tidak, inilah sebuah ungkapan dalam tulisan.
Inilah
sebuah jalan bagi penyair dan hanya itu yang bisa dia lakukan, melalui
tulisan, 'sajakku'. Entahlah suatu puisi itu didengar atau pun tidak di
dengar, menghasilkan perubahan nyata atau pun tidak, sepanjang sejarah
manusia hal itu dilakukan dengan konsisten baik penyair maupun penguasa,
selalu bersiteru, sepanjang zaman.
"Ada banyak orang terkenal yang merasa bahwa memprotes sistem yang menindas itu kewajiban moral. Misalnya, mendiang Vaclav Havel, mantan presiden Cheska yang dipenjarakan bertahun-tahun karena kegiatan hak asasi manusia, menulis pada 1985, 'Si pembangkang paling-paling hanya bisa mempertaruhkan lehernya--dan ia melakukannya semata-mata karena tidak punya cara lain lagi untuk menyerukan kebenaran yang ia bela."
Sumber : Sedarlah! Edisi Juli 2013, h. 8. (Apakah Aksi Protes Solusinya?)
Ada
perbedaan mendasar antara penyair dan demonstran yang ditunggangi,
penyair lebih menggunakan jalan damai lewat tulisan, sedangkan
demonstran memiliki kecenderungan 'mengganggu ketertiban umum' dan tidak
jarang tindakannya anarkis, walaupun memang di sana juga ada para
aktivis dan mungkin juga para penyair, bisa saja itu terjadi.
Tulisan
puisi lebih memiliki daya dobrak yang tinggi ketimbang kekerasan, sebab
kita semua tahu bahwa api harus dilawan air, marah dihadapi dengan
sabar, jika kita perang dengan penguasa sudah pasti kita kalah, dan
seringkali pergolakkan demikian memakan korban yang banyak, dan
orang-orang tidak bersalah menjadi korban. dan lagi perlawanan dengan
puisi memiliki rekam jejak yang baik dan tahan lama, karena sebuah buku
yang mencatat puisi keprihatinan akan dibaca berulang-ulang, bahkan
menjadi referensi-referensi tertulis yang baik.
Sajak-sajak
Wiji Thukul memiliki nilai tersendiri dalam menghadapi sebuah
perlawanan yang panjang, dan tentu dia dicatat sebagai penyair yang
berjuang lewat tulisan, dan tulisannya banyak dibaca dan merupakan
referensi bagi penguasa yang zalim :
"puisiku bukan puisi tapi kata-kata gelap yang berkeringat dan berdesakan mencari jalan. ia tak mati-mati meski bola mataku diganti. ia tak mati-mati meski bercerai dengan rumah ia tak mati-mati telah kubayar apa yang dia minta umur-tenaga-luka"
#WijiThukul, AKU MASIH UTUH DAN KATA-KATA BELUM BINASA
Sumber : Quote Tokoh
Mengapa Penyair Berani Membuat Sajak 'Keprihatinan' ?
Atas
dasar apa seorag penyair berani menantang maut dengan menulis sajaknya,
apakah hal yang dia lakukan adalah sensasi semata, atau jalan pintas
untuk cepat populer atau memiliki agenda tersembunyi dalam hatinya,
mungkin juga dari hati yang murni, siapa yang bisa tahu ?
Ingat
manusia adalah makhluk sosial yang memiliki perasaan sosial, keadilan
dan kasih sayang dalam dirinya, bahkan seorang penjahat sadis pun tidak
mau memberikan anak kandungnya sendiri dengan batu bukan?
Perasaan-perasaan seperti inilah yang membuat hati penyair teriris dalam
apabila ia melihat orang-orang disekelilingnya mengalami ketidakadilan,
kezaliman.
Oleh sebab itu penyair bereaksi terhadap
ketidakadilan ini dengan caranya yang paling beradab dan sopan santun,
menggugah hati dari sang penguasa untuk mendengarkan suara hati mereka
yang teraniaya oleh sebab ketimpangan ekonomi, kebutuhan akan sandang
pangan dan papan serta fasilitas kesehatan yang layak bagi mereka,
ataupun korupsi yang merajalela di DPR, di pemerintahan, otonomi daerah
yang membuat masyarakat semakin marjinal, terkotak-kotak dengan semangat
kedaerahan yang kental, rasa persatuan yang hilang, budaya yang
terabaikan, dan lain sebagainya.
Jika bicara kontrol
sosial memang dalam hal ini seorang jurnalis adalah yang paling depan
menghadapi pemerintah secara langsung, karena media mereka langsung
dibaca secara harian oleh pemerintah, beda dengan sastrawan atau penyair
yang menulis sesuatu dengan bergaya puitis yang jarang dibaca, walaupun
juga dimuat di media yang sama, hal ini merupakan 'sensasi tersendiri'.
Menarik sekali seorang jurnalis dan sastrawan mengatakan dalam sebuah
kata-kata mutiaranya :
"Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara."
― Seno Gumira Ajidarma, Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara
Sumber : Goodreads
Seperti
diakui oleh seorang sastrawan besar Seno Gumira Ajidarma, nampaknya
penyair ditempatkan pada posisi 'second opinion' dari pengamatan seorang
jurnalis, kenyataannya memang demikian, tentu ini merupakan pekerjaan
rumah bagi para sastrawan, walaupun banyak juga jurnalis memiliki
predikat sastrawan dan penyair juga.
Kita tidak
mempersoalkan siapa yang paling keras dan berjasa dalam menyuarakan
keprihatinan ini, siapa saja boleh, baik itu jurnalis, penyair, ibu-ibu
di pasar, tukang sayur boleh-boleh saja menyuarakan tidak terbatas
profesinya atau predikat yang ia sandang. Memang penyair membutuhkan
media dalam menyalurkan aspirasinya, dan media penyair itu sangat amat
terbatas sekali.
Jika medianya saja terbatas dan
penyebarluasannya pun bisa juga terbatas, apa yang harus ditakuti dari
mereka, sampai-sampai seorang penyair harus dilenyapkan dari bumi,
dipenjara bahkan dimiskinkan, dikucilkan oleh penguasa yang zalim
seperti manusia kardus itu.
Writing is not a crime !!!
Sekiranya penguasa, politikus mendengarkan bahasa yang indah ini tentu
mereka akan bersyukur dan mencium tangan penyair, seperti ia mencium
orang tua kandungnya sendiri, semoga saja.
Manusia Kotak
Koruptor jarang membaca puisi
saat dibaca tubuhnya gemetar
itu baru judul belum isi
selera makannya hilang, mual
Puisi tidak membuatnya jera
sel besi yang dingin
dianggap sepi angin lalu
disulap jadi hotel berbintang
Koruptor tak takut hukum
baginya hanya sebuah selai
untuk makan roti sarapan
hukum berada dalam sakunya
Koruptor makhluk yang pemberani
berani hidup takut mati
baginya dunia ini sorga
harta, tahta, wanita miliknya
20 Juli 2013
© Originally written by Sonny H. Sayangbati
NEGERI BERHATI HEWANI
Adalah hati nurani yang mengawal negeri ini
menempatkan manusia sebagai manusia
mendudukkan peduli sebagai rasa sesama
Namun nafsu angkara mengeruhkan segalanya
mata tak lagi menggetar rasa
hati tak lagi berjiwa manusia
Diri bagai hewan yang lepas kendali
menanduk menyeruduk ke sana kemari
Bagi jiwa yang lemah kenikmatan sesaat jadi pilihan
Bagi hati yang lengah saudara sesama pun dimamah
Makin panjang barisan pemangsa sesama
tak jelas lagi mana hak sendiri
keserakahan telah menjadi kendali
manusia hanya ucapan tanpa arti
karena hewani bersemayam di hati
singkawang, 2 agustus 2013
Karya : Pradono Singkawang
Sumber : Catatan Pradono Singkawang
Jakarta, 03 Agustus 2013
Sonny H. Sayangbati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar